Oleh Hernadi Tanzil
Pada saat Multatuli
menulis Max Havelaar di sebuah losmen
yang disewanya di Belgia benaknya dipenuhi oleh semangat dan cita-cita bahwa
tulisannya akan dibaca dan menggugah kesadaran banyak orang akan eksploitasi
penguasa kolonial atas rakyat bumiputera di Hindia Belanda yang tidak
berperikemanusiaan.
Multatuli juga mungkin
yakin bahwa tulisannya akan dibaca oleh generasi setelahnya, namun ia tak akan
pernah menduga bahwa hingga saat ini ribuan kilometer dari tanah kelahirannya
di wilayah di mana ia pernah menjabat sebagai asisten residen sekelompok
anak-anak desa dengan tekun masih membaca karyanya, memaknainya, dan
memperingati terbitnya Max Havelaar
dengan caranya yang sederhana.
Adalah Ubaidilah
Muchtar (Ubai), seorang guru SMP yang mengajar di Kampung Ciseel, kampung terpencil
dengan jarak 50 km dari Rangkasbitung yang memperkenalkan Max Havelaar kepada anak-anak didikannya. Sebelum ia datang tak
seorang pun sepertinya tahu tentang Mutlatuli padahal ratusan tahun yang lampau
Multatuli pernah berada tidak jauh dari mereka berada dan apa yang dialami dan
dilihatnya di sana menjadi bahan baku utama dalam pembuatan novel Max Havelaar yang ketika terbit pada
tahun 1860 membuat negeri Belanda guncang.
Dengan tekun dan penuh
kesabaharn Ubai mengenalkan Max Havelaar
pada anak didiknya. Pada tahun 2009 atas jerih lelahnya sendiri ia mendirikan
Taman Baca Multatuli. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Ciseel
dengan buku-buku bermutu, di taman bacaan ini juga diadakan sebuah Reading
Group yang terdiri dari siswa-siwa SD hingga SMA Ciseel di mana mereka
membaca Max Havelaar seminggu sekali
dari kalimat pertama Max Havelaar hingga lembar terakhir. Tentunya apa yang
dilakukan kelompok reading group ini
tidak hanya asal membaca melainkan di bawah bimbingan Kang Ubai anak-anak
diajak untuk memaknai dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Tidak hanya itu saja,
setiap tahun, dimulai dari tahun 2011 dengan bantuan dari teman-teman komunitas
Apresiasi Sastra (Apsas) yang digagas
oleh Sigit Susanto anak-anak Ciseel beserta beberapa tamu pendatang dari
berbagai kota memperingat hari lahir terbitnya novel Max Havelaar yang jatuh pada tanggal 14 Mei digelar suatu acara
yang dianamakan ‘Sastra Multatuli’. Melalui acara inilah jejak Multatuli
kembali dihidupkan kembali baik itu lewat pembacaan puisi, pementasan tari,
pemutaran film, dan pementasan drama Saijah
dan Adinda yang merupakan bagian dari novel Max Havelaar, dan diakhiri dengan kunjungan ke daerah tertentu, seperti
ke bekas rumah Multatuli di Rangkasbitung atau ke Kampung Badui di Kanekes.
Selain ikut ambil dalam
dalam acara sastra dan seni, dalam event
ini anak-anak juga dilatih untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam kegiatan
ini dalam bentuk tulisan. Mereka yang sebelumnya terbiasa membaca kini
ditantang untuk menuangkan pengalaman mereka dalam bentuk tulisan sehingga
terkumpullah sejumlah tulisan yang bisa kita baca dalam buku ini.
Dalam buku ini kita
akan membaca bagaimana masing-masing anak menulis dengan gayanya sendiri,
mereka mencatat apa yang mereka rasakan dan lihat selama kegiatan ini
berlangsung. Tulisan-tulisan mereka jujur dan apa adanya, sederhana namun
berhasil mengisahkan kembali dengan baik sehingga kita yang membacanya seolah
merasakan apa yang mereka alami. Selain itu ada pula tulisan dari peserta tamu
yang terdiri dari para sastrawan, pelaku seni, juga dengan sudut pandangnya
masing-masing menulis tentang kegiatan dan hal-hal yang berhubungan dengan
Multatuli.
Buku ini sendiri merupakan
buku kedua yang berisi kumpulan tulisan anak-anak Ciseel yang telah
diterbitkan. Sebelumnya pada tahun 2011, tulisan anak-anak Ciseel juga sudah
dibukukan dengan judul Rumah
Multatuli–Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli.
Apa yang dilakukan anak-anak
Ciseel dalam membaca dan menulis ini sungguh luar biasa. Anak-anak Ciseel dari kampung terpencil
sedari belia belajar membaca secara kontinu, apa yang mereka baca pun bukan
buku sembarangan, melainkan sebuah buku yang mencoba membangun kesadaran
pembacanya akan kemanusiaan dan
kesewenang-wenangan kekuasaan.
Bayangkan apa yang akan
terjadi pada anak-anak Ciseel ini sepuluh atau dua puluh tahun kemudian.
Melalui apa yang mereka baca, sadar atau tidak sadar dalam benak mereka telah
tertanam bagaimana Multatuli memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil.
Sedangkan apa yang mereka tulis dalam bentuk yang paling sederhanapun hal ini
akan melatih mereka menuangkan apa yang mereka lihat dan rasakan dalam bentuk
tulisan. Jika dua kegiatan (membaca dan menulis) ini telah menjadi kebiasaan
mereka saya percaya dari anak-anak Ciseel yang sederhana ini akan lahir sebuah
generasi baru yang memiliki kecerdasan dan semangat yang sama dengan Multatuli
untuk peduli akan keadaan sekitarnya.
Seperti Multatuli, membaca
dan menulis adalah senjata ampuh untuk menyadarkan dunia akan realitas
ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak Ciseel telah melakukan apa
yang dilakukan Multatuli, mereka telah membaca dan menulis. Dan kelak ketika
mereka telah dewasa beberapa dari mereka akan menjadi Multatuli-multatuli baru.
Multatuli dari Ciseel. Jangan pernah meragukan dampak dari membaca dan menulis.
Mari, kita buktikan!
Hernadi
Tanzil,
Blogger Buku Indonesia (BBI)
0 komentar:
Post a Comment