Pertengahan 2012, wajah Kampung Ciseel berubah. Kini cahaya listrik menghidupkan malam di kampung yang terletak di pedalaman Lebak, Banten itu. Puluhan cahaya bermunculan dari deretan rumah yang memanjang di sepanjang kampung. Sayup-sayup suara televisi dan radio pun terdengar.
Namun cahaya sesungguhnya di desa ini sudah lama terpancar dari rumah Kang Sarif, Pak RT 04/05, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Bukan karena sang kepala RT memiliki lampu pijar paling mahal. Sama sekali bukan.
Di gubuk itu, enam tahun silam, jauh sebelum Ciseel teraliri listrik, seorang guru muda Bahasa Indonesia yang ditugaskan di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang mulai menyusun rapih buku-buku yang ia bawa dari rumahnya di daerah Ciputat. Kang Ubai, yang awalnya indekos di rumah itu kemudian mendirikan taman baca yang diberi nama Pondok Baca Balarea.
Namun Kang Ubai belum puas. Usahanya menghidupkan minat baca anak-anak di kampung tanpa listrik itu bertemu jalan saat takdir mempertemukannya dengan Sigit Susanto, penulis buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia yang memperkenalkannya dengan metode reading group, yakni sebuah metode membaca super lambat sebuah novel secara berkelompok. Usai membaca perparagraf, kelompok itu kemudian akan membahasa kalimat yang tidak dimengerti hingga kata per kata.
Tak butuh waktu lama keduanya kemudian terlibat diskusi untuk menghidupkan reading group dengan metode yang sama, yakni membaca super lambat, yang bisa jadi baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Novel Max Havelaar karya Multatuli pun langsung dipilih lantaran kedekatan historis dengan Kampung Ciseel.
Catatan perjalanan Kang Ubai dalam usahanya menghidupkan reading group ini kemudian yang dituliskan kembali menjadi buku “Anak-anak Multatuli”. Ia menuliskan kembali setiap kejadian, setiap pertanyaan, setiap lintasan pikiran, setiap memori, hingga setiap komentar polos para peserta reading gelombang pertama ini selama 37 pekan. Hingga, tersaji sebuah untaian kisah metamorfosis anak-anak Ciseel menjadi anak-anak Multatuli.
Anda, seperti saya, akan takjub bercampur heran bagaimana metode membaca lambat berjamaah ini secara perlahan meresapkan tak cuma alur cerita Max Havelaar, tetapi juga emosi, cara pandang, idealisme setiap tokoh, hingga empati kemanusiaan lainnya. Seperti kata Kang Ubai, “Max Havelaar ada di dada mereka, mengisi relung-relung jiwa mereka, meneteskan cahaya bagi mereka, bagi kehidupan mereka, bagi sejarah kampung halaman mereka, bagi sejarah tanah kelahiran mereka, tanah Multatuli, tanah Lebak.”
Reading group sendiri menurut Kang Ubai ia pilih lantaran tiga alasan. Format ini murah, sosial dan intensif. Murah karena gratis dan praktiknya mudah. Sosial, karena melibatkan massa. Biasanya orang belajar sastra secara individual semata. Intensif, karena superlelet, bukan yang serba cepat.
Reading group di Ciseel kini tak hanya milik anak-anak tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan kampung Ciseel. Para orang tua yang awalnya enggan mengizinkan anak-anak mereka membaca karya sastra alih-alih membantu mereka di sawah, kini ikut bersuka cita dengan kemewahan yang ditawarkan sastra, yakni penajaman sifat-sifat kemanusiaan. Lagi, mengutip Kang Ubai, “Di Ciseel, Max Havelaar dan anak-anak bersuka cita menjelajahi imajinasi dan fakta.”
Perlahan tapi pasti Kang Ubai ingin virus reading group menyebar. Selain di Lebak, praktik semacam itu juga ada di Kendal (Reading Group The Old Man and the Sea dan Ronggeng Dukuh Paruk), Kediri (Reading Group Jalan Raya Pos Jalan Daendels), Bali (Reading Group Norwegian Wood), Jember (Reading Group Gadis Jeruk), Bandung (Reading Group Tetralogi Buru), Ungaran (Komunitas Lantai Kota), Yogyakarta (Klub Baca Selepas Kerja), Bekasi (Kelompok Baca Bumi Manusia).
Buku ini, Kang Ubai, dan saya tentunya, harapkan dapat menjadi senjata utama memperluas virus ini, sebagai sebuah percontohan tidak kaku sebuah metode baca lambat secara berjamaah. Dan bagi individu, sebuah pengingat, membaca bukanlah soal kecepatan dan perlombaan, tapi sebuah kesenangan yang harus diresapi perlahan sebagai sebuah terapi kejiwaan. ***
Dimuat ulang dari: http://arkea.id/blog/menghidupkan-reading-group-di-kampung-tanpa-listrik/
0 komentar:
Post a Comment