Taman bunga merah terhampar bersinar
Di bawah bulan yang diam;
Bunga teratai sedang merana
Karena saudari yang dijanjikan nanti;
Bunga violet yang terkikik, bergosip
Menatap bintang-bintang dari lembah mereka;
Di setiap telinga para mawar
Membisikkan semerbak dongeng.
[Max Havelaar: 174]
Anisah, Sumi, Elvi Sukaesih, Nining, dan Siti Alfiah telah lulus SMP. Sejak reading groups minggu ke-13 mereka tak lagi terlihat. Anisah telah menikah dan dibawa suaminya ke Kampung Cikawah. Sumi pergi ke Pandeglang untuk memperdalam agama Islam di sebuah pesantren. Elvi sama seperti Sumi pergi mesantren hanya tak terlalu jauh. Elvi ke pesantren yang ada di Kecamatan Muncang. Nining pesantren ke Kampung Kentrong. Siti Alfiah melanjutkan ke SMA sambil mondok di pesantren. Siti Alfiah melanjutkan ke SMA Al Farhan di Cipanas. Tinggal Nurdiyanta yang masih ikut reading. Nurdiyanta tetap tinggal di Kampung Ciseel. Nurdiyanta tidak melanjutkan sekolah atau pergi ke pesantren. Nurdiyanta sehari-hari pergi ke kebun atau ke sawah.
Meskipun Anisah, Sumi, Elvi, Nining, dan Siti Alfiah tidak lagi ikut reading groups Max Havelaar. Namun Pipih, Mariah, Aliyudin, Pepen, Dedi Kala, Siti Nurhalimah, Rohanah, Siti Nurajijah, serta Nurdiyanta masih tetap ikut reading. Ada yang lebih menggembirakan lagi. Kini peserta reading groups Max Havelaar bertambah lagi. Ada Nuraeni, Jumsinah, Suha, Herti, Arsiah, Oom, Nuraenun, Mamay, Elis, dan Iis. Mereka datang untuk ikut reading Max Havelaar. Seolah tak ingin ketinggalan, peserta laki-laki pun kini bertambah. Coba lihat sekarang selalu hadir Herman, Irman, Dede, Yani, Asri, dan Ano. Maka saat reading groups Max Havelaar Selasa, 27 Juli 2010 buku Max Havelaar terbitan Narasi diturunkan semua. Hari ini kami reading Max Havelaar minggu ke-14. Kami membaca bab X.
Jika melihat nama-nama peserta reading ini tentu jauh berbeda dengan nama anak-anak seusia mereka di daerah perkotaan. Nama mereka cukup sederhana. Sesederhana kehidupan mereka. Nama mereka hanya satu kata. Tengok saja misalnya Suha, Jumsinah, Arsiah, Oom, Nuraenun, Nuraeni, Herti, Mamay, Asri, Dede, Irman, Herman. Walau nama mereka sederhana, tapi semangat mereka luar biasa. Mereka membantu orang tua mengambilkan kayu bakar atau mengambil air. Menggembalakan kambing. Ikut panen saat musim panen tiba. Jika musim durian tiba, mereka bekerja kuli angkut durian. Mereka sudah terbiasa memegang golok saat membelah atau memotong kayu. Mereka juga tetap bersekolah. Dan mereka mau membaca.
Saat reading groups minggu ke-14 ini berlangsung sebagian dari mereka juga membawa serta adiknya. Mereka memang harus mengasuh adik. Itu bagi mereka yang memiliki adik. Aku senang mereka kini makin sering membaca. Kini mereka memahami arti kata "janggal". Ya, ini salah satu contoh saja. Di sebuah majalah anak ada perintah untuk menemukan sekian banyak gambar janggal. Sebelumnya rubrik ini sering mereka lewati. Kini banyak yang memburunya. Tentu saja kata "eksploitasi" yang sering berdekatan dengan Adipati Karta Natanegara atau menantunya, Wiranata Kusumah pun kini telah mereka pahami.
Reading groups minggu ke-14 membaca bab X. Dalam bab ini Batavus Droogstoppel masih terlihat jengkel dengan Stern. Batavus Droogstoppel yang setia kepada kitab sucinya secara terang-terangan menghujat puisi atau karya sastra. Batavus Droogstoppel tak habis pikir mengapa Stern yang dimintanya menulis tentang kopi malah memberinya tulisan tentang puisi atau syair atau karya sastra. Batavus Droogstoppel sangat jengkel dengan ulah Stern yang disebutnya sebagai pengikut Luther. Batavus ingin tetap mengajak Stern kembali ke jalan yang benar. Jalan yang benar menurut pandangan Batavus Droogstoppel sendiri.
Lihat saja paragraf pembuka bab x ini yang kubaca pelan. Kubaca pelan sengaja kulakukan sebab aku tahu banyak peserta yang tentu saja mereka masih sangat muda.
"WALAUPUN saya tidak bertanding dengan siapa pun ketika prinsip itu menjadi taruhan, saya tahu bahwa saya harus menggunakan taktik berbeda untuk menghadapi Stern. Dan, karena ditakutkan nama saya—nama firmanya Last&Co., tapi nama saya Droogstoppel, Batavus Droogstoppel—akan dihubungkan dengan sebuah buku berisi hal-hal yang tidak akan sesuai untuk para pria dan makelar, yang memandang dirinya terhormat, saya anggap adalah tugas saya untuk memberitahu Anda betapa saya mencoba untuk juga mengajak Stern kembali ke jalan yang benar."
"Saya tidak berbicara tentang Tuhan padanya, karena dia adalah pengikut Luther, namun saya melakukan pendekatan pada hati dan kehormatannya. Lihat saja bagaimana saya melakukannya, dan catat seberapa besar yang dapat dilakukan seseorang jika dia memahami manusia."
Nah, tentu saja harus kusampaikan perlahan paragraf pembuka ini! Kujelaskan maksud paragraf ini kepada peserta. Betapa Batavus Droogstoppel menganggap dirinyalah yang paling benar dan paling memahami manusia. Batavus menganggap Stern terlalu congkak untuk seorang pemula. Batavus Droogstoppel menganggap dirinyalah yang paling senior dalam urusan bisnis dan kehidupan. Batavus lalu menjebak Stern dengan seolah-olah ia percaya bahwa Stern selalu berkata jujur. Padahal Batavus sangat yakin bahwa Stern selalu berkata bohong. Keyakinan itu muncul karena Batavus tidak menyukai puisi. Batavus berkeyakinan bahwa puisi itu tidak berguna dan selalu mengandung kebohongan.
"Segala jenis puisi tak berguna, dan karena puisi selalu mengandung kebohongan saya yakin cepat atau lambat saya dapat memergokinya saat berkata bohong."
Jebakan Batavus berlanjut dengan meminta Stern meminjamkan buku. Buku? Ya, Batavus meminta Stern untuk meminjamkannya buku puisi karya Heine. Oh iya, Batavus Droogstoppel adalah contoh orang Belanda yang kaya. Batavus hidup dengan serba kecukupan. Batavus Droogstoppel tinggal di rumah yang mewah. Di rumah yang memiliki ruang tamu. Dia tinggal di rumah yang memiliki deretan kamar. Batavus Droogstoppel adalah pelaku ekonomi, pengusaha. Batavus termasuk golongan yang diperbolehkan menyumbang suara bagi kebijakan politik. Batavus merupakan contok warga Belanda yang tidak pernah ke Jawa, namun berhak berbicara dan menentukan nasib orang Jawa. Batavus menganggap orang Belanda adalah orang yang beragama (karena Kristen) dan orang yang rajin maka diberi kesejahteraan oleh Tuhan. Sementara orang Jawa adalah pemalas dan kafir maka diberi kemiskinan dan kesengsaraan.
"Saya sedang duduk di ruang depan kamar penerima tamu.... karena kami memiliki rangkaian kamar. Marie sedang menjahit, dan Stern baru saja akan memberitahu sesuatu padanya."
Batavus Droogstoppel juga berkeyakinan bahwa dirinya telah berupaya mengingatkan Stern untuk tidak terpengaruh sajak-sajak Sjaalman yang menggunakan sajak-sajak Henie, seorang penyair Jerman. Sajak bagi Batavus Droogstoppel bohong belaka sebab hanya menghambakan diri pada baris dan rima. Kubaca paragraf yang berisi puisi. Ini paragrafnya.
Menuju dataran sungai Gangga,/
Ke tempat terindah sepanjang waktu.//
"Pergi saja sendiri kalau begitu, dan sewalah sebuah bungalow. Namun jangan membawa serta seorang gadis muda yang tugasnya membantu pekerjaan rumah tangga ibunya! Lagipula kau tidak benar-benar bermaksud seperti itu! Pertama, kau tidak pernah melihat sungai Gangga, jadi kau tidak tahu cocok atau tidaknya untuk tinggal di sana. Haruskan aku memberitahumu setiap hal terdiri dari apa? Terdiri dari kebohongan, yang kau katakan karena dalam setiap gubahan puisi ini kau telah diperbudak oleh baris dan rima. Jika baris pertama berakhir dengan kata home, work, atau undone, kau akan mengajak Marie ke Rome, New York, London, dan seterusnya. Kau mengerti, rencana usulan perjalananmu tidak jujur, dan semua ini pada dasarnya adalah kutak-katik kata yang hambar, yang tidak memiliki awalan dan akhiran."
Bab X ini sebagian besar berisi pandangan Batavus Droogstoppel atas Stern. Batavus Droogstoppel berkeyakinan bahwa Stern telah banyak menyimpang. Stern pengikut Luther. Stern menyukai puisi. Stern terpengaruh tulisan-tulisan Sjaalman. Batavus wajib mengingatkan.
"Pikirkanlah semua ini, Stern, aku mohon! Ayahmu sangat bereputasi, dan saya yakin dia akan menyetujui ketertarikanku dalam usaha agar sifatmu menjadi semakin baik, dan dia akan memilih berbisnis dengan seseorang yang mendukung kebaikan serta agama."
"Dan, Stern, saat kau membaca di kediaman Rosemeyer, buatlah aku senang dengan menyajikan sesuatu yang lebih berharga! Dalam parsel Pria Berselendang aku melihat angka-angka produksi kopi salama dua puluh tahun dari seluruh kabupaten di Jawa: buatlah seperti itu, sebagai gantinya! Dan sungguh, kau tidak boleh terus begitu pada gadis-gadis, dan kami semua, menyebut kami kanibal yang telah menelan sesuatu darimu... itu tidak layak, anakku sayang. Terimalah nasihat ini dari seorang pria yang telah mengenal dunia!"
Batavus mengangap perhatian pada Stern adalah sesuatu yang baik. Batavus pun menginginkan agar Stern memperingatkan Frits untuk tidak terus-terusan menulis puisi. Stern harus berhenti mengajari Frits menulis puisi. Stern harus mengingatkan Frits untuk selalu berbuat baik. Stern harus pura-pura tidak tahu saat Frits tersenyum ke penjual buku. Dan Stern harus menjadi contoh yang baik untuk Frits karena Frits digadang-gadang akan menggantikan Batavus sebagai seorang makelar.
Saya tetap,
Temanmu yang seperti seorang ayah,
Batavus Droogstoppel
(Tuan-tuan. Last&Co., makelar kopi, 37 Lauriergracht)
Reading groups minggu ke-14 berakhir saat matahari masih tinggal di atas kampung Ciseel. Bab X memang hanya 7 halaman. Kami membacanya dengan pelan. Kujelaskan setiap paragraf dan kata yang tak dimengerti peserta. Hari belum berganti malam. Sore ini kugunakan untuk menjelaskan tentang Multatuli. Maka saat peserta sedang menikmati kacang sukro kusampaikan siapa itu Multatuli. Kugunakan bahasa Sunda agar mudah dipahami peserta yang sebagian besar seusia SD. Kuulangi berkali-kali tentang Multatuli, Eduard Douwes Dekker, Max Havelaar, Lebak, Rangkasbitung, rumah Multatuli. Juga tentang kelahirannya, pertama kali tiba di Batavia, menjadi Ambtenaar, menjadi Asisten Residen Lebak, kasus Lebak, Saijah dan Adinda, novel Max Havelaar ditulis, dan hari terakhir Multatuli.
Kubaca kisah Saijah dan Adinda dalam bahasa Sunda. Kuminta Aliyudin membawa buku Saija yang berbahasa Sunda. Kubaca dengan nyaring. Para peserta masih mengunyah kacang sukro. Kusampaikan saat Saijah diterkam harimau. Saijah diselamatkan kerbaunya. Kerbau Saijah dirampok orang-orang suruhan Adipati Karta Nata Nagara. Para peserta masih memegang bungkus kacang sukro. Kutanya mereka: "Saha Multatuli teh?", "Urang mana Multatuli asalna?", "Naon hartina Multatuli?", "Saha ngaran sabenerna Multatuli?", "Iraha Multatuli jadi Asisten Residen Lebak?", "Saha Max Havelaar teh?", dan sebagianya. Tentu, saja jawabannya banyak yang kuulang untuk mereka.
Aku rasa senang sekali reading groups pertemuan ke-14 ini. Apalagi poster Multatuli yang besar serta foto-fotonya sangat membantu sore itu. Hari apa sekarang? Selasa, 27 Juli 2010. –Ubaidilah Muchtar
0 komentar:
Post a Comment