Oleh Ubaidilah Muchtar
Perjalanan dari Depok ke Lebak diselingi persinggahan di Kadaka, Bogor Barat. Namun aspal basah dan lubang di sepanjang jalan membuat perjalanan ini menjadi tidak berbeda dari jalan-jalan lain menuju daerah-daerah lain yang macet, yang membuat waktu tempuh makin lama. Perjalanan kali ini memang lancar, dan satu-satunya teman yang setia adalah boks plastic transparan berisi buku-buku dengan tutup berwarna hijau yang membuat nyaman hati, derit rantai, dan sesekali bunyi rem yang bertemu tromol roda. Lebak menunggu dalam kabut.
Sebagian Lebak yang kulihat di sepanjang jalan tampak seperti terbangun dari tidur terlalu lama. Pohon-pohon sawit yang baru tumbuh, rumah-rumah bercat baru, sekolah-sekolah baru, anak-anak dalam balutan seragam merah putih, truk pengangkut tanah merah dan batu split yang menyemburkan debu dikemudikan oleh manusia-manusia setengah tua. Pemandian air panas dengan spanduk besar mencolok tampak dari dekat. Namun dalam beberapa kilometer kemudian pemandangan menjadi sungguh indah, dank abut berarak di puncak-puncak bukit. Menutupi rumah-rumah pedesaan, hamparan sawah dengan padi yang siap dipanen adalah kesenangan mata.
Dalam tiga setengah jam, aku mencapai Ciseel. Aku dan matahari datang bersamaan, namun dalam rupa yang berbeda, dari gelap menjadi terang benderang hingga kabut menghilang. Angin terus bergerak. Segera saja cericit burung ramai di hutan-hutan, yang beterbangan di Ciseel. Di Ciseel, Max Havelaar dan anak-anak bersuka cita menjelajah imajinasi dan fakta. Ada deretan rumah-rumah dengan atap rumbia dan berdinding bambu. Beralas belahan bamboo yang biasa dinamakan gedeg. Di bawahnya, bebek dan angsa hidup rukun berdampingan. Perjalanan seratus dua puluh kilometer ini dipenuhi hembus udara dan embun di pucuk-pucuk daun. Ketika aku sampai di Ciseel, baling-baling bambu (kolecer) menjerit-jerit ditiup angin yang datang dari Gunung Halimun Salak dan Gunung Kencana, gunung tinggi di timur dan barat yang mengelilingi sebagian Lebak.
Lebak adalah tempat legenda Multatuli. Multatuli yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen di tahun 1856. Di awal bulan April masih di tahun pengangkatannya, Multatuli mengundurkan diri dari jabatannya setelah delapan belas tahun lamanya menjadi “ambtenaar” dan memutuskan jalan hidupnya menjadi penulis. Max Havelaar ditulis Multatuli di sebuah losmen murah di Belgia. Di Lebak ini aku dan anak-anak Ciseel membaca Max Havelaar tiap Selasa sore. Jika pukul empat tiba, Max Havelaar pun ada di pangkuan kami, peserta Reading Group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli.
Selasa sore yang teduh di tanggal 23 November 2010. Ini pertemuan kami yang ke-26 membaca Max Havelaar. Kami yakin betapa Havelaar menentang semua penyalahgunaan kekuasaan di Lebak. Meskipun Havelaar tahu itu adalah berat. Havelaar harus berhadapan dengan penjahat sesungguhnya dan dengan orang-orang yang enggan melakukan perombakan meskipun tahu bahwa menyalahgunakan kekuasaan itu salah besar. Di Lebak, Havelaar terus melakukan berbagai pendekatan. Havelaar berbicara baik-baik dengan saudara tua dengan Regen Adipati Kartanata Nagara alias Regen Sepuh. Bahkan pernah memberikan pinjaman kepada adipati jahat tersebut.
Kami membaca bagian ketika Havelaar meminta Verbrugge untuk memeriksa pembangunan gedung-gedung di Rangkasbitung; harga-harga setempat, upah kerja, dan bahan-bahan. Ketika Verbrugge tidak dapat menjawab masalah yang diakibatkan perbedaan harga dan pendanaan tahun 1854 dengan 1853, Havelaar menulis surat padanya. Pembaca dapat membaca surat Havelaar di catatan minggu yang lalu.
Verbrugge diminta Havelaar untuk segera menyusun laporan dan diingatkan bahwa setengah baik sama dengan tidak baik dan setengah benar sama dengan tidak benar. Seorang pegawai harus melakukan kewajiban secara penuh. Havelaar melakukan hal tersebut karena menurut Stern ia seorang yang naïf. Havelaar sangat yakin akan kebenaran apa yang dilakukannya.
“Apakah saya belum mengatakan, dalam usaha saya untuk menggembarkan karakternya, bahwa dia bersikap naïf dalam segala penilaiannya?”
“Mari saya jelaskan mengapa Havelaar harus memegang keyakinan ini.” [MH, hlm. 281]
Hevalaar membuka sebuah rahasia bahwa biasanya tugas sebagai Gubernur Jenderal seringkali membawa benih korupsi, bahkan bagi mereka yang memiliki kapasitas mental dan moral yang mengagumkan. Havelaar menyebutkan bahwa selain sering membawa benih korupsi, secara umum Gubernur Jenderal didiagnosis seperti berikut ini.
“Tahap pertama. Pusing. Mabuk dengan harum dupa. Sombong. Luar biasa percaya diri. Merendahkan orang lain, khusunya “pekerja tua Hindia”. Tahap kedua. Letih. Ketakutan. Sedih. Sangat ingin tidur dan beristirahat. Keyakinan berlebihan di Dewan Hindia. Rindu pada rumah pedesaan di Holland.” [MH, hlm. 283]
Stern sangat terkagum oleh Havelaar yang punya gaya.
“Pembaca, saya mencari jawaban bagaimana itu, dan itulah mengapa buku saya begitu membingungkan. Ini adalah kartu pola penjual… tentukan pilihan Anda! Nanti, saya akan memberikan warna kuning atau biru atau merah, sesuai pilihan Anda.”
“Havelaar telah mengamati jika Gubernur Jenderal sering kali sakit, dan dari begitu banyak pasien—dan seringkali di antara hewan yang terendah juga, ada kesamaan penyakitnya dengan Residen--, di mana penyakit Gubernur Jenderal berkisar dari campak hingga cacar.” [MH, hlm. 286]
Malam menjelang. Bab 15 Max Havelaar telah kami selesaikan. Kuminta peserta menyimpan kembali Max Havelaar. Sebelum aku pamitan. Kusampaikan pesan para peserta RG minggu ke-26 ini untuk para pembaca. Cahaya malam datang berkilapan di ujung langit Ciseel. “Ini jalan yang kutempuh bagi anak-anak Ciseel. Menghidupkan ingatan melalui bacaan.” Entah karena malam membawa petang atau tubuhku yang berharap cepat istriahat, dalam cahaya gelap itu aku mendengar suara Saijah dan melihat Badur di kejauhan.
Apa kata mereka di buku pesan?
Aliyudin : “Teman-teman di Taman Baca Multatuli itu ternyata ada Reading Group Loh…. Makanya kalau teman ingin ikut Reading Group datang aja ke Taman Baca Multatuli, asyik loh…!”
Dedi Kala : “Multatuli itu bukan orangnya The Hague. Saya sangat senang sama Multatuli. Jika saya menjadi Bupati, saya gak akan korupsi.”
Andi Suhandi : “Teman-teman yuk kita baca Multatuli! Pokoknya seru deh! Menceritakan tentang Lebak. Jangan lupa setiap hari Selasa di Taman Baca Multatuli Ciseel, Sobang.”
Cecep : “Ayo, teman-teman ikut reading Multatuli!”
Heri : “Harus membaca buku Multatuli.”
Sujatna : “Membaca Max Havelaar sudah ke-9 bulan.”
Suardi dan Robi : “Membaca di Multatuli Ciseel.”
Yani : “Membaca!”
Sanadi : “Teman-teman kita tidak boleh melamun.”
M. Ajis : “Membaca buku Multatuli di Ciseel.”
Dede Irawan : “Ayo, membaca, reading Multatuli!”
Sumarna dan Dadang : “Teman-teman saya suka sama Max Havelaar. Terima kasih!”
Rukanah dan Sadah : “Membaca buku Max Havelaar.”
Elah Hayati : “Buku Max Havelaar ini buku pertama yang membuka mata dunia tentang penjajahan!”
Mariam : “Teman-teman mari kita bersama-sama membaca buku di Taman Baca Multatuli karena di sana banyak buku cerita yang menyenangkan. Trims!”
Nuraeni, Oom, dan Samnah: “Mari, membaca Multatuli!”
Suryati : “Hai teman, jangan lupa pada hari Selasa reading yuk! Seru loh!”
0 komentar:
Post a Comment