Oleh Ubaidilah Muchtar
--Karena ketidakpuasan adalah penyakit. [hal. 197]
Sejak pertama kali reading groups Max Havelaar, 23 Maret 2010 lalu, ini pertemuan ke-16 kalinya. Selasa, 24 Agustus 2010. Jika dihitung minggu tentu saja seharusnya lebih dari 16 kali. Harusnya sudah 22 kali pertemuan. Tentu saja ada minggu-minggu ketika reading groups Max Havelaar tidak dapat dilaksanakan.
Selasa, 24 Agustus 2010 reading groups Max Havelaar menyelesaikan bab 11 yang minggu lalu tersisa. Reading minggu ini sampai pada cerita saat Havelaar menuturkan dongengan tentang Pemahat Batu dari Jepang. Havelaar menceritakan dongeng tersebut kepada si Upik Keteh, anak perempuan seorang pemuka rakyat yang dipersembahkan kepada tuan kontelir sebagai penghibur di masa sepi. Saat cerita ini disampaikan, Havelaar sedang bertugas di Natal, di daerah Tapanuli. Saat bertugas di sana, Havelaar sangat bahagia.
Cerita Pemahat Batu dari Jepang ini karangan van Hoevell. Cerita tersebut pernah dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie edisi April 1842. Jadi, Havelaar juga membaca majalah-majalah yang diterbitkan di Hindia Belanda.
Havelaar menceritakan Pemahat Batu dari Jepang ini saat berbincang dengan Verbrugge, Duclari, dan istrinya Tina. Perbincangan di rumahnya di Rangkasbitung. Rumahnya yang kini tidak terawat di belakang RSUD Adjidarmo. Rumahnya yang kini hanya tersisa temboknya saja yang asli. Sayang sekali. Saat mengunjunginya 24 Februari yang lalu, rumah itu digunakan sebagai gudang untuk menyimpan bahan bangunan. Maklum di sekelilingnya kini berdiri gedung baru RSUD tiga lantai. Nyaris terhimpit tak terlihat tak terurus. Saat kumasuki rumah tersebut sampah berserakan di dalamnya. Satu bagian dindingnya menunjukkan peninggalan masa lalu. Dinding itu masih terlihat kukuh meski tak mulus. Lebarnya sekitar 6 meter, tingginya 5 meter. Di bagian dalam banyak coretan. Begitu pun di bagian luarnya.
Havelaar menceritakan Pemahat Batu dari Jepang seperti ini:
"Upi, ada seorang pria yang menetak batu. Pekerjaannya sangat berat,dan dia rajin bekerja, namun upahnya kecil, dan dia tidak puas."
Dia menghela napas karena pekerjaannya berat. Lalu dia menjerit: "Oh, seandainya aku kaya, dan aku bisa beristirahat di bale-bale dengan kelambu dari sutra!"
Maka datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Lalu dia menjadi kaya. Dan dia sungguh beristirahat di bale-bale, kelambunya terbuat dari sutra merah.
Kemudian raja negeri itu melintas, dengan pasukan berkuda di depan keretanya, payung emas memayungi kepala raja itu.
Ketika pria kaya melihat itu, dia merasa jengkel karena tidak terdapat payung emas memayungi kepalanya. Maka dia merasa tidak puas.
Dia menghela napas dan menjerit: "Saya berharap saya adalah seorang raja!"
Lalu datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Maka dia menjadi seorang raja. Di depan keretanya berbaris pasukan berkuda, di belakang keretanya juga ada pasukan berkuda, dan kepalanya dipayungi oleh payung emas.
Dan matahari dengan sinarnya yang terik, menghanguskan bumi, sehingga rerumputan menjadi layu.
Lalu raja mengeluh bahwa, sinar matahari telah membakar wajahnya, dan memiliki kekuatan yang lebih besar dari dia. Dan dia tidak puas.
Dia menghela napas, dan menjerit: "Aku berharap aku adalah matahari!"
Lalu datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Maka dia menjadi matahari. Dan dia memancarkan sinarnya ke atas dan ke bawah, ke kanan dan ke kiri, ke semua arah.
Dan dia menghanguskan bumi, dan wajah raja yang ada di bumi.
Lalu sebuah awan menempatkan diri antara dia dan bumi, serta memantulkan sinar matahari.
Dan dia menjadi gusar karena kekuatannya ditahan, maka dia mengeluh jika awan itu memiliki kekuatan yang lebih besar dari dia. Dan dia tidak puas.
Dia berharap untuk menjadi awan, yang sangat kuat.
Lalu datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Maka dia menjadi awan, dan dia menempatkan diri di antara matahari dan bumi, serta menangkap sinar matahari, sehingga rumput-rumput tumbuh menghijau. Dan awan menurunkan hujan deras ke bumi, sehingga membuat sungai membeludak, dan banjir menyapu kawanan hewan.
Jumlah volume air itu menghancurkan ladang-ladang.
Dan dia melihat sebuah batu, yang sama sekali tidak bergerak. Lalu dia mengguyurkan arus yang deras, namun batu itu masih tidak bergerak.
Maka dia menjadi gusar karena batu itu tidak bergerak, dan karena kekuatan arusnya sia-sia. Maka dia tidak puas.
Dan dia menjerit: "Pada batu itu, kekuatan yang lebih besar telah diberikan bukan padaku! Aku berharap aku adalah batu itu!"
Lalu datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Maka dia menjadi batu, yang sama sekali tidak bergerak ketika matahari menyinari, maupun ketika hujan turun.
Lalu datanglah seorang pria dengan sebuah beliung dan pahat yang tajam serta palu yang berat, kemudian dia menetak batu itu.
Batu itu berkata: "Apa ini, manusia ini memiliki kekuatan di atas saya, dan dia dapat menetak dadaku?" Maka dia tidak puas.
Dia menjerit: "Saya lebih lemah dari orang ini... Saya berharap saya adalah pria ini!"
Lalu datanglah malaikat yang turun dari langit berkata: "Jadilah seperti apa yang telah kau katakan."
Maka dia menjadi seorang pemahat batu. Dia menetak batu dengan kerja keras, dan dia bekerja sangat keras demi sedikit upah, dan dia merasa puas.""
Ya, ini cerita Pemahat Batu dari Jepang. Saat cerita ini dibacakan, aku perjelas setiap bagian dan setiap kalimat dengan mencoba memeragakannya. Di sela-sela pembacaan cerita ini, para peserta banyak sekali yang tertawa atau sekadar tersenyum-senyum. Kuulang berkali cerita Pemahat Batu dari Jepang ini agar para peserta mengerti maksudnya.
Di minggu ke-16 ini kubaca kembali lanjutan cerita Saijah Adinda dalam bahasa Sunda. Peserta yang hadir di minggu ke-16 ini, yaitu: Ucu Suharnah, Mariam, Sanadi, Asri, Ajis, Andi, Ano, Oman, Unang, Dede, Aliyudin, Cecep, dan Elah.
Dengan berakhirnya cerita Pemahat Batu dari Jepang ini, selesailah bab 11 novel Max Havelaar kami baca. Selamat malam, Upik Keteh!
0 komentar:
Post a Comment