Oleh Ubaidilah Muchtar
Selasa yang mendung. Langit tampak hitam. Pukul Sembilan pagi. Menyusuri jalan. Meninggalkan SMPN 1 Cipanas. Menuju Rangkabitung. Mampir sebentar di Sajira. Di Kompleks Perumahan KORPRI. Minta tanda tangan. Menemui kepala sekolah. Menuju kantor Askes. Kantor Askes di Jalan Multatuli. Di depan Kantor Pos. Sebelah RSUD Dr. Adjidarmo. Kartu Askes sebentar keluar.
Menuju SD Multatuli. Aih, namanya kini berganti. Menjadi SDN Muara Ciujung. Ah, sayang sekali. Kulihat ada spanduk di pos satpam. Izin mengambil gambar. Pak satpam baik hati. Mengantar sampai ke dalam. Di dalam masih menggunakan nama Multatuli. Sayang hanya di spanduk. Tak apalah kuambil gambar saja.
Meninggalkan SD. Menuju BRI di Jalan Multatuli. Sempat dulu melihat ada tertulis: BRI MULTATULI. Aih, lagi-lagi kini tak ada. Sayang tulisan itu telah berganti. Kumasuki halaman BRI. Kumasuki gedung BRI. Sebantar kuberbincang. Dengan dua petugas BRI. Kutanyakan kapan plang berganti. Petugas baik menjelaskan. Kira dua bulan lalu plang diganti. Kini hanya yang ada hanya BRI tanpa Multatuli di depan gedung itu. Di mana simpan bekas plang itu. Petugas tak tahu. Mungkin di kantor pusat. Pamit pergi. Meninggalkan BRI.
Menuju Apotek Multatuli. Apotek di depan deretan ruko. Dekat stasiun kereta api. Pamit ikut ambil foto ke pemilik apotek. Pemilik baik membolehkan. Kuambil foto. Pergi menuju Aula Multatuli.
Ini Aula Multatuli. Gedung Pemerintah Kabupaten Lebak. Satpol PP datang menjemput. Bertanya ini dan itu. Kuingin ambil foto nama di atas gedung itu. Satpol PP membolehkan. Kutinggalkan gedung Pemkab.
Menuju alun-alun. Di alun-alun tak ada simpan nama Multatuli. Hanya tersimpan di memori warga. Jika itu alun-alun punya nama Multatuli.
Klinik Multatuli di samping mesjid agung. Klinik tepat di seberang RSUD. Kuambil gambar lalu pergi.
Memarkir motor. Lekas berjalan ke dalam RSUD. Di sampingnya ada rumah. Rumah Multatuli. Telah kutuliskan tentang rumah ini. Kuambil foto. Lalu pergi.
Menuju Cileles. Kukira akan sebentar. Perkiraanku salah. Rangkasbitung-Cileles lumayan jauh. Melewati Cileles. Melalui kebun sawit. Di Cileles ada plang Kp. Parung Kujang. Nah, ini dia kampungnya Wiranata Kusumah. Demang jahat. Perampok kerbau rakyat. Termasuk kerbau Ayah Saijah. Kuambil foto plangnya saja. Tujuanku hendak ke Badur. Ke Desa Badur, desanya Saijah.
Melewati Gunung Kencana. Jalannya naik dan naik. Di atas gunung. Melihat bukit-bukit yang hijau. Hujan menyisakan genangan air di daun-daun. Di jalan. Di pepohonan. Di Gunung Kencana ada pabrik karet. Kulewati Gunung Kencana. Kini telah kulalui 40 km dari Rangkasbitung. Masih tersisa 4 km lagi menuju Badur.
Desa Badur di depan mata. Dari jalan raya masuk 3 km. Jalannya beraspal sebagian. Di depan Balai Desa Badur aku berhenti. Bertanya di mana rumah pak lurah. Pemilik warung yang baik mau menunjukan rumah pak lurah. Kususuri jalan mendaki. Di sebuah perempatan kutemukan kios-kios. Ini pasar. Inilah kampong Badur. Kampungnya Saijah. Kulewati pasar. Aku lurus menuju rumah pak lurah.
Pak lurah ada di rumah. Pak lurah bukan asli Badur. Ia pendatang. Ia pamit minta izin. Hadirkan dua warga asli Badur. Kusampaikan maksudku. Dua warga berceita. Ya, dulu orang tua mereka pernah bercerita. Ada pemuda desa. Namanya “Saijan”. Bukan “h” tapi “n” menjadi dongeng di kampungnya. Konon ada harta karun di bawah pohon ketapang. Konon ada pemuda berkuda putih lewat jalan kampungnya. Sempat ada warga kampong yang dibawa ke Belanda.
Kubuka novel kubaca Saijah meminta Adinda menemuinya di bawah pohon ketepang. Dua warga berkata. Tak pernah ada yang tahu di mana pohon itu berada. Kubaca Saijah membawa banyak harta dari Batavia. Kutanya tentang Adinda. Dua warga tak pernah ada yang tahu kabar gadis desa itu.
Satu jam kami berbincang. Kusampaikan terima kasihku. Kupergi dari rumah pak lurah. Pak Sobir, namanya. Kembali melewati kampung Badur. Kuambil ibu-ibu di warung. Bertanya adakah yang pernah dengar Saijah Adinda. Mereka jawab sama. Tidak. Kuambil foto. Di jalan arah pulang. Bertemu sejoli sedang asyik berbincang. Mungkin pacaran. Sebentar kuberhenti. Pemuda namanya, Jajat. Gadis namanya, Siti Nurkholifah. Kutanya pernah dengar Saijah dan Adinda. Mereka jawab sama seperti ibu di sana. Kubuka novel sambil bercerita soal Saijah. Jajat tertarik. Dia mau buka bab 17 Max Havelaar.
Pergi melalui jalan yang lain. Aku tak kembali ke Rangkasbitung. Jalanku melalui Bojong Manik. Lalu ke Ciboleger. Di Ciboleger sebentar berhenti. Mengisi perut yang lama minta diisi. Ambil foto patung di pintu masuk Baduy.
Meninggalkan Ciboleger. Hujan masih mengguyur sejak meninggalkan Badur. Kutulis pesan kepada kawan di Ciseel. Mohon maaf untuk peserta RG Max Havelaar. Sebab aku masih jauh. Hujan pun tak hendak berhenti. Aku tak akan tiba pukul empat di Taman Baca Multatuli. Sebab pukul setengah empat aku masih di Bojong Manik. RG Max Havelaar diganti besok hari.
Kususuri Cisimeut. Melewati jembatan panjang sungai Cisimeut. Bertemu jembatan kuning sungai Cipeuyah. Sampai di Warung Lame. Jalan mulus tanpa lubang. Pukul lima tiba di Ciminyak. Ah, aku lanjut ke Cipanas. Sebab semua perlengkapanku ada di sana. Di Cipanas hampir magrib. Langit masih juga mendung. Ini Selasa, 21 Desember 2010. Cipanas-Rangkasbitung 38 Km. Rangkasbitung-Badur 44 Km. Badur-Ciboleger 20 Km. Ciboleger-Cipanas 34 Km.
0 komentar:
Post a Comment