Oleh Ubaidilah Muchtar
Reading Groups Minggu Ke-9 Max Havelaar berlangsung Selasa, 18 Mei 2010. Pukul 16.00 kami memulai proses reading. Minggu yang lalu salah seorang peserta ditinggal ayahnya. Maman Suparman, nama peserta yang minggu lalu ditinggal ayahnya. Ayah Maman meninggal karena darah tinggi. Sehari sebelum meninggal bidan desa mengecek tensi dareahnya. Katanya, tensi darahnya 230. Bidan melarang ayah Maman untuk memakan daging ayam. Namun larangan bidan tidak diikutinya. Ia tak kuasa ketika melihat daging ayam. Maka disantapnya sepotong paha ayam. Meskipun ajal tentu saja bukan dari mematuhi larangan bidan atau dari memakan paha ayam. Tentu saja bukan. Maka sebelum acara Reading Gropus Max Havelaar minggu ini dimulai, aku meminta kepada para peserta untuk berdoa bersama. Berdoa untuk ayah Maman dan keluarga yang ditinggalkannya. Aku memimpin doa dan para peserta mengikuti. Maman cukup aktif mengikuti Reading Groups Max Havelaar. Ia termasuk yang getol membaca. Jika teman yang lain masih berkutat di sekitar melihat gambar ia telah menekuni teks. Kelihatannya ia tidak terlalu memusingkan buku yang sedikit gambarnya. Maman juga pernah cerita kepadaku. Ia ingin sekolah musik. Ia sempat bertanya, "Sekolah apa yang bisa menjadikan musisi?" Maman menyukai musik. Meskipun di sini tentu saja alat musik jarang ditemukan. Selain rebana. Ia ingin belajar gitar. Aku pernah berkata ada seorang kawan yang mau menyumbangkan gitar untuk Taman Baca Multatuli. Ia terlihat senang. Namun siapa yang mau mengajarinya. Hal itu tentu saja dapat diatasi jika sudah ada gitarnya. Kini aku punya janji untuk Maman. Hari ini Maman tidak ikut reading. Di rumahnya masih ada acara pembacaan doa untuk ayahnya yang meninggal Kamis malam. Tenaganya masih dibutuhkan di rumah. Maka aku paham jika ia tidak hadir di acara reading minggu ke-9 ini.
Seusai berdoa aku mengajak peserta untuk membuka bab 7. Ya, kami memasuki minggu ke-9 dan akan memulai membaca bab 7. Di luar masih ada sisa hujan. Sejak tengah hari tadi hujan turun dengan deras. Aku merasa bahwa setiap Selasa hujan turun. Hujan yang turus dengan deras. Hujan yang diikuti tipuan angin kencang. Hujan yang menerbangkan daun-daun. Hujan yang membuat pohon-pohon jengjen sering menderit keras saat batang-batangnya bertemu. Hujan yang terkadang meluapkan air dan menggenangi halaman depan gedung smp dan airnya tiba di beranda kelas. Begitu pula yang terjadi Selasa ini.
Maka ketika hujan mereda dan hari menjadi sore aku bergegas menuju Ciseel. Kini aku telah memegang Max Havelaar dengan mereka para peserta reading duduk melingkar. Kami duduk di ruang tengah. Taman Baca Multatuli menempati ruang tengah di rumah milik Pak RT. Ada dua rak buku di ruangan tengah ini. Satu rak khusus untuk karya Multatuli. Sedang yang satu lagi berisi buku bacaan umum dan majalah anak-anak. Di dinding ruang tengah tergantung lima buah pigura foto Multatuli dan sebuah poster peringatan 150 tahun Max Havelaar dan 100 tahun Multatuli Genootschap—masyarakat pecinta Multatuli di Amsterdam. Di poster tersebut terdapat foto Multatuli sedang memegang dagu dengan beberapa tulisan di antaranya: Lezingentournee Langs Bibliotheken. Di bawahnya tertulis 'Andre dienen den ik te Lebak diende, kan ik niet'. Ada juga tulisan: 15 Mei Symposium: 'De toekomset van Multatuli. Ada juga tulisan: 30 Oktober Boekpresentatie En Symposium: 'Multatuli en de Emancipatie'. Tepat di depan pigura di tembok samping terpasang papan tulis. Papan tulis dengan kapur. Tertulis di sana: Reading Groups Max Havelaar Every Tuesday: 16.00-17.30 Everyone Welcome at any time. Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten. Web: www.readingmultatuli.blogspot.com. Di samping pigura di depan rak khusus karya Multatuli tergantung dua buah caping. Caping lebar dengan warna keemasan berdampingan dengan caping cetok dari bambu. Caping besar biasa disebut 'Parada' oleh warga Ciseel. Kedua caping ini dipakai Saijah dalam perjalanan meninggalkan Badur menuju Batavia. Caping lebar ia kenakan saat perjalanan dari Badur menuju Tangerang. Sementara caping cetok ia gunakan saat perjalanan dari Tangerang menuju Batavia. Rumah yang dijadikan Taman Baca Multatuli memiliki dua kamar. Di langit-langit terpasang lampu neon 10 Watt dari tenaga surya. Tenaga surya yang dialirkan ke dalam aki. Akinya terpasang di atas pintu di salah satu kamar. Rumah ini masih menyatu dengan rumah panjang. Rumah panjang yang terdiri dari 3 kamar berderet. Rumah tersebut dihuni oleh Pak RT. Di bagian dapur dan kamar mandi kedua rumah ini bertemu. Dapurnya masih tradisional. Menggunakan kayu bakar sebagai bahan utama untuk tungku perapiannya. Memasak menggunakan seeng dari tembaga. Di bagian atas tungku terdapat rak-rak untuk menyimpan kayu bakar. Rak itu disebut 'para'. Jika sedang memasak asapnya mengepul keluar. Kayu yang terbakar terkadang mengeluarkan bunga api. Bunga api itu sering disebut 'silalatu'. Suaranya khas kayu terbakar. Tungku itu memiliki dua lubang. Lubang yang besar untuk memasak nasi sedangkan lubang kecil digunakan untuk menggoreng atau memasak air. Aku suka menggoreng tempe atau tahu di lubang tungku kecil. Aku senang duduk di depan tungku jika hujan lebat turun atau setelah pekerjaan memasak selesai. Kami makan bersama. Biasanya selepas Maghrib. Rumah ini selalu ramai dikunjungi. Beberapa orang tua senang berkumpul di rumah Pak RT. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja pengangkut kayu. Mereka memanggul kayu dari Ciseel hingga tepi sungai Ciminyak. Jaraknya sekitar dua hingga tiga kilometer. Setiap kayu yang dipanggul besarannya berbeda-beda. Jika panjangnya enam meter dengan ukuran kayu lima belas kali lima belas diupah sepuluh ribu perbatang. Mereka menyebut potongan kayu dengan kata "balken". Ada juga pekerja penebang yang hadir saat berkumpul. Mereka senang berbincang. Ditemani beberapa bungkus rokok yang disediakan tuan rumah. Paling banyak mereka menghisap rokok "Toppas". Jika mau menyeduh kopi mereka menyeduh sendiri. Minum kopi menjadi kebiasaan utama di kampung Ciseel. Hampir seluruh warga memiliki kopi. Mereka akan dengan cekatan menghidangkan kopi untuk tamunya. Jika tidak ada gula putih maka gula merah pun jadi. Mereka menumbuk kopi sendiri. Mereka menjemur, menumbuk, dan mengayak kopi sendiri. Aku senang bisa ikut duduk bersama. Seminggu ini aku membawa buku-buku cerita dan guguyonan (cerita lucu) bahasa Sunda. Pak RT membawa buku tersebut ke dalam kumpulan para pekerja. Ada yang duduk ada juga yang sambil telungkup. Kami mendengar Pak RT membaca guguyonan. Kami tertawa terpingkal-pingkal. Aku sering mendapat giliran membaca. Mereka senang mendengar cerita-cerita lucu. Hidup mereka sederhana. Terkadang pekerjaan selama seminggu hanya cukup untuk membeli beras. Jika mereka datang berkumpul mereka membawa senter. Di luar gelap. Mereka memakai sarung untuk menahan dingin. Aku juga sering mendengar cerita-cerita tentang kampung Ciseel dan sekitarnya dari mereka. Juga cerita tentang kerbau dan macan. Bahkan saat kusampaikan bahwa aku memiliki kain yang dipakai ikat kepala Saijah mereka dengan senang hati mengajariku cara memakai kain tersebut. Kain ikat kepala berwarna biru ini disebut rombal. Rombal juga dipakai para jawara di daerah Lebak dan sekitarnya. Menurut mereka kain rombal dapat dipakai dengan dua pilihan. Pertama, cara jawara, yaitu kain digulung, diletakkan di bagian belakang kepala lalu dililit ke depan dan ditarik kembali serta diikat di belakang kepala. Cara kedua dinamakan cara dalang, yaitu cara mengikatnya sama hanya saja ujung kain diletakkan di atas kepala. Cara kedua membuat seluruh bagian kepala tertutup. Sementara cara pertama kepala bagian atas tetap terbuka. Saijah memakainya saat meninggalkan Badur. Sobekan kain itu pula yang menjadi tanda mata untuk kekasinya, Adinda. Adinda ternyata menyimpannya dengan sepenuh cinta. Saat Saijah menemukan Adinda dalam keadaan tanpa busana dan mengenaskan setelah disiksa oleh penjajah Belanda di Lampung, Adinda masih memegang kain tersebut. Sesobek kecil kain biru lusuh menutup luka yang menganga di dada gadis itu, luka yang rupanya mengakhiri pergulatan yang berlangsung lama. Betapa besar kesetiaan Adinda untuk kekasihnya, Saijah.
Aku dan tiga orang teman mendiami rumah Pak RT sejak setahun yang lalu. Pak RT pula yang membantu membuatkan rak untuk buku. Aku selalu meminta izin jika hendak memasang sesuatu. Pak RT bersikap baik. Ia masih muda. Usianya tidak terlalu jauh selisih denganku. Pekerjannya memborong kayu.
Kami melakukan reading groups dengan duduk melingkar di atas sebuah karpet using. Aku duduk di antara para peserta. Aku membaca paragraph pertama bab 7.
Residen Banten memperkenalkan Regen dan Pengawas pada Asisten Residen baru. Havelaar menyapa kedua pejabat itu dengan hormat. Dengan kata-kata ramah dia membuat Pengawas merasa senang—selalu ada hal yang menyakitkan jika bertemu dengan pimpinan baru—seolah-olah dia ingin langsung menetapkan keakraban yang akan membuat hubungan mereka berikutnya lebih mudah. Pertemuan dengan Regen seperti dalam rangka sedang menyesuaikan siapa yang berhak atas payung emas namun pada saat yang sama menjadi "adik"nya. Dengan keramahan yang bermartabat dia mencercanya atas ketelitiannya yang berlebihan, yang telah membawanya keluar dari dalam cuaca seperti itu ke perbatasan divisinya; karena terus terang, menurut aturan etiket Regen tidak perlu melakukan hal itu. (hal. 108)
Peserta menanyakan apa yang dimaksud dengan paying emas. Aku sampaikan untuk membaca catatan nomor 41 di bagian bawah halaman tersebut. Catatan tersebut menyatakan bahwa menurut adat Jawa, payung emas mengindikasikan tingkatan seorang pemimpin. Payung tersebut biasa dibawa di belakangnya. Warna ini ditentukan oleh aturan resmi. Payung yang disepuh warna terang digunakan oleh pemimpin tingkat tertinggi.
Aku juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan payung emas seperti yang sering ada di upacara adat. Misalnya di acara pernikahan. Biasanya pengantin dipayungi oleh para pengawal. Payungnya berwarna kuning keemasan.
"Ada juga payungnya yang bertingkat-tingkat." Kata Nurdiyanta.
"Ya, itu juga bisa." Kataku.
"Etiket itu apa?" Tanya Pipih.
"Etiket itu aturan kesopanan, aturan sopan santu, tata karma," jelasku.
"Maksud kata 'Adik' itu apa?"
"Adik pada kalimat tersebut maksudnya adalah Asisten Residen nantinya akan berada diposisi seolah-olah menjadi adiknya Regen. Meskipun secara jabatan mereka setingkat sama namun karena pengalaman, usia, dan kekuasaannya, Regen seolah-olah menjadi kakak dalam urusan pemerintahan.
Kubaca paragraf selanjutnya. Paragraf selanjutnya berisi dialog antara Asisten Residen dengan Regen. Pada paragraf yang lain Havelaar juga berdialog dengan Pengawas. Mereka berbicara seolah-olah sudah saling kenal lama. Mereka membicarakan Regen. "Apakah Regen selalu teliti?", "Dia adalah pria berpendidikan, bukan?", "Dan dia memiliki keluarga yang besar?", "Dan, sekarang beritahu saya, apakah banyak orang yang melalaikan pembayaran pajak lahan mereka?" itulah sebagian dari pertanyaan yang disampaikan Havelaar kepada Pengawas Verbrugge yang selalu mengiyakan pertanyaannya. Pengawas sadar bahwa ia tidak harus mengajari Havelaar sebab Havelaar sudah banyak tahu. Termasuk menantunya Regen, Raden Wirakusuma. Kemudian mereka duduk bersama Adipati, Residen, dan Ny. Havelaar. Verbrugge sadar bahwa pandangan Komandan yang menyatakan bahwa Havelaar adalah bodoh itu salah. Verbrugge kini sadar bahwa Havelaar sudah mengetahui dengan baik kondisi Lebak meskipun belum pernah menjejakan kaki di Lebak sebelumnya. Verbrugge tentu saja belum mengerti mengapa Havelaar bergembira atas kemiskinan di Lebak, namun dia meyakinkan diri bahwa dia telah salah mengartikan kata-kata Havelaar. Bagaimana pun saat Havelaar seringkali mengulang kata-kata itu, dia melihat banyaknya kebenaran dan kebaikan dalam kegembiraan itu.
Havelaar dan Verbrugge duduk di meja dan membicarakan hal-hal remeh sambil minum the, mereka menunggu hingga Dongso datang dan member tahu Residen bahwa kuda-kuda baru telah diikat ke kereta. Para penumpang berusaha menempatkan diri senyaman mungkin, dan berangkat. (hal. 112)
Para peserta dengan cepat memahami setiap paragraf. Aku hanya menjelaskan sesekali untuk mengulang kalimat-kalimat yang perlu penekanan. Setting tempat perbincangan antara Havelaar dan Verbrugge serta antara Havelaar dengan Regen bagi peserta terlihat dapat dicerna dengan baik. Aku sampaikan bahwa mereka, para peserta kini telah mulai mengerti dengan bahasanya Multatuli. Kini kusampaikan kegembiraanku ini. Maka kulanjutkan kembali pembacaanku.
Guncangan dan goyangan membuat sulit untuk bercakap-cakap. Max kecil tetap diam dengan sebuah pisang, dan ibunya yang memangkunya, tentu saja menolak untuk mengakui bahwa, dia lelah saat Havelaar menawarkan untuk membebaskan dia dari anak yang berat itu. Selama penghentian paksa di lubang berlumpur, Verbrugge bertanya pada Residen apakah dia telah berbicara pada Asisten Residen baru mengenai Ny. Slotering.
….
Kereta menghentak keras setelah berhasil keluar dari lumpur, seakan member tanda seru pada pernyataan Tina bahwa bepergian adalah hal mustahil bagi Ny. Slotering. Semua orang mengucapkan "Whoah!" yang biasanya mengikuti hentakan seperti itu; Max menemukan lagi pisangnya yang sempat hilang saat terjadi hentakan di pangkuan ibunya; dan mereka sudah membenahi letak duduk mereka untuk menuju lubang lumpur berikutnya, sebelum akhirnya Residen dapat kembali menyimpulkan kalimat dengan menambah:
…
"Seorang. Wanita. Pribumi."
"Oh, itu bukan hal penting," ucap Ny. Havelaar mencoba untuk member tahu dia. (hal. 113-114)
Aku sampaikan kepada para peserta bahwa Havelaar, Asisten Residen baru menggantikan pendahulunya. Pendahulunya bernama Slotering. Slotering meninggal dunia dua bulan sebelum kedatangan Havelaar. Slotering meninggalkan seorang istri dan beberapa anak. Ny. Slotering saat ditinggal oleh Slotering sedang mengandung. Ny. Slotering adalah wanita pribumi. Wanita asli Indonesia. Meskipun suaminya seorang Belanda. Ny. Slotering meminta izin kepada Havelaar untuk tetap mendiami rumah dinas almarhum suaminya hingga ia melahirkan beberapa bulan ke depan. Havelaar dan Tine, istrinya tentu saja membolehkan permintaan tersebut. Rumah yang didiami Ny. Slotering berada tak jauh dengan rumah yang didiami Havelaar. Rumah tersebut mempunyai pekarangan yang luas dan kebun yang luas. Rumah tersebut dibangun oleh Gubernur untuk kepala administrasi divisi. Rumah tersebut kini telah hilang dan kini menjadi RSUD Adjidarmo Rangkasbitung. Meskipun satu bagian dari rumah tersebut masih tersisa.
Paragraf selanjutnya aku baca. Paragraf panjang tersebut bercerita tentang masyarakat Eropa di Hindia Belanda Timur. Masyarakat Eropa di Hindia Belanda Timur dibagi menjadi dua golongan. Pertama orang Eropa asli. Kedua, mereka yang memiliki sedikit banyak darah "pribumi". Golongan kedua ini yang biasa disebut "Liplap" atau anak pribumi yang banyak mendapat sorotan dalam paragraf-paragraf selanjutnya beserta contohnya.
Selanjutnya paragraf bergerak menuju persiapan upacara pelantikan Asisten Residen yang baru. Pelatikan akan dilaksanakan di beranda depan rumah Bupati. Jauh-jauh hari Verbrugge telah memerintahkan kepada Pemimpin Distrik, Patih, Kliwon, Jaksa, penagih Pajak, beberapa Mantri, semua pejabat pribumi harus menghadiri acara itu. Mereka diharuskan berkumpul di ibukota kedivisian, yaitu Rangkasbitung.
Di tempat upacara berlangsung, Residen dan Asisten Residen mengenakan pakaian resmi. Mereka dijamu dengan musik gong dan gemelan. Pemimpin dengan tingkat terbawah duduk di tikar, dalam lingkaran yang lebar, di ujung beranda yang panjang terletak sebuah meja untuk Residen, Adipati, Asisten Residen, Pengawas, dan dua atau tiga pemimpin lain. Ada teh, ada kue. Upacara segera dimulai.
Residen berdiri dan membaca perintah Gubernur Jenderal yang menunjuk Max Havelaar sebagai Asisten Residen Divisi Banten-Kidul (Banten Selatan), para pribumi menyebutnya Lebak. Lalu dia mengambil Pengumuman Resmi yang berisi naskah sumpah pengambilalihan kantor secara umum, yang melampirkan: "bahwa, untuk ditetapkan atau dipromosikan pada tugas…, (orang yang dimaksud) harus berjanji atau tidak memberikan apa pun pada siapa saja, dan juga tidak akan memberi janji atau sesuatu; bahwa dia akan setia dan patuh pada Yang Mulia Raja Belanda; bahwa dia akan mematuhi Perwakilan Yang Mulia di Dominion Hindia Timur; bahwa dia akan dengan tegas mengawasi dan diawasi hukum dan regulasi yang telah atau akan dibuat, dan bahwa dalam segala hal dia akan bersikap baik… (dalam hal ini: Asisten Residen)".
Ini, tentu saja, diikuti dengan sakramen: "Maka bantulah saya Tuhan yang Maha Kuasa". (hal. 119-120)
"Sakramen itu apa?" Tanya Pipih.
"Sakramen itu doa penutup kepada Tuhan." Jawabku agak kurang yakin.
"Regulasi itu apa?"
"Regulasi itu peraturan atau aturan," jawabku pada Pepen.
"Ini sumpahnya?" Tanya Siti Alfiah.
"Ya, ini sumpah jabatan yang diucapkan Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak menggantikan Slotering yang meninggal dua bulan sebelumnya." Terangku.
Reading Groups Minggu ke-9 berakhir di saat Havelaar membacakan sumpahnya untuk menjaga masyarakat pribumi dari eksploitasi, tekanan, perlakuan buruk, dan pemerasan. Di paragraf ini kami mengakhiri acara Reading Groups Minggu Ke-9, Selasa, 18 Mei 2010. Aku sampaikan terima kasihku atas kehadiran para peserta. Siang berganti malam. Hewan-hewan siang diganti oleh hewan-hewan malam. Rabu malam ini juga seperti Rabu malam sebelumnya. Di Taman Baca Multatuli sebenarnya ada kawan yang menginap. Namun beberapa minggu ini ia tidak ada. Maka kupastikan semua buku sudah ada di tempatnya. Kurapikan segalanya. Kunyatakan bahwa semua aktivitas ini membuatku merasa lebih berarti. Malam seperti ini di luar hanya gelap. Suara adzan di masjid. Aku berkemas ke sana. Ke asal suara. Aku berharap dia yang jauh di sana selalu baik meski aku tidak tahu benar adanya. Begitu harapanku di tiap siang dan malam. Sebab di sini dunia serasa sunyi.
i like this,and dont forget visiting my blog!
ReplyDelete