Oleh
Niduparas Erlang
Sumber: http://niduparas.blogspot.com/2013/05/pengajian-yang-lain.html
Sumber: http://niduparas.blogspot.com/2013/05/pengajian-yang-lain.html
Di Ciseel, para
“santri” tidak membaca kitab kuning. Tidak menghuni kobong (pondokan/ asrama), yang biasanya berupa kamar sempit
berdinding gedek dengan satu jendela kecil di dinding sebelah luar, melainkan
tetap tinggal di rumah-rumah orangtua mereka. Tidak pula mereka mengenakan
sarung—yang identik dengan santri-santri di pesantren-pesantren salafiyah. Sebab
di Ciseel, sesungguhnya tak ada kobong
pesantren salafiyah atau asrama boarding
school, tapi ada Taman Baca Multatuli yang, menurut saya, telah melampaui
keduanya.
Sore ini, Sabtu, 27
April 2013, cuaca cukup sejuk. Matahari lindap. Langit di atas kampung yang
terlingkung hutan di kawasan pergunungan ini tampak mendung. Jalanan berbatu
yang membelah kampung sedikit basah. Sementara para “santri” itu, yang
sebelumnya telah memantaskan drama Saijah-Adinda—yang sudah mereka pentaskan
berkali-kali—bergerombol menuju Taman Baca Multatuli. Jam di dinding taman baca
itu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sekitar 30 “santri”—yang terdiri atas
anak-anak usia prasekolah dasar hingga mereka yang duduk di bangku sekolah mengengah
pertama—bersiap mengikuti “pengajian”.
Ini bukan “pengajian”
biasa seperti di pesantren-pesantren atau majelis taklim-majelis taklim pada
umumnya. Di sini, di Taman Baca Multatuli, yang terletak jauh dari Ibu Kota
Provinsi Banten, Serang—tepatnya di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan
Sobang, Kabupaten Lebak, atau sekitar empat setengah jam perjalanan mengendarai
sepeda motor dari Serang—para “santri” itu mengaji (juga mengkaji) novel Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschapplj
(Max Havelaar atau Pelelangan Kopi
Perusahaan Dagang Belanda) karya Multatuli atawa Eduard Douwes Dekker.
Saya menyebutnya “pengajian”,
walaupun istilah yang mereka gunakan adalah Reading
Group novel Max Havelaar. Sebab bagi
saya, teknik atau metode yang digunakan dalam membaca novel—yang menurut
sebagian pengamat sastra Indonesia memiliki
pengaruh besar dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka
bangsa Indonesia—itu memang mirip dengan cara mengaji,
yaitu membahas kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, halaman demi
halaman, dalam setiap pertemuan yang digelar seminggu sekali. Dalam setiap
pertemuan itu, detail-detail novel Max
Havelaar mereka simak dan perhatikan dengan seksama.
“Kali ini pertemuan
ke-69 pada tahun ketiga Reading Group Max
Havelaar,” ujar sang ustaz, Ubaidilah Muchtar.
Ubaidilah Muchtar
adalah guru SMPN 3 Satap, Sobang. Sejak mengemban tugas sebagai tenaga pengajar
yang ditempatkan di pelosok Lebak pada Februari 2009 lalu, lelaki yang akrab
disapa Pak Ubai itu mengabdikan dirinya bagi anak-anak di Kampung Ciseel dengan
mendirikan Taman Baca Multatuli. Pak Ubai memperkenalkan Raden Adipati Karta
Natanegara, Demang Parangkujang, Max Havelaar, dan tentu saja sejoli Saijah dan
Adinda, yang merupakan tokoh-tokoh dalam novel Max Havelaar kepada para “santri”-nya. Selain itu, para “santri” yang
terbilang muda usia itu diminta menuliskan komentarnya terkait pembacaan mereka
atas novel tersebut. Bahkan, mereka juga diarahkan untuk menulis catatan
perjalanan yang merekam cerita-cerita yang mereka alami sehari-hari.
Cerita-cerita hidup
yang sederhana, dengan gaya bercerita yang juga sederhana, karya anak-anak
Kampung Ciseel yang berupa catatan-catatan perjalanan itu pun dibukukan di
bawah judul Rumah Multatuli (2012). Di
sini bisa kita lihat, bahwa sebuah karya sastra telah memberikan ruang yang
leluasa bagi mereka, untuk melatih kepekaan dan kemampuan mengkritisi sesuatu.
Di atas panggung yang
memakan seruas jalan berbatu yang membelah Kampung Ciseel, di depan Taman Baca
Multatuli itu, pada malam harinya, sekira pukul 19.00 WIB, mulai digelar
berbagai hiburan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada perayaan Ciseel Day ke-3 untuk memperingati 153
tahun novel Max Havelaar kali ini pun,
acara dimulai dengan penampilan Sigit Susanto (penulis buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia) yang kini
bermukim di Switzerland, Swiss, dengan atraksi sulapan yang cukup menghibur
para penonton. Bahkan, dua anak lelaki yang awalnya tampak malu-malu menaiki
panggung, dilibatkannya juga dalam permainan sulapnya.
Bagi Sigit Susanto—yang
belum lama ini telah menerjemahan salah satu novel Frans Kafka ke dalam Bahasa
Indonesia—untuk mendekatkan anak-anak kepada buku bisa dilakukan dengan
berbagai cara. Sulap hanyalah salah satu upaya untuk menarik perhatian mereka.
Sementara itu, anak-anak
usia prasekolah dasar hingga sekolah menengah pertama yang tadi sore mengaji Max Havelaar pun menampilkan hasil kreasi
mereka sedemikian rupa. Ada yang menari diiringi lagu-lagu Ayu Ting Ting. Ada
yang membaca “Sajak Saijah untuk Adinda” karya W.S. Renda. Saya sendiri sempat
membacakan sajak “Kesaksian Bapak Saijah” karya Rendra—untuk sekadar mengisi
jeda sembari menunggu tim kasidah mempersiapkan diri. Dan yang tak kalah
menarik adalah penampilan enam pasang lelaki dan perempuan belia yang coba
melestarikan salah satu kesenian tradisi, ngagondang.
Ngagondang
atau disebut juga ngagendek atau tutunggulan adalah salah satu seni
tradisi yang mencirikan masyarakat agraris berupa tetabuhan (bunyi dihasilkan
oleh pukulan alu kepada lesung layaknya prosesi menumbuk padi) sembari diiringi
nyanyian. Konon, pada masa lampau, ngagondang
adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas keberkahan hasil panen, bahkan
merupakan bagian dari ritual penghormatan kepada Nyai Pohaci Sanghyang Sri atau
Dewi Pare (Dewi Padi). Kini, di sini, di Kampung Ciseel ini, lagu yang
dinyanyikan oleh para jajaka (laki-laki)
dan wanoja (perempuan) belia itu
lebih seperti upaya merayu para jajaka
untuk menyunting para wanoja. Ah,
bahkan hujan pun tak bisa menghentikan acara, dan para penonton hanya berteduh
di sisi rumah-rumah yang paling dekat dengan panggung atau mengenakan payung,
tapi terus menyaksikan pementasan mereka yang di atas panggung.
Keriaan warga Ciseel
setiap kali merayakan Ciseel Day,
kesungguhan Ubaidilah dan anak-anak dalam mengaji novel Max Hevelaar selama tiga tahun terakhir—sekalipun listrik dan
televisi baru mereka nikmati setahun terakhir ini—adalah sebuah kesegaran
dengan daya tawar yang lain.
Sungguh, anak-anak
Kampung Ciseel ini adalah para generasi pelanjut bangsa yang dapat kita
banggakan sekaligus dapat kita harapkan untuk mengubah bangsa ini dari
keterpurukan, sebab sastra dan dunia literasi pada umumnya, telah mengajarkan
banyak hal kepada mereka. Semoga. [*]
Serang, 2 Mei
2013
[Dimuat sebagai "Editorial" di Tabloid Banten Muda, edisi #16, Mei 2013]
0 komentar:
Post a Comment