728x90 AdSpace

  • Latest News

    15 November 2010

    Catatan RG Max Havelaar Minggu Ke-18



    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Florin [koin emas dan perak] sebuah nilai... sungguh banyak!
    Surat-surat, selamat jalan pada kalian,
    Selamat jalan, Copyist-ku! Nasib juga tidak beruntung:
    Aku mati karena lapar, dingin, karena haus, putus asa.
    Kedua puluh koin itu sama dengan makanan selama dua bulan bagiku!
    Jika aku memiliki sejumlah itu pasti aku berada dalam keadaan yang lebih baik,
    Makanan yang lebih baik, rumah yang lebih baik, aku pasti makan seperti dewa...
    Hal pertama adalah untuk hidup, apakah itu dalam kesengsaraan:
    Kejahatan disebabkan oleh kebodohan, bukan kemiskinan!
    [MH, hal. 213-214]
    Ini catatan reading group Max Havelaar Minggu ke-18. Aku akan menuliskannya dengan lebih singkat, RGMH. RGMH Minggu ke-18 terjadi di Selasa sore, 21 September 2010. RGMH memang dilaksanakan setiap Selasa sore. RGMH dimulai pukul empat sore hingga setengah enam sore. Namun lebih sering berakhir saat suara di masjid Kampung Ciseel memanggil untuk maghrib. Di Kampung Ciseel memang masih tradisional. Kata seorang kawan, di Ciseel itu, “no telephone, no signal, no electric.”
    Tapi ya sudahlah. Memang itu keadaannya. Tak akan kusampaikan lagi. Tak akan kubahas lagi. Tak akan kuingat dan kuungkit lagi. Biarlah apa adanya. Biarlah begitu adanya. Semoga ke depan akan lebih baik. Semoga akan ada jalan yang jauh lebih baik. Tak lagi sempit, licin, dan berlumpur. Akan lebih lebar, tak licin, tak sukar lagi dilalui. Biarlah banyak kenangan di jalan menuju Ciseel. Biarlah Kampung Ciseel seperti komentar seorang kawan, “seperti di negeri dongeng!”
    Kutahu semangat anak-anak di sana sangat besar. Mereka haus pengetahuan. Mereka haus ilmu. Banyak yang mereka ingin tahu. Banyak yang mereka ingin gali. Mereka memang tak mengenal televisi, namun mereka kini mengenal tulisan. Mereka senang membaca keras-keras sebuah cerita yang ditemuainya di majalah-majalah. Mereka asyik membaca sambil telungkup di lantai. Mereka duduk bersila di lantai sambil membolak-balik komik. Mengambilnya dari rak lalu merapikannya kembali setelah selesai membacanya. Lihatlah mereka membawa beberapa buku ke rumah dan mengembalikannya setelah selesai dibaca. Tengoklah di tas mereka jika pergi ke sekolah atau ke madrasah. Ada majalah, buku cerita, atau komik terselip di antara buku tulis. Selepas menggembala kerbau atau kambing. Selepas mencari kayu bakar atau jamur. Selepas mencuci piring atau pakaian di sungai. Selepas membantu ibu memasak di dapur. Mereka bergegas ke Taman Baca Multatuli. Mereka mengisi daftar hadir dan mengambil bacaan.
    Jika Selasa sore tiba mereka menggelar karpet lusuh. Menurunkan 20 eksemplar novel Max Havelaar. Saling bersahutan bertanya hingga bab berapa Selasa lalu selesai membaca. Halaman berapa yang akan dihadapi Selasa ini. Mereka bergantian mengisi buku merah. Mengisi kolom dengan berurutan. Nomor, hari dan tanggal, nama lengkap, kesan dan pesan, serta membubuhkan paraf di kolom paling akhir. Tentu saja ini baru bagi mereka. Namun kukira mereka senang. Mereka belajar membuat tanda tangan atau paraf mereka sendiri-sendiri. Ada kesan sederhana. Ada kesan singkat. Ada pesan untuk yang lain. Ada pesan panjang. Terkadang mereka menulis yang tak ada hubungannya sama sekali. Itulah mereka, sederhana. Penuh semangat dan ceria, tentunya.
    RGMH Minggu ke-18 diikuti 18 peserta. Tentu saja ini bukan kebetulan. Bukan pula sekadar bikinan agar dipas-paskan. Ini dia yang hadir di minggu ke-18. Ada Irman, Suryati, Elah, Elis, Herti, Asri, Unang, Radi, Suhendar, Ucu, Acih, Nuraenun, Pipih, Nuraeni, Yani, Dede, Cecep, dan Sanadi.
    Aku tak akan menuliskan pesan kesan mereka satu per satu. Aku hanya ingin menuliskan pesan Pipih saja. Pipih menulis singkat di buku pesan kesan itu. Pipih memang salah satu peserta yang sejak awal mengikuti RGMH. Pipih menulis, “Jadilah orang yang bijak seperti Multatuli!” Aku tak akan membahas pesan Pipih ini. Kukira para pembaca jauh lebih memahami maksud Pipih. Kuyakini juga benar apa yang Pipih tuliskan, Multatuli memang bijak.
    Ah, sudahlah! Kini lebih baik kumulai saja sampaikan apa yang kami baca di RGMH Minggu ke-18 ini. Kami membaca lanjutan bab 12 MH yang tersisa minggu sebelumnya. Ini dia.
    Havelaar masih bercerita soal Jenderal Vandamme. Kubaca paragraf ini dengan pelan. Para peserta memegang buku MH. Mereka mengamati setiap kata dan kalimat yang kubaca.
    “Satu kelebihan yang sungguh dia miliki dengan derajat yang tinggi: tekad. Kapan saja dia memutuskan untuk melakukan sesuatu, maka harus dilaksanakan, dan biasanya memang diselesaikan. Tetapi—tahukan Anda, sekali lagi saya membuat adanya perbedaan?—namun demikian, dalam pilihan sikapnya dia tentu saja sedikit... bebas, dan, seperti yang dikatakan Van der Palm pada Napoleon—menurut pendapat saya, yang tidak adil: “Rintangan moral tidak pernah menghalanginya!” Ya, tentu saja, dengan cara itu pasti lebih mudah bagi seseorang untuk berada di tempat yang dia inginkan dibandingkan ketika seseorang memang menganggap dirinya terkait oleh beragam pertimbangan.”
    Kujelaskan paragraf ini kepada peserta. Sebelumnya kusampaikan cerita yang kami baca di Selasa lalu. Kubaca lagi paragraf selanjutnya.
    “Maka, kemudian... Asisten Residen Padang mengirimkan sebuah laporan yang berkenan bagi pengawas yang diskors, diskorsing berkat sedikit warna ketidakadilan. Gosip beredar di Padang: anak yang hilang masih menjadi bahan pembicaraan di kota. Sekali lagi Asisten Residen merasa diserukan untuk melanjutkan masalah itu, tetapi... sebelum dia berhasil membawa penerangan, dia menerima perintah dengan isi Gubernur Pantai Barat Sumatra, Jenderal Vandamme, men-skornya “karena ketidakjujuran dalam melaksanakan tugas”. Dikatakan bahwa, dia telah menampilkan kasus sang pengawas dengan sudut pandang yang salah, tidak bersahabat ataupun simpati dan bertentangan dengan pemahaman yang lebih baik.”
    Havelaar lalu mengetahui bahwa pengawas tidak salah dalam melaksanakan tugasnya. Hal itu diketahui setelah dilakukan penyelidikan. Pengawas pada akhirnya akan direhabilitasi. Nah, pada kata rehabilitasi aku harus menjelaskan panjang lebar kepada para peserta. Agar lebih paham maka kubuatkan kasus sederhana dengan tokoh mereka yang hadir. Bahkan kugunakan saja bahasa Sunda agar lebih dimengerti para peserta.
    Havelaar lantas menulis sebuah epigram. Epigram kujelaskan sebagai sebuah puisi pendek. Atau bisa juga dikatakan ungkapan atau syair pendek. Biasanya epigram berisi sebuah sindiran. Ini epigram yang ditulis Havelaar lalu diletakkan di meja sarapan Jenderal Vandamme melalui seorang pelayan. Jadi, Havelaar meminta bantuan seorang pelayan yang dulu melayaninya untuk menyimpan epigram tersebut di meja Jenderal Vandamme.
    Surat perintah yang berjalan, yang memerintah kita dengan skorsing
    Werewolf di hari-hari kami, Gubernur menskors semua orang,
    Tidak akan memberi harapan perhatian pada suara hatinya,
    Yang tidak lama ini dengan tegas memberi pemecatan.
    Duclari menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Havelaar ini tidaklah tepat. “Maaf, Tuan Havelaar, tetapi saya anggap tindakan Anda tidak tepat,” kata Duclari. Havelaar lalu menjelaskan bahwa sebenarnya ia juga merasa kurang tepat. Namun ia harus melakukan sesuatu. Havelaar lalu meminta bagaimana jika posisinya di Padang itu dialami oleh Duclari. Kondisi Havelaar saat di Padang: tidak punya uang, tidak memperoleh apa pun, dan ia takut bakal mati kelaparan suatu hari. Havelaar tidak memiliki teman di Padang. Havelaar juga tidak diizinkan pergi ke Jawa. Banyak orang di Padang yang mau membantu Havelaar. Sayang banyak yang takut kepada Jenderal yang maha kuasa. Havelaar merasakan semua itu selama sembilan bulan lamanya.
    Sayang ketika ditanya oleh Duclari tentang bagaimana cara Havelaar bertahan hidup di Padang, Havelaar tidak mau mengatakannya. Namun setelah didesak, akhirnya Havelaar mengakui bahwa selama masa sulit itu ia menciptakan puisi, menulis drama... dan seterusnya.
    “Dan apakah Anda bisa membeli beras dengan itu di Padang?”
    “Tidak, tetapi saya tidak pernah mengharapkan itu dari mereka. Saya... lebih baik tidak mengatakan bagaimana saya bertahan hidup.”
    Tina mencubit tangan Havelaar. Dia tahu.

    Nah, di awal tulisan aku sampaikan baris-baris catatan Havelaar. Catatan itu menggambarkan kondisi Havelaar saat di Padang. Havelaar menuliskan protes atas kemiskinannya. Havelaar menulis catatan tersebut di belakang surat tagihan. Havelaar memang pernah dikirimi surat tagihan sebesar dua puluh gulden.
    Saat Havelaar ditanyai soal epigram dan kalkun. Havelaar hanya menjawab bahwa ia pada akhirnya tidak dihukum oleh Jenderal soal mencuri kalkun. Sementara soal epigram, Jenderal tidak mengatakan apa-apa. Havelaar pun mengatakan muak sekali dan selamanya pada epigram dan kalkun. Havelaar tidak akan melakukannya lagi!
    RGMH Minggu ke-18 berakhir sudah. Aku menutupnya dengan meminta para peserta untuk foto bersama di depan Taman Baca Multatuli. Sekian catatan ini kusampaikan. Tunggu catatan selanjutnya. Salam Multatuli.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan RG Max Havelaar Minggu Ke-18 Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top