Oleh Ubaidilah Muchtar
KAWAN, periksalah rak bukumu! Periksa dengan sepenuh teliti. Periksa dengan baik. Pastikan apakah ada novel ini di rak bukumu. Jika telah kamu temukan, nanti akan kusampaikan sampai bab berapa kami membaca novel tersebut.
Ya, apakah sudah kamu temukan? Jika masih belum kamu temukan, coba ingat-ingat. Mungkin memang kamu memiliki novel ini namun temanmu meminjamnya. Meminjam novel tersebut sebab kamu memperbolehkan dia—temanmu itu yang meminta izin saat melihat novel itu—mengambilnya dari rak bukumu. Jika sudah begini maka segera periksa catatan peminjam buku dari rakmu. Periksa dengan saksama siapa nama teman yang meminjam novel ini.
Jika masih belum juga ditemukan sebaiknya ikuti catatan ini. Ini catatan Reading Group novel Max Havelaar. Novel ini kami baca di Taman Baca Multatuli sejak bulan Maret 2010. Novel Max Havelaar ditulis Multatuli. Tentu saja aku percaya. Nama ini pernah kawan dengar. Ya, Multatuli. Multatuli nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Ingat Eduard Douwes Dekker. Bukan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi. Multatuli bukanlah Setiabudi.
Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Sedangkan Setiabudi adalah cucu dari saudaranya Multatuli yang bernama Jan.
Kawan, maafkan aku jika mengulang masalah nama. Maafkan ya. Ini memang sering terjadi padaku. Ceritaku sering ke sana ke mari. Jadi lebih baik kita kembali lagi ke masalah catatan saja. Ya, catatan Reading Group Max Havelaar. Catatan minggu ke-24 novel Max Havelaar. Pertemuan ke-24 ini berlangsung pada hari Selasa tanggal 2 November 2010.
Selasa sore seperti biasa. Di Taman Baca Multatuli duduk melingkar peserta RG Max Havelaar. Selasa ini peserta yang mengisi buku kesan dan pesan ada 18 peserta. Artinya ada 18 peserta yang hadir di minggu ke-24 ini. Ini dia nama-nama yang mengikuti Reading Group Max Havelaar di minggu ke-24.
Irman, Sujana, Rukanah, Ucu Suharnah, Niah, Sujatna, Ahyar, Oom, Suha, Sumarna, Nurhadi, Radi Apandi, Samnah, Mamay, Herti, Elis, Suryati, dan Dedi Kala peserta RG Max Havelaar Selasa ini. Di antara kedelapan belas peserta ini ada nama baru yang ikut reading. Siapa dia. Dia Nurhadi. Nurhadi anak Cigaclung. Cigaclung kampung sebelah. Nurhadi sengaja datang ke Ciseel ikut Reading Group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Nurhadi siswa kelas VII di tempatku mengajar, SMP Negeri Satap 3 Sobang.
Sebelum pembacaan bab 15 novel Max Havelaar dimulai. Kuperkenalkan terlebih dahulu Nurhadi. Kuminta Nurhadi untuk mengatakan alasannya mengikuti reading. Nurhadi mengatakan jika ia mengetahui ada Taman Baca di Ciseel sudah sejak lama. Sayang, setiap kali mau ikut reading dia selalu ada kegiatan selepas seklah. Jadi baru Selasa ini dia dapat mengikuti reading. Nurhadi mengetahui ada kegiatan membaca Max Havelaar dari Yani. Yani teman sekelas Nurhadi. Selain dari Yani, Nurhadi mengetahui reading dari Unang, Nunung, dan Mariah yang sudah lebih dahulu mengikuti reading di Taman Baca Multatuli ini.
Selepas memperkenalkan Nurhadi, kumulai membaca paragraf pertama bab 15 novel Max Havelaar. Seperti biasa kubaca pelan dan nyaring setiap kalimat agar peserta dapat mengikuti.
PENDAHULU Havelaar jelas ingin melakukan hal yang benar, tetapi dia juga tampaknya takut jika pemerintah benar-benar jengkel (pria itu memiliki banyak anak dan tidak memiliki uang simpanan). Maka dia memilih untuk berbicara dengan Residen mengenai apa yang dia sebut penyalahgunaan kekuasaan yang mengejutkan, daripada menyebutkan secara terbuka dalam laporan resmi. Dia tahu jika seorang Residen tidak suka menerima laporan tertulis, yang nanti akan disimpan dalam dokumennya dan bisa digunakan sebagai bukti jika perhatiannya telah ditujukan pada saat yang tepat di ketidaknormalan ini atau itu, sedangkan komunikasi langsung tidak membawa risiko padanya namun memberinya pilihan, yaitu berhadapan dengan keluhan atau membiarkannya. Komunikasi langsung seperti ini biasanya berakhir dengan sebuah sesi tanya jawab dengan Regen, yang tentu saja menginkari segalanya dan menuntut bukti. Kemudian Residen memanggil warga yang telah berani mengajukan keluhan; lalu, sembari bersimpuh di kaki Adipati, mereka memohon ampunan. “Tidak, kerbau itu tidak diambil secara percuma dari mereka; mereka yakin jika pelipatgandaan harga telah membayar itu”. “Tidak, mereka tidak dipanggil dari lahan mereka untuk bekerja di sawah milik Regen tanpa memperoleh upah—mereka sangat tahu jika Adipati dengan murah hati akan memberi hadiah nanti”. “Mereka telah membuat pengaduan mereka dengen segera menjadi kebencian tanpa dasar… mereka pasti marah, dan mereka memohon untuk dihukum sepantasnya atas penghinaan seperti itu!” [MH, hlm. 268-269]
Kujelaskan ke para peserta bahwa memang Residen tidak mau mempermalukan Regen. Residen tidak mau menerima laporan dari Asisten Residen tentang ketidakbaikan Regen. Akhirnya para pelapor itu dihukum cambuk dengan rotan. Regen menang. Dan Residen kembali ke Banten dengan kesadaran menyenangkan. Residen seolah telah memperbaiki sesuatu dengan baik.
“Residen itu jika sekarang setingkat gubernur,” jawabku ketika Dedi Kala bertanya tentang apa itu Residen.
“Kalau Regen itu kan Bupati?” Tanya Sujatna.
“Ya, Regen itu kalau sekarang disebutnya bupati. Waktu itu Regen Lebak disebut juga Regen Sepuh. Namanya Adipati Kartanata Nagara. Dia itu mertuanya Demang Wiranata Kusumah. Demang yang suka merampok kerbau rakyat. Termasuk kerbaunya Saijah.” Terangku agak panjang.
Bagaimana dengan para penggugat malang itu saat kembali ke desa? Mereka akhirnya kembali berada dalam kekuasaan pemimpin distrik atau desa yang telah mereka tuduh sebagai bagian dari kediktatoran Regen. Apa yang terjadi dengan mereka? Mereka yang bisa melarkan diri, kabur.
Kubaca paragraf ini dan peserta menyimak dengan saksama.
Itulah mengapa begitu banyak penduduk Banten bertualang di provinsi tetangga! Itulah mengapa begitu banyak orang yang berasal dari Lebak di antara pemberontak di Distrik Lampung! Itulah mengapa Havelaar, dalam pidatonya di depan para pemimpin, telah bertanya: “Apa ini—begitu banyak rumah kosong yang berdiri di desa-desa? Dan mengapa banyak yang memilih bayangan hutan asing daripada kesejukan rimba di Banten Selatan?”
Namun tidak semua orang bisa melarikan diri. Pria yang tubuhnya terlihat mengapung di sungai pada pagi setelah pada malamnya, secara sembunyi-sembunyi, segan, cemas, meminta pendapat Asisten Residen… dia tidak perlu melarikan diri lagi. [MH, hlm. 270]
Tentu saja kejadian seperti ini telah membuat hati Havelaar sakit menahan siksaan. Havelaar selalu ingat dia ditugaskan untuk melaksanakan keadilan dan hal ini dipertanggungjawabkan pada kekuasaan yang lebih tinggi dari pemerintah. Hati Havelaar tercabik oleh rasa ragu, ragu, bukan karena apa yang harus dia lakukan, tetapi bagaimana dia melakukannya?
Havelaar telah berbicara dengan lembut. Havelaar telah berbicara dengan Adipati seperti seharusnya dilakukan seorang “kakak”. Havelaar telah berbicara dengan ramah kepada Adipati yang jahat itu.
Kubaca kembali paragraf selanjutnya. Setelah dengan pelan menjelaskan bagaimana kedudukan Havelaar dengan Adipati Kartanata Nagara kepada peserta Reading Group Max Havelaar Selasa ini.
Ya, dia berniat untuk menyelamatkan, membenarkan, bukan untuk menghancurkan! Dia merasa kasihan dengan Regen. Dia mengerti betapa tertekannya jika kekurangan uang, khususnya jika hal itu mengakibatkan pelecehan dan penghinaan; dan dia mencarikan alasan untuk sang Regen. Regen sudah tua, dan merupakan kepala sebuah keluarga yang anggotanya hidup dalam kekayaan di provinsi tetangga, di mana kopi diproduksi dalam jumlah besar. Tidakkah menyakitkan bagi dia yang mengalami hidup begitu sederhana dibandingkan kerabatnya yang lebih muda? Lagipula, dipengaruhi oleh kefanatikan, dia harus membeli pembebasan jiwanya dengan cara membiayai haji ke Mekah, dan dengan memberi sedekah pada para pemalas yang berdoa secara monoton. Pejabat yang sebelumnya menjadi pendahulu Havelaar di Lebak tidak selalu memberikan contoh yang baik. Dan akhirnya, jumlah keluarga Regen di sana, yang sepenuhnya hidup dalam tanggungannya, membuatnya sulit untuk kembali ke jalan yang benar. [MH, hlm. 271-272]
Kebaikan Havelaar kepada Regen sangatlah mulia. Havelaar yang mengetahui Regen itu jahat tidak mau membalas kejahatannya. Bahkan ia mau meminjamkan uangnya untuk Regen. Dia seperti biasa mengabaikan bunganya sampai sedemikian.
Jika dianggap masih perlu untuk membuktikan kebaikan apa yang dilakukan Havelaar kepada Regen. Bukti ini didapatkan dari pesan lisan Havelaar kepada pengawas ketika mau ke Serang. Ini pesannya Havelaar.
“Beritahu Residen bahwa, jika dia mendengar ada penyalahgunaan kekuasaan terjadi di sini, dia tidak boleh menganggap jika saya tidak memerhatikannya. Saya hanya menolak untuk langsung melaporkannya secara resmi, sebab saya merasa kasihan dengan Regen dan ingin melindunginya dari kekejaman yang lebih besar dengan cara melihat dahulu bujukan apa yang bisa membuatnya sadar akan pengertian tugasnya.”
Havelaar sering pergi berhari-hari secara terus-menerus. Ketika dia ada di rumah, maka dia bisa dijumpai di ruangan yang letaknya di ruang nomor 7. Dia duduk, menulis, dan menerima tamu yang ingin bertemu dengannya. Dia memilih ruangan itu karena dia mau dekat dengan istrinya, Tina. Tina berada di ruang sebelah. Jika Havelaar lelah, maka Tina-nya akan memijitnya sebentar. Begitu pun saat ia membutuhkan nasihat Tina; dan hampir sama tepatnya ketika dia harus meninggalkannya sendiri.
Ketika dia sedang duduk di suatu pagi pengawas datang membawa sepucuk surat. Surat itu berisi permohonan agar Havelaar menjelaskan sebuah perubahan dalam biaya penebangan kayu serta tenaga kerjanya. Verbrugge membawa surat tersebut dan mengatakan: “Ini hal yang sulit, Tuan Havelaar. Sangat sulit.” Inilah alasan mengapa Verbrugge mengatakan begitu. Kubaca dua paragraf ini dengan pelan-pelan agar peserta dapat mengikutinya.
Beberapa tahun sebelumnya, sebuah penjara sedang dibangun di Rangkasbitung. Sekarang sudah menjadi pengetahuan umum jika para pejabat di Jawa ahli dalam seni membangun bangunan berbiaya ribuan gulden, tanpa mengeluarkan biaya lebih banyak dari seratus dalam pelaksanaannya. Hal ini memberi mereka reputasi efisien dan semangat untuk melayani Negara. Perbedaan antara jumlah uang yang dikeluarkan dengan jumlah yang diperoleh untuk itu disusun dari persediaan yang tidak dibayar atau tenaga kerja yang tidak dibayar. Untuk beberapa tahun terdapat peraturan yang melarang hal ini. Apakah mereka diperiksa, bukanlah urusan kita. Tidak juga, apakah pemerintah ingin memeriksa mereka dengan ketelitian yang akan membebani anggaran belajna Departemen Pekerjaan Umum. Saya kira peraturan-peraturan ini sama saja seperti banyak peraturan lainnya, yang penuh kemanusiaan di atas kertas.
Namun begitu banyak bangunan yang dibutuhkan di Rangkasbitung, dan para ahli berkewajiban untuk mempersiapkan rencana perkiraan harga untuk tarif upah lokal dan biaya material yang telah diminta. Havelaar telah meminta Verbrugge untuk membuat penyelidikan secara cermat, dan telah memberitahu dia agar memberikan harga sebenarnya, tanpa memandang apa yang telah terjadi di masa lalu. Ketika Verbrugge telah melaksanakan instruksinya, tampaknya harga-harga yang ada tidak lagi sesuai dengan perkiraan harga beberapa tahun sebelumnya. Residen sekarang telah mengirimkan surat menanyakan alasan perbedaan ini; dan itulah yang dianggap Verbrugge begitu sulit. [MH, hlm. 274]
Di akhir reading kami menemukan surat Havelaar untuk Pengawas Lebak. Havelaar memang pernah menjanjikan akan mengeluarkan pikiran-pikirannya kepada Verbrugge mengenai kesulitan-kesulitan itu. Surat tersebut bernomor 114. Ditulis di Rangkasbitung tanggal 15 Maret 1856.
Kawan, suratnya nanti saja ya. Di minggu ke-25 aku akan menyajikannya untukmu. Sungguh. Maka catatan Reading Group Max Havelaar minggu ke-24 ini kututup hingga di sini saja. Sampai berjumpa Selasa mendatang. Ya, Selasa mendatang. Selasa, 9 November yang akan datang. Sampai nanti.
0 komentar:
Post a Comment