Oleh Ubaidilah Muchtar
“Tidak satu pun pelanggaran yang bisa dihukum dengan kelaparan.” [MH, hal. 221]
Pada tanggal 4 Januari 1839 tiba di Batavia seorang pemuda Belanda yang kemudian hari akan dikenal sebagai pembela rakyat tertindas, dia yang banyak menderita, Multatuli. Saat itu ia belum genap 19 tahun usianya. Sebab ia lahir tanggal 2 Maret 1820. Dia pernah tinggal di beberapa tempat dengan bermacam tugas, baik di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah lain.
Multatuli pernah bekerja di Natal, Padang, Karawang, Purworejo, Manado, dan terakhir di Lebak, Banten. Delapan belas tahun lamanya ia menjadi ambtenaar (pegawai negeri). Sebelum akhirnya pada tanggal 4 Februari 1856 surat pengunduran dirinya dikabulkan Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist.
Biarkan dulu Multatuli. Kini waktuku menceritakan kondisi reading group Max Havelaar. Ya, reading group Max Havelaar minggu ke-19 di Taman Baca Multatuli. Taman Baca Multatuli terletak di Kampung Ciseel. Kampung Ciseel termasuk wilayah Kecamatan Sobang. Kecamatan Sobang adanya di Kabupeten Lebak. Di kabupaten yang termasuk wilayah Provinsi Banten ini Multatuli pernah menjadi Asisten Residen. Tepat tanggal 21 Januari 1856, Multatuli resmi menjadi Asisten Residen di Lebak.
Awal tahun 1858 Multatuli tiba di ibukota Belgia, Brussel setelah pergi meninggalkan Jakarta. Multatuli tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama “In de kleine prins”, di rue (jalan) de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itu lahirlah karyanya, roman kepahlawanan pembela rakyat tertindas, berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij” (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Novel itu ditulisnya antara bulan September hingga bulan Desember 1859 yang kemudian terbit pertama kali pada tahun 1860. Novel inilah yang kami baca setiap Selasa sore di Taman Baca Multatuli.
Ini kali ke-19 kami melaksanakan reading group Max Havelaar. Selasa, 28 September 2010. Dua puluh empat peserta hadir mengikuti reading group Max Havelaar kali ini. Kami sedang membaca bab seperti yang dituliskan Sanadi, “Teman-teman sekarang kita sudah pada bab 13.” Kami memang sedang membaca bab 13. Maksudnya memasuki bab 13 dari 20 bab di novel Max Havelaar. Bab 13 dimulai pada halaman 215. Kami membaca hingga halaman 223. Sebelum memulai reading, kuulangi kembali apa yang telah kami baca pada minggu sebelumnya. Hal ini berguna untuk mengaitkan ingatan peserta dengan hasil bacaannya di minggu yang lalu. Bahkan kuingatkan kembali para peserta tentang siapa itu Multatuli.
Ini paragraf di bab 13 yang aku baca di awal reading group minggu ke-19. Peserta memegang novel yang sama: Max Havelaar.
“SEKARANG dapatkah kami mendengar alasan sebenarnya mengapa Anda diskors?” tanya Duclari
“Oh, ya, dengan senang hati! Saya bisa menjamin kebenaran setiap pendapat saya mengenai itu, dan bahkan saya dapat buktikan sebagian, jadi Anda dapat melihat dari kisah saya bahwa saya memiliki dasar untuk tidak menyangkal gosip yang sedang beredar di Padang mengenai anak yang hilang sebagai sesuatu yang sangat absurd. Anda akan sadar gosip itu sangat masuk akal setelah melihat bagian yang diperankan oleh Jenderal kita, yang gagah berani dalam urusan saya.”
Selesai membaca paragraf ini, kujelaskan dan kukaitkan mengapa Havelaar diskors saat bertugas di Natal. Seorang peserta, Elis bertanya apa yang dimaksud dengan absurd dan gosip. Mengapa Havelaar mengatakan bahwa gosip mengenai anak hilang itu absurd?
Kujelaskan bahwa di Padang ada gosip tentang anak yang hilang. “Gosip itu cerita yang belum tentu benar. Ngomongkeun batur (Bhs. Sunda: membicarakan orang lain), menggunjing,” jelasku. “nah sedangkan absurd itu tidak masuk akal atau mustahil,” jelasku lagi. Tentu saja aku banyak menggunakan bahasa Sunda untuk menjelaskan setiap paragraf yang kubaca. Dan hal ini pula yang membuatku harus panjang lebar menjelaskan sembari memberikan contoh kepada peserta untuk setiap kalimat atau paragraf.
Selesai paragraf tersebut kujelaskan, kulanjutkan kembali membaca bab 13 ini. Ini dia paragraf selanjutnya.
“Seperti yang saya katakan, terdapat ketidakakuratan serta celah di rekening perkiraan tunai saya di Natal. Anda tahu pasti bagaimana pengaruh setiap slip bagi kerugiaan seseorang: tak seorang pun yang mendapat untung karena keceroboan. Kepala Cabang Akuntansi di Padang, yang sebenarnya bukan teman saya, menyatakan jika saya merugi ribuan gulden. Tetapi, lihat Anda... perhatian saya tidak tertuju pada hal ini ketika saya di Natal.”
“Sangat tidak terduga, saya dipindahkan ke Dataran Tinggi Padang. Seperti yang Anda ketahui, Verbrugge, di Pos Sumatra di Dataran Tinggi Padang dianggap lebih baik, dan lebih menyenangkan daripada yang berada di keresidenan sebelah utara. Baru beberapa saat sebelumnya, saya dikunjungi Gubernur—Anda akan segera tahu mengapa dan bagaimana! Dan selama dia tinggal di Divisi Natal, dan bahkan di rumah saya sendiri, saya bersikap sopan dan jantan. Maka saya menganggap penugasan ini sebagai tanda kebaikan, dan meninggalkan Natal menuju Padang dengan sedikit senang. Saya melakukan perjalanan dengan kapal Prancis, Baobab (sejenis pohon dari Afrika) dari Marseilles, yang mengangkut merica dari Aceh dan... tentu saja, “kekurangan air minum” di Natal.”
Selanjutnya Havelaar bercerita bahwa dirinya sangat tidak nyaman dengan perlakuan Gubernur yang berlebihan padanya. Havelaar mengetahui bahwa sebenarnya dirinya sedang terancam. Setelah bertanya beberapa kali pada orang-orang di Padang, dia mengetahui bahwa sebenarnya Gubernur marah besar padanya. Havelaar memang sedang kekurangan uang dan dia tidak memegang uang sedikit pun. Ia lantas mencoba meminta pertolongan pada pria di Padang. Namun tidak seorang pun yang mau memberikan utang padanya.
“Tapi bagi saya semua bantuan tertolah,” begitu Havelaar menjelaskan.
Setelah bertanya ke sana ke mari mengapa orang-orang tidak mau memberikan pinjaman uang padanya. Akhirnya Havelaar mengetahui.
“...akhirnya saya tahu jika kesalahan dan kelalaian telah ditemukan dalam pembukuan saya di Natal, sehingga membuat saya dicurigai atas ketidakjujuran pembukuan.”
Havelaar pun tahu bahwa semua itu sengaja dibuat oleh Gubernur. Gubernur sengaja membuat kasus seperti ini kepada Havelaar karena ketidaksukaannya atas kejujuran Havelaar. Dalam kasusnya itu, Havelaar mengetahui ada kekuatan yang sengaja memaksanya (force majeure).
Setelah menjelaskan setiap paragraf yang kubaca. Aku pun mengambil sebuah kertas, yaitu kuitansi. Hal ini kulakukan untuk menjelaskan kepada peserta tentang apa itu kuitansi.
Selanjutnya Havelaar menyampaikan.
Sekarang saya akui jika masalah uang bisa menjadi penting. Tapi seberapa pun pentingnya, dalam masalah ini dan itu menjadi hal kedua bagi topik perhatian yang lain. Jika angka di pembukuan saya kurang beberapa gulden akibat kecerobohan atau keteledoran, saya seharusnya tidak menyebut ini sendiri sedikit. Namun beberapa ribu itu berkurang karena keberhasilan usaha saya untuk menanggulangi sebuah pemberontakan yang mengancam akan membakar seluruh distrik Mandailing, dan membawa kembali para orang Aceh ke tempat semula sebelum kami mengusir meraka dengan mengorbankan banyak biaya dan nyawa! Jadi arti dari sebuah defisit tenggelam dalam ketidakberartian; faktanya, bahkan menjadi tidak adil untuk meminta pelunasan dari seseorang yang telah mempertahankan bunga besar tak terbatas.
Havelaar pun bersedia melakukan pelunasan. Hal tersebut harus dituntut sebab jika tidak akan membuka pintu bagi penggelapan uang. Namun apa yang terjadi setelah menunggu empat hari, Havelaar mendapatkan surat dari sekretaris Gubernur. Surat tersebut berisi jika Havelaar dicurigai atas ketidakjujuran dan harus menjawab beberapa pertanyaan dalam hubungannya dengan pembukuan.
Havelaar pun meminta untuk kembali ke Natal. Havelaar harus memeriksa kembali pembukuannya. Namun apa yang terjadi, Gubernur pun melarang Havelaar untuk kembali. Havelaar merasa sangat dipojokkan.
“Mengapa kecurigaan yang merendahkan ini diberitahukan ketika saya jauh dari tempat di mana saya bisa membela diri?”
Sebelum sempat membela diri, Havelaar mendapatkan kabar jika Gubernur sangat marah kepadanya, “karena saya begitu merepotkan dia di Natal, dan tentu saja, orang-orang menambahkan, saya telah sangat bersalah”.
Havelaar pun dulu mengira bahwa Gubernur sengaja memindahkannya dari Natal ke Padang kerena dirinya “telah begitu merepotkan” Gubernur. Namun kini dia membuka kembali suratnya untuk Gubernur.
“Saya telah menjawab kritikan yang ditujukan pada rekening perkiraan saya, semampu saya tanpa adanya akses ke arsip-arsip atau kemungkinan untuk melakukan penyelidikan lokal. Saya mohon agar Yang Mulia berhenti memperlakukan saya dengan baik. Saya muda, dan tidak sepadan jika dibandingkan dengan kekuasaan konsep dominan yang bertentangan dengan prinsip saya yang memaksa agar saya bersikap. Namun bagaimanapun juga saya bangga dengan kebebasan moral saya, bangga dengan kehormatan saya.”
Maka di sana saya berdiri di Padang, berusia kurang dari dua puluh tiga tahun, menatap masa depan yang membawa aib bagi saya! Saya dinasihati agar membela masa depan saya—saya masih di bawah umur ketika dituduh tanpa bukti; tapi saya tidak akan melakukan itu. Saya sudah banyak berpikir dan menderita, dan... saya mengambil risiko dengan menambahkan: bekerja terlalu keras, untuk ingin berlindung di balik tahun-tahun yang saya inginkan. Anda dapat melihat dari kesimpulan surat yang baru saja saya katakan bahwa, saya tidak ingin diperlakukan seperti anak-anak, ketika di Natal saya telah melaksanakan tugas untuk Jenderal separti seorang laki-laki. Dan dari surat itu Anda juga bisa melihat betapa tidak adilnya tuduhan yang mereka jatuhkan ke saya. Orang yang bersalah tidak akan menulis seperti itu!
Namun aneh sekali, Havelaar tidak dipenjarakan. Havelaar di Padang merupakan tahanan pada saat bersamaan, tetapi tahanan tanpa atap di atas kepalanya serta roti di mulutnya. Havelaar pun dilarang untuk meninggalkan Padang.
“Karena meskipun saya bersalah atas kejahatan yang paling buruk, tidak satu pun pelanggaran yang bisa dihukum dengan kelaparan.”
Pengadilan pun bingung. Hingga akhirnya Havelaar ditahan di Padang. Sampai suatu ketika tiba perintah dari Batavia. Havelaar diperbolehkan pergi ke Batavia.
Setelah tiba di Batavia dan bertemu Tina—istrinya, Havelaar pun membayar beberapa ribu gulden untuk menyelesaikan akun tunai di Natal untuk tahun 1842 dan 1843.
Saat Havelaar akan menceritakan mengapa dan bagaimana dia merepotkan Jenderal Vandamme di Natal, Ny. Slotering muncul di beranda depan rumahnya Havelaar. Ny. Slotering memberi isyarat pada polisi yang duduk di sebuah bangku di salah satu sisi rumah Havelaar. Ny. Slotering memang sangat ketakutan jika ada orang yang datang atau berdiri di depan rumahnya. Karena takutnya itu, Ny. Slotering sampai harus memiliki polisi untuk mengawasi rumahnya.
“Kau tahu wanita pribumi di sini begitu senang menggunakan kekuasaan. Lagi pula, jangan lupa suaminya adalah orang paling penting di sini, meskipun kenyataannya arti seorang Asisten Residen begitu kecil, di divisinya Asisten Residen adalah raja; dan dia masih belum terbiasa dengen penurunan posisinya. Jangan curi kesenangan kecil seorang wanita malang. Anggap saja kita tidak tahu.”
Ny. Slotering memang begitu kontras dengan Tina. Tina tidak pernah menemukan kesulitan dalam melakukan hal itu: dia tidak suka menggunakan kekuasaan.
Reading group Max Havelaar minggu ke-19 berakhir ketika cerita akan melakukan penyimpangan. Penyimpangan ini akan dimulai dengan memberikan pandangan mengenai pengaturan rumah dan pekarangan Havelaar.
Kututup reading group Max Havelaar ini dengan menyampaikan terima kasih kepada para peserta yang hadir. Reading group ditutup dengan menikmati makanan ringan yang sengaja kubawa di setiap reading. Terima kasih untuk yang hadir di minggu ke-19 ini. Di Selasa sore, 28 Setember 2010. Terima kasih untuk Dedi Kala, Suana, Sujana, Ucu, Suryati, Elis, Unang, Sanadi, M. Ajis, Ano, Nuraeni, Mamay, Nuraenun, Samnah, Niah, Sadah, Acih, Iis, Elah, Irman, Radi, Sujatna, Yani, dan Pipih Suyati.
Aku ingin mengutip tulisan Dedi Kala di buku merah di minggu ke-19 ini. “Multatuli itu adalah orang yang membela Lebak dari penjajah Belanda dan penjajah pribumi.”
Sekian catatan ini kutuliskan. Salam.
Taman Baca Multatuli, 20 November 2010
0 komentar:
Post a Comment