728x90 AdSpace

  • Latest News

    08 September 2010

    Reading Group Minggu ke-15 Novel Max Havelaar


    Reading Group Minggu ke-15 Novel Max Havelaar


    Kau ingin tahu mengapa gelombang samudera
    Yang membasahi pantai Natal,
    Meskipun di tempat lain ramah dan tenang,
    Di sini, melepas semua kuasanya yang merugikan,
    Memukul dan meraung tanpa akhir?

    Kau bertanya, dan pemuda nelayan miskin
    Segera mendengar permintaanmu,
    Dan memutar sebuah mata kesengsaraan yang gelap
    Ke arah samudera, membentang tak terukur
    Ke daerah barat yang jauh.

    Dia memutar matanya yang gelap, matanya yang suram,
    Ke barat dia menatap,
    Dan menunjukkan padamu, seperti kau menatap sekeliling,
    Hanya air, tanpa akhir atau batas—
    Lautan, hanya lautan!

    Dan itulah mengapa samudera menggesek
    Dengan ganas pantai Natal:
    Di manapun kau melihat ini hanya lautan.
    Aku tak terbatas
    Menuju pantai Madagaskar.

    Dan hanya suatu pengorbanan dibuat
    Samudera untuk menenangkan!
    Dan banyak suatu tangisan tercekik dalam buih,
    Tidak terdengar oleh istri, anak, keluarga di rumah,
    Namun terdengar di gerbang Surga!

    Dan berkali-kali sebuah tangan merentang akhirnya,
    Dilempar ke atas dalam pencariannya,
    Meraba, menangkap, mencelup dalam keputusasaan,
    Mencari untuk menemukan dukungan di suatu tempat,
    Dengan ombak kejam yang menekan keras!
    Dan saya lupa kelanjutannya...
              [Puisi Havelaar yang ditulis di Natal tempat tugasnya terdahulu]

    Ini catatan reading group. Reading group novel Max Havelaar. Reading group minggu ke-15. Reading group Max Havelaar setiap Selasa. Setiap Selasa sore di Taman Baca Multatuli. Taman Baca Multatuli di kampung Ciseel.

    Oh iya, dalam catatan ini tak akan pembaca temukan lagi perjalananku dari rumah. Tidak akan ditemukan juga cerita bubaran sekolah. Sebab mulai Juli kemarin aktivitasku berubah. Kini selain di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang, aku harus pula beraktivitas di SMP Negeri 1 Cipanas. Cipanas mana? Puncak? Bukan Cipanas Lebak. Letaknya berbatasan dengan Kecamatan Jasinga di Provinsi Jawa Barat. Namun tetap saja aku harus pergi di subuh Senin dan Selasa. Cipanas tentu saja masih 100 kilometer dari tempat tinggalku. Namun aku pergi pulang ke sana. Baru di Selasa siang selepas dari SMPN 1 Cipanas aku menuju Taman Baca Multatuli. Bagaimana di SMPN Satap 3 Sobang? Tetap seperti biasa hanya harinya berganti. Jika sebelumnya Selasa, Rabu, Kamis. Kini hanya Rabu dan Kamis saja. Kok bisa di dua sekolah begitu? Ya, ini kukatakan sebagai tambahan mengajar. Mengepa begitu? Sebab di SMPN Satap 3 Sobang aku hanya dapat 14 jam seminggu. Sementara kewajibanku minimal 24 jam seminggu.

    Pembaca tentu saja bosan dengan ceritaku ini.

    Tetap saja ingin kusampaikan bahwa menuju Taman Baca Multatuli hanya dapat dilalui dengan sepeda motor atau berjalan kaki 3 jam lamanya dari pasar Ciminyak. Masih tetap penuh lumpur dan licin meskipun hujan tak turun. Bagaimana dengan listrik di sana? Masih juga sama. Ah, mungkin usahanya kurang maksimal. Mungkin juga. Namun, dapat kukatakan di sini bahwa sepertinya memang benar adanya. Apanya yang benar? Ya, yang benar tulisan Multatuli dalam novel yang kami baca ini bahwa Lebak miskin. Sudah 150 tahun umurnya novel ini sejak pertama kali diterbitkan pada 15 Mei 1860. Namun serasa masih juga sama kondisi masyarakat di Lebak hingga kini. Hanya tahunnya saja yang berganti. Seorang kawan pernah berseloroh: Ya, inilah ironi di Indonesia!

    Seorang kawan bertanya, memangnya di bagian mana ada disebutkan Lebak misikin? Kukatakan itu ada di bab ketika Havelaar untuk pertama kalinya melakukan sebah (pertemuan) dengan para pemimpin Lebak. Pertemuan pertamanya, sehari setelah pengangkatannya menjadi Asisten Residen Lebak pada 21 Januari 1856. Jadi, pertemuannya ya tanggal 22 Januari. Di sana tentu hadir juga Adipati Karta Natanagara. Yang lain hadir? Hadir di sana Raden Demang (sekarang Camat kalau tidak salah), para pemimpin distrik. Hadir juga Raden Kliwon (sekarang Kades sepertinya), para pemimpin divisional. Hadir juga Jaksa dan Mantri. Jelas tergambar bagaimana gembiranya Havelaar terpanggil ke Lebak ini. Gembira bukan karena rakyat memiliki sawah di perbukitan dan pegunungan.

    "Namun bukan karena hal ini saja hati saya gembira. Karena di daerah lain juga, saya akan banyak menemukan hal yang bagus."
    "Namun saya menyadari bahwa rakyat Anda miskin, dank arena ini saya merasa senang dari lubuk hati paling dalam." [hal. 135]

    Ceritaku ini, para pembaca, tentu membosankan seperti telah kukatakan.

    Ya, begini saja. Sekarang akan kuceritakan proses reading minggu ke-15 ini. Di dua catatan sebelumnya banyak di sampaikan tentang Batavus Droogstoppel yang tidak puas dengan pekerjaan Stern. Nah, memasuki bab 11 ini setting ceritanya berpindah dari Amsterdam kembali ke Lebak. Cerita dimulai dengan pembicaraan antara Tina, Havelaar, Verbrugge, dan Duclari. Dalam pembicaraan tersebut disampaikan banyak hal. Mulai dari buku sastra yang dimiliki Havelaar, seperti: Schiller, Goethe, Heine, Vondel, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Adam Smith, Shakespeare, Byron. Loncat pada pembicaraan tentang pemandangan alam. Berpindah pada keindahan pahatan dan lukisan bahkan lukisan Maria Stuart yang dipancung kepalanya. Masuk ke dalam pembicaraan Upik Keteh dan saja yang ditulis Havelaar tentang Natal tempatnya bertugas terdahulu. Puisi sebagaimana tertera di awal catatan ini.

    Ini catatan reading group Selasa sore, 3 Agustu 2010 yang lalu. Di awal bab 11 kubaca paragraph ini dengan pelan. Ya, paragraph pembicaraan Havelaar dengan Tina. Namun di paragraph yang paling awal tentu saja Stern yang berbicara. Ini dia paragrafnya.

    …Saya hanya ingin berkata, seperti kata Abraham Blankaart, bahwa saya menganggap bab ini "penting", karena menurut saya memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai Havelaar pada para pembaca, dan—tidak bisa jauh dari itu—dia  tampaknya menjadi tokoh pahlawan di cerita ini.
             
    "Tina kau sebut apa ketimun ini? Sayangku, jangan pernah mencampurkan asam sayuran dengan buah! Kau mencampurkan garam ke mentimun, garam ke nanas, garam ke jeruk-bali, garam ke segala yang tumbuh di tanah. Tapi mencampurkan cuka ke ikan dan daging… ada sesuatu mengenai itu di Liebig."
             
    "Max sayang," selidik Tina, tertawa, "menurutmu sudah lama kita berada di sini? Ketimun itu dari Ny. Slotering."

    Max Havelaar harus berusaha keras mengingat bahwa dia baru saja tiba kemarin dan, dengan keinginan terbesar di dunia, Tina masih belum dapat mengatur apa pun di dapur atau dalam rumah tangga. Dia sudah lama berada di Rangkas Bitung! Tidakah dia menghabiskan sepanjang malam untuk membaca arsip-arsip divisional, dan tidak terlalu berpikir mengenai Lebak, untuk langsung menyadari bahwa dia baru saja berada di sana sela dua puluh empat jam? Tina mengerti itu: dia selalu memahami suaminya!

    Membaca kalimat terakhir paragraph di atas aku teringat bahwa Multatuli yang keukeuh (teguh) pendiriannya dalam membela rakyat Lebak yang miskin dan teraniaya itu di belakangnya ada Tina yang sangat mencintainya. Multatuli yang hingga akhir hayatnya memperjuangkan rakyat Lebak dan rakyat Indonesia dari kungkungan penjajahan serta memperjuangkan pemulihan nama baiknya itu menghasilkan Max Havelaar yang luar biasa mengilhami pemimpin dan penulis besar. Tentu saja mendapat dukungan dari istrinya, Tina.

    Selanjutnya pembicaraan mengalir ke masalah ilmuan yang meneliti domba apabila dimasukkan ke ladang. Dalam pembicaraan itu Havelaar sempat menawarkan adanya sebuah kelas belajar malam kepada Verbrugge dan Duclari. Hal ini terkait pembicaraan mengenai Moliere yang sangat disukai Havelaar. Verbrugge dan Duclari setuju dengan ide pembentukan kelas belajar malam itu. Havelaar mengatakan bahwa ia tidak memiliki banyak buku, namun dia dikelilingi oleh Schiller, Goethe, Heine, Vondel, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Adam Smith, Shakespeare, dan Byron.

    Lalu kubaca paragraph ini. Paragraf ini mengingatkan aku pada seorang kawan yang sering mengingatkan aku agar belajar bahasa Inggris. Ini paragrafnya.
             
              Verbrugge berkata bahwa, dia tidak bisa membaca tulisan dalam bahasa Inggris.
    "Celaka! Anda sudah lebih dari tiga puluh tahun, bukan? Apa yang telah Anda lakukan sepanjang hidup Anda? Tapi tentu saja hal itu akan memeprsulit Anda di Padang, karena di sana banyak dipergunakan bahasa Inggris? Apakah Anda mengenal nona Mata-api?"

    Nona Mata-api yang dimaksud Havelaar yaitu panggilan seorang perempuan di tahun 43, karena dia memiliki mata yang sangat berkilau. Hal itu ia temukan di Arles. Arles atau Nimes di Prancis Selatan. Ini petikan kekaguman Havelaar kepada si nona mata-api tersebut.

    "…Itu adalah hal terindah yang pernah saya temukan dari semua perjalanan saya. Tidak satu pun, menurut saya, yang bisa membawa keindahan abstrak ke depan Anda, gambaran nyata tentang kebenaran, tentang kemurnian nonmateri, seorang wanita cantik… percayalah pada saya, pergi saja ke Arles atau Nimes…"

    Pembicaraan  berlanjut ke keindahan alam, yaitu air terjun. Menurutnya banyak hal yang terlalu dipuja sering mengecewakan. Contohnya air terjun yang tidak pernah berhenti diicarakan dan ditulis orang. Menurut Havelaar, secara pribadi dia tidak merasa atau hanya sedikit merasakan keindahan air terjun. Dia mengatakan saat di Tondano, Maros, Schaffhausen, dan Niagara.

    Lalu berlanjut pada pembicaraan tentang keindahan bangunan, pemandu wisata sejarah, patung, lukisan, dan banyaknya orang yang selalu harus mencari informasi agar dapat , membentuk penilaian yang kurang lebih benar; dan bahkan jika dia selalu bisa melakukannya tanpa informasi, dia akan, setidaknya, dengan sia-sia mencari apa saja yang ada di setiap bangunan, agar bisa memuaskan kerinduan akan keindahan yang lebih dari sekadar waktu singkat, karena sebuah bangunan tidak bergerak.
             
    "Perilaku adalah gerakan. Tumbuh, lapar, berpikir, perasaan, adalah gerakan… diam adalah mati! Tanpa gerakan—tidak ada sakit, kesenangan, emosi!"

    Havelaar mencontohkan bahwa diam adalah mati. Coba saja duduk tanpa bergerak, maka Anda akan lihat betapa cepatnya Anda menunjukkan wajah aneh pada tiap orang, bahkan pada diri Anda sendiri. Pembicaraan Havelaar berlanjut mengenai lukisan yang menggambarkan pemancungan Mary Ratu Skotlandia. Lalu membicarakan pengalaman Havelaar saat menjadi Pengawas di Natal, Sumatra tahun 1842. Di Natal, Havelaar bertugas untuk mengawasi perkebunan merica yang berada di daerah pantai Teluk-Balai, sebelah utara kota Natal. Havelaar bercerita tentang perkenalannya dengan Si Upik Keteh. Di Sumatra, itu hamper sama artinya dengan Nona Kecil.

    Saat di Natal, Havelaar menyatakan kesukaannya kepada pemimpin Melayu. Havelaar juga sangat memahami mereka. Mereka memiliki banyak kualitas yang membuatnya lebih menyukai mereka daripada bangsawan Jawa.

    Lalu Havelaar bercerita tentang puisi yang ditulisnya saat di Natal. Puisinya dapat dilihat di awal catatan ini. Reading groups minggu ke-15 Selasa, 3 Agustus 2010 berakhir setelah pembacaan puisi tersebut. Oh iya, di minggu ke-15 ini aku juga membaca lanjutan kisah Saija dalam bahasa Sunda. Kisah Saija dalam bahasa Sunda ini diterjemahkan oleh R.T.A Sunarya (1898-1965). R.T.A Sunarya menerjemahkan bab 17 novel Max Havelaar ke dalam bahasa Sunda sebelum Indonesia merdeka. Pertama kali diterbitkan terjemahnnya tersebut tahun 1932 oleh Bale Pustaka. Sayang, sepertinya kisah Saija ini hanya beredar di kalangan menak (bangsawan) Sunda saja. R.T.A  Sunarya pernah menjadi Bupati Cianjur, Ciamis, dan, Tasikmalaya. Tahun 2003, kisah Saija dalam bahasa Sunda ini diterbitkan kembali oleh Kiblat Buku Utama.

    Ini akhir catatan reading minggu ke-15. Akan kusampaikan nama-nama peserta yang hadir. Ini dia nama-namanya: Samnah, Suryati, Yeni, Sodah, Ucu Suharnah, Yani, Amsor, Irman, Ano, Herman, Pepen, Mariah, Aliyudin, Pipih Suyati, Dede, Suana, Nuraeni, Jumsinah, Ocih Sulastri, Arsiah, Mamay, Elah Hayati, juga aku Ubaidilah Muchtar.




    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Reading Group Minggu ke-15 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top