728x90 AdSpace

  • Latest News

    02 July 2013

    Ciseel Day


    oleh Sigit Susanto
    (Penulis Buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (3 jilid). Sigit Susanto menetap di Swiss. Catatan ini bersumber dari: https://www.facebook.com/notes/sigit-susanto/ciseel-day/10150248415927327.) 


    Menuju Multatuli dengan Kereta Api
    Nasi rawon warna hitam seperti comberan itu kami santap dengan lahap. Dari dalam warung stasiun kereta api Tawang, Semarang, aku mengintai ke luar, apakah kereta api senja utama jurusan Jakarta telah berlaga? Kubiarkan sementara waktu, mbah Jamali memberi wejangan kepada ibu pemilik warung. Ia jelaskan, rawon itu bahannya dari buah kluwak, yang harus dibenamkan ke dalam tanah sampai busuk, sehingga warnanya hitam.

    Orang-orang mulai bertebaran, kami hampiri tiga kawan lagi; Leni Marlin Lase dari Jogja, Tommas Titus Kurniawan dari Semarang dan Esther Mahanani yang tadi sama-sama dari Boja. Lima orang membenamkan tubuh di kursi empuk. Heri melepas kami dengan senyum sayu nan sedih. Sedianya ia hendak ikut, namun tugas sebagai juru tulis di koran menyitanya. Sementara pacar Tommas asal Tegal matanya berembun, akan berjauhan selama lima hari.

    Kereta api bergegas, mbah Jamali duduk di sampingku, persis dekat jendela kaca buram. Di belakangku, Leni dan Esther sedang bernostalgia sebagai kawan lama. Tommas duduk termangu di seberangku.

    Hari itu Kamis malam, 12 Mei 2011. Kami hendak menempuh perjalanan selama 5 hari ke Banten, hingga Selasa, 17 Mei 2011. Ular besi itu tak tahu diri, tiba-tiba kami sampai di stasiun Senen, ketika warga Jakarta masih di puncak mimpi. Ya, sekitar pukul 2 pagi. Sepagi itu kami mondar-mandir cari Bajaj. Disepakati, 5 orang ditambah ransel dan tas kecil diangkut sekaligus ke stasiun Tanah Abang. Hawa Jakarta masih sejuk, sopir Bajaj asal Purworejo mewanti, di lampu merah depan situ kadang ada jambret yang menarik barang penumpang. Wah pak Bajaj ini menambah kesan Jakarta yang hingar-bingar tambah sangar.

    Stasiun kereta api Tanah Abang yang baru kali ini kudatangi, masih sepi. Kami mencari kopi panas di pinggir jalan raya. Loket kereta api dibuka, segera kami membeli tiket ke jurusan Rangkasbitung. Waktu melaju, manusia mulai bergerak dan menggunung di ruang tunggu lantai atas.

    Husni K Efendi dan Ita Siregar dari lokalan Jakarta bergabung menjelang kereta berangkat. Nama Rangkas, bagiku cukup aneh di telinga. Tiba di stasiun Rangkas, pindah mobil angkut dua kali. Di perjalanan, kulihat ada baling-baling bambu ukuran besar diikat pohon tinggi. Baling-baling dari bambu itu mampu menjerit-jerit, mana kala angin menumbuk kencang. Wah, pantesan, akan bertemu Multatuli sudah bertemu kincir angin ala di Belanda.

    Perjalanan kini beralih, setiba di pasar Ciminyak. Beberapa pengojek muda telah menghadang di bawah spanduk Selamat Datang - Sastra Multatuli. Ojekan berkonvoi, jalanan setapak menurun dan menanjak dimulai. Bagiku ini jalur kedua kualami, sebab setahun lalu aku sudah dibonceng Ubai ke rute mahasulit ini.

    Aku bonceng pengojek muda, honda kreditan, baru beberapa bulan dari dealer. Pengojek lincah ini mengaku sudah beristri, anaknya berumur 2 tahun. Jurang di samping kiri, untung saja tidak licin jalannya. Namun tetap mengerikan. Jalan selebar batu-bata, bisa dilintasi dengan persneling 1-2 meraung-raung. Aku sebagai pembonceng ikut memasang rem hati, jangan sampai kami longsor ke jurang sana. Apa jadinya?

    Kulirik kawan-kawan lain semakin pucat wajahnya. Pegangan mereka ke pinggang pengojek pun lebih erat dari sewajarnya. Beberapa kali kami berhenti, terutama di saat menemukan panorama aduhai. Sungai mengurai di bawah sana dipadu dengan sawah berteras. Sungguh seperti sebuah lukisan tiga dimensi. Air mengalir di kali, riak putih memanjang dan pecah. Dedaunan sempoyongan diterjang angin.

    Jalur berbahaya terlampaui, kami bertujuh merasa lega. Dusun Ciseel ada di depan mata. Tiap pengojek tampak disalami, sebagai ucapan terima kasih terdalam berhasil mengantar dengan selamat. Layaknya para pembalap telah mencapai garis finish. Dalam hati dari kami mungkin juga berhitung, perjalanan pulangnya kelak juga akan lewat jalur serupa. No choice!

    Panggung sudah berdiri di ujung jalan. Wajah-wajah warga memuai menyimpan segumpal harapan. Mata anak-anak menyorot seperti ada api keceriaan akan berkobar. Rombongan kami bertujuh, istirahat sejenak. Aku segera menuju panggung dengan atraksi sulapku. Koper hitam kecil dan tas plastik berisi mainan sulap yang kubawa semuanya dari Swiss kujinjing, membelah kerumunan anak-anak yang duduk di jalan batu.

    Di atas panggung, kupakai rambut palsuku warna merah, hitam dan kuning, simbol bendera Jerman. Rambut itu biasa dipakai suporter sepak bola di Jerman. Hidung palsuku mancung terikat langsung dengan kaca mata hitam. Sulapan demi sulapan kudemonstrasikan, menuai tepuk tangan serentak. Ada buku kosong bisa bersketsa warna hitam, setelah dipakai mantra,ciik kuik tetet tuet....mantra sekenanya, maka buku kosong, kemudian bersketsa, akhirnya bisa berubah menjadi warna-warni. Selebihnya permainan boneka gerabah bisa kencing tinggi, gelang, borgol, telur ayam, bebek menyanyi, bunga matahari menyanyi dll.

    Kerbau Hidup
    Usai permainan sulap, panggung ditinggalkan. Penonton anak-anak berhamburan ke lapangan samping sekolah dasar. Rombongan kecil kami ditambah Daurie, rekan dari Bogor langsung menyusul ke lapangan. Di situ ada sekitar 5 ekor kerbau sedang merumput. Lapangan kosong itu sudah dipadati warga lokal, terutama ibu-ibu muda yang sudah menggendong momongannya.

    Ubai bermonolog mengabarkan drama berjudul Saidjah dan Adinda akan segera digelar selama 30 menit. Bocah-bocah yang aktif ikut membaca Max Havelaar sudah berkostum sesuai perannya. Daurie punya ide brilian, agar di antara dari kami yang dari luar kota bisa mengabadikan drama ini dalam bentuk video, mengingat kebanyakan akan memotret.

    Dengan naluri dadakan, kamera digitalku disetting oleh Adi Toha, yang datang duluan, pada posisi shooting. Grogi juga, karena baru kali itu aku melakukan. Pertama yang kubidik, pantat kerbau. Adegan demi adegan aku bidik sekenanya. Tak kupikirkan dari mana aku harus mengambil fokus. Proses memilih bidikan pun sesukaku. Seperti aku sedang menulis catatan perjalanan di negeri asing. Fokus tema itu secara spontan sekehendak hatiku. Kadang jika pemain sedang masuk gedung SD, sementara di panggung alias tanah telanjang, kosong, maka aku alihkan kameraku ke para penonton. Secara tak sengaja kutemukan kesamaan, antara caping raksasa yang dikenakan penonton, persis dengan caping yang dikenakan Adinda. Yang sulit disaingi drama ini, karena ada adegan kerbau diterkam harimau. Dan kerbaunya benar-benar hidup, tentu saja harimaunya dari bocah memakai topeng. Tapi adegan kerbau sungguhan ini hanya mungkin, jika panggungnya lapangan.

    Sebagai orang Jawatengahan, atribut yang dikenakan para penonton mengundang kekagumanku. Ada dua bocah menonton dengan golok mengantung di pinggang. Dua bocah dengan dua golok itu aku shooting cukup lama. Termasuk ada bocah yang makan dengkul ayam. Jenis makanan ini tak pernah kutemukan di daerahku Kendal sana. Benar-benar dengkul ayam, ujungnya tulang diberi tepung tebal dan digoreng. Nyaris orang tahunya seperti benar-benar paha ayam goreng. Aku shooting lama sekali, hingga si bocah merasa malu sendiri.

    Di emperan gedung sekolah ada juga kelompok musik pengiring, tampak pak Acang memainkan biola desa.
    Tak terasa proses pembuatan film dadakan itu selesai dalam 30 menit. Gerimis berjatuhan, sepertinya kerumunan itu harus bubar. Tak sampai beberapa menit, gerimis pun terhenti. Semua kawan dari luar kota kembali ke pangkalan; taman baca Multatuli, rumah Pak Syarif, ketua RT. Sajian khas desa tergeletak di lantai. Santap malam dengan menu khas desa, semur jengkol. Lauk ini yang paling banyak disukai kawan-kawan. Tak heran, jika menu jenis itu paling cepat habis.

    Diam-diam perut kenyang mengundang kesulitan, ke mana harus dibuang? Bertandanglah aku ke kamar mandi yang letaknya persis di dapur, berhadapan dengan tungku menyala. Kutanyakan kepada istri Pak Syarif, “Kamar mandinya ini, Mbak?“ Maksudku sebenarnya hendak bilang toiletnya mana? Ia jawab dengan memelas, “Ya, punya nya cuma itu.“ Aku tidak berani bertanya lagi. Mandilah aku di bak dengan air segar, air yang mengucur tiada henti, pasti dari sumber mata air murni, bukan dari PAM ala orang kota.

    Kamar mandi itu model Topless, artinya tubuh kita dari perut ke atas, tetap bugil normatif. Untung aku bukan perempuan, jadi aman-aman saja. Bagi kawan perempuan, aku dengar, mereka harus mandi sambil jongkok.
    Sementara itu di ruangan tengah, Daurie dengan ketangkasan instingtif, ilmu ITnya deras keluar. Ia kumpulkan chip foto dari kawan-kawan maupun hasil shootingku. Tak lama lagi, ia bagikan ke beberapa kawan hasil foto dan shooting dalam kemasan CD/DVD.

    Kerumunan warga dan anak-anak sudah memadati depan panggung, yang berupa jalanan kerakal menanjak. Mesin disel dari pinggir kali sudah menyalakan lampu dan mikrofon sudah bertalu. Daurie dan aku dipanggil ke panggung untuk mengisi acara. Aku mengulas seputar peran Multatuli dan Anne Frank. Kedua sosok ini tak hanya bertetangga di Amsterdam, tapi karyanya benar-benar antitirani. Sementara Daurie dengan lincahnya memeragakan dua botol berisi air, mulut botol dijungkirkan ke bawah. Botol yang dipegang seorang bocah, airnya tumpah, botol yang dipegang Daurie, airnya tertambat tidak keluar. Kontan adegan yang termasuk temanya, proses kreatif, menyedot tepuk tangan.

    Kini acara hiburan dari warga setempat. Lesung di panggung dan ibu-ibu dengan pakaian warna-warni naik panggung membawa alu. Setelah mereka memberi hormat kepada penonton, seketika tabuhan lesung bergema sahut-menyahut. Musik kayu ini pun memanen tepuk tangan. Makin lama pukulan alu ke lesung semakin ritmis membentuk harmoni malam. Tampak beberapa ibu terengah-engah, kemudian istirahatlah sejenak.

    Usai lesung berkumandang, giliran warga desa tampil berpasang-pasangan. Mereka menari seperti setengah bela diri. Lenggak-lenggoknya yang lucu, mengundang tawa. Belakangan kutahu, folklore itu bernama Ngagondang.

    Malam semakin menua. Masing-masing dari kami mencari lahan kosong untuk merebahkan tubuh. Mbah Jamali sebelum tidur membisiki, “Tong.“ Panggilanku di kampung; Santong. “Aku lali jik, wedusku rung tak titipke tonggo. Sopo engko sing goleke suket?“ Dek, kaget aku. “Lha weduse, piro?“ tanyaku. “Telu,“ jawab Mbah Jamali yang biasa bicara bahasa Indonesia campur bahasa Jawa. Dengan bergurau aku tambahkan, “Kalau tahu punya kambing, kan kemarin kambingnya dibawa sekalian naik kereta api. Apalagi di sini banyak rumput.“ Wajahnya mengulum senyum, tahu kalau bergurau, “Opo kae, tidak bisa, wong engko tonggoku, mestine wis ngerti, kalau aku pergi. Tinggal nanti ganti biaya ngarit saja.“ “Lha ongkosnya berapa, Mbah?“ sanggahku. “Ya, sak pewehe, wong dia tahu aku tidak berpenghasilan,“ seru mbah Jamali mengakhiri, setelah tahu banyak kawan sudah tak berkutik lagi.

    Yoga pagi di pinggir kali menjadi hidangan selanjutnya. Bocah-bocah sudah berarak menuju semak-semak kali. Seperti kemarin malam hujan mengucur, sehingga pagi ini rerumputan basah. Sambil terus berjalan setapak ke lokasi, Ubai memberitahu, dirinya dan anak-anak telah membabat rumput untuk gelaran yoga.

    Di antara parit berundak, yoga terpaksa tak bisa dilakukan secara maksimal. Posisi asanas itu harus serba berdiri. Segerombolan bocah dan para kawan luar kota mencoba melakukan sebisanya. Gerakan asanas dipersingkat, berakhir dengan posisi kepala di bawah. Bocah-bocah mulai mempraktikkan seperti kepalaku menancap di alas tikar. Sorak sorai mengerubuti. Beberapa gerakan yoga usai, kerumunan bubar dan hanya Daurie, Adi Toha dan segelintir bocah mandi di deraian air di kali kecil. 

    Jejak Multatuli
    Nasi hangat dengan semur jengkol lagi telah menunggu di lantai ruangan. Tubuh perkasa kembali. Kini petualangan naik truk segera dimulai. Tujuan utama menyusuri jejak Multatuli di tengah kota Banten. Ternyata jadwal yang sedianya dimulai pukul 08.00 harus meninggalkan Ciseel, tak bisa diwujudkan. Ada kawan yang masih mandi, sedang makan, berkemas. Sementara acung jempol untuk adik-adik kampung, mereka mahadisiplin, tepat waktu. Ransel sudah di pundak, sepatu melekat di kaki. Malu kita tidak bisa memberi contoh yang baik.

    Setelah melalui jalan kaki lebih dari dua jam, karena ternyata jalan baru saja diaspal, sehingga truk tidak bisa menjemput rombongan seperti yang dijanjikan. Truk engkel bukaan warna kuning cerah sudah menunggu. Ketika truk berjalan beberapa meter saja, terasa kepenuhan. Kuhitung lebih dari 40 peserta dalam truk itu.

    Dua di antara kawan lama, Kurnia Effendi dan Endah Sulwesi ikut gabung di truk bukaan. Kami perlu mencari sewaan satu pick up bukaan lagi. Kebetulan di pinggir jalan ada sebuah, namun sopirnya sedang ke ladang. Aku sadari, betapa pun indah objek yang akan dikunjungi, namun jika sarana pengangkutnya tidak memadai, pasti akan berpengaruh pada mimik, kondisi tubuh, emosional dan kejiwaan. Untuk menjaga kenyamanan dalam perjalanan, apalagi kutanyai kepada anak-anak, ada anak terkecil berusia 6 tahun dan peserta paling tua mbah Jamali, 75 tahun.

    Dua mobil bukaan beriringan. Kami bagai kambing-kambing yang akan dijual ke pasar hewan. Ketika rombongan kecil di mobil kami sedang menikmati hawa alam yang semilir, tiba-tiba dihentikan oleh polisi. Dua sopir disuruh mengeluarkan STNK dan SIM. Kami yang mengawal perjalanan, melompat mengikuti langkah sang sopir. Rupanya dua sopir digiring ke komandan polisi. Daurie, aktivis humanis proletar kaum pinggiran itu ikut bergabung di saat ia mengendarai sepeda motor sendirian. Karena tujuannya memang nanti usai acara, akan langsung kembali ke Bogor.

    Naas, rupanya sebelum kaum relawan berdiri di depan komandan polisi, Daurie sekali lagi naluri memotretnya menyundul-nyundul tak tertahankan. Kontan dialog dengan komandan polisi menjadi tersendat. Bukan lagi bertema, mobil pengangkut anak kambing diganti anak manusia. Tapi Daurie menjadi sasaran kemarahan polisi. Bahkan polisi itu menegaskan, “Jika Anda wartawan ada kode etiknya, jangan memotret tanpa minta izin. Jika tidak percaya dengan tugas kami, bisa saya tunjukkan surat tugasnya.“ Polisi itu geram sambil akan beranjak mengambil surat tugas di dalam mobil. Ubai berdiri di depan polisi samping kiri menjelaskan, bahwa mereka anak-anak dari perpustakan Multatuli dan perjalanan ini untuk ke pendopo kabupaten Banten. Info pendek Ubai terbang melayang, kembali Daurie menjadi incaran kesalahan. Daurie berdiplomasi dengan minta maaf sampai tiga kali. Polisi itu masih belum reda, bahkan telunjuknya diacungkan ke atas seperti mandor memberi perintah kepada kulinya. Daurie naik pitam dengan argumen tajam, “Bapak jangan main tunjuk seperti itu, saya kurang apa lagi. Saya sudah minta maaf tiga kali.“ Seketika, komandan polisi itu mengacungkan semua jarinya ke atas, alias tidak main tunjuk seperti semula. Dalam hatiku, Daurie telah protes tegas dan dipatuhi.

    Pelan-pelan persoalan masih belum pupus. Aku tahu kawan-kawan aktivis di sampingku sudah tak sabaran lagi. Setelah sedikit menenangkan diri, aku coba berbicara dengan komandan polisi yang persis di samping kiriku, “Begini Pak, anak-anak ini sedang kami latih menulis catatan perjalanan. Sehingga apa-apa yang terjadi di perjalanan, akan mereka tulis. Saya minta izin kepada Bapak, bagaimana kalau nama Bapak SADIMUN akan kami tulis. Bahwa kami dalam perjalanan dihentikan oleh razia polisi untuk menertibkan keselamatan penumpang. Dan sekitar 3-6 bulan lagi tulisan ini akan diterbitkan jadi buku dan akan kami serahkan ke kantor Bapak.“Komandan polisi itu mungkin dalam dilema besar. Jika rombongan penulis kecil ini diberi sanksi, toh akan ditulis. Jika dilepas juga ditulis. Di luar dugaan semua kawan kukira, komandan itu meloloskan dan berucap, “Boleh, boleh ditulis, tapi yang baik-baik saja.“

    Seketika aku teringat pengalaman tahun 2008, ketika mengajari menulis catatan perjalanan buat anak-anak desa Boja. Kami mengunjungi Panti Tuna Laras. Saat kepala yayasan tahu, bahwa kami akan membuat buku, ia berpesan, "Mas, tolong mbok yang bau-bau tadi jangan ditulis." Kenyataannya, anak-anak menulis lebih pedas, "Muntah aku di ruangan yang jorok itu." Rupanya baik aparat maupun polisi lebih suka membohongi pembaca dalam hal ini rakyat nya sendiri. Kapan bangsa ini akan bisa maju?

    Dengan sikap damai dan mengembalikan STNK ke kami dan menjulurkan tangan mengajak salaman kepada Daurie. Ia bersahabat sambil bilang, “Kang, tadi itu konflik kecil-kecilan saja. Oke, selamat jalan.“

    Kami bersalaman dan rupanya Daurie masih tambahkan, “Pak, dia itu dari Swiss lho!“ Kami semua kembali ke mobil bukaan. Beberapa kawan dari jarak dekat maupun jauh memotret adegan konyol di jalan itu. Kemenangan diplomasi kami pendam sambil mengikuti mobil melaju. Tapi yang jadi pikiranku, kenapa Daurie harus bilang, aku domisili di Swiss. Aku masih belum tahu apa hubungannya? Tapi kok polisinya menelan info janggal itu. Apa istimewanya Swiss untuk polisi kita? Kecuali aku dibilang, Pak dia dari Guantanamo, lho, baru keren. Belakangan ada kawan yang bergurau, seharusnya aku balik bilang, “Pak, dia dari Bogor, lho!“ Hahahahaa....

    Iring-iringan mobil memasuki alun-alun Banten. Penjaga pintu masuk pendopo kabupaten berpakaian krem. Salah satu petugas membolehkan kami semua masuk di dalam pendopo terbuka itu. Santap siang digelar. Tiap anak membuka bungkusannya sendiri. Kawan panitia sudah jelas membawa nasi timbel. Linda Nurlinda, istri Ubai membuka bungkusan besar daun pisang isinya nasi banyak sekali. Sedang lauk, sayur dan sambal di bungkusan beda. Anehnya bungkusan nasi itu cukup untuk banyak orang. Padahal setahuku hanya setas kecil dicangklong Ubai tadi pagi. Di antara anak-anak yang duduk lesehan makan bawaannya, ada seorang bocah perempuan tampak enggan makan. Kutanya, ia hanya menggeleng. Bungkusan nasinya ditaruh di samping. Kucoba buka, apa isinya? Nasi putih, sedikit sayur dan ikan kering yang digoreng. Kawan-kawan sebayanya kuminta membujuk agar dia makan. Tapi tak berhasil. Maka aku minta dua kawannya membelikan bakso di alun-alun yang letaknya di luar pekarangan. Beruntung bocah kecil seusia 6 tahunan itu mau makan bakso. Tak sampai 15 menit, ia datang diantar dua kawan lain dan mengembalikan sisa uang kepadaku. Dan dua kawannya itu juga hanya mengantar, tidak ikut membeli bakso.

    Toa aku siagakan. Adik-adik kupersilakan duduk memanjang dan memperhatikan apa saja yang perlu ditulis. Aku pesankan, tulis apa saja yang disaksikan sepanjang jalan, termasuk dihentikan rombongan polisi tadi. Aku tekankan, tolong dicatat juga kawan-kawan yang tadi pagi terlambat ke truk dan adik-adik sudah menunggu duluan.

    Ketidakdisiplinan kami yang dewasa tak perlu takut untuk ditulis.

    Kini giliran Ubai menjelaskan. Ia membawa adik-adik ke ruangan yang ada sofa besar. Pada dinding tergantung nama-nama bupati sejak zaman Belanda hingga kini, termasuk Adipati Kartanagara yang bengis itu.

    Di Aula ini mulai kutahu ada Ragil Nugroho datang jauh-jauh dari Jogja. Kausnya bergambar Pramoedya dan topinya mirip topi Pramoedya. Pantas, malam nanti ia didapuk bicarakan tentang Pramoedya dan Multatuli. Di sini pula pertama aku bertemu Mas Natsir Kongah dan putranya Vito dari Jakarta. Mas Natsir kukenal sebagai warga baru milis Apresiasi-Sastra (APSAS). Ia menepati janji hadir sungguhan. Dan memang hajatan di Ciseel ini bekerja sama dengan milis APSAS.

    Ubai memandu kami semua membelah alun-alun. Tampak anak-anak kota berayunan serta ada yang melorot dari fasilitas yang modern. Kuamati, anak-anak desa Ciseel yang dari pedalaman tanpa listrik, jalan beraspal dan sinyal, tampak termenung. Mungkin di benak mereka menakar dengan ayunan di pohon atau melorot dari tebing di sawah. Maklum mereka jarang bepergian ke kota.

    Arak-arakan ke arah kiri memasuki samping sebuah rumah sakit, langsung terlihat bekas rumah Multatuli. Gedung tua di belakang rumah sakit itu merana, layaknya rumah hantu. Pintu depannya menganga, ruangan tamu terlihat banyak timbunan sampah plastik dan kaleng. Temboknya samping mengelupas. Ubai mengurai, rumah Multatuli ini yang aslinya bisa disaksikan pada tembok tebal, selebihnya adalah pugaran baru. Di sini aku mencoba menerawang ingatanku pada rumah kelahiran Multatuli di Amsterdam, yang berarsitektur kuno serta bertingkat. Oh, Multatuli memang nasibmu menderita. Max Havelaar pun ditulis pada sebuah losmen kumuh di Belgia. Pada akhir hayatnya, Multatuli diberi rumah oleh orang Jerman sebagai tempat berterduh hingga meninggal.

    Derap langkah rombongan ini keluar dari pekarangan rumah sakit. Kami berjalan ke arah semula, tibalah di pertigaan dengan plang hijau bertuliskan Jalan Multatuli. Lalu lintas padat tak dihiraukan, Ubai gencar menerangkan, mulai ruas jalan inilah lurus dinamai jalan Multatuli. Aku berjalan di paling depan. Anak-anak taat berjalan di atas trotoar. Tak kulihat ada anak yang nakal atau mencoba bergurau di pinggir kepadatan kendaraan.

    Sebelum kami semua bermuara ke kali Ciujung, dengan jembatan besi raksasa, berhentilah kami di sekolah dasar. Menurut Ubai sekolah dasar itu namanya SD Multatuli, kini telah diganti dengan nama lokal. Anak-anak girang di pekarangan dibolehkan sholat dan istirahat sejenak. Namun di sebelah kiri pekarangan aku baca, ada ruangan dengan plang besar bertuliskan, Pusat Sumber Belajar Gugus MULTATULI. Aku dan beberapa kawan masuk ruang tersebut, ternyata ruang komputer dan beberapa pekerjaan tangan siswa.
    SD kami tinggalkan, menuju jembatan besar kali Ciujung. Di pinggir sungai besar ini Ubai membeberkan kisah seperti yang ditulis pada Max Havelaar. Jalan kaki diteruskan masuk kota dan mampir ke sebuah apotik Multatuli. Penjaga apotik di situ menjelaskan, pendiri apotik itu seorang yang idealis dan suka membaca. Mungkin ia paham Multatuli, sehingga diabadikan pada usahanya apotik.

    Rombongan melanjutkan ke tempat terakhir, yakni sebuah perpustakaan cukup luas bernama perpustakaan Saidjah dan Adinda. Karena jalan menuju ke situ lewat pasar, aku sempat membeli cemilan di pinggir jalan.

    Mendung memayung. Menjelang kami masuk ke perpustakaan Saidjah dan Adinda, hujan turun. Tuan rumah yang baik hati dan ramah menyediakan dua kardus aqua gelas. Jajanku pisang goreng dan tahu sumpel, segera enyah menemani rintiknya hujan. Menurut Ubai, pemilik perpustakaan ini seorang pengusaha. Hampir sama dengan pemilik apotik, hanya karena sama-sama idealis dan suka kisahnya Multatuli, maka mendirikan perpustakaan bernama Saidjah dan Adinda. Sore semakin turun dan kami semua berlarian menuju mobil yang siap membawa kami pulang. Daurie dan Adi Toha dengan sepeda motor memisahkan diri menuju Bogor.


    Malam di Kali
    Di sepanjang perjalanan pulang, tidak hujan. Namun begitu kaki menapak bebatuan, hujan jatuh tak kenal ampun. Aku lihat Endah Sulwesi dan Kurnia Effendi yang membawa lap top berjalan kewalahan. Jalan menurun dan membelok, licin, terus kami tapaki. Mas F. Rahardi dengan dua kawan lain, Wahyu dan Mbak Indri bergabung di tengah hujan deras. Diperoleh informasi, Mas Rahardi ini baru saja tiba dari Papua, langsung kemari.

    Anehnya adik-adik berjalan setengah berlari. Beberapa menggandeng kami yang jalan sempoyongan. Maklum bebatuan licin dan guyuran hujan angin, nyaris jalan tak bersahabat. Tampak Tommas, sang fotografer penyuka seni surealis ini jalan dengan kaki satu pincang. Batu runcing membelah telapak kakinya yang empuk seperti getuk lindri.

    Di sebuah rumah bambu menghadap ke sawah, beberapa kawan berteduh. Siapa tahu hujan reda. Seorang bocah menyarankan, agar kami lekas berjalan saja. Pertimbangannya jika malam tiba, menyeberang kali berbahaya, sebab air sungai naik. Ah, batinku, akan menyeberang sungai?

    Aku dan Ita Siregar bertekad mengikuti saran itu. Kini kami berada di persimpangan jalan, yang kawan lain lurus turun. Kami diajak tiga bocah menerobos ke jalan setapak ke arah kiri. Menurut mereka, itu jalan pintas. Semakin berjalan, hujan semakin deras.

    Pada akhirnya kami berlima berada di tengah parit sawah. Tiga bocah tampak sangat perhatian dengan aku dan Ita. Kami berjalan di parit yang licin, kiri-kanan sawah basah.

    Malam benar-benar tiba tanpa pengantar. Ketiga bocah entah ke mana sudah tak kudapati lagi. Kami hanya berdua berdiri menggigil. Apalagi kaki Ita terasa berat untuk melangkah. Mungkin kakinya agak kram. Nyaris, kami putus asa. Aku bilang, jika tak ada bocah mendekat lagi, lebih baik kita menginap di rumah penduduk pinggir sawah itu. Sudah kubayangkan, betapa romantis, memanaskan sekujur tubuh yang basah di depan tungku api. Belum lagi ada ketela atau jagung bakar menemani. Sembari mendengarkan kisah-kisah petani yang khas. Apalagi tadi kulihat gumpalan asap membubung di atas dapur.

    Tak kuduga, dua bocah datang. Rupanya bocah yang tadi memandu kami. Namun aku dan Ita berjalan miring, dari sentimeter ke sentimeter yang lain. Siput raksasa di parit, jadi ingat Gregor Samsa. Bocah-bocah itu menunjuk ke arah lembah yang gelap dan di situlah kita harus menyeberang sungai. Parit itu tidak datar, kadang menurun dan bertingkat ke bawah.

    Inilah kali yang diincar. Air kali tak kelihatan, hanya bisa diukur setinggi paha. Oh, malam di kali. Kami sudah tak berhitung akan sejauh mana basahnya. Kali terseberangi, dengan tangan-tangan dipegang erat oleh anak-anak desa. Kurasakan, bocah-bocah sangat khawatir, kalau kami yang dari luar kota ini tenggelam atau terbawa arus. Sekecil itu sudah punya rasa tanggung jawab besar. Hormatku kepada para orang tua yang mendidik mereka dan dusun Ciseel yang belum tergerus polusi modernitas. Yang kadang bisa menumpulkan kepekaan individu.

    Aku teringat sebuah reportase pada majalah National Geografi versi bahasa Indonesia. Ada wartawan yang menguntit orang Badui jualan madu ke Jakarta dengan jalan kaki. Terbukti orang Badui paling suka memotong jalur dengan menyeberang sungai. Tercatat ada sekitar 9 sungai dan 22 lapangan sepak bola dilewati antara Badui Jakarta pergi pulang sepanjang 200 km. Nah, adik-adik Ciseel ini aku maknai, mirip dengan cara jalan orang Badui. Bahkan orang-orang luar sering menganggap bahwa Ciseel itu desa Badui. Memang kadang ada orang Badui lewat Ciseel. Dari Ciseel ke Badui pun bisa ditempuh dengan jalan kaki seharian pulang pergi.


    Kini giliran jalan parit menanjak. Anak-anak itu seperti anjing kecil yang ekornya kopat-kapit. Tanda sebuah kebahagiaan tercapai. Pada parit yang datar, aku bilang Ita, “Itu jalan raya sudah dekat. Motor sudah berseliweran.“ Ita percaya omonganku, namun ternyata itu fatamorgana. Sebuah barisan kunang-kunang lalu lalang mengitari sawah. Luar biasa, baru kali ini aku menyaksikan lampu kunang-kunang bersorot di kegelapan pekat dan banyak.

    Dari kejauhan ada orang membawa senter. Rupanya dia ayah seorang bocah yang mengantar kami. Seketika ayahnya bersama kami, bocah-bocah berlarian di kegelapan. Lumayanlah ada penerang kaki. Namun tetap saja paritnya menanjak tanpa turunan.

    Sebuah jalan kerbau kami temukan. Sepeda motor menyalip, tanda desa sudah dekat. Hatiku bergemuruh riang. Pengendara motor itu menawari kami bonceng, tapi kami bertekad meneruskan jalan kaki. Tak lama lagi, kami menemukan jalan dusun. Tampak obor-obor bambu berkobar di pinggir jalan. Ada beberapa bocah perempuan menyapaku di kegelapan, “Baru sampai, Mas Sigit?“ Aku mengiyakan. Kutoleh gadis itu, dengan sorot obor, wajahnya sudah bersih, pakaiannya kering dan rambutnya tersisir rapi. Lha, aku dan Ita? Hahaha.....basah kuyup, pakaian kotor dan bau.

    Dengan berjalan pelan menuju markas taman baca Multatuli, terlihat kawan-kawan sudah bersila rapi menghadap kopi panas dan ada yang sudah makan. Mereka menoleh ke aku dan Ita. Kami dinobatkan sebagai peserta yang datang paling pertama dari belakang.

    Tak ada pilihan lain, selain mandi secepatnya dan menyantap makan malam. Di dapur kutemukan Ragil Nugroho sedang memanggang uang di atas tungku kayu. Kuambil kamera, untuk facebook ah.

    Setengah jam berlalu, hajat harus dibuang. Aku paham, tak tersedia toilet di rumah Pak Syarif, tapi aku pura-pura tanya, meskipun aku sudah mengincar ke mana akan dibawa. Pak Syarif ambil senter dan aku diantar ke sungai nan gelap. Di belakang rumah aku menyusuri sungai kecil, tapi sejuk itu. Berjongkok di atas batu, tersemadi dalam kegelapan. Belum sampai 5 menit, dikagetkan dengan suara anak kucing, persis di sebelahku. Sesekali aku menoleh ke belakang, hitam pekat. Suara gemiricik air terkalahkan dengan deru diesel untuk menerangi rumah dan panggung. Di sini aku bayangkan, ke mana kawan-kawan membuang hajat di kandung perut, ya?

    Di depan taman baca, warga dan anak-anak sudah duduk tertib. Di atas jalan batu itu berdiri layar tancap warna putih dari tiang bambu hijau. Di atas panggung, Ragil Nugroho dan Mas Rahardi mengenakan sarung, menyesuaikan dengan alam petani. Mas Rahardi mengulas seputar Multatuli dan Petani. Menurutnya tak ada perubahan nasib petani zaman kini dengan era Multatuli dulu. Petani tidak diperhatikan oleh pemerintah.

    Untuk itu koperasi petani mutlak wajib didirikan. Ragil Nugroho mengulas efek Max Havelaar terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda di negeri jajahannya. Tapi perlu dimaklum adanya, publik warga desa yang mayoritas petani dan bocah-bocah SD serta SMP tentu tak terjadi sebuah dialog yang sepadan. Tapi setidaknya penulis kota sudah ada langkah partisipatoris terhadap warga kampung. Bukankah kaum intelektual sukanya mangkal di kantong sastra dan kampus doang? Dua makalah dari Mas Rahardi dan Ragil Nugroho bisa diunduh di blognya Ubai atau facebooknya sebagai bacaan orang kota.

    Usai perbincangan santai di panggung, giliran tarian berpasangan dan musik lesung. Menurut warga desa, lesung itu sudah puluhan tahun tak pernah dimainkan. Ya, baru kali ini dipentaskan. Tak lupa pencak silat ikut meramaikan. Kawan-kawan Ubai dari Jakarta juga ambil bagian dengan atraksi komedi di panggung. Apalagi pengantarnya bahasa sunda, lebih komunikatif dan mengeruk ger-geran. Peserta reading group tak kalah, mereka tampil membacakan puisi dari Max Havelaar dari beberapa bahasa. Entah mereka yang baca paham bahasa Inggris, Belanda atau Jerman, yang penting bunyinya mengasyikkan. Malam telah padam bersama kelelahan warga desa, juga tamu luar kota.

    Badui Dalam
    Pagi yang cerah kaum petualang berangkat bersama-sama. Sebagai warming-up rombongan jalan kaki sejauh seperti kemarin pagi. Tak lupa menyeberang sungai lebar berbatu hitam. Mbah Jamali dan Mas Rahardi tampak lebih liar menapaki jalan alam. Kulihat Mas Rahardi dengan ransel besar di punggung, merangsek sawah basah berundak-undak. Entah kenapa dia menyempal dari barisan jalan biasa.

    Pada jalanan yang berkelok dan menanjak, Ubai menurunkan pasukan ojek dari dusun Ciseel sendiri. Bahkan Pak Syarif, ketua RT turut serta. Nah, ketika kawan-kawan menunggu jemputan ojek datang, Ubai bercerita sambil jalan, “Ada anekdot antara tukang ojek dan orang Badui. Suatu hari orang Badui naik ojek. Setelah tawar menawar harga disepakati, ongkosnya Rp.40.000. Akan tetapi sampai di tujuan orang Badui itu tidak mau membayar seluruhnya. Ia hanya mau membayar separuhnya Rp.20.000. Tukang ojek merasa ditipu dan tetap menagih. Orang Badui ternyata punya alasan cerdik, `Lha....kamu juga ikut naik, maka ongkos Rp.40.000 itu dibagi dua, kamu bayar Rp.20.000 dan aku juga bayar Rp.20.000.`“ Cerita Ubai mampu menyegarkan perjalanan kaki yang semakin berkeringat.

    Pada pertigaan jalan sebelum naik mobil bukaan, para petualang foto bersama. Mobil pick up bukaan kesayanganku aku naiki. Anak-anak yang kemarin di mobil ini juga kembali lagi. Mereka mengajak bernyanyi seperti kemarin itu. Bak pick up ini rendah, sehingga cukup duduk tubuh bisa memutar ke segala arah. Sedang truk engkel baknya tinggi, jika tidak berdiri, mana bisa lihat panorama di perjalanan.

    Dua mobil berarak. Tak kusangka, beberapa warga dusun Ciseel ikut serta. Mereka membawa sepeda motor. Hitung-hitung mereka perlu rekreasi. Pak Syarif dan istri juga di tengah petualang sepeda motor itu.

    Perlahan panorama berganti ke lembah-lembah belukar. Tampak pohon-pohon besar dililit tanaman merambat. Pada ujung jalan, semua petualang menggelar plastik. Di sinilah digelar jamuan makan siang bersama. Aku amati, anak-anak membawa bungkusan nasi dari rumah sendiri-sendiri. Panitia menyediakan minuman aqua gelas buat mereka.

    Vito, putra Mas Natsir, duduk di dekat bocah Ciseel. Vito, dapat bagian yang nasinya menggunung. Tak mungkin ia makan sendiri. Dengan ringan tangan, ia ikut makan di bungkusan milik seorang bocah Ciseel. Aku lihat ada nasi, sayur dan ikan kering goreng. Vito dan bocah kenalan barunya, makan bersama tanpa basa-basi. Luar biasa, adaptasi Vito, sebagai anak yang dibesarkan di metropolitan, cepat sekali menyesuaikan diri.

    Karena tempat ini pintu masuk menuju desa Badui, maka setelah makan, anak-anak diberi bekal oleh Ubai, tentang apa-apa yang harus ditulis. Mas Rahardi ikut pula memberi bumbu, antara lain; “Tulislah, apa yang dilihat, didengar dan diraasakan. Komposisi tulisan perlu dijaga.“ Kang Kurnia Effendi juga memberi saran, kurang lebihnya, “Usiaku setengah abad, baru kali ini akan berkunjung ke desa Badui dalam. Adik-adik yang masih muda, bersyukur bisa kemari dan tulis apa yang disaksikan.“

    Jalan itu tidak mulus. Kulihat dua bocah duduk di depan warung dengan pakaian yang sangat kumal dan kuno. Dek, hatiku. Aku seperti memasuki dunia masa silam. Beberapa langkah lagi menyeberangi jembatan bambu. Ciri khasnya bambu itu ditangkupkan seperti bentuk piramid. Bambu-bambu itu disambung dengan memasukan ke lubang bambu yang lain. Tak ada peralatan paku besi atau rafia plastik. Semua dari bahan alam, ijuk sebagai tali dan potongan bambu kecil sebagai paku.

    Di jalan tanah yang berundak-undak itu di sebelahku ada anak Ciseel bernama Irman. Ia kutanya, “Sudah makan?“ Ia jawab, “Tidak.“ Alasannya, kepalanya pusing. Kususulkan tanya lagi, “Bawa makan apa?“ Ia jawab, “Nasi dan telur.“ Kukejar lagi, “Telur rebus atau telur goreng?“ Diluar dugaanku, ia jawab, “Telur ayam.“ Haahhaa...polos sekali. Timbul niatku untuk mengabadikan foto bocah kecil yang sejak hari pertama berpetualang, kaus kakinya paling tinggi. Kisah lucu menjelang masuk desa Badui dalam itu segera kutularkan ke beberapa kawan di belakangku. Kontan mereka pun kena setrum tawa. Kuingat, dia lah pemain drama yang memerankan sebagai orang China.

    Aku melihat seorang ibu sedang menggendong bayi dengan pakaian lusuh. Ia berdiri di antara gubuk miring dan pohon nangka. Semakin merangsek ke depan, berpapasan dengan dua lelaki dan seorang bocah memanggul atap anyaman dari daun bulung.


    Memasuki desa Badui dalam yang bernama Cikeusik ini seperti masuk rawa-rawa. Air tergenang dimana-mana. Di seberang sungai berdiri rumah-rumah panggung dari bambu. Hanya lewat jembatan bambu, tibalah di desa Badui dalam.

    Aku mengamati seorang ibu dengan 3 anak perempuan di teras panggung. Mata dua bocah perempuan yang sudah agak besar, menyorot penuh kekuatan. Aku teringat ketika bertemu orang Dayak di Pontianak atau suku Maya di Meksiko atau orang Tenganan di Bali. Yang kutatap mata mereka. Kesanku, sorot matanya tajam dan magis. Bukankah suku Indian di Amerika latin sering berbicara menggunakan bahasa mata? Sepertinya perbendaharaan mata mereka tak terkena polusi glamournya modernitas. Kosa-kata di mata berlumuran karakter alam. Mimiknya biasa, tak terpoles oleh norma manusia. Tak ada senyum yang berlebih atau berkurang, tak ada raut kesedihan. Pas. Seperti goyangnya daun pisang, rumput dan tanah lapang serta gunung. Sebuah estetika yang serasi, tiada bandingannya, selain alam itu sendiri. Desa Cikeusik terisolasi dari peradaban baru yang serba materi.

    Ibu itu masuk rumah sambil mengacungkan tangan, agar aku menuju pemandu yang sedang berdiri tanpa alas kaki. Bisik-bisik di antara kawan, tak boleh memotret. Kebetulan adik-adik datang membawa kertas dan bolpoin untuk menulis. Sesekali di antara kami memotret sambil mencuri-curi. Beberapa kain hitam dijemur di belakang rumah. Pada setiap pintu rumah tergeletak beberapa potong bambu berlubang, mungkin benda itu dipakai untuk mengambil air atau untuk minum.

    Menjelang kembali ke mobil, terlihat Mas Natsir ditemani cowok dari Badui luar. Sarman, posturnya mirip perempuan. Tubuhnya yang kecil, pakaiannya putih, rambutnya dibiarkan panjang. Sarman, tak banyak bicara. Ia memanggul ransel Mas Natsir yang memang susah medannya. Licin dan dari tanah liat kemerahan.

    Ketika hujan semakin lebat, Sarman membagikan payung dari daun pisang. Husni, yang tubuhnya atletis, hendak juga mengambil daun pisang di pinggir jalan. Di luar dugaan, tangannya tak mampu memotong dahannya. Tak kalah akal, senjata gigi Husni ikut berperan menggigit dahan. Tetap saja tak berhasil, aku memanggil Sarman di dekatku. Dalam waktu singkat, Sarman melompat sambil mengeluarkan golok panjang. Kontan dahan pisang yang sudah rebah di depan Husni dipenggal dengan golok Sarman. Tumbanglah seketika. Sarman menorehkan giginya tanda gembira.

    Aku tak pernah berpikir, ternyata di dalam baju Sarman tersimpan golok panjang.

    Masih di jalan tanah ini beberapa kali Mas Natsir terpelanting. Padahal kebanyakan kawan sudah melepas sepatu. Vito, anak Mas Natsir mungkin, kawatir, melihat pakaian ayahnya sudah banyak bercak tanah merah. “Ayah pulang nanti begini?“ seru Vito. Menyadari pakaian yang kotor dan letih, kami semua akhirnya mandi di sungai, atas jembatan bambu.


    Mobil bersiaga. Perjalanan pulang seperti yang kemarin. Lewat jalan kaki dan menyeberang sungai. Namun kali ini tidak sampai kemalaman di jalan. Rombongan dari Jakarta sebagian besar berpisah di pertigaan Ciminyak. Hanya Husni dan Ervin masih setia melanjutkan menu semur jengkol di Ciseel. Mas Rahardi menghadiahkan sebotol anggur buatan sendiri, untuk memanaskan badan malam nanti.

    Dari Ciminyak mobil pick up bukaan yang kami tumpangi, mengalihkan penumpang ke truk engkel. Di truk ini sorak-sorai lagi dan tiba di desa terakhir jalan batu. Dilanjutkan berjalan kaki dan menyeberang kali lagi. Kali terlewati, malam turun. Aku berjalan dengan 4 bocah tanpa penerang. Iseng-iseng aku tanya, sekiranya mereka tidak takut jalan tengah malam. Mereka rata-rata mengaku takut, karena hantu. Hem,...kupikir mitos hantu memang menjalar kepada anak-anak kita.

    Kulihat Niduparas Erlang dan istrinya Ade Fitri, kawan dari Serang hendak pulang malam. Kemarin pun ia datang malam hari. Ia akui RX King yang mengantarkannya sering dibantu di jalan oleh orang-ornag baik hati. Ia sudah tak sanggup menempuh medan terjal. Kemudia dioper oleh orang-orang di jalan, ia dan istri memboncengnya.

    Layar Tancap
    Dusun Ciseel benar-benar dua hari menjadi pasar malam. Warga tua dan muda keluar, tanda mereka haus hiburan. Beberapa orang membuka dagangannya secara mendadak. Kusengaja jalan ke atas hingga ke bawah jalan, banyak orang bergerombol. Ada seorang lelaki tua menjual dengkul ayam. Aku sebenarnya ingin mencoba rasanya, sayang waktu itu rasa semur jengkol menguasai tenggorokanku.

    Tommas, fotografer muda menyiapkan foto-foto ukuran 10 R hitam putih. Beberapa anak dipanggil ke panggung dan mulailah dia melakukan workshop dengan cara menempeli stiker berwarna ke objek foto yang dibagikan. Anak-anak riang berebutan foto dan berlatih mencari fokus bidikan dengan stiker warna-warni. Apalagi dapat iming-iming, foto itu boleh dibawa pulang.


    Tommas berakhir, gantian Esther pegang mikrofon. Ia sedianya membawakan makalah yang disiapkan Heri tentang Jurnalisme Tempo Doeloe. Sayang waktu tak ada lagi.

    Esther mewakili rombongan menyulut api perpisahan dengan segunung kesan mendalam dan salut atas kerja besar Ubai beserta adik-adik dan warga Ciseel. Sebuah kelajuan yang positif, di dusun pedalaman, jauh dari keramaian. Cocok untuk menekuni sastra secara rombongan dalam bentuk reading group. Salut dan salut, juga ditujukan kepada keramahan warga, juru masak Bu Syarif dan mertua. Keterlibatan warga terasa sekali. Ketekunan anak-anak dibanding dengan peserta reading group di Boja, The Old Man and The Sea – Hemingway, kalah jauh. Di Boja yang merambat menjadi kota pemekaran provinsi Jawa Tengah itu sudah berbenah. Justru anak-anak di Boja semakin sulit diajak belajar sastra. Banyak pilihan kesenangan di sana. Pak Usman, ketua RW juga menyambut di atas panggung. Ia sangat berterima kasih atas diadakannya reading group, sehingga anak-anak bisa belajar sastra. Termasuk hiburan di panggung dan piknik dengan anak-anak. Atas nama warga Ciseel ia berterima kasih.

    Yang ditunggu-tunggu tiba. Tontonan layar tancap dimulai. Pertama dimainkan film drama Saidjah dan Adina buatanku dengan kamera digital. Aku saksikan persis di bawah layar di antara anak-anak yang sore kemarin menjadi aktor drama. Adegan ini yang kurasa mengiris hati. Bagaimana tidak, anak-anak kampung itu mendadak menjadi bintang film di layar lebar. Tertawa bergelora seperti gelombang yang naik-turun. Mungkin ada orang tua yang menontonnya, betapa bangga anaknya berperan di layar besar. Atau sekadar nebeng menjadi penonton.

    Film selanjutnya berjudul Max Havelaar dalam bahasa Inggris dan sering disela bahasa Indonesia, karena beberapa pemainnya orang Indonesia. Film Max Havelaar itu didapat langsung dari Pak Willem, kurator Museum Multatuli di Amsterdam. Beberapa lokasi dalam film tersebut menggambarkan khas daerah Banten dan sekitarnya.

    Pak Syarif, ketua RT sebelumnya sudah siap-siap dengan film cadangan, yakni Wiro Sableng dan film-film horor. Mata dan tubuh sudah kepayahan, sehingga setamat film Max Havelaar aku menidurkan diri.


    Naik Bajaj ke Monas
    Pagi masih gelap dibangunkan oleh mbah Jamali yang pulang dari musala. Katanya pukul 5 tadi, masih banyak penonton film di luar. Bahkan juru putar filmnya sudah tak menunggui lagi. Perlahan aku bangun dan berkemas untuk meninggalkan Ciseel. Pak Syarif rupanya tahu aku suka semur jengkol, ia menawari untuk dibungkuskan. Aku menolak halus, alasan repot di jalan.

    Tujuh pengojek lokal berjaga dengan gas menderu-deru. Dengan berat rasa, Ciseel kami tinggalkan. Daag, daag, kulambaikan kepada warga dusun Ciseel yang kebetulan di pinggir jalan. Keakraban itu harus terputus sesaat, demi mencari baterai untuk bertemu tahun depan lagi.

    Aku diurutan pengojek paling belakang. Pengojeknya anak muda yang baru lulus SMP. Waduh, ia cerita nonton film hingga subuh. Jangan-jangan nanti ngantuk dan masuk ke jurang? Sambil motor berjalan ia berkisah lebih seru lagi. Menurutnya ia bekas anak nakal di Tangerang. Melihat tabiatnya suka pulang malam, maka dititipkan ke saudaranya di Ciseel oleh orang tuanya. Sedang ayah dan ibunya merantau menjadi tenaga kerja di Malaysia. Ia masih bingung, entah akan meneruskan ke mana? Sepertinya dia tertarik sekolah kejuruan, agar lekas kerja. Ia bersyukur bisa tinggal di Ciseel. Masyarakat yang ramah dan anak-anak yang polos menyadarkan dirinya untuk memperbaiki tabiatnya.

    Singkatnya, Ciseel adalah sekolah kehidupan bagi dia.


    Di saat belokan dan turunan curam kami lewati dengan bumbu kisahnya, tiba-tiba ia mendadak mengerem. “Ini baju Engkong,“ seruduknya sambil mengambil kain batik yang hampir dilindas roda. Dugaanku awal, ada petani yang jariknya jatuh, eh setelah diperiksa, ternyata baju. Lebih kaget lagi, maksudnya engkong adalah mbah Jamali. Anak ini masih ingat sekali, hari pertama baju itu dipakai engkong Jamali. Aku pun sudah lupa, padahal bersama dalam perjalanan.

    Pada jalan datar, kusaksikan ada lagi sebuah pakaian yang terbang dari belakang ransel mbah Jamali, yang kebetulan berada persis di depanku. Lagi-lagi kami berhenti dan memungut celana panjang cokelat kali ini berhasil dikumpulkan. Dalam hati, akan ada apa lagi ya yang terbang dari ransel engkong? Sarung kah?

    Roda motor mulai melewati rute tragedi. Kelincahannya tak kalah dengan pengojek pasar Ciminyak. Ketika menurun tajam, tubuhku ikut mendorong tubuh pengojek. Nyaris, dua tubuh lengket menumpuk dan akan lepas dari sadel. Ia memperlambat laju dan memberi nasihat, jika menurun, tubuhku harus agak condong ke belakang, sebaliknya jika menanjak, tubuhku harus merapat ke depan. Sungguh, sebuah petuah yang baru dan penting untukku.

    Tiba di jalan beraspal, motor melaju lebih kencang dari biasanya. Seperti kuda lepas dari kandang, hendak meloncat sepuasnya. Di pertigaan pasar Ciminyak, pengojek sudah berkumpul. Engkong Jamali, kini kupanggil, kulihat ranselnya menganga. “Kong, ini pakaianmu tadi terbang di jalan, untung kami ambil. Pantesan, ranselnya terbuka.“ Engkong baru sadar, ia mengaku sudah menutup ranselnya, tapi tidak penuh. Sehingga ransel itu terbuka sendiri, seiring ritme jalan yang melompat-lompat. Akhirnya kami diantar beberapa kilometer lagi, hingga mobil angkutan membawa ke Rangkasbitung.

    Tiba di stasiun Rangkasbitung, kami semua bergegas akan makan di warung yang panas, eh kereta api siap akan berangkat. Batal lah....Akhirnya kami bertujuh masuk kereta api kelas ekonomi. Pada setiap stasiun kecil kereta api menaikkan dan menurunkan penumpang. Sebuah panorama yang bagiku sangat kurindukan. Sudah lama alpa tak kusaksikan. Interaksinya memukau, ramai, bergairah. Ada orang jualan pecel, tahu, telur, pakaian, buku, sampai asesoris perempuan tumpah di gerbong-gerbong. Ketika kereta berhenti di stasiun, aku melongok keluar, kuli-kuli mengangkat ketela dan jagung dalam karung.

    Suasana di gerbang mirip pasar sesaat. Bocah-bocah duduk dengan keringat mengalir, seperti tubuhnya menangis. Aku memotret ke berbagai penjuru. Kebetulan ada pemeriksaan tiket, dan aku memotret pengamen yang sedang melagukan di pojok. Secara tak sengaja, petugas pemeriksa tiket terkena blitz kameraku. Ia berjalan ke arahku, kukira akan marah. “Memotret kami?,“ sambil menarik tiket penumpang di depanku, tapi bukan kepadaku. Aku heran, kenapa aku tidak diperiksa tiketnya? Dua penumpang di depanku bilang hampir bersamaan, petugasnya mengira aku itu wartawan. Kontan aku mengaca diriku dari rambut sampai ke kaki, ternyata aku hanya bercelana pendek. Sebelum aku selesai bermonolog, anak muda di depanku nambahkan, bahwa petugas itu kadang menarik uang langsung bagi penumpang gelap. Dan tidak diberi tiket. Ya, uangnya masuk saku sendiri. Sebab itu ia takut, dengan wartawan.

    Aku berdiri menghampiri Tommas yang duduk dengan engkong, Leni dan Esther. Kubilang, “Jika polisi takut dengan buku, ternyata kondektur takut dengan kamera.“ Kawan-kawan hanya cengar-cengir.

    Sesampai di stasiun Tanah Abang, langsung mencari warung makan. Warung Padang kok tidak padang, tapi agak buram. Perut-perut sudah menagih bahan bakar. Ketika hendak membayar, petugas di kasir nyeletuk, “Dari mendaki gunung ya, Mas?“ “Kok tahu?“ buruku. “Sudah kelihatan, itu pakaian dan sepatunya kotor semua,“ kata orang di kasir.

    Kawan-kawan sayup-sayup pendengarannya, dapat pangkat sebagai pendaki gunung tak terasa.

    Dari sini kami masih punya waktu sekitar empat jam lagi untuk keberangkatan kereta api ke Semarang. Sisa waktu tak kami sia-siakan. Mumpung di tengah ibu kota. Ervin dan Husni mencarikan Bajaj. Kami sewa 2 Bajaj. Bajaj berteriak serak, seperti bocah menabuh ember blek. Konvoi Bajaj berjalan zig-zag. Setelah membelah kemacetan, tibalah di mulut monumen nasional. Aku yakin, orang yang paling bahagia pasti engkong. Tugu Monas yang sering muncul di TV saat adzan magrib itu kini benar-benar di depan hidung. Kami berfoto sebagai bukti, bahwa Jakarta telah kami taklukkan. Foto engkong dengan Monas akan aku besarkan 10 R untuk hiasan di rumahnya.

    Menyadari waktu terus meruncing, kami rebahan di rerumputan. Di sela-sela pohon rindang, lalu-lalang beberapa penjual kopi jahe panas. Aku coba minum kopi panas rasa jahe. Sepertinya aku sedang bukan di Jakarta, tapi di sebuah taman di sekitar Boja.


    Ervin dan Husni memisahkan dari rombongan. Kami pun menuju stasiun Senen dengan Bajaj lagi. Leni harus naik kereta api jurusan ke Jogja. Di sini rombongan makin mengecil.

    Sambil mengantuk di kereta api menuju Semarang, kubayangkan perayaan Bloomsday secara internasional. Ulysses dikutuk menjadi novel yang tokohnya tuan dan ibu Bloom diperingati setiap 16 Juni. Begitu pula syukuran atas khatamnya anak-anak dusun Ciseel membaca Max Havelaar selama 11 bulan, bagaikan Ciseel Day.

    Yang menjadi kepenasaranku, ketika menulis kisah perjalanan ini, tentu kami yang dewasa akan menulis tentang interaksi dengan bocah-bocah. Nah apakah bocah-bocah itu juga akan menulis tentang kita? Lihat saja nanti.

    Semarang menangkap kami dalam remang pagi. Boja kuinjak-injak dan engkong kembali ke sawah dengan kambingnya.

    =0O0=

    *Sigit Susanto,
    Zug, Switzerland, 20 Juli 2011.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Ciseel Day Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top