728x90 AdSpace

  • Latest News

    19 July 2013

    Pengajian yang Lain

    Oleh Niduparas Erlang
    Sumber: http://niduparas.blogspot.com/2013/05/pengajian-yang-lain.html 
     
    Di Ciseel, para “santri” tidak membaca kitab kuning. Tidak menghuni kobong (pondokan/ asrama), yang biasanya berupa kamar sempit berdinding gedek dengan satu jendela kecil di dinding sebelah luar, melainkan tetap tinggal di rumah-rumah orangtua mereka. Tidak pula mereka mengenakan sarung—yang identik dengan santri-santri di pesantren-pesantren salafiyah. Sebab di Ciseel, sesungguhnya tak ada kobong pesantren salafiyah atau asrama boarding school, tapi ada Taman Baca Multatuli yang, menurut saya, telah melampaui keduanya.
    Sore ini, Sabtu, 27 April 2013, cuaca cukup sejuk. Matahari lindap. Langit di atas kampung yang terlingkung hutan di kawasan pergunungan ini tampak mendung. Jalanan berbatu yang membelah kampung sedikit basah. Sementara para “santri” itu, yang sebelumnya telah memantaskan drama Saijah-Adinda—yang sudah mereka pentaskan berkali-kali—bergerombol menuju Taman Baca Multatuli. Jam di dinding taman baca itu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sekitar 30 “santri”—yang terdiri atas anak-anak usia prasekolah dasar hingga mereka yang duduk di bangku sekolah mengengah pertama—bersiap mengikuti “pengajian”.

    Ini bukan “pengajian” biasa seperti di pesantren-pesantren atau majelis taklim-majelis taklim pada umumnya. Di sini, di Taman Baca Multatuli, yang terletak jauh dari Ibu Kota Provinsi Banten, Serang—tepatnya di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, atau sekitar empat setengah jam perjalanan mengendarai sepeda motor dari Serang—para “santri” itu mengaji (juga mengkaji) novel Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschapplj (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan Dagang Belanda) karya Multatuli atawa Eduard Douwes Dekker.
    Saya menyebutnya “pengajian”, walaupun istilah yang mereka gunakan adalah Reading Group novel Max Havelaar. Sebab bagi saya, teknik atau metode yang digunakan dalam membaca novel—yang menurut sebagian pengamat sastra Indonesia memiliki pengaruh besar dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia—itu memang mirip dengan cara mengaji, yaitu membahas kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, halaman demi halaman, dalam setiap pertemuan yang digelar seminggu sekali. Dalam setiap pertemuan itu, detail-detail novel Max Havelaar mereka simak dan perhatikan dengan seksama.
    “Kali ini pertemuan ke-69 pada tahun ketiga Reading Group Max Havelaar,” ujar sang ustaz, Ubaidilah Muchtar.
    Ubaidilah Muchtar adalah guru SMPN 3 Satap, Sobang. Sejak mengemban tugas sebagai tenaga pengajar yang ditempatkan di pelosok Lebak pada Februari 2009 lalu, lelaki yang akrab disapa Pak Ubai itu mengabdikan dirinya bagi anak-anak di Kampung Ciseel dengan mendirikan Taman Baca Multatuli. Pak Ubai memperkenalkan Raden Adipati Karta Natanegara, Demang Parangkujang, Max Havelaar, dan tentu saja sejoli Saijah dan Adinda, yang merupakan tokoh-tokoh dalam novel Max Havelaar kepada para “santri”-nya. Selain itu, para “santri” yang terbilang muda usia itu diminta menuliskan komentarnya terkait pembacaan mereka atas novel tersebut. Bahkan, mereka juga diarahkan untuk menulis catatan perjalanan yang merekam cerita-cerita yang mereka alami sehari-hari.
    Cerita-cerita hidup yang sederhana, dengan gaya bercerita yang juga sederhana, karya anak-anak Kampung Ciseel yang berupa catatan-catatan perjalanan itu pun dibukukan di bawah judul Rumah Multatuli (2012). Di sini bisa kita lihat, bahwa sebuah karya sastra telah memberikan ruang yang leluasa bagi mereka, untuk melatih kepekaan dan kemampuan mengkritisi sesuatu. 
    Ciseel Day ke-3
    Di atas panggung yang memakan seruas jalan berbatu yang membelah Kampung Ciseel, di depan Taman Baca Multatuli itu, pada malam harinya, sekira pukul 19.00 WIB, mulai digelar berbagai hiburan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada perayaan Ciseel Day ke-3 untuk memperingati 153 tahun novel Max Havelaar kali ini pun, acara dimulai dengan penampilan Sigit Susanto (penulis buku Menyusuri Lorong-lorong Dunia) yang kini bermukim di Switzerland, Swiss, dengan atraksi sulapan yang cukup menghibur para penonton. Bahkan, dua anak lelaki yang awalnya tampak malu-malu menaiki panggung, dilibatkannya juga dalam permainan sulapnya.
    Bagi Sigit Susanto—yang belum lama ini telah menerjemahan salah satu novel Frans Kafka ke dalam Bahasa Indonesia—untuk mendekatkan anak-anak kepada buku bisa dilakukan dengan berbagai cara. Sulap hanyalah salah satu upaya untuk menarik perhatian mereka.
    Sementara itu, anak-anak usia prasekolah dasar hingga sekolah menengah pertama yang tadi sore mengaji Max Havelaar pun menampilkan hasil kreasi mereka sedemikian rupa. Ada yang menari diiringi lagu-lagu Ayu Ting Ting. Ada yang membaca “Sajak Saijah untuk Adinda” karya W.S. Renda. Saya sendiri sempat membacakan sajak “Kesaksian Bapak Saijah” karya Rendra—untuk sekadar mengisi jeda sembari menunggu tim kasidah mempersiapkan diri. Dan yang tak kalah menarik adalah penampilan enam pasang lelaki dan perempuan belia yang coba melestarikan salah satu kesenian tradisi, ngagondang.
    Ngagondang atau disebut juga ngagendek atau tutunggulan adalah salah satu seni tradisi yang mencirikan masyarakat agraris berupa tetabuhan (bunyi dihasilkan oleh pukulan alu kepada lesung layaknya prosesi menumbuk padi) sembari diiringi nyanyian. Konon, pada masa lampau, ngagondang adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas keberkahan hasil panen, bahkan merupakan bagian dari ritual penghormatan kepada Nyai Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Pare (Dewi Padi). Kini, di sini, di Kampung Ciseel ini, lagu yang dinyanyikan oleh para jajaka (laki-laki) dan wanoja (perempuan) belia itu lebih seperti upaya merayu para jajaka untuk menyunting para wanoja. Ah, bahkan hujan pun tak bisa menghentikan acara, dan para penonton hanya berteduh di sisi rumah-rumah yang paling dekat dengan panggung atau mengenakan payung, tapi terus menyaksikan pementasan mereka yang di atas panggung.
    Keriaan warga Ciseel setiap kali merayakan Ciseel Day, kesungguhan Ubaidilah dan anak-anak dalam mengaji novel Max Hevelaar selama tiga tahun terakhir—sekalipun listrik dan televisi baru mereka nikmati setahun terakhir ini—adalah sebuah kesegaran dengan daya tawar yang lain.
    Sungguh, anak-anak Kampung Ciseel ini adalah para generasi pelanjut bangsa yang dapat kita banggakan sekaligus dapat kita harapkan untuk mengubah bangsa ini dari keterpurukan, sebab sastra dan dunia literasi pada umumnya, telah mengajarkan banyak hal kepada mereka. Semoga. [*]
    Serang, 2 Mei 2013

    [Dimuat sebagai "Editorial" di Tabloid Banten Muda, edisi #16, Mei 2013]
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Pengajian yang Lain Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top