Oleh Zulkifli Songyanan
Dalam tradisi masyarakat dahulu, dikenal istilah hajat lembur atau syukur lembur. Bentuk dan istilahnya tentu beragam, tapi esensinya selalu sama: bersyukur terhadap Tuhan atas karunia yang telah diberikan. Syukuran tersebut rutin digelar setelah masa panen tanaman (pada masyarakat agraris) atau saat hasil tangkapan ikan (pada masyarakat pesisir) dianggap menggembirakan.
Sedang kini, di Ciseel, jauh di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tradisi syukur lembur hadir bertolak dari tradisi yang lain. Bukan tradisi masyarakat agraris, bukan pula tradisi masyarakat pesisir. Di Ciseel, lewat kegiatan Ciseel Day, syukur lembur lahir sebagai buah kegembiraan masyarakat literasi.
Hal demikianlah yang saya tangkap saat mengikuti rangkaian kegiatan Ciseel Day 5, pada 6-7 November 2015 lalu. Ciseel Day, yang rutin digelar sejak 2010, adalah syukuran yang dilakukan Ubaidilah Muchtar dan anak-anak Taman Baca Multatuli di sela proses intensif membaca novel klasik Max Havelaar secara bersama-sama (reading group).
Tahun ini, Ciseel Day bertepatan dengan pertemuan reading group ke-155, sekaligus peringatan ulang tahun Multatuli yang juga menginjak angka 155. Ubaidilah mengemas kegiatan tersebut dengan melibatkan seluruh masyarakat Ciseel, termasuk pegiat seni tradisi dari beberapa kampung tetangga. Dengan aksi semacam itulah euforia Ciseel Day tidak dimiliki dan dirayakan oleh peserta reading group Max Havelaar saja, Ciseel Day adalah kebanggaan bersama masyarakat di sana.
Rangkaian Ciseel Day dibuka dengan pawai keliling kampung, di mana masyarakat mengekspresikan kegembiraannya lewat berbagai cara. “Tadi siang ramai, ada yang dandan ala badut segala,” ujar Ubai. “Sehabis pawai, biasanya ada pentas teater ‘Saija dan Adinda’, lengkap dengan kerbau sungguhan, ditampilkan anak-anak sebagai bagian dari pembacaan Max Havelaar,” tambah Heri Maja Kelana, yang datang ke Ciseel Day untuk kedua kalinya.
Saya dan rombongan dari Rumah Baca Taman Sekar Bandung dan buruan.co memang tak sempat mengikuti prosesi Ciseel Day dari awal. Jarak tempuh yang jauh, kontur alam yang menakjubkan, juga akses jalan yang tidak memungkinkan dimasuki kendaraan roda empat, menjadi kendala sekaligus pengalaman unik tak terlupakan.
Saat tiba di Ciseel, selepas ashar, Ubaidilah tampak tengah memandu anak-anak Taman Baca Multatuli menyelami Max Havelaar. “Saya senang terpanggil ke Banten Selatan…” ujar Ubaidilah, membacakan nukilan pidato Havelaar, yang kemudian diikuti anak-anak Multatuli dengan lantang. “Saya senang terpanggil ke Banten Selatan…”
Dan sebagaimana Max Havelaar, dalam konteks yang berbeda, ya, saya pun senang berkunjung ke Banten Selatan.
Sehabis magrib, tamu-tamu lain dari Bandung dan Jakarta mulai berdatangan. Tuan rumah mempersilakan mereka untuk terlebih dulu makan malam di salah satu rumah warga, kemudian kembali ke lokasi Taman Baca Multatuli untuk menikmati acara berikutnya: pentas seni.
Anak-anak mengisi pentas seni dengan berbagai bentuk hiburan. Ada yang membacakan puisi “Saijah Adinda” dalam beragam bahasa, menuturkan pantun, kasidahan, hingga joget dangdut dan gangnam style. Ibu-ibu dan bapak-bapak warga Ciseel menampilkan Gondang—seni tradisi peninggalan leluhur mereka, semacam seni berbalas pantun, dibawakan dengan penuh keceriaan—sedang warga dari kampung tetangga menampilkan pencak silat dan debus di penghujung acara. Dua pementasan terakhir tampak menjadi hiburan utama yang ditunggu-tunggu warga.
Lepas dari kualitas anak-anak yang mengisi acara, penampilan mereka selalu disambut tawa gembira dan tepuk tangan meriah dari penonton. Hal inilah yang bagi saya terasa penuh makna. Betapa jauh di pedalaman Lebak sana, luput dari hingar-bingar berita sastra dan semacamnya, sekelompok anak—demikian pula para orang tuanya—mengenal, membaca, dan merayakan karya sastra dengan begitu tulus, antusias, dan gembira. Hemat saya, hal semacam inilah yang mulai tergerus—dan oleh sebab itu layak dicemburui—dari dan oleh para pegiat literasi di kota-kota besar.
Ciseel Day berlangsung selama dua hari. Di hari kedua, anak-anak Taman Baca Multatuli beserta para tamu yang datang dari luar kota diajak berkunjung ke Cikeusik, Baduy Dalam. Kunjungan ke Baduy dengan mobil terbuka merupakan kemewahan tersendiri bagi anak-anak Ciseel. Lokasi kampung halaman mereka yang terisolir dari dunia luar (bahkan baru dialiri listrik dua tahun belakangan) membuat mereka kesulitan menjejaki tempat-tempat lain di luar kampungnya.
Ubaidillah Muchtar, lewat buku-buku, Max Havelaar, juga aneka macam kegiatan literasi Taman Baca Multatuli, pelan-pelan membuka jalan bagi anak-anak Ciseel untuk lebih jauh lagi mengenal dunia, sesederhana apa pun caranya. Dengan demikian, adalah hal wajar bila Ciseel Day disambut dengan penuh gairah dan rasa syukur oleh masyarakat di sana. Tabik.[]
Sumber: http://www.buruan.co/ciseel-day-hajat-lembur-masyarakat-literasi/
0 komentar:
Post a Comment