728x90 AdSpace

  • Latest News

    02 July 2013

    Multatuli dari Ciseel


    Oleh Hernadi Tanzil

    Pada saat Multatuli menulis Max Havelaar di sebuah losmen yang disewanya di Belgia benaknya dipenuhi oleh semangat dan cita-cita bahwa tulisannya akan dibaca dan menggugah kesadaran banyak orang akan eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat bumiputera di Hindia Belanda yang tidak berperikemanusiaan. 

    Multatuli juga mungkin yakin bahwa tulisannya akan dibaca oleh generasi setelahnya, namun ia tak akan pernah menduga bahwa hingga saat ini ribuan kilometer dari tanah kelahirannya di wilayah di mana ia pernah menjabat sebagai asisten residen sekelompok anak-anak desa dengan tekun masih membaca karyanya, memaknainya, dan memperingati terbitnya Max Havelaar dengan caranya yang sederhana.

    Adalah Ubaidilah Muchtar (Ubai), seorang guru SMP yang mengajar di Kampung Ciseel, kampung terpencil dengan jarak 50 km dari Rangkasbitung yang memperkenalkan Max Havelaar kepada anak-anak didikannya. Sebelum ia datang tak seorang pun sepertinya tahu tentang Mutlatuli padahal ratusan tahun yang lampau Multatuli pernah berada tidak jauh dari mereka berada dan apa yang dialami dan dilihatnya di sana menjadi bahan baku utama dalam pembuatan novel Max Havelaar yang ketika terbit pada tahun 1860 membuat negeri Belanda guncang.

    Dengan tekun dan penuh kesabaharn Ubai mengenalkan Max Havelaar pada anak didiknya. Pada tahun 2009 atas jerih lelahnya sendiri ia mendirikan Taman Baca Multatuli. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung Ciseel dengan buku-buku bermutu, di taman bacaan ini juga diadakan  sebuah Reading Group yang terdiri dari siswa-siwa SD hingga SMA Ciseel di mana mereka membaca Max Havelaar seminggu sekali dari kalimat pertama Max Havelaar  hingga lembar terakhir. Tentunya apa yang dilakukan kelompok reading group ini tidak hanya asal membaca melainkan di bawah bimbingan Kang Ubai anak-anak diajak untuk memaknai dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

    Tidak hanya itu saja, setiap tahun, dimulai dari tahun 2011 dengan bantuan dari teman-teman komunitas Apresiasi Sastra (Apsas) yang digagas oleh Sigit Susanto anak-anak Ciseel beserta beberapa tamu pendatang dari berbagai kota memperingat hari lahir terbitnya novel Max Havelaar yang jatuh pada tanggal 14 Mei digelar suatu acara yang dianamakan ‘Sastra Multatuli’. Melalui acara inilah jejak Multatuli kembali dihidupkan kembali baik itu lewat pembacaan puisi, pementasan tari, pemutaran film, dan pementasan drama Saijah dan Adinda yang merupakan bagian dari novel Max Havelaar, dan diakhiri dengan kunjungan ke daerah tertentu, seperti ke bekas rumah Multatuli di Rangkasbitung atau ke Kampung Badui di Kanekes.

    Selain ikut ambil dalam dalam acara sastra dan seni, dalam event ini anak-anak juga dilatih untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam kegiatan ini dalam bentuk tulisan. Mereka yang sebelumnya terbiasa membaca kini ditantang untuk menuangkan pengalaman mereka dalam bentuk tulisan sehingga terkumpullah sejumlah tulisan yang bisa kita baca dalam buku ini. 

    Dalam buku ini kita akan membaca bagaimana masing-masing anak menulis dengan gayanya sendiri, mereka mencatat apa yang mereka rasakan dan lihat selama kegiatan ini berlangsung. Tulisan-tulisan mereka jujur dan apa adanya, sederhana namun berhasil mengisahkan kembali dengan baik sehingga kita yang membacanya seolah merasakan apa yang mereka alami. Selain itu ada pula tulisan dari peserta tamu yang terdiri dari para sastrawan, pelaku seni, juga dengan sudut pandangnya masing-masing menulis tentang kegiatan dan hal-hal yang berhubungan dengan Multatuli. 

    Buku ini sendiri merupakan buku kedua yang berisi kumpulan tulisan anak-anak Ciseel yang telah diterbitkan. Sebelumnya pada tahun 2011, tulisan anak-anak Ciseel juga sudah dibukukan dengan judul Rumah Multatuli–Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli.

    Apa yang dilakukan anak-anak Ciseel dalam membaca dan menulis ini sungguh luar biasa.  Anak-anak Ciseel dari kampung terpencil sedari belia belajar membaca secara kontinu, apa yang mereka baca pun bukan buku sembarangan, melainkan sebuah buku yang mencoba membangun kesadaran pembacanya akan  kemanusiaan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. 

    Bayangkan apa yang akan terjadi pada anak-anak Ciseel ini sepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Melalui apa yang mereka baca, sadar atau tidak sadar dalam benak mereka telah tertanam bagaimana Multatuli memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil. Sedangkan apa yang mereka tulis dalam bentuk yang paling sederhanapun hal ini akan melatih mereka menuangkan apa yang mereka lihat dan rasakan dalam bentuk tulisan. Jika dua kegiatan (membaca dan menulis) ini telah menjadi kebiasaan mereka saya percaya dari anak-anak Ciseel yang sederhana ini akan lahir sebuah generasi baru yang memiliki kecerdasan dan semangat yang sama dengan Multatuli untuk peduli akan keadaan sekitarnya. 

    Seperti Multatuli, membaca dan menulis adalah senjata ampuh untuk menyadarkan dunia akan realitas ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak Ciseel telah melakukan apa yang dilakukan Multatuli, mereka telah membaca dan menulis. Dan kelak ketika mereka telah dewasa beberapa dari mereka akan menjadi Multatuli-multatuli baru. Multatuli dari Ciseel. Jangan pernah meragukan dampak dari membaca dan menulis. Mari, kita buktikan!

    Hernadi Tanzil,
    Blogger Buku Indonesia (BBI)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Multatuli dari Ciseel Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top