728x90 AdSpace

  • Latest News

    02 August 2010

    Reading Groups Minggu Ke-12 Novel Max Havelaar



    Pukul dua dini hari saat bunyi pesan di telefon bernyanyi. Namun tentu saja tak langsung kubuka. Aku membukanya dua jam kemudian. Dua jam setelah pesan tersebut kuterima. Kubersiap melakukan ritual pagi. Menyelesaikan membersihkan diri dan menemui sang maha pencipta. Kurapikan bekal yang disiapkan istriku. Lalu kuselesaikan urusanku menjawab pesan. Kusampaikan bahwa aku akan menjemputnya di Pasar Cipanas. Kusampaikan dua pilihan jalan menuju ke Pasar Cipanas ini. Kutulis: Dari Jakarta masuk tol Bogor keluar BORR Sentul Utara ke arah Leuwiliang-Jasinga-Cipanas. Kutulis juga di pesan kedua: Jika tak mau masuk tol maka: Jakarta-Lbk. Bulus-Ciputat-Parung-Yasmin-Leuwiliang-Jasinga-Cipanas.

    Kini kususuri jalan yang sama. Jalan yang kulalui setiap Senin pagi dari Griya Sasmita. Berlawanan dengan mereka yang hendak ke arah Jakarta. Jalur yang kulalui tampak sepi. Di belakangku seperti biasanya. Sebuah boks plastik 60 liter berisi buku-buku. Minggu ini aku pergi di Selasa pagi.

    Ya, hari ini aku akan melaksanakan kegiatan seperti biasa. Reading groups novel Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Hari ini aku akan kedatangan tamu. Pramono dan Suryo Wibowo. Aku akan menyebut mereka dalam catatan ini sebagai Mas Pram dan Mas Suryo. Mas Pram aku kenal di Erasmus Huis saat diskusi dan pemutaran film Max Havelaar 13 April 2010 lalu. Mas Suryo adalah teman Mas Pram.

    Mas Pram memastikan akan ikut reading Max Havelaar di Taman Baca Multatuli semalam. Ya, Mas Pramlah yang mengirim pesan tengah malam tadi. Aku memastikan akan menjemputnya di Cipanas atau biasa orang-orang menyebutnya Pasar Gajrug. Mas Pram ingin melihat langsung proses reading groups Max Havelaar.

    Pagi ini setelah tiga jam di atas motor, aku tiba di Ciseel. Istirahat sebentar lalu ke sekolah. Di sekolah kuselesaikan tugasku hingga pukul satu. Mendung menggantung di atas Ciseel dan Cigaclung. Kutinggalkan sekolah dan kuingat harus segera turun ke Cipanas.

    Bersama Indra aku menuju Cipanas. Jarak dari Ciseel ke Cipanas sekitar 24 kilometer. Oh, iya di Ciseel Taman Baca Multatuli berada. Tepatnya di rumah Kang Syarif Pak RT yang aku tinggal selama ini. Indra merupakan pemuda Ciseel. Indra tentu mahir menaklukkan jalanan menuju Ciseel yang parah.

    Tiba di Cipanas setelah satu jam perjalanan. Di Cipanas Mas Pram telah menunggu di depan Polsek. Mas Pram dan Mas Suryo diantar sopir tempat mereka bekerja. Aku lupa nama pak sopir yang mengantar mereka. Mas Pram dan Mas Suryo dari majalah Tempo. Setelah berbincang sebentar kami mulai bergerak. Pak sopir kembali ke arah Jasinga. Aku kira pak sopir mengikuti pilihan jalan pertama seperti yang aku pesankan. Hujan menghadang kami di sepertiga perjalanan. Kami berhenti sebentar di sekitar Kentrong. Mas Suryo harus melindungi kamera yang dibawanya. Setelah selesai berbenah kami kembali berjalan. Jalanan dari Cipanas ke arah Ciminyak beraspal baik. Jika hujan begini kami harus hati-hati. Jalan yang turun naik dan licin membuat kami berjalan pelan. Indra dengan Mas Suryo. Aku membawa Mas Pram.

    Ciminyak telah kami lewati. Di pasar ini aku biasa membeli keperluan seperti sayuran dan bahan-bahan untuk kumasak. Tapi kali ini aku tak mampir. Setelah jembatan gantung kami lalui, jalan tak lagi beraspal namun berbatu. Tak ada lagi perkampungan. Kami masuk hutan. Di kiri dan kanan jalan pohon durian banyak dijumpai.

    Sebelum masuk Cangkeuteuk sebuah kecelakaan kecil terjadi. Motorku hilang kendali. Jalan berbatu yang licin serta hujan membuat roda depanku tergelincir. Kami terjatuh. Kutanya Mas Pram. Mas Pram tak apa-apa. Ia juga menghkawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja. Hanya setang motorku tak sejalan dengan roda depannya. Maka sebentar kuselaraskan arah setang dengan roda. Kami pun melanjutkan kembali perjalanan.

    Di kampung Cangkeuteuk Mas Suryo minta istirahat sebentar. Ia mengambil beberapa foto dari atas kampung. Dari kampung Cangkeutuek bukit-bukit hijau dan sungai Ciminyak yang berkelok terlihat damai. Dari Cangkeuteuk pula perjuangan yang lebih keras untuk menaklukkan jalan dimulai. Kini jalanan setapak yang menunggu di depan. Tak ada lagi jalan beraspal atau berbatu. Hanya tanah merah yang siap menempel kuat di celana dan sepatu serta memenuhi roda motor. Mas Pram dan Mas Suryo terpaksa berkali-kali turun dari motor. Mas Pram bahkan sampai melepas sandalnya. Lumpur memenuhi bagian bawah celana panjangnya. Aku aman sebab memakai jas hujan.

    Kelelahan tampak di wajah kami. Satu jam sebelum reading dimulai kami tiba. Di Taman Baca Multatuli telah ada empat anak yang sedang membaca. Asri, Radi, Dede, dan Irman tengah asyik membaca majalah. Di luar hujan mereda. Mas Suryo mengambil gambar mereka. Mas Suryo mengajak berkenalan dengan mereka. Mas Suryo juga hafal dengan cepat nama mereka. Mas Pram mengeluarkan makanan yang memenuhi tas punggungnya.

    Pukul empat kurang lima belas menit peserta reading mulai memenuhi ruangan di Taman Baca Multatuli. Peserta yang hadir di minggu ke-12 ini cukup banyak. Jika tak salah kuhitung sekitar 28 orang. Sanadi telah menurunkan semua novel Max Havelaar. Sayang, tak semua kebagian. Kami hanya memiliki 20 eksemplar novel Max Havelaar terbitan Narasi yang biasa kami gunakan untuk reading. Maka sebagian peserta harus berbagi dengan yang lain.  

    Minggu ini kami akan menyelesaikan bab 8 dari 20 bab yang ada. Kami reading saat Havelaar baru saja selesai berpidato di hadapan para pemimpin Lebak. Saat itu Havelaar baru saja melakukan sebah pertamanya sehari setelah pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

    Kubuka reading groups minggu ke-12 ini dengan memperkenalkan Mas Pram dan Mas Suryo. Kuminta Mas Pram dan Mas Suryo untuk memperkenalkan diri. Mas Pram yang pertama. Ia memperkenalkan diri. Menyebut nama, pekerjaan, dan asal kampung halamannya. Saat mengatakan pekerjaannya sebagai wartawan, para peserta langsung bengong. "Wartawan itu apa?" tanya mereka. Mas Pram dengan sabar menjelaskan bahwa wartawan itu orang yang suka memberitakan sesuatu. Wartawan itu orang yang menulis berita di koran atau majalah. Para peserta langsung bengong lagi mendengar kata "koran". "Koran itu apa?" tanya mereka. Mas Pram lalu dengan telaten menjelaskan kata "koran". "Oh, yang kayak itu?" Dedi Kala menunjuk tabloid yang ada di rak. Selesai Mas Pram memperkenalkan diri. Giliran Mas Suryo yang memperkenalkan diri. Mas Suryo memperkenalkan diri sebagai juru foto.

    Kubaca paragraf ketika Adipati Kartanatanegara, bupati Lebak meminta uang kepada Verbrugge.

    "Tentu saja tidak," seru Verbrugge. "Adpati, Anda tahu itu tidak bisa dilakukan sebelum rekening para penagih telah lewat waktu."
    Havelaar sedang bermain dengan Max. Namun kegiatan itu jelas tidak mencegahnya untuk membaca wajah Regen yang tidak senang dengan jawaban Verbrugge.
    "Ayolah, Verbrugge jangan mempersulit," katanya. Dan dia mengirim seorang bendahara dari kantor. "Kita sebaiknya membayar ini...rekeningnya pasti akan disetujui."
    Ketika Adipati sudah pergi, Verbrugge, yang patuh dengan peraturan, berkata: "Tapi, Tuan Havelaar, itu tidak bisa dilakukan! Rekening para penagih masih berada di Serang untuk diperiksa... seandainya kosong?"
                       "Maka saya akan mendandaninya," kata Havelaar.
              Verbrugge sungguh tidak mengerti alasan dari keinginan yang berlebihan untuk membantu Penagih Pajak. Tidak lama kemudian Bendahara datang seraya membawa beberapa kertas. Havelaar menandatanganinya, dan memberi perintah bahwa, pembayaran harus segera dilaksanakan tanpa penundaan.
              "Verbrugge, saya akan memberitahu Anda mengapa saya melakukan ini! Regen tidak memiliki sepeser pun di rumahnya, bendaharanya yang memberi tahu saya, lagi pula... dengan cara bertanyanya yang begitu lugas! Jelas nyata. Dia sendiri yang butuh uang itu, dan penagih bersedia meminjamkan. Saya sendiri yang akan melawan peraturan daripada membiarkan seorang pria dari tingkatan dan usia seperti itu dalam rasa malu. Dan, Verbrugge, terdapat skandal penyalahgunaan kekuasaan di Lebak. Anda harus tahu itu. Apakah Anda mengetahuinya?"
              Verbrugge terdiam.

    Sebentar kujelaskan maksud dari paragraf-paragraf tersebut. Dan sebelumnya kubertanya tentang reading minggu sebelumnya. Hal ini agar para peserta dapat mengikuti jalan ceritanya. Kusampaikan bahwa Havelaar yang mencintai rakyat Lebak telah mengetahui ada penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Adipati Kartanatanegara dan memantuanya Wiranatakusumah, Demang Parangkujang. Akan tetapi Havelaar tetap melindungi Adipati dari rasa malu.

    Selanjutnya Havelaar menjelaskan temuannya. Temuan atas jumlah pekerja yang dikirim ke divisi pusat untuk dipekerjakan tanpa bayaran. Juga temuan bagaimana Adipati memperlakukan rakyat untuk dipekerjakan.

    "Dan laporan keuntungan yang saya terima hari ini juga salah," lanjut Havelaar. "Regen itu miskin. Regen Bandung dan Cianjur adalah anggota keluarga di mana dia adalah kepala keluarganya. Dia adalah Adipati, dan Regen Cianjur hanyalah Tumenggung, dan juga, karena Lebak tidak cocok untuk ditanami kopi, dan sebagai akibat tidak memberinya tambahan apa pun, pendapatannya bahkan tidak mengizinkan dia untuk bersaing dalam kemegahan, dan keadaan keuangan dengan seorang Demang biasa di Kabupaten Priangan, yang harus memegang pijakan kaki ketika para sepupu Regen kita menaiki kuda mereka. Apakah itu benar?"
    "Ya."
    "Dia tidak punya apa-apa selain gajinya, dan itu dikurangi oleh pengurangan untuk pelunasan pinjaman yang dibuat pemerintah untuknya saat itu... Anda tahu?"
    "Ya, saya tahu. Saat dia ingin membangun sebuah masjid baru, yang membutuhkan banyak uang. Lagipula, banyak keluarganya... Anda tahu?"
    "Ya, saya tahu."
    "Banyak anggota keluarganya—yang sesungguhnya tidak termasuk masyarakat Lebak, sehingga tidak dihormati oleh masyarakat—juga berbondong-bondong mendekatinya seperti sekelompok pencuri, dan memeras uang darinya. Apakah ini benar? Atau saya salah?"
    "Itu benar," kata Verbrugge.
    "Dan saat kopernya kosong, yang sering terjadi, mereka merampok semua milik masyarakat yang menarik khayalan mereka dengan menggunakan namanya. Benar?"
    "Benar."    

    Kujelaskan setiap kalimat yang ditanyakan peserta dari paragraf-paragraf yang kubaca. Kuperagakan cara memegang pijakan kaki ketika mau naik kuda. Agar para peserta makin memahami kondisi Adipati yang miskin ini kusampaikan kembali dari mana saja Adipati mendapatkan gajinya. Selain Adipati yang sewenang-wenang, rakyat juga disusahkan dengan banyaknya keluarga Adipati yang sering menggunakan nama Adipati untuk merampok. Merampok harta benda rakyat yang tak berdaya.
    Ada Adipati yang sewenang-wenang. Ada keluarga jauh yang sering menggunakan namanya. Eh, menantunya sendiri makin merajalela. Memeras orang miskin. Demang melakukan semua kejahatan itu untuk memperkaya dirinya sendiri. Demang Parangkujang, Wiranatakusuma memeras uang dan barang dari orang miskin yang malang. Caranya dengan mencomot mereka dari lahan padi mereka dan menggembalakan mereka untuk bekerja di sawah milik Regen.

    Havelaar lalu mengeritik Verbrugge. Begini kritikan Havelaar kepada Verbrugge.
    ".... Anda orang jujur... saya juga tahu itu. Namun mengapa Anda tidak memberi tahu saya banyak kesalahan terjadi di sini? Anda sudah berperan sebagai Asisten Residen selama dua bulan, dan Anda sudah lebih lama lagi berada di sini sebagai pengawas... jadi Anda seharusnya sudah mengetahui hal-hal ini, bukan?"

    Setelah berbincang lama dengan Verbrugge, Havelaar menunjukkan dokumen berupa dua lembar kertas. Havelaar menunjukkan dokumen tersebut kepada Verbrugge. Dokumen tersebut merupakan tulisan Slotering. Slotering yang tak lain adalah Asisten Residen Lebak yang meninggal dua bulan lalu. Dokumen tersebut berisi catatan subjek pembicaraan yang ingin dibicarakan Slotering dengan Residen. Catatannya, yaitu mengenai penanaman padi, mengenai rumah-rumah para pemimpin desa, dan mengenai penagihan pajak tanah.

    Selain tiga hal tersebut, dokumen juga berisi tentang pengeksploitasian masyarakat oleh adipati dan para pemimpin di bawahnya. Juga ada catatan yang berisikan banyak anggota keluarga dan pembantu para pemimpin pribumi yang muncul di kertas pembayaran, namun tidak turut ambil bagian dalam penanaman padi, jadi mereka memperoleh keuntungan dari itu, dari pengeluaran para peserta sesungguhnya. Labih jauh lagi, secara ilegal mereka menaruh kepemilikan atas sawah, yang oleh hukum hanya boleh diberikan pada petani aktif.

    Kuulangi kembali kalimat berikut untuk para peserta reading.
    "Penurunan populasi di Parungkujang, semata-mata akibat orang-orang dieksploitasi dengan cara memalukan."   

    Di akhir reading groups ini kubaca paragraf panjang yang berisi ketegasan Havelaar yang akan menindak dan menegur adipati. Havelaar akan menunjukkan kepada adipati betapa buruknya jika menggunakan kekuasaan secara ilegal, khususnya jika menyangkut harta milik orang miskin. Havelaar juga menjelaskan mengapa ia mau memberikan uang untuk adipati. Bahkan ia akan mengusulkan agar adipati dibebaskan dari kewajibannya membayar utang pada pemerintah. Havelaar juga mengajak Verbrugge untuk bersama-sama menumpas ketidakadilan. Tidak takut. Harus jujur mengatakan yang sebenarnya. Buang segala keraguan.

    Reading groups minggu ke-12 ini berakhir saat Havelaar mengajak Verbrugge dan Duclari yang datang untuk makan siang. Para peserta lalu menikmati kue yang tersedia. Kusampaikan ringkasan reading kali ini dengan singkat. Malam dan gelap bersamaan datang menyelimuti kampung Ciseel. Pipih merapikan novel. Siti Alfiah dan Dedi Kala diminta Mas Pram untuk tak langsung pulang. Mereka diwawancarai.

    Malam harinya sehabis makan. Kami berbincang panjang lebar. Soal yang banyak dibicarakan, tentu: MULTATULI. [Ubaidilah Muchtar]





    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Reading Groups Minggu Ke-12 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top