728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 December 2010

    Catatan RG Minggu Ke-22 Novel Max Havelaar



    Oleh Ubaidilah Muchtar
    Jika kemiskinan dan kelaparan telah melemahkan masyarakat, itu akibat kegagalan panen, kekeringan, hujan lebat, atau semacam itu, namun tidak pernah karena salah pengurusan. [Max Havelaar, bab 14, h. 255]
    Saat aku tiba Selasa sore, mereka telah duduk melingkar. Di atas tikar lusuh mereka duduk. Tampak wajah-wajah ceria. Berpakaian bersih warna-warni. Bedak putih campuran beras kencur terlihat menghias pipi. Duduk bersila atau melipat kaki. Memegang buku atau majalah. Sambil sesekali bergurau. Saling melempar canda. Tampak bahagia.
    Aku turunkan bawaanku. Melepas pakaian basah. Keringat mengucur sepanjang jalan. Mengenakan handuk pergi ke jamban. Membasuh badan dengan air dingin. Badan segar meski agak menggigil. Berlari kembali ke kamar. Berganti pakaian. Merapikan wajah. Menyemprotkan wewangian ke pakaian. Lalu bergegas memasuki lingkaran. Begitulah di setiap Selasa sore.
    Di antara mereka yang duduk melingkar, aku duduk di antaranya. Salah seorang dari mereka telah menurunkan novel. Novel yang kami baca sejak delapan bulan lalu. Novel yang pertama kali dibaca di kampung ini. Kampung Ciseel yang belum teraliri listrik.
    Mereka yang sejak tadi duduk melingkar. Berebut novel yang baru saja diturunkan. Aku peringatkan agar mereka tertib mengambil novel. Memegang satu satu. Menaruhnya di atas pangkuan. Membuka halaman yang hendak kami baca.
    Aku keluarkan buku merah. Buku dengan lima kolom di setiap lembarnya. Buku yang menampung kesan dan pesan mereka. Kubiarkan buku itu sejenak di depan mereka. Sebelum pada akhirnya keliling menunggu diisi.
    Mereka saling tanya. Sampai halaman berapa kami membaca. Salah seorang akan berujar. Memastikan hati yang gusar. Kami membuka halaman yang sama. Novel dengan sampul putih. Wajah seorang yang sangat mereka kenal di tengah sampul depan. Terlihat matanya tajam menatap. Mata yang menatap penuh kepastian. Membela yang lemah. Menyerang pejabat yang suka main kuasa.
    Kubuka pertemuan ini. Mereka dengan sigap menjawab setiap tanya yang kulontarkan. Kami berbincang tentang bacaan minggu lalu. Menghubungkan yang sempat terpotong. Mengingatkan agar tidak terkena penyakit lupa. Menyegarkan ingatan yang terkadang suka karatan. Kami sama ingat. Aku bertanya, “Ini siapa?” Mereka menjawab, “Ini Multatuli.”
    Multatuli, dia yang banyak menderita. Orang Belanda yang sayang kepada orang Lebak. Tidak hanya sayang kepada orang Lebak, tapi orang Indonesia. Multatuli yang membongkar ketidakberesan pejabat pribumi. Pejabat pribumi yang suka merampok kerbau petani. Pejabat pribumi yang suka memukul dengan rotan. Memukul badan rakyat yang kurus dan lemah. Pejabat pribumi yang banyak menggunakan tenaga tanpa bayaran. Membiarkan rakyat sengsara sementara mereka hidup mewah. Multatuli yang berani mengeritik pemerintahannya sendiri. Pemerintah Belanda yang memeras harta rakyat. Pemerintah Belanda mengambil kopi dan hasil bumi. Sementara rakyat meminum kopi daun. Kopi dari daun kopi. Rakyat sengsara dan kelaparan. Pejabat hidup mewah dan berkecukupan.
    Ini juga Selasa. Selasa, 19 Oktober 2010. Aku duduk di antara 25 peserta Reading Group Max Havelaar. Kami duduk di depan dua rak buku di Taman Baca Multatuli. Koleksi buku di Taman Baca Multatuli belum banyak. Semangat mereka luar biasa. Keinginan mereka untuk ilmu sangat menggebu. Ayo, siapa mau tambah koleksi! Kuterima dengan senang hati.
    Max Havelaar ada di tangan mereka. Ada pula satu novel dibaca bertiga. Havelaar yang baik. Tak suka kuasa disalah guna. Tak sudi ada rakyat bekerja tanpa upah. Lebih baik Tina tak dapat menikmati bunga-bunga. Atau Max kecil yang tak main di halaman. Daripada harus rakyat kerja tanpa dibayar. Tentu berat Havelaar harus berbuat. Pejabat jahat tahu ia jahat. Pejabat jahat enggan berbuat baik meski tahu ia tak baik. Di Lebak, contoh itu terlihat kentara.
    Pejabat mendapat kesenangan tetapi di pihak rakyat mendapat kesengsaraan dan kelaparan. Havelaar juga tahu pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan itu sebenarnya mengetahui.
    “Sekarang anggap saja, sebisa mungkin, jika Residen tidak memperoleh keuntungan langsung dari pemerasan dan dari pemanfaatan masyarakat secara sewenang-wenang, muncul pertanyaan: apa yang, kemudian, memengaruhi begitu banyak orang, berlawanan dengan sumpah yang diucapkan serta tugasnya, memperbolehkan penyalahgunaan kekuasaan seperti itu berlangsung tanpa memberitahu pemerintah mengenainya? Dan siapa saja yang memikirkan pertanyaan ini pasti merasa sangat aneh jika tahu bahwa, keberadaan penyalahgunaan ini disadari dengan begitu tenang, seolah-olah ini adalah masalah yang jauh di atas jangkauan atau kemampuan manusia untuk mengatasinya. Saya akan mencoba mengungkapkan alasannya.”
    “Biasanya, tugas sederhana untuk membawa berita buruk adalah hal yang tidak menyenangkan, dan tampaknya hal itu terlihat menetapkan kesan kurang baik pada orang yang memiliki tugas menyedihkan untuk menyampaikannya. Sekarang, jika fakta ini sendiri merupakan alasan yang cukup bagi sebagian orang untuk mengingkari, berlawanan dengan pengetahuan terbaiknya, keberadaan sesuatu yang tidak menyenangkan, harus berapa banyak kasus lagi ketika terdapat risiko, tidak hanya membawa hal yang tidak menyenangkan itu yang tampak sepenuhnya menjadi rintangan atau berita buruk, namun sesungguhnya hanya dianggap sebagai penyebab situasi tidak aman, saat tugas memaksa seseorang mengungkapkannya!” [MH, bab 14, h. 252-253]
    Kuyakin pembaca banyak tahu. Banyak laporan yang ditulis hanya untuk menyenangkan pejabat berwenang. Laporan yang hanya berisi pujian setinggi langit. Laporan dari bawahan tak pernah diperiksa kebenarannya. Langka meninjau langsung ke lapangan. Alpa memeriksa yang sebenarnya terjadi di rakyat bawah. Laporan palsu diterima dengan senang hati.
    “Pemerintah Hindia Belanda Timur memilih untuk menuliskan serta memberitahu tuannya di Ibu Pertiwi, bahwa segalanya berjalan lancar. Residen juga melaporkan hal yang semacam pada pemerintah. Asisten Residen, yang, di pihak mereka, hanya menerima laporan positif dari para pengawas, yang juga memilih untuk tidak mengirimkan laporan yang tidak berkenan pada Residen. Semua ini melahirkan keoptimisan palsu di kalangan pejabat, serta mencatat perlakuan penyalahgunaan kekuasaan, tidak hanya bertentangan dengan kebenaran tetapi juga pada pendapat pribadi yang ditunjukkan melalui keoptimisan itu sendiri saat mendiskusikan persoalan tersebut secara verbal, dan—yang aneh!—bahkan sering berkebalikan dengan fakta-fakta yang mereka tulis di laporan mereka sendiri.” [MH, bab 14, h. 253]
    Banyak sekali laporan yang mempertahankan kekurangajaran. Rakyat sengsara dan lapar. Dilaporan tertulis rakyat makmur dan sejahtera. Bagaimana tidak kaget? Yuk, intip sebuah laporan yang diawali dengan kalimat begini. “Selama beberapa tahun daerah ini tetap berada dalam kedamaian”. Inilah rasa percaya diri yang berlebihan. Tapi kan bagus? Adakah yang hendak bertanya begitu? Oh, inilah keanehan para pejabat. Menulis laporan hanya demi menyenangkan atasan. Laporan yang menyedihkan!
    Kelaparan banyak terjadi. Rakyat sengsara. Kabur meninggalkan Lebak. Pejabat jahat. Hidup mewah dari keringat dan darah rakyat. Memeras. Merampok. Tak tahu cara melaksanakan sumpah. Sumpah untuk menyejahterakan rakyat. Menolong yang miskin. Banyak alasan untuk lari dari kesalahan.
    “Jika populasi tidak bertambah, fakta ini ditujukan pada ketidakakuratan hasil sensus dari tahun-tahun sebelumnya. Jika penerimaan di bidang pajak tidak meningkat, itu dianggap sempurna: tujuannya untuk mendukung pertanian dengan nilai taksiran rendah, karena baru sekarang memulai pembangunan dan akan segera—terutama ketika penulis laporan itu telah meninggalkan distrik tersebut—menghasilkan hasil yang mengagumkan. Jika terjadi kerusuhan yang tidak bisa ditutupi, maka itu adalah hasil karya beberapa orang yang dengki, yang tidak perlu lagi merasa takut, karena terdapat kepuasan umum di mana-mana. Jika kemiskinan dan kelaparan telah melemahkan masyarakat, itu akibat kegagalan panen, kekeringan, hujan lebat, atau semacam itu, namun tidak pernah karena salah pengurusan.” [MH, bab 14, h. 255]
    Carolus—pendahulu Havelaar—pernah menulis bahwa penurunan populasi di Parangkujang disebabkan penyalahgunaan kekuasaan yang berlebihan. Penyalahgunaan kekuasaan secara “mengejutkan”. Catatan tersebut banyak menuliskan penyalahgunaan kekuasaan. Catatan yang berisi poin-poin. Poin-poin yang dibicarakan penulisnya pada Residen Banten.
    “Pendeknya, laporan resmi dari fungsionaris pada pemerintah, dan sebagai hasilnya laporan yang didasarkan dari laporan mereka yang dikirim oleh pemerintah ke Ibu Pertiwi, sebagian besar dan kebanyakan di bagian terpenting adalah bohong.” [MH, bab 14, h. 255]
    Asri, Ajis N., Sujana, Oom, Sumarna, Irman, Ucu, Rukanah, Sadah, Elis, Mamay, Iis, Suhayah, Samnah, Suryati, Nuraeni, Herti, Elah, Warsih, Nuraenun, Yeni, Jumsinah, Pipih, Dedi Kala, dan Dede. Inilah peserta RG minggu ke-22 novel Max Havelaar. RG Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Selasa, 19 Oktober 2010.
    Selesai RG beberapa peserta kumpulkan novel. Rapikan kembali novel. Angkat ke rak. Susun hingga beres. Novel di rak seperti awal kembali. Inilah bukti responsibility. Mereka juga harus menjaga. Novel yang dibaca haruslah terjaga. Buku merah telah disimpan. Peserta RG melahap makanan. Senang, melihat mereka senang. Sambil makan kami berbincang. Apa cerita yang baru saja kami baca. Kembali mengingat, kembali mengaitkan. Agar tersimpan kuat diingatan. Kukatakan terima kasih. Sebab mereka telah memilih. Memilih RG di Selasa sore. Sebab mereka telah berani. Ambil restu dari ibu. Selepas membantu masak di dapur. Bergegas mereka untuk berbaur. Berbaur dengan kawan yang lain. Di sini, di Taman Baca Multatuli.
    Kini waktuku undur diri. Sampai bersua kembali. Salam dari kami. Peserta RG Max Havelaar, Multatuli.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan RG Minggu Ke-22 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top