Jujur, saya baru mengetahui tempat yang
bernama Taman Baca Multatuli. Setelah coba cari tahu karena memang ada
penugasan, maka didapatlah bahwa lokasi taman baca ini ada di Kampung
Ciseel Desa Sobang Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak.
Langkah awal yang saya lakukan untuk
mencapai kesini adalah menghubungi sang perintis Taman Baca Multatuli
yang bernama Ubaidilah Muchtar alias Kang Ubay. Kang Ubay sendiri adalah
seorang guru yang ditugaskan mengabdi di desa ini. Beliau mengabdi di
SMPN Satu Atap 3 Sobang sebagai guru Bahasa Indonesia. Jangan bayangkan
sekolah ini adalah sekolah yang sebagaimana kita bayangkan pada umumnya.
Ketika saya mampir ke ruang guru, saya curi pandang pada sebuah papan
informasi guru dan ternyata hanya ada sekitar 8 guru (lupa persisnya)
yang mengajar disini. Itu juga termasuk kepala sekolah.
Perjalanan Penuh Perjuangan
Setelah berkoordinasi dengan Kang Ubay,
kami menentukan untuk berangkat bersama tanggal 2 November 2015 dengan
titik kumpul di Alun-alun Tangerang Selatan. Oh ya, yang cukup
mencengangkan adalah ternyata rumah Kang Ubay ada di bilangan Serua,
Bojongsari, Depok dan beliau bolak-balik Depok-Lebak untuk mengajar.
Skenarionya adalah Senin pagi ba’da Shubuh berangkat ke Lebak dan Jum’at
selepas shalat Jumat kembali ke Depok. Begitu seterusnya. Namun saat
ini, Kang Ubay sedang cuti karena mendapat beasiswa melanjutkan studi
master di UPI Bandung.
Kami (Saya, Kang Ubay, dan Mang Adit [partner kantor-red])
berangkat pukul 07.00 WIB menggunakan sepeda motor dan menempuh rute
Jalan Raya Puspitek Serpong – Muncul – Cisauk – Jambe – Panongan –
Parung Panjang – Jasinga – Cipanas – Pasar Gajrug – Pasar Ciminyak.
Perjalanan cukup lancar mengingat jalur
yang kami lewati itu adalah jalur pedalaman sehingga tidak ada keramaian
lalu lintas yang berarti kecuali di Perlintasan stasiun Parung Panjang
yang agak ramai. Selebihnya, lantjar djaja.
Selepas Pasar Ciminyak, jalur tercepat
menuju Kampung Ciseel ternyata hanya bisa dilewati roda dua. Patokan
menuju Ciseel dari Pasar Ciminyak adalah ambil ke arah Jalan Raya
Ciminyak – Muncang lalu ketika sampai di SMPN 1 Muncang, belok kiri ke
jalan kampung dan terus menyusuri jalan hingga Ciseel.
Trek di jalan kampung ini lumayan “keras” dan bernuansa off-road karena
memang hanya jalan batu kali dan batu kapur. Aspal hanya ada sedikit.
Lebih mirip bonus saja. Ketika sudah sepertiga perjalanan awal, trek
semakin “edan”. Jalan melipir tebing di sisi kanan dan jurang di sisi
kiri dengan lebar jalan yang hanya muat dilewati 2 motor. Tak lupa
sebagai pelengkap, turunan dan tanjakan terjal menjadi sajian yang wajib
disantap. Motor yang saya gunakan saat itu berjenis motor trail
Kawasaki KLX-S sehingga cukup mengkompensasi “kenyamanan” selama
menghadapi trek tersebut. Namun yang pasti butuh keberanian dan
keluwesan untuk berkendara di trek ini. Jangan berpikir menyerah ketika
gagal di tanjakan karena jika jatuh, pilihannya jatuh terpelanting ke
depan atau bahkan jatuh terperosok ke jurang.
Pemandangan di trek ini didominasi oleh
persawahan dan jarang sekali pemukiman. Karena ini di Lebak, maka
topografinya tentu saja lembah dan bukit; jurang dan tebing;
aku dan kamu. #eh #eaaa
Singkat cerita, sampailah di Ciseel.
Disini jalan kembali manusiawi dengan adanya aspal sehingga cukup
“menghibur” setelah menghadapi rentetan trek yang penuh rintangan.
Kampung Ciseel sendiri merupakan 1 RW dengan 4 RT. Ada sungai mengalir
indahdi sisi kampung, namun di musim kemarau panjang ini, surut dan hanya
menyisakan aliran kecil. Sungai ini menjadi tumpuan kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari.
Taman Baca Multatuli: Sebuah Harapan
Menurut Kang Ubay, taman baca ini,
sebagaimana taman baca lainnya, memiliki tujuan untuk meningkatkan
kesadaran baca terutama anak-anak. Di Ciseel sendiri memang kanal
hiburan maupun edukasi memang terbatas. Listrik saja baru masuk di tahun
2011. Dengan taman baca ini diharapkan mampu menjadi kanal edukasi
anak-anak untuk mengisi “kekosongan” kegiatan mereka.
Kenapa dinamakan Taman Baca
Multatuli? Nama Multatuli sendiri merupakan nama pena dari seorang
Belanda yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen Lebak kala itu
yakni Eduard Douwes Dekker yang terkenal dengan buku Max Havelaar. Kenapa
dinamakan demikian? Karena di taman baca ini, ada misi yang dikenalkan
oleh Kang Ubay kepada penduduk sekitar terutama anak-anak, yakni dengan
membawakan cerita Max Havelaar dengan maksud agar anak-anak bisa mengerti sejarah Lebak dari sudut pandang Multatuli saat itu.
Kegiatan utama di Taman Baca Multatuli adalah reading rutin buku Max Havelaar setiap pekan dan juga ada sesi reading untuk
buku lainnya. Selain aktifitas membaca, anak-anak di taman baca ini
juga diarahkan untuk bisa menulis. Hal ini dimaksud untuk mengasah nalar
literasi anak. Terbukti ketika saya membaca koleksi tulisan anak, yang
berformat buku harian, gaya bahasanya cukup lugas padahal yang menulis
masih SD atau SMP. Saya sendiri jujur merasa “kalah” dengan kemampuan
tersebut. Benar-benar top!
Oh ya, agar lebih tahu tentang kiprah, testimoni, dan segala tentang Taman Baca Multatuli, silakan kunjungi readingmultatuli.co
Tamatnya Ronggeng Dukuh Paruk
Selama saya berada disini untuk kebutuhan
pekerjaan, saya menyempatkan diri untuk membaca salah satu koleksi yang
cukup langka yakni buku Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Bagi saya cukup langka karena sulit sekali menjamah buku ini di
perpustakaan kampus ketika saya kuliah. Novel ini pun berhasil saya
tamatkan dalam semalam. Memang secara jumlah halaman, novel ini hanya
sebanyak 173 halaman tapi tetap saja butuh konsentrasi yang bagus.
Untungnya disini tidak ada distraksi yang berarti. Tidak ada sinyal telepon apalagi sinyal internet. Hanya adzan dan kewajiban pekerjaan yang bisa mengalihkan saat itu.
Ternyata novel ini seru meskipun nuansa
mistis masih terasa. Ya, lumayan dapat gaya bahasa dan penuturan
baru. Semalaman itu pun menjadi sangat menyenangkan. Penuh inspirasi.
Ciseel: Blankspot Zone
Ketika berada di Ciseel, sinyal ponsel
adalah barang langka. Jika pun ada, menjadi sangat langka dan hanya ada
di spot-spot tertentu. Bahkan, operator yang saya pakai baru bisa
“kebagian” sinyal di kampung sebelah yakni di kantor sekolah SMPN Satu
Atap 3 Sobang dan juga harus menempelkan badan di tiang sekolah.
Ditambah sinyal pun harus di-search secara manual.
Disini gadget saya hanya berfungsi sebagai kamera, GPS, dan alarm. Itu saja.
Perjalanan Pulang Tidak Selalu Menyenangkan
Tidak terasa sudah 2 hari di lokasi dan
sudah harus kembali menuju Ciputat. Untuk perjalanan pulang, kami berdua
minus Kang Ubay, sengaja menempuh jalur yang berbeda yang katanya jalur
yang bisa dilalui mobil. Berbekal rasa penasaran, akhirnya kami lalui
jalan tersebut.
Reaksi pertama saya ketika melihat trek: “Mobil macam apa yang bisa lewat sini?”
Sebagai gambaran, treknya berbatu kali
yang tajam, licin, dan renggang. Awalnya saya tidak percaya ini adalah
jalur mobil tapi setelah melihat ada truk yang sedang angkut hasil
penebangan kayu. Ternyata jalur yang kami lewati memang benar-benar bisa
dilewati mobil. Dengan catatan, supirnya harus paham jalur lahir dan
batin agar bisa lewat serta kendaraan yang dipakai harus memiliki torsi
besar agar tidak “kedodoran” di jalan menanjak. Saya sendiri yang
menggunakan motor jenis trail saja berkali-kali menahan nafas dan berdoa
yang gencar ketika melajukan motor agar tidak terjadi apa-apa.
Keseimbangan kopling dan gas memang harus terus dijaga agar mesin tidak
mati. Ditambah lagi, motor yang saya pakai memiliki starter elektrik
yang rusak alias motor hanya bisa di-kick starter alias di-selah.
Alhasil motivasi saya menjaga mesin motor agar tidak mati menjadi luar
biasa kuat. Ditambah lagi rem yang kurang begitu pakem, jalan yang licin
karena bekas hujan semalam, dan adanya beban boncengan yang sesekali
membuat roda depan motor terangkat alias wheelie.
Setelah hampir satu jam melibas trek
“jahanam” tersebut, kami menemukan jalan raya. Jalan raya ini ternyata
berada di daerah Cikawah, yang masuk ke kawasan Gunung Bongkok, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Ketika melajukan kendaraan, pemandangan
cukup berbeda karena hutan didominasi oleh pinus yang tinggi menjulang.
Nampaknya disini adalah kawasan hutan lindung dan bukan hutan produksi.
Ditambah lagi jalan terus menanjak. Sampai di satu titik tertinggi, saya
iseng berhenti untuk sekedar foto-foto dan membuka Navitel GPS,
ternyata ketinggian mencapai 585 mdpl.
Cukup sejuk ternyata.
Setelah titik tertinggi tersebut trek
mulai menurun. Untung saja aspal masih bagus sehingga saya bisa memacu
kendaraan dengan kecepatan cukup kencang.
Epilog: Seberapa Tangguh Niatmu?
Ketika berdialog dengan Kang Ubay, untuk
menuju tempat ini, harus dengan tekad dan niat yang kuat karena jika
sejak awal terkesan ogah-ogahan, mungkin saja hanya akan menggerutu
sepanjang perjalanan. Terlebih trek yang harus dilalui “luar biasa”.
Dari kunjungan saya kesana, setidaknya
saya belajar tentang banyak hal. Terutama adalah dedikasi. Sering kita
memiliki impian segunung dan muluk. Impian yang setinggi puncak
pass Cartenz,
Papua. Namun impian kita kadang hanya selesai di ruang hampa. Menguap
di pikiran dan tidak bisa terwujud. Dengan mendengar dan menyaksikan
langsung kiprah Kang Ubay disana, setidaknya menampar saya dengan
pertanyaan, “apa yang sudah gue lakukan untuk sebuah kemajuan?”. Jika
bukan karena sebuah dedikasi dosis tinggi, mungkin bolak-balik
Depok-Lebak menjadi sebuah perjalanan yang melelahkan dan menyebalkan.
Tidak demikian dengan apa yang sudah saya lihat.
Saya teringat kisah Rasus di novel
Ronggeng Dukuh Paruk yang saya baca itu. Dikisahkan Rasus keluar
kampung/dukuh Paruk dan melihat dunia baru, yakni Pasar Dawuan. Di Pasar
Dawuan, Rasus belajar banyak hal hingga akhirnya ia jadi tentara karena
kesungguhannya. Sungguh analogi yang bisa diserap tentang sebuah
dedikasi dan kemauan untuk maju.
***
Dimuat ulang dengan persetujuan dari penulisnya.
Sumber: https://ardiologi.wordpress.com/2015/11/05/taman-baca-multatuli-ciseel-dan-tamatnya-ronggeng-dukuh-paruk-dalam-semalam/
0 komentar:
Post a Comment