728x90 AdSpace

  • Latest News

    14 December 2010

    Catatan Reading Group Minggu Ke-23 Novel Max Havelaar

    Oleh Ubaidilah Muchtar

    April tahun 2009 lalu ada acara menarik di Pekalongan. Acara tersebut bertajuk “Sastra Sepeda”. Acara Sastra Sepeda tak jauh-jauh dari mengayuh sepeda dan sastra. Setiap siang selama tiga hari para peserta diajak mengenal Pekalongan dengan naik sepeda. Tempat-tempat seperti Pasar Rakyat, Pegadaian, Rumah Sakit Umum Daerah, Taman Makam Pahlawan, Museum Batik, Pantai Bum, dan Pabrik Tenun menjadi tujuan. Malam hari para peserta berdiskusi. Membincangkan sastra.
    Peserta Sastra Sepeda datang dari berbagai kota. Mereka menggenjot sepeda. Jaraknya lumayan jauh. Bagi yang tidak terbiasa bersepeda tentu ini suatu tantangan yang patut ditaklukkan. Para peserta dari anak usia sekolah dasar hingga orang tua rama-ramai naik sepeda.
    Lalu apa hubungannya dengan sastra? Ya, kegiatan mengayuh sepeda ini diikuti dengan menulis catatan perjalanan. Peserta Sastra Sepeda diwajibkan membawa alat tulis untuk mencatat. Mencatat apa saja yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialaminya selama perjalanan dan di tempat tujuan. Menarik melihat anak laki-laki dan perempuan mengayuh sepeda. Mungkin itu hal biasa di Pekalongan. Namun jika yang naik sepeda jumlahnya lebih dari lima puluhan. Itu luar biasa. Bahkan di hari kedua pihak kepolisian mengawal rombongan Sastra Sepeda menuju Pantai Bum Pekalongan.
    Jika di siang hari kami mengayuh sepeda, maka malam hari kami berdiskusi sastra. Siang hari kami disuguhi suasana Pekalongan dengan segala aktivitas warganya. Malam hari kami berdiskusi di bawah rimbunan buku di Taman Baca Jala Pustaka. Taman Baca Jala Pustaka tuan rumah acara Sastra Sepeda.
    Hari pertama naik sepeda kami mengunjungi Pasar Rakyat, Pegadaian, RSUD, dan Taman Makam Pahlawan. Ada suatu peristiwa yang menarik saat menuju Taman Makam Pahlawan. Akan kuceritakan di sini.
    Selepas RSUD, para pengayuh sepeda disuguhi alam pedesaan: sawah yang menghijau, irigasi yang cukup, rumput yang tumbuh lebat di pinggir jalan, para pejalan kaki sepulang dari sawah, dan anak-anak usia sekolah yang sedang bermain sepak bola bertelanjang kaki. Memasuki jalan kecil di tengah perkampungan kami jalan beriringan. Di depan sebuah rumah, ibu-ibu tampak duduk-duduk. Pohon belimbing di depan rumahnya lebat hingga ke tepian jalan. Seekor kucing tertidur hampir di tengah jalan yang akan kami lewati. Beberapa orang peserta yang berjalan lebih awal akan menghindari kucing tersebut dengan cekatan. Khawatir jika ban sepeda yang dikayuhnya menggilas badan kucing. Salah seorang peserta menghentikan laju sepedanya. Memberi aba-aba kepada peserta di belakangnya agar berhenti. Memarkir sepedanya di pinggir jalan. Menuju kucing yang tengah lelap tertidur. Ibu-ibu yang sedang duduk berbincang memperhatikannya. Mengangkat badan kucing. Memindahkan badan kucing ke dalam pagar. Ke bawah pohon belimbing. Kucing menggeliat. Membuka mulutnya. Lalu kembali tertidur. Peserta Sastra Sepeda kembali mengayuh tunggangannya.
    Selasa, 26 Oktober 2010
    Matahari telah condong ke barat. Suryati dan kawan-kawannya telah duduk di depan rak buku di Taman Baca Multatuli. Selasa ini Suryati dan kawan-kawan akan Reading Group novel Max Havelaar. Selasa ini pertemuan ke-23 mereka.
    Aktivitas rutin Selasa ini diikuti oleh peserta dari 3 kampung di Desa Sobang. Mereka hadir sebelum pukul empat. Pukul empat waktu dimulainya Reading Group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Sebagian besar peserta adalah anak-anak Kampung Ciseel. Sementara yang lainnya datang dari Babakan Aceh dan Cigaclung.
    Duduk bersila di atas tikar lusuh. Para peserta memegang novel yang sama. Selasa ini akan melanjutkan pembacaan bab 15 yang tersisa. Minggu ini kami akan berpaling. Kami tidak akan melanjutkan membahas kemunafikan sumpah pejabat pemerintah yang akan melindungi masyarakat dari pemerasan dan eksploitasi. Sumpah menjijikan dari pejabat yang akan mengasihi rakyat dan melawan tirani.
    Saat ini peserta reading hanya akan menunjukkan posisi sulit seorang pria yang menganggap dirinya terikat untuk melaksanakan tugas. Berikut ini paragraf pertama yang disimak para peserta RG Max Havelaar di Selasa sore yang cerah.
    Bagi Havelaar kesulitan ini bahkan, lebih besar dibandingkan dengan yang mungkin dialami oleh orang lain, karena pada dasarnya dia berjiwa lembut, sangat kontras dengan tekanan kekuasaannya, yang mulai saat ini akan disadari pembaca sebagai ketekunan yang luar biasa. Oleh karena itu, dia tidak hanya bertarung dengan ketakutan pada manusia atau dengan kekhawatiran mengenai karier dan promosinya, atau semata-mata tugasnya sebagai seorang ayah dan suami—dia juga harus mengalahkan musuh yang berada di dalam batinnya! Dia tidak bisa memahami dukacita tanpa pernah mengalaminya sendiri. Membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menjelaskan cara dia melindungi diri dari lawannya, bahkan di saat dia terluka dan terhina. Dia telah memberitahu Duclari serta Verbrugge jika dia merasakan sesuatu yang memikat dalam duel menggunakan pedang saat dia muda... namun dia tidak menambahkan jika, setelah melukai lawannya, biasanya dia menangis, dan akan merawat lawannya seperti seorang suster penuh kasih hingga dia pulih kembali. Saya bisa memberitahu Anda bagaimana ketika di Natal, ketika seorang narapidana yang dirantai menembaknya, dia memanggil orang itu, bicara baik-baik dengannya, serta memberinya makanan dan keleluasaan lebih banyak dari orang lain, karena kegusaran tahanan itu ada hubungannya dengan fakta jika hukumannya, yang disahkan di tempat lain, terlalu berat. [MH, hlm. 259-260]
    Biasanya kebaikan Havelaar selalu ditolak dan dianggap konyol. Ditolak oleh mereka yang mencampuradukkan hati dengan kepalanya. Dianggap konyol oleh mereka yang tidak mengerti mengapa seseorang yang perasa bisa mengambil risiko. Sampai di sini ingatan tiba-tiba melayang ke bulan April 2009. Teringat seorang peserta Sepeda Sastra yang mengangkat tubuh kucing yang tertidur di tengah jalan. Khawatir jika tubuh kucing tergilas ban sepeda. Kusampaikan pada para peserta jika tiba-tiba saja teringat kisah rasul yang dilempari kotoran. Lalu yang melempari itu didera siksa berupa kebutaan. Rasul tidak membalas kejahatan orang tersebut. Malah rasul membalasnya dengan kebaikan. Tentang seorang kawan yang mengangkat tubuh kucing yang tertiur di tengah jalan ini makin kuat ingatanku saat membaca paragraf ini. Kubaca pelan. Peserta RG Max Havelaar menyimak dengan khidmat.
    Apakah itu “pameran” dari sisi Havelaar, ketika dia melompat ke muara sungai di Natal demi seekor anjing—Sappho nama hewan itu—karena dia takut jika, karena dia masih seekor anak anjing, maka dia tidak bisa berenang dengan baik untuk menyelamatkan diri dari hiu-hiu yang berenang di sana? Tampaknya sangat sulit bagi saya untuk percaya jika ini hanya “pameran” kebaikan bukannyakebaikan itu sendiri. [MH, hlm. 261]
    Bagaimana menurut pembaca sifat Havelaar ini? Kurang banyakkah bukti kebaikan hatinya? Di sini saya tidak akan memperjuangkan kebijaksanaannya atau otaknya; tetapi bagaimana dengan hatinya? Seekor lalat malang yang meronta-ronta karena terjerat di sarang laba-laba. Havelaar menyelamatkannya ketika tidak ada orang di sekitarnya. Apakah ini tidak cukup bukti agar pembaca melindungi diri dari tuduhan Havelaar pamer?
    Pembaca yang baik,
    Rasanya berlebihan jika mengatakan hal ini. Saat membaca bagian ini, rasanya, damai sekali. Entahlah apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba semua peserta begitu menghayati puisi Havelaar berikut ini. Puisi ini ditulis Havelaar di Jerman. Suatu tempat yang nantinya akan dia mukimi untuk beberapa bulan. Di dalam buku yang diterjemahkan H.B. Jassin tertulis titi mangsa: Cassel, Januar 1859
    “Anakku jam berdentang, sembilan kali—dengarkan!
    Angin malam berhembus, dan udara menjadi dingin,
    Terlalu dingin bagimu, mungkin: keningmu berkilau!
    Kau telah bermain dengan bebas sepanjang hari,
    Kau pasti lelah, jadi kemari, tikarmu telah menanti.”
    “Oh ibu, biarkan aku tinggal sebentar lagi!
    Aku sedang berbaring nyaman beristirahat sekarang ... dan
    di sana,
    Di atas tikarku, aku segera tidur,
    Bahkan tanpa mengetahui aku sedang bermimpi apa! Tetapi
    di sini,
    Di sini aku bisa memberitahumu dengan segera tentang
    apa yang kuimpikan,
    Dan bertanya padamu apa artinya... oh, dengar, Ibu,
    “Apa itu?”
    “Itu sebuah kelapa yang jatuh.”
    “Apakah menyakitkan bagi kelapa?”
    “Tidak, Ibu kira tidak,
    Karena baik buah maupun batu, mereka berkata, tidak memiliki perasaan.”
    “Dan bunga-bunga, kalau begitu—apakah mereka mereka tidak merasakan apa pun?”
    “Tidak,
    Mereka berkata tidak memiliki perasaan juga.”
    “Ibu,
    Kemarin, ketika aku merusak pukul ampat,
    Mengapa Ibu berkata jika itu menyakiti bunga-bunga?
    “Anakku, pukul ampat begitu indah,
    Kau dengan kasar merobek kelopaknya yang lembut,
    Dan Ibu merasa kasihan dengan bunga cantik yang malang itu.
    Meskipun bunga itu sendiri tidak merasakan apa-apa
    Ibu merasakannya untuk bunga-bunga itu, mereka begitu cantik.”
    “Tetapi Ibu, apakah kau juga cantik?”
    “Tidak, nak,
    Ibu tidak merasa begitu.”
    “Tapi apakah kau memiliki ‘perasaan’?”
    “Ya, manusia memiliki itu... tapi tidak semuanya sama.”
    “Dan adakah sesuatu yang bisa menyakitimu? Apakah kau merasa sakit
    Ketika kepalaku diletakkan, begitu lama, di pangkuanmu?”
    “Tidak, itu tidak menyakitkan ibu!”
    “Dan, Ibu, Aku...
    Apakah aku memiliki ‘perasaan’?”
    “Tentu saja! Ingat
    Saat kau tersandung, dan melukai tangan kecilmu
    Di atas sebuah batu, lalu menangis begitu sedih.
    Kau juga menangis ketika Saudin memberitahumu
    Di atas sana di antara bukit-bukit seekor kambing kecil
    Terjatuh ke dalam jurang yang dalam dan mati. Kemudian
    Kau menangis dalam waktu yang lama. Lihat, itu adalah perasaan.”
    “Tetapi, Ibu, apakah ‘perasaan’ ini menyakitkan, kalau begitu?”
    “Ya,
    Seringkali, tetapi... tidak selalu, terkadang tidak! Kau tahu,
    Ketika adik menarik rambutmu,
    Dan... menarik wajahmu agar dekat dengan wajahnya,
    Lalu kau tertawa riang, dan itu juga perasaan.”
    “Dan adik, kalau begitu... dia begitu sering menangis,
    Apakah itu karena rasa sakit? Punyakah dia, kalau begitu,
    ‘perasaan’ juga?”
    “Mungkin, sayangku, tetapi kita tidak mengetahuinya,
    Karena dia masih terlalu kecil untuk bisa memberitahu kita.”
    “Tapi, Ibu... dengar, apa itu?”
    “Seekor rusa
    Terlambat pulang di dalam hutan, dan sekarang sedang bergegas
    Menuju rumahnya, serta menemukan keinginannya untuk
    beristirahat
    Bersama rusa lain yang dia cintai.”
    “Ibu, apakah seekor rusa
    Seperti itu juga memiliki adik? Apakah dia memiliki
    Seorang ibu seperti aku?”
    “Nak, Ibu tidak tahu.”
    “Akan menyedihkan juga, jika dia tidak punya!
    Tetapi Ibu, lihat... apa yang bersinar di semak sana?
    Lihat bagaimana dia meloncat dan melompat... apakah itu
    bunga api?”
    “Itu adalah kunang-kunang.”
    “Boleh kucoba menangkapnya?”
    “Boleh, tetapi serangga kecil itu begitu lembut
    Jadi kau pasti menyakitinya, dan segera
    Setelah kau dengan kasar menyentuhnya dengan jarimu,
    Makhluk itu kesakitan, mati dan tidak lagi bersinar!”
    “Oh, itu akan menyedihkan. Tidak, aku akan membiarkannya!
    Lihat, sekarang dia hilang... tidak, dia datang kemari...
    Tapi aku tidak akan menangkapnya! Sekarang dia sedang
    terbang,
    Bahagia karena aku tidak menangkapnya.
    Itu dia di sana... tinggi! Tinggi, di sana... apa itu,
    Apakah mereka kunang-kunang kecil juga?”
    “Itu adalah
    Bintang-bintang.”
    “Lihat, satu! Dua puluh! Seribu!
    Berapa banyak di sana?”
    “Ibu tidak tahu,
    Belum ada yang berhasil menghitung jumlah bintang.”
    “Tapi beritahu aku, bahkan Dia juga tidak bisa melakukannya?”
    “Tidak, sayang, bahkan Dia juga tidak.”
    “Apakah jauh sekali,
    Nun jauh di atas di mana bintang berada?”
    “Sangat jauh!”
    “Tetapi apakah mereka memiliki ‘perasaan’ ini juga, bintang-bintang itu?
    Dan akankah mereka, jika aku menyentuhnya dengan tanganku,
    Langsung kesakitan, dan mati, serta kehilangan cahayanya,
    Sama seperti kunang-kunang? Lihat, dia masih berputar-putar!
    Katakan, apakah aku juga akan menyakiti bintang-bintang?”
    “Oh tidak,
    Kau tidak bisa menyakiti bintang-bintang! Lagipula, mereka
    terlalu jauh
    Bagi tangan kecilmu: kau tidak bisa meraih terlalu tinggi.”
    “Bisakah Dia menjulurkan tangannya dan mengambil bintang?”
    “Tidak, sayang, bahkan Dia tidak bisa; tidak ada yang bisa!”
    “Oh, sayang sekali! Betapa inginnya aku
    Membrimu satu! Tapi tunggu hingga aku besar,
    Dan aku akan sangat mencintaimu semampuku!”
    Anak itu jatuh tertidur, dan memimpikan “perasaan”,
    Tetapi bintang-bintang yang tertangkap dan diambil oleh
    tangan kecil...
    Lama sebelum sang ibu tertidur! Tetapi dia
    Juga bermimpi, memikirkan Dia di jauh sana...
    [MH, hlm. 261-266]
    Oh, betapa syahdunya suasana Reading Group Minggu ke-23 ini. Apakah yang membuat hati-hati ini begitu damai dengan puisi ini. Semua terjadi begitu saja. Terjadi di Selasa sore, 26 Oktober 2010. Kami yang mengikuti Reading Group novel Max Havelaar. Di antaranya: Suryati, Elis, Ucu Suharnah, Sujana, Elah Hayati, Mamay, Nuraeni, Herti, Agung, Ahyar, Umdi, Herman, Misnan, Cecep, Ulung Suardi, Sumarna, Asri, Aliyudin, Suana, dan Dede Irawan. Mereka 20 orang banyaknya.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan Reading Group Minggu Ke-23 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top