728x90 AdSpace

  • Latest News

    10 August 2010

    Reading Groups Minggu Ke-13 Novel Max Havelaar



    "Karena tanah di Lebak itu bisa dengan mudah dibuat cocok untuk kopi." [kalimat akhir bab 9]

    Saat reading groups minggu ke-7 saya punya utang. Utang saya tak lain adalah menjelaskan apa itu kopi daun. Ya, kopi daun!  Di bab 6 tentang kopi daun ini disinggung. Tepatnya saat Verbrugge menawari Duclari. Berikut dialog yang mereka ucapkan.

    "Apa? Kopi daun, teh yang terbuat dari daun kopi? Seumur hidup belum pernah mendengar hal itu!"

    Nah, suatu ketika penerjemah buku Max Havelaar ini menyampaikan tentang kopi daun lewat blog yang kusimpan catatan reading. Berikut seperti yang kusampaikan disaat membuka reading minggu ke-13 ini.

    "Ada yang sudah tahu tentang kopi daun?" kutanya peserta reading minggu ke-13 ini. Pesertanya terdiri dari Sanadi, Radi, Asri, Aliyudin, Pipih, Dede, dan Herman.
    "Oh, yang menurut si Jajat Cingcaw itu?" kata Aliyudin.
    "Ya," kataku. "ternyata, kopi daun itu kopi dari daun kopi. Jadi, dahulu saat buku ini ditulis orang-orang Lebak tidak dapat meminum kopi dari biji kopi. Mereka bias minum kopi dari daun kopi."

    "Hah?" Pipih tersentak kaget.
    "Iya, kalian tahu daun kopi kan?"
    "Banyak pak di sini mah!" kata Asri.
    "Kalian beruntung saat ini dapat minum kopi. Bahkan kalian punya sendiri pohon kopi. Bisa memetik sendiri, menumbuknya, dan meminumnya. Dahulu tidak boleh minum kopi dari biji kopi karena biji kopi diangkut ke Belanda. Rakyat Lebak yang menanam kopi hanya gigit jari saja."
    "Kasihan, ya. Belanda itu jahat ya, Pak?"
    "Iya, jahat. Tapi tidak semuanya. Ada seperti Multatuli yang baik hati. Nah, kata Mbak Andi yang menerjemahkan buku ini kopi daun itu cara buatnya daun kopi dipetik lalu ditumbuk (ditutuan) sampai halus lalu diseduh (ditinyuh) pakai air hangat sama seperti menyeduh kopi. Katanya rasa dan aromanya mirip kopi dari biji kopi. Bahkan kalau mau lebih wangi daun kopi yang telah dipetik itu dipanaskan (dideang) di atas tungku (hawu)," jelasku.
    "Wah, kabina-bina teuingnya! (Wah, keterlaluan ya!)," kata Aliyudin.
    "Iya, makanya kalian harus pintar. Harus rajin belajar. Mau membaca. Jangan bolos sekolah. Harus melanjutkan sekolah. Agar tidak dibodohi."

    Lalu kusampaikan bahwa Selasa ini, 13 Juli 2010 kita anak membaca Bab 9. Mulai dari halaman 156. Novel Max Havelaar telah diturunkan dari rak. Pipih dan peserta yang lain telah duduk melingkar di karpet bertepi merah yang lusuh.

    "Masih ingat dengan Batavus Droogstoppel?"
    "Makelaar kopi yang sombong itu ya?" kata Pipih.
    "Iya, siapa yang suka dengan dia? Ada yang suka dengan tokoh ini tidak?" tanyaku.
    "Batavus Droogstoppel ini kan nyuruh Stern untuk menulis bukunya tentang kopi. Eh, Stern menulis banyak tentang Lebak. Nah, Stern ini mendapat banyak bahan dari bungkusan yang dibawa oleh Sjalmaan. Masih ingat Sjaalman?. Batavus ini marah sama Stern karena tulisan Stern suka memasukkan puisi Sjalmaan. Batavus itu tidak suka puisi dan sombong."

    Kubaca paragraph pertama bab 9 dengan pelan.

    "Saya akan memberikan penawaran bagus, pembaca, untuk benar-benar memahami berapa lama saya bisa membiarkan seorang tokoh wanita melayang di udara, sementara saya menggambarkan sebuah puri, sebelum kesabaran Anda habis dan Anda meletakkan buku saya, tanpa menanti makhluk malang itu mencapai tanah. Jika kisah saya dianggap meloncat-loncat, saya pasti mengantisipasi dengan memilih lantai pertama sebagai tempat dia melompat, dan sebuah puri yang tidak terdapat banyak hal yang bisa diceritakan darinya. Tapi tenanglah: rumah Havelaar hanya satu lantai, dan tokoh wanita dari buku saya—Demi Tuhan! Tercinta, sungguh, anspruchlose Tina, seorang tokoh wanita!—tidak pernah melompat keluar jendela."

    "Puri itu apa?" tanya Dede.
    "Puri itu istana atau keratin atau rumah," jawabku.
    "Kalau anspruchlose itu apa?" tanya Asri.
    "Anspruchlose itu sederhana, tidak sombong, rendah hati. Itu ada keterangannya di bawah." Kataku sambil kutunjukkan catatan kaki di halaman tersebut.

    Kubaca paragraf selanjutnya setelah semua peserta memahami maksud paragraf yang baru saja kami baca.

    "Ketika saya menutup bab terakhir dengan sebuah isyarat tentang adanya variasi pada bab berikutnya, itu tidak lebih dari taktik retorika, dengan maksud membuat sebuah penutup yang "bersambung" ke bagian selanjutnya, bukan karena saya sungguh-sungguh bermaksud mengatakan bahwa bab berikutnya akan tergelincir "demi variasi" dan tidak memiliki makna yang lain."

    Kujelaskan maksud paragraph yang baru kubaca tersebut. Kutanyakan jika ada yang tak mengerti dengan paragraph tersebut. Peserta bertanya apa maksud kata "variasi, taktik, dan retorika". Maka kujelaskan satu per satu.

    "Multatuli menulis bahwa di akhir bab 8 ia menuturkan akan ada selingan akan ada bentuk yang lain atau akan ada sesuatu yang baru itu hanyalah strategi, siasat, rencana, cara berpidato. Itu hanyalah cara berkomunikasi. Jadi variasi itu sama dengan selingan. Sementara taktik itu startegi atau rencana. Sementara retorika sama dengan berkomunikasi atau berpidato."

    Kuminta Sanadi untuk mengambil buku kesan dan pesan reading groups saat paragraf yang baru saja kubaca kuselesaikan penjelasannya. Sanadi yang pertama menulis. Dalam kolom kesan pesan Sanadi menuliskan kalimat berikut ini: Ayo, teman-teman kit abaca buku Multatuli ini yang semangat!. Asri yang kedua menuliskan pesannya. Pesannya hamper sama dengan Sanadi. Aliyudin menuli: "Oh… aku baru tahu ternyata dulu itu Batavus mau menulis tentang kopi. Eh… malah Stern menulis tentang Lebak!"

    Pipih menulis. "Ternyata Belanda itu sangat kejam terhadap orang Lebak. Kejamnya Belanda terhadap orang Lebak, yaitu apa saja yang ada di Lebak, mau dari pepohonan atau apa saja yang menguntungkan ia ambil ke Belanda. Itu kan sangat kejam dan tidak punya rasa kasihan." Pesan dan kesan Dede, Herman, juga Andi hampir sama tentang ajakan agar semangat mengikuti riding (maksudnya, reading).

    Kulanjutkan kembali membaca paragraph tentang buku. Ya, tentang buku. Berikut paragraph yang kubaca.

    "Seorang penulis sama sia-sianya dengan orang … Menjelek-jelekkan ibunya sendiri atau warna rambutnya, mengatakan bahwa dia memiliki aksen Amsterdam—orang Amsterdam sendiri tidak akan pernah mau mengakui itu—dan mungkin dia akan memaafkan Anda mengenai hal-hal itu. Namun… jangan pernah menyentuh sisi luar dari bagian terkecil sebuah elemen minor, dari hal yang telah terletak di suatu tempat dekat tulisannya… karena itu dia tidak memaafkan Anda! Maka jika Anda menganggap buku saya tidak mengagumkan dan Anda harus menemui saya, mohon maaf lupakan saja seakan kita tidak saling kenal.

    Maka melalui suryakanta kesombongan tulisan saya, sebuah bab yang semata-mata "demi variasi" bagi saya tetap tampak sangat penting, bahkan harus ada; dan jika Anda berniat melewatkannya kemudian tidak menyukainya sebesar yang Anda bisa, saya tidak akan ragu untuk member tahu Anda bahwa, tindakan melewatkan itu mendiskualifikasi Anda dalam melafalkan opini di dalamnya, karena bagian terpenting di dalamnya adalah bagian yang tidak And abaca. Dengan cara ini, perlu saya—karena saya adalah manusia dan penulis—anggap penting setiap bab yang telah Anda lewatkan karena rasa tidak bertanggung jawab Anda sebagai pembaca yang tak dapat dimaafkan."

    Ya, tentang buku. Bagaimana Multatuli lewat tuturan Stern dapat memprediksi para pembacanya. Para pembaca yang sering melewatkan bagian-bagian yang sering dianggap tidak penting atau membosankan. Perumpamaan orang yang berlaku seperti itu dituliskannya dengan jelas.

    "…. Menggerogoti dan menggigit daging serta tulang dari sejenismu sendiri? Pemakan manusia, ini adalah jiwa saya, yang telah Anda giling untuk kedua kalinya, seperti memamah rumput! Ini adalah hati saya yang baru saja Anda telan butirannya!"

    Lalu Batavus Droogstoppel memberikan kritik pekerjaan Stern. Batavus dengan pedas mencela pekerjaan Stern yang tak sesuai dengan keinginannya. Batavus merasa kurang puas dengan pekerjaan Stern.

    "Seperti yang Anda ketahui, saya adalah makelar kopi—37 Lauriergracht—dan profesi saya adalah hidup saya. Maka siapa saja dapat mengerti betapa kurangnya rasa puas saya terhadap karya Stern. Saya mengharapkan kopi, dan dia memberi kita… hanya Tuhan yang tahu apa itu!"

    "Stern sialan telah membelokkan sebuah arah yang sangat berbeda!"

    Ya, Batavus dongkol dengan ulah Stern. Batavus ingin membuat buku tentang pelelangan kopi. Stern malah berkisah tentang Lebak yang banyak dipengaruhi bungkusan dari Sjaalman. Kedongkolan Batavus Droogstoppel diperparah lagi sebab ia telah menandatangani persetujuan dengan Gaafzuiger untuk mempublikasikan buku ini. Bahkan menurutnya seluruh warga Belanda telah menanti kehadiran buku ini.

    Benar dugaan Multatuli lewat Stern bahwa akan membosankannya menghadapi bacaan ini. Ya, hal ini terasa saat membaca bab 9 ini. Kami baca paragraph demi paragraph bab 9 ini. Selanjutnya kami baca paragraph yang berisi khotbah Blatherer. Khotbah ini yang meyakinkan Batavus Droogstoppel bahwa betapa salahnya melalaikan penanaman kopi di Lebak. Sebelumnya Batavus telah mempelajari tulisan Stern yang ditulisnya berdasarkan bungkusan dari Sjaalman bahwa tidak ada kopi yang tumbuh di Divisi Lebak.

    Kejengkelan Batavus Droogstoppel selain kepada Stern juga ke Frits, anaknya. Dalam pandangan Batavus, Frits telah salah bergaul dan salah bacaan. Frits memang banyak bergaul dengan Stern. Frits juga banyak membaca tulisan-tulisan dalam bungkusan yang dikirim Sjaalman. Frits juga mempunyai sifat yang tak sesuai dengan dirinya. Frits suka puisi. Batavus sangat antipati. Sangat tidak suka puisi.

    "Frits, aku tidak senang dengan sikapmu! Aku selalu menunjukkan jalan yang benar padamu, namun kau telah menyimpang dari itu. Kau angkuh dan membosankan, kau menulis syair, dan kau telah member sebuah ciuman pada Betsy Rosmeyer."

    "Pria Beselendang itu juga melakukan hal-hal yang tidak benar ketika dia muda; saat kecil dia menyerang orang Yunani di Westermarket… dan sekarang dia pemalas, sombong, dan penyakitan, mengerti!"

    "Dan segala penggubahan syair itu adalah omong kosong."

    Frits juga telah sampai pada tingkatan berbeda pendapat dengan Batavus, ayahnya. Frits berkata, masyarakat Jawa bukanlah penyembah berhala. Batavus dengan ngotot mengatakan bahwa semua yang memiliki kepercayaan menyimpang, selain dari yang dipercayainya sebagai penyembah berhala.

    Paragraf selanjutnya kubaca. Meluncurlah khotbah Blatherer tentang kegiatan-kegiatan Belanda di Jawa. Kedatangan Belanda di Jawa disebutkan untuk membawa peradaban, kepercayaan, dan agama Kristen. Tugas yang dipikul mereka untuk masyarakat Jawa di antaranya: membentuk sumbangan uang untuk kelompok misionaris; mendukung kelompok-kelompok Injil; memperbanyak kegiatan  berdoa; menulis khotbah dan hymne; pembentukan kelompok pria berpengaruh yang nantinya akan ditugaskan untuk hal-hal berikut ini: sebagai gubernur/pejabat/pegawai, memberikan izin pada masyarakat Jawa untuk mendatangi barak-barak/kapal mereka, melarang penggunaan Injil atau pamphlet keagamaan sebagai pembayar minuman, pembuatan izin untuk rumah candu, mempekerjakan masyarakat Jawa, dan mengumpulkan uang sumbangan untuk kelompok misionaris.

    Batavus sangat meremehkan masyarakat Jawa.

    "Seorang wanita pingsan saat dia (Blatherer) berbicara mengenai anak hitam itu…"

    Batavus yang sombong ini selalu beranggapan bahwa dialah orang yang paling serius dalam bekerja. Sampai-sampai ia memiliki semboyan: Bekerja, bekerja, bekerja. Batavus tak lupa berprinsip bahwa masyarakat Jawa haruslah bekerja. Ia menganggap prinsipnya itu sangat suci. Dan yang dipikirkannya dari pagi hingga malam adalah bisnis dan bisnis. Makanya ketika Stern memberikan tulisannya, Batavus terserang sakit kepala. Saat membaca bagian ini tawa peserta reading tak terbendung lagi.

    Batavus bahkan berjanji akan ikut bergabung seandainya ada kelompok yang ditugaskan untuk mengajak masyarakat Jawa bekerja. Tentu saja naluri bisnisnya jalan saat berpikir hal tersebut. Batavus pun akan mengajak Rosemeyer yang tertarik dengan usaha gula atau penyulingan gula.

    Batavus akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya sebab ia seorang Kristen yang taat. Seorang yang sangat menyadari bahwa segalanya telah diatur dengan bijaksana, betapa welasnya arah yang telah diarahkan tangan Tuhan pada dia. Hal ini tak lain sebab tanah di Lebak tentu akan sangat cocok ditanami kopi.

    Ya, sampai di sini reading minggu ke-13 ini. Bertemu kembali di catatan reading minggu ke-14 dan seterusnya. Sampai jumpa!

    Oh iya, jangan dulu sampai jumpa. Ini aku ingat ada komentar seorang kawan baik tentang Batavus Droogstoppel: "Batavus Droogstoppel itu, tokoh "aneh yang bisa menarik" dalam Max Havelaar (MH); kan diriwayatkan di situ, ia marah bahkan benci dengan puisi (kata-kata indah menawan) manuskrip si Sjaalman, tetapi ia tak pernah sampai membakarnya, seperti peristiwa 1965 sampai kepada showcase daripada antikomunis dengan bakar buku-buku. Nah, sikap Droogstoppel ini mungkin bisa dibilang "benci tapi kagum juga"—seolah benci bukanlah kesadisan. Di sini tokoh Droogstoppel yang digambarkan sebagai yang mahamenjengkelkan tetapi juga bikin penasaran. Tokoh Droogstoppel merupakan bisul dan kurap peri kehidupan pengalaman Multatuli yang amat sangat dibencinya, tetapi juga dengan sadar diakuinya sebagai serapah yang berujar "dasar manusia!" kapitalis. Itu komentar kawanku. Ya, komentar tersebut ditulisnya sebelum catatan ini kutuliskan. Bagaimana komentar pembaca yang lain? Ada? Silakan.

    Nah, sekarang kusampaikan terima kasih sebab telah membaca catatan ini sampai di sini! Berarti catatan ini sudah selesai dibaca. Sudah sampai di ujung. Salam. [ubaidilah muchtar]

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Reading Groups Minggu Ke-13 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top