728x90 AdSpace

  • Latest News

    13 November 2010

    Catatan Reading Group Max Havelaar Minggu Ke-17




    Oleh Ubaidilah Muchtar
    “Jangan meletakkan jari di antara kulit kayu dan kayunya!” [MH, hal. 203]
    Lima puluh tiga hari sudah aku tidak menulis catatan reading group Max Havelaar. Sejak catatan minggu ke-16 diturunkan tanggal 20 September lalu, akhirnya catatan ke-17 kini dapat kuturunkan. Saat catatan ini diturunkan, reading group Max Havelaar telah memasuki minggu ke-25. Artinya aku tertinggal delapan catatan RG. Ya, tentu saja banyak utangku! Namun akan kucoba mencicilnya.
    Reading group Max Havelaar Minggu ke-17 terlaksana tidak di hari Selasa. Melainkan di hari Kamis. Lho, kok Kamis! Ya, Kamis, 2 September 2010. Mengapa Kamis? Sebab tidak Selasa. Ya, reading group Minggu ke-17 tidak dilaksanakan Selasa, namun Kamis. Kamis itu hari terakhir siswa sekolah. Hari terakhir siswa masuk sekolah menjelang libur lebaran.
    Peserta yang hadir sekira 28 orang. Namun yang hadir dan isi daftar hadir hanya 22 saja. Ini aku catatkan mereka yang hadir serta pesan kesannya. Irman yang pertama mengisi buku di minggu ini. Irman menulis pesan kesan, “Ayo, teman-teman kita membaca Multatuli dan sukses selalu. I Lope you Multatuli!” Dede Irawan yang kedua. Dede menulis, “Ayo, teman-teman baca riding Multatuli.” Dedi Kala yang ketiga, Dedi menuliskan,”www.readingmultatuli.blogspot.com. Multatuli pernah diusir oleh orang Belanda.” Sementara yang keempat Sumarna Ano. Ano menuliskan kalimat yang ada di spanduk di depan Taman Baca Multatuli. Ini tulisannya: “Hayu Urang Maca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak!”
    Omanudin peserta kelima. Omanudin menulis, “Mari kita membaca teman-teman!” Selanjutnya Herman dan Johar. Herman menulis, “Ayo, teman-teman kita baca Multatuli yuk!” Sementara Johar menulis, “Ayo, teman-teman kita ikut Multatuli!” Peserta kedelapan yang menulis di buku merah adalah Unang. Unang menulis, “Ayo kawan, kita ke taman baca, taman baca multatuli!” Selanjutnya Mariah. Mariah menuliskan sesuatu. Ini dia tulisan Mariah, “Hai... teman-teman tadi katanya ada gadis Inggris, Nona X. Nona X punya rumor yang mengatakan jika Nona ini melahirkan seorang anak kemudian... anak itu hilang.”
    Apakah para pembaca merasa ada yang aneh? Maksudku merasa bahwa catatan ini membosankan. Aku tahu aku pun merasakannya. Namun akan kulanjutkan.
    Selanjutnya ada Nuraeni dan Suryati. Nuraeni menuliskan kata “menghapal”. Entah apa maksudnya. Aku pun tak terlalu paham. Mungkin Nuraeni sedang menghapal tanggal lahir Multatuli. Sementara Suryati menulis, “Ayo, teman-teman membaca!” Ada juga Nuraenun, Herti, dan Elis yang menuliskan kata “membaca” di buku merah tersebut. Sementara Sanadi menulis, “Ayo teman-teman kita mulai membaca lagi. Baca di Taman Baca Multatuli. Karena kita sekarang ada di bab 12!”
    Aliyudin peserta ke-16 yang menulis di buku merah. Aliyudin menulis, “Teman-teman ayo ikut reading group di taman baca multatuli!” Setelah Aliyudin ada Pipih Suyati. Pipih adalah kakanya Suryati. Pipih pernah kuceritakan sebagian kisahnya di catatan terdahulu. Pipih menulis “Asyik loh baca-baca di reading multatuli!” Peserta ke-18 sampai ke-21, yaitu Ucu Suharnah, Ida Yanti, Iis Dahlia, dan Elah Hayati. Mereka hampir sama menulis kalimat ini, “Membaca Multatuli itu sangat asyik!”
    Peserta terakhir yang menulis sangatlah khusus. Mengapa khusus, sebab ia sudah lama tidak ikut reading. Ya, dia Siti Alfiah. Siti Alfiah memang sejak minggu ke-12 tak lagi ikut reading sebab ia harus melanjutkan sekolah. Siti Alfiah menulis di buku merah seperti ini, “Saya senang banget. Saya pulang dari pondok. Saya bisa ikut reading group.” Ya, ini kusampaikan catatan dari para peserta.
    Oh, aku terlalu banyak menceritakan para peserta reading. Aku akan menyampaikan apa yang dibaca Kamis tersebut. Ya, Kamis itu kami mulai membaca bab 12. Membaca bab 12 novel Max Havelaar. Bab di novel Max Havelaar semuanya ada 20. Kami sedang membaca bab 12. Bab 12 dimulai dengan percakapan Tina, Havelaar, Verbrugge, dan Duclari.
    Ini bagian pertama yang kubaca pelan.
    “MAX sayang,” kata Tina, “hidangan pencuci mulut kita sangat sedikit. Bisakah kau... kau tahu... Madame Geoffrin?”
    --“Menceritakan beberapa kisah lagi, daripada makan puding? Celaka, suaraku habis. Sekarang giliran Verbrugge.”
    “Ya, Tuan Verbrugge! Tolong gantikan Max dulu,” pinta Ny. Havelaar.
    Verbrugge berpikir sejenak, dan memulai:
    “Pada suatu hari ada seorang pria yang mencuri kalkun...”
    “Oh, sialan kau!” seru Havelaar. “Anda memperoleh cerita itu dari Padang! Lalu bagaimana terusannya?”
    “Itu saja. Siapa yang tahu bagaimana akhir kisah itu?”
    “Ya... saya tahu... saya memakannya, bersama dengan... orang lain. Tahukah Anda mengapa saya diskors di Padang?”
    Setelah membaca beberapa potong kalimat ini aku harus kerepotan sebab bertubi peserta bertanya ini dan itu. Ya, tentu saja mereka bertanya apa itu puding, Apa itu pencuci mulut, Madame Geoffrin, Apa kalkun, dan lainnya.
    “Diskors itu diapakan?” tanya Sanadi.
    “Diskors itu diberhentikan atau diberhentikan sementara,” kataku.
    Setelah diskusi dan menjelaskan maka kulanjutkan pembacaan. Cerita berlanjut saat Havelaar bercerita tentang bagaimana kondisi kas di Padang. Ia sampaikan bahwa alasan penskorannya tidak seluruhnya benar bermula dari masalah kas. Ia memang mengakui bahwa ia teledor dengan perkiraannya. Havelaar menyampaikan bahwa kondisi di tanah Batak saat itu sangat kacau. Akibat dari ricuh di tanah Batak berpengaruh ke Natal.
    Havelaar hampir setiap malam selalu tidur dengan mengenakan seragam. Berjaga-jaga jika dalam keadaan darurat. Havelaar mengemukakan bahwa sebelum kedatangannya ke Natal telah terbongkar sebuah rencana pembunuhan terhadap pendahulunya. Hal itu yang membuatnya kurang teliti.
    Setelah itu cerita terpotong. Cerita terpotong saat Tina menyampaikan bahwa dia sedang membuat omelet atau semacam itu di dapurnya. Lalu perbincangan pun diikuti oleh Duclari. Duclari mengatakan bahwa ketika Havelaar menawarkan pilihan kepada Verbrugge untuk memilih antara berbagi omelet atau melanjutkan cerita itu sesuatu yang sulit. Pilihan semacam itu seperti pilihan antara memilih suami atau istri. Dan Duclari mengemukakan semacam peribahasa , yaitu jangan meletakkan jari di antara kulit kayu dan kayunya. Maksud Duclari jangan ikut terlibat dalam percekcokan urusan keluarga.
    Namun akhirnya Tina pun muncul dan mengatakan bahwa ia tidak memiliki omelet. Tina lantas menawarkan kopi kepada yang hadir. Mereka akhirnya minum kopi di beranda rumah Havelaar. Cerita pun dilanjutkan. Cerita tentang Havelaar yang mengambil kalkun karena lapar setelah diskors Jenderal Vandamme.
    Havelaar lalu mengemukakan bahwa di Padang telah ada tujuh atau delapan yang bernasib sama seperti dia, diskors. Termasuk di antaranya Asisten Residen Padang. Mereka diskors dengan beragam tuduhan. Beberapa dari mereka dihukum lebih ringan daripada Havelaar. Havelaar mengatakan bahwa Jenderal Vandamme memiliki sikap yang buruk. Jenderal Vandamme suka meninggalkan istrinya untuk keluyuran dan berjudi. Salah satu kehebatannya adalah karena ia seorang pemberani.
    Cerita mengalir memasuki wilayah-wilayah tentang kebenaran dan manusia. Di bagian-bagian ini aku menemukan beberapa ungkapan Havelaar yang sangat menarik. Misalnya,
    “Setiap manusia kurang lebih adalah saingan. Kita lebih senang memberitahu dunia jika kita berada di atas orang lain, sepenuhnya dan dalam segalanya. Namun untuk melakukannya adalah berlawanan tidak hanya pada kesopanan juga pada kelebihan diri, karena sebentar lagi orang-orang akan menjaga diri, sehingga tidak seorang pun yang akan percaya apa yang kita ucapkan, meskipun itu benar.”
    atau
    “Setiap orang melihat bawahannya sebagai saingan. Kita tidak boleh selalu mengeritik—itu akan menjadi terlalu terlihat! Maka kita memuji kelebihan orang lain setinggi langit, untuk membuat kekurangnnya muncul tanpa harus menunjukkan permusuhan kita.”
    Reading group kali ini tak sampai menyelesaikan bab 12. Kami hanya mampu membaca delapan halaman dari 14 halaman di bab 12. Kami menutup reading saat waktu berbuka tiba. Oh iya, memang saat reading minggu ke-17 ini masih suasana puasa. Aku meminta para peserta untuk berbuka bersama di Taman Baca Multatuli. Namun yang bisa berbuka bersama hanya beberapa saja. Di antara yang bisa ada Sanadi, Siti Alfiah, Pipih, Alyudin, Dede, dan Pendi. Selepas menyantap makanan berbuka dan bersua Tuhan kami berbincang hingga larut menjemput. Kuminta Siti Alfiah bercerita soal sekolahnya di Cipanas. Siti Alfiah bercerita, kami mendengarnya. Kini Siti Alfiah kelas X SMA di salah satu sekolah di Cipanas. Ia bersekolah sambil “mondok”. Maksudya, ia tak pergi dan pulang ke rumahnya. Sebab jarak Cipanas ke Ciseel hampir 20 kilometer jauhnya. Ditambah kondisi jalan yang sulit untuk dilewati. Apalagi di musim penghujan. Maka, Siti Alfiah memilih tinggal di sebuah pesantren di Cipanas. Siti Alfiah hanya pulang jika libur saja.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan Reading Group Max Havelaar Minggu Ke-17 Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top