Hari/tanggal : Selasa, 5 Oktober 2010
Waktu : pukul 16.00-17.30 WIB
Tempat : Taman Baca Multatuli
Agenda : Menyelesaikan bab 13
Halaman : 223-231
Peserta : 25 orang
Pembaca yang baik,
Ini kuceritakan reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Reading group Max Havelaar minggu ke-20. Reading group Max Havelaar pada Selasa, 5 Oktober 2010. Selasa ini, reading group Max Havelaar menuntaskan bab 13. Peserta yang ikut reading Selasa ini dua puluh lima orang.
Seperti yang kusampaikan pada catatan minggu ke-19 bahwa Stern melakukan penyimpangan dalam cerita ini. Setelah menceritakan tempat tugasnya Havelaar di Natal, Stern menyimpangkan ceritanya. Cerita selanjutnya bergulir pada gambaran rumah-rumah pembesar di Jawa: baik pembesar Belanda maupun pribumi.
Anda keliru jika menganggap sebuah rumah di Jawa dengan sudut pandang Eropa, dan membayangakan kumpulan batu dengan kamar luas dan kecil saling bertumpuk, dengan jalan di depannya, para tetangga di sebelah kanan dan kiri para lares et penates (dewa rumah-tangga) bersandar di rumah Anda, dan taman kecil di belakang rumah berisi tiga semak buah currant. Di hampir setiap kasus, rumah-rumah di Hindia Timur hanya satu lantai. Ini tampak aneh bagi pembaca Eropa, karena ini karakteristik peradaban—atau yang disetujui seperti itu—untuk menganggap segala keanehan adalah alami. Rumah-rumah di Hindia Timur sunggu berbeda dengan rumah kita, tapi bukan rumah mereka yang aneh, melainkan rumah kita. Orang pertama yang mengizinkan dirinya merasakan kemewahan untuk tidak tidur sekamar dengan sapi-sapinya tidak meletakkan ruangan kedua di atas rumahnya, melainkan di sisi rumah pertama; karena bangunan dengan satu lantai lebih nyaman bagi penghuninya. Rumah kita yang tinggi terlahir karena sempitnya lahan: kita mencari ke angkasa apa yang tidak dapat ditemukan di tanah, akibatnya semua pembantu wanita yang, pada malam hari, menutup jendela loteng tempat dia tidur adalah sebuah proses nyata atas kelebihan penduduk... meskipun dia sendiri memikirkan sesuatu yang sangat berbeda, seperti yang ingin saya percaya. [MH, 227]
Stern pada bagian ini memasukkan visinya dengan membandingkan rumah pejabat Belanda di Belanda dan pejabat Belanda (juga bupati) di Indonesia. Rumah Havelaar di Lebak dibandingkan dengan rumah-rumah kebanyakan di Belanda yang bertingkat.
Di pedesaan, oleh karena itu, di mana peradaban dan kelebihan penduduk masih belum memeras kemanusiaan ke atas dengan tekanan dari bawah, rumah-rumah di sana tanpa lantai atas; dan Havelaar bukalah pengecualian dari aturan ini. Untuk memasukinya... tetapi tidak, akan saya buktikan bahwa saya meninggalkan pernyataan yang indah. Memberi: sebuah persegi panjang yang harus Anda bagi menjadi dua puluh satu kompartemen, tiga kotak melintang, tujuh kotak menurun. Kita akan memberi angkamasing-masing kompartemen ini, dimulai dari pojok kiri atas melangkah dari kirike kanan, sehingga angka 4 akan berada di bawah angka 1, angka 5 di bawah 2, begitu seterusnya. [MH, 227-228]
Pembaca yang baik,
Ayo, coba bayangkan ke-21 kotak tersebut! Atau jika memungkinkan silakan buat kotak-kotak tersebut. Lalu ikuti petunjuknya berikut ini! Sebenarnya lebih tepat disebut penjelasan. Ini dia penjelasan Stern tentang rumah Havelaar.
Angka 1, 2, dan 3 masing-masing membentuk beranda depan, yang terbuka di tiga sisi dan atapnya diletakkan di depan kolam itu. Dari sana Anda melewati pintu ganda memasuki galeri dalam, yang diwakili oleh kompartemen 4, 5, dan 6. Kompartemen 7, 9, 10, 12, 13, 15, 16 dan 18 adalah kamar-kamar, kebanyakan memiliki pintu terbuka di tengahnya. Tiga angka tertinggi 19, 20, dan 21, membentuk beranda belakang yang terbuka, dan angka yang tidak saya sertakan—8, 11, 14 dan 17—membentuk semacam koridor. Saya bangga dengan penjelasan ini! [MH, 228]
Rumah Havelaar ini juga berdiri di pekarangan yang sangat luas yang sulit dibandingkan dengan pekarangan di Belanda.
Pekarangan Havelaar sangat luas—faktanya, mungkin terdengar aneh, di satu sisi bisa dianggap tanpa batas, karena dibatasi oleh jurang yang membentang hingga ke tepian Ciujung, sungai yang salah satu anak sungainya memagari Rangkas Bitung dari sekian banyak anak sungai yang ada. Sulit dikatakan di mana tanah Havelaar berakhir dan di mana tanah milik umum dimulai, karena batasan antara mereka selalu berubah berdasarkan tinggi rendahnya tingkat air Ciujung, yang sekarang menarik tepiannya sehingga hampir tidak terlihat kemudian mengisi jurang itu lagi sampai di titik yang sangat dekat dengan rumah Asisten Residen. [MH, 229]
Pembaca yang baik,
Pekarangan Havelaar tertutup rerumputan sehingga membuat pekarangan menjadi sukar untuk dibersihkan. Selain itu, beragam jenis serangga akan beterbangan bergerombol mengitari lampu di malam hari sehingga membuat sukar untuk membaca dan menulis. Banyak pula ular dan binatang pengganggu lainnya bersembunyi di balik belukar.
Lapangan rumah Havelaar ini terhampar di depan Anda, ketika Anda berdiri menghadap beranda depan memunggungi rumah. Di sebalah kiri Anda adalah bangunan, serta “ruang pertemuan” yang berangin tempat Havelaar berpidato di depan para pemimpin: di bagian belakangnya terdapat jurang, dari sana sejauh mata memandang adalah sungai Ciujung. Tepat di belakang kantor berdiri rumah Asisten Residen lama, yang sementara ini ditempati Ny. Slotering; karena akses masuk dari jalan utama ke pekarangan hanya bisa melalui dua jalan yang membatasi dua sisi petak rumput, jika ditelusuri akan membawa kita memasuki pekarangan menuju dapur atau kandang kuda, yang berada di belakang bangunan utama, yang juga melewati kantor atau rumah Ny. Slotering. Di samping dan di belakang bangunan utama terhampar kebun yang cukup lebar, yang juga telah menarik perhatian Tina karena banyaknya bunga di sana, dan khususnya karena Max kecil bisa sering bermain di sana.
Pembaca yang baik,
Ny. Slotering ini tak lain merupaka janda dari Carolus. Carolus adalah asisten residen yang digantikan Havelaar. Carolus dikabarkan meninggal karena diracun oleh Wiranata Kusumah, pemimpin distrik Parangkujang. Wiranata Kusumah tak lain adalah menantu Regen Sepuh, Adipati Kartanata Nagara yang menjadi bupati Lebak kedua, bertugas pada tahun 1830-1865.
Ny. Slotering adalah seorang “anak pribumi”, yang hanya bisa menggunakan bahasa Melayu. Ny. Slotering ini selalu khawatir jika ada orang yang mendekati rumahnya. Bahkan ia tak pernah menerima pemberian dari siapa pun. Begitu pula ia selalu menolak tawaran Havelaar untuk makan bersama dan tidak mau menyiapkan makanannya di dapur Havelaar. Ini, kata Tina, merupakan sikap berhati-hati yang sedikit berlebihan.
Pembaca yang baik,
Sekian catatan RG Max Havelaar minggu ke-20, Selasa, 5 Oktober 2010 ini. Kami yang ikut RG Max Havelaar; Pipih, Sanadi, Yani, Suha, Oom, Nuraeni, Suryati, Sujatna, Unang, Cecep, Suana, Sumarno, Nuraenun, Herti, Elis, Elah, Ida, Mamay, Iis, Ucu, Sujana, Omah, Irman, Mariam, Sadah, dan saya sendiri Ubaidilah Muchtar.
0 komentar:
Post a Comment