Kita akan melihat bagaimanapun, betapa daerah yang sederhana, tampak menjemukan di Lebak ini bagi Havelaar bernilai lebih dari penyatuan seluruh kelebihan jiwanya di masa lalu. Namun karena tidak tahu! Mereka memandang masa depan dengan yakin, dan merasa sangat bahagia dengan cinta dan anak yang mereka miliki…
"Begitu banyak mawar di kebun," seru Tina, "juga rampeh dan cempaka, dan begitu banyak melati, coba lihat lili-lili indah itu…!" (hal. 131)
Mulanya aku ingin menulis catatan reading groups minggu ke-10 ini dalam bentuk yang lain. Bentuk tulisan yang tidak seperti catatan-catatan sebelumnya. Lama rasanya aku tidak menulis puisi. Seperti ada keinginan yang tertunda. Ingin menulis puisi kembali. Namun aku tidak lagi lancar menulis puisi. Pilihan kata-kataku tidak baik. Aku kesulitan memulai menulis puisi. Jadi aku akan menulis catatan reading groups minggu Ke-10 ini biasa saja. Siapa tahu di kemudian hari rasaku mulai tajam. Aku dapat menulis puisi kembali. Semoga saja ya. Tadinya aku ingin menulis catatan reading groups minggu ke-10 ini dalam bentuk puisi.
Oh iya, reading groups minggu ke-10 ini dihadiri 13 peserta. Belum termasuk aku. Jika aku dihitung maka jumlahnya bertambah satu. Ke tiga belas peserta tersebut yaitu Sanadi, Andi Suhandi, Anisah, Mariyah, Ahmad Yani, Asri, Pipih Suyati, Sujatna, Dede, Sumi, Dedi Kala, Pepen, dan Siti Alfiah.
Ke tiga belas peserta tersebut kini bersekolah di tingkat dasar dan menengah. Ada yang di SMP Negeri Satap 3 Sobang, ada yang di MI Al Hidayah, ada juga yang di SDN 2 Sobang. Satap merupakan kependekan dari Satu Atap. Disebut Satu Atap karena letaknya bersatu dengan SD. Selain itu karena berada di daerah terpencil yang sukar dijangkau. Alasan lainnya karena SD penunjangnya hanya satu, yaitu SD yang letaknya bersatu dengan SMP Satap tersebut. Dalam kisah ini ya, SDN 2 Sobang itu.
Tapi aku tidak akan membahas masalah satap. Jika ingin lebih tahu tentu saja dapat dilihat di Depdiknas. Eh, sekarang namanya Kementerian Pendidikan Nasional. Aku sebetulnya ingin membahas kehidupan para peserta reading groups Max Havelaar di Taman Baca Multatuli ini. Apakah para pembaca akan melanjutkan membaca catatan ini jika aku membahas sedikit tentang mereka. Semoga saja demikian.
Para peserta reading groups sebagian besar berasal dari kampung Ciseel. Kampung ini menjadi bagian dari Desa Sobang. Desa Sobang merupakan bagian dari Kecamatan Sobang. Kecamatan Sobang berada di wilayah Kabupeten Lebak. Lebak tempat Havelaar pernah menjadi Asisten Residen. Dan di Lebak pula Taman Baca Multatuli berada.
Peserta reading groups paling muda seusia anak kelas 4 dan 5 SD. Peserta paling tua baru lulus SMP. Peserta paling muda bernama Dede dan Asri. Dede duduk di kelas 4 SDN 2 Sobang sedangkan Asri bersekolah di MI Al Hidayah kelas 5. Peserta yang baru lulus SMP di antaranya Sumi, Anisah, Siti Alfiah.
Mereka yang ikut reading groups adalah anak-anak petani di Kampung Ciseel ini. Warga Kampung Ciseel bertani di ladang dan sawah. Mereka menanam padi juga palawija lainnya. Mereka menanam jagung, pisang, kangkung, dan singkong. Di Kampung ini juga banyak buah-buahan. Ada durian, duku, kecapi, pisitan, kokosan, kopi, kelapa, cengkeh, dan manggis. Jika musimnya tiba buah-buahan di sini melimpah. Seperti di perkampungan lainnya jengkol, pete, dan jamur juga ada. Bahkan buah picung pun banyak di sini. Tapi yang ada sepanjang musim adalah pisang. Pisang dengan aneka ragam bentuk dan namanya.
Para petani yang menamam padi lebih banyak mengandalkan air hujan. Sebab sumber air tak terlalu banyak di sini. Mereka menanam padi secara tradisional. Membajak menggunakan tenaga kerbau. Mencangkul untuk merapikan hasil kerja kerbau. Tandur secara bersama-sama. Merawatnya tanpa insektisida dan sejenisnya. Jika musim panen tiba mereka bersama memotong padi. Mereka memotong padi dengan ketam dan mengikatnya. Lalu padi-padi yang telah diikat dijemur di tepian sawah. Di jemur di sebuah bambu panjang beratap rumbia. Mereka tidak takut jika padi yang mereka jemur ada yang mengambil. Mereka akan mengambil padi-padi tersebut jika sudah kering. Padi-padi tersebut lalu disimpan di lumbung. Lumbung padi yang mereka menyebutnya "leuit". Leuit tempat menyimpan padi letaknya tak jauh dari perkampungan. Leuit pintunya di atas. Jadi mereka memasukan dan mengeluarkan padi dengan cara naik tangga. Setiap leuit menyimpan padi untuk persediaan selama setahun. Jika mereka membutuhkan beras. Mereka ambil ikatan padi di leuit dan menumbuknya di lesung. Lesung juga digunakan untuk menumbuk kopi.
Aku ingin memperkenalkan para peserta reading groups minggu ini. Minggu ke-10 ini ada 13 peserta yang hadir. Pertama Sanadi. Sanadi merupakan anak dari Pak Buhadi dan Ibu Eci. Sanadi kini kelas satu SMP atau juga disebut kelas tujuh. Pak Buhadi pandai membuat anyaman dari Bambu. Aku pernah memesan caping darinya. Pak Buhadi juga membuat gula aren. Sewaktu aku ke sana dengan Mas Sigit aku disuguhi air nira yang direbus dalam katel besar. Waktu itu Mas Sigit menyangka itu air teh. Lalu aku sampaikan bahwa itu air calon gula merah. Mas Sigit pun mencicipinya. Kedua, Andi Suhandi. Andi Suhandi bersekolah di SMP satu kelas dengan Sanadi. Andi termasuk peserta yang selalu datang lebih awal. Bapak Kemeng ayahnya Andi senang Andi ikut reading groups. Ibunya bernama Ibu Anah. Andi peserta yang jarang berbicara. Ia lebih banyak mendengarkan. Ketiga, Anisah. Anisah tahun ini lulus SMP. Anisah rajin mengaji dan membaca. Setiap Selasa sore Anisah selalu hadir mengikuti reading groups. Anisah tidak pernah absen ikut reading groups. Begitu yang ada dalam catatan kehadiran reading groups. Ayahnya bernama Pak Arta. Ibunya bernama Ibu Armah. Anisah anak ke satu dari empat bersaudara. Aku mendengar kabar bahwa beberapa bulan mendatang Anisah akan menikah. Keempat, Mariyah. Mariyah juga termasuk yang rajin mengikuti reading groups. Jika ke Taman Baca Mulatuli, Mariyah paling senang membaca komik. Ia sering berjam-jam duduk untuk membaca komik. Bahkan sempat aku lihat ia memegang sekitar enam buku sekali duduk. Jika sedang reading Mariyah selalu terlihat konsentrasi. Mariyah juga rajin bertanya. Mariyah tahun ini lulus dari MI Al Hidayah. MI setingkat dengan SD. Mariyah mau melanjutkan ke SMP. Mariyah putri Pak Madsani dan Ibu Armi. Peserta kelima, Ahmad Yani. Ahmad Yani biasa dipanggil Yani. Yani sekelas dengan Mariyah. Yani putra Pak Sapri dan Ibu Amanah. Yani sering ke Taman Baca Multatuli. Yani pertama kali ikut reading groups malu-malu. Kini ia selalu hadir. Keenam, Sumi. Sumi seperti Anisah tahun ini lulus SMP. Sumi tinggal dengan neneknya di kampung ini. Kedua orang tuanya tinggal di kampung Cikadu. Kampung sebelah. Di Cikadu juga belum ada listrik. Peserta ketujuh, Asri. Asri kini kelas 5 di MI Al Hidayah. Asri anak laki-laki. Asri seperti juga Yani sewaktu pertama ikut reading groups malu-malu. Kini Asri senang membaca. Kedelapan, Dedi Kala. Dedi Kala sering dipanggil Ameng. Aku tidak tahu alasan Dedi Kala dipanggil Ameng. Dedi Kala sekelas dengan Sanadi dan Andi. Dedi Kala putra Pak Asrap dan Ibu Arsawi.
Pipih Suyati menjadi peserta selanjutnya yang akan aku perkenalkan. Pipih Suyati anak pertama dari dua bersaudara. Pipih anak yatim. Ayahnya meninggal tertabrak truk di Bandung sewaktu berjualan cendol. Waktu ayahnya meninggal, Pipih berusia dua tahun. Dulu Pipih tinggal di Bandung sebab ayahnya asli orang Ciwidey. Setelah ayahnya meninggal Pipih kembali ke Ciseel. Hingga kini, Pipih belum pernah kembali ke Bandung. Pipih ingin sekali melihat makam ayahnya. Namun keinginan Pipih hingga kini belum terlaksana. Pipih termasuk anak yang pintar. Di kelasnya ia termasuk tiga besar. Pipih kini duduk di kelas delapan. Pipih suka membaca. Setiap kali reading groups ia tidak pernah absen. Ibunya bernama Umsinah. Ayahnya almarhum Bapak Maman. Setiap musim lebaran tiba Pipih sering meneteskan air mata sebab rindu ayahnya. Rindu pusara ayahnya.
Kesebelas, Sujatna. Sujatna atau Jajat sekelas dengan Sanadi, Andi, dan Dedi Kala. Jajat termasuk yang telat masuk sekolah. Jajat sejarusnya lulus SMP tahun ini, begitu pengakuannya. Jajat sering membantuku di Taman Baca Multatuli. Termasuk saat memasang foto-foto Multatuli. Jajat putra dari Pak Japi dan Ibu Suminah. Jajat sering menggembala kambing. Ia tidak memiliki kerbau tapi ia memiliki kambing.
Pepen peserta kedua belas yang aku perkenalkan. Pepen tidak mau ketinggalan acara reading groups Max Havelaar. Di buku daftar hadir kolom pesan dan kesan ia menulis: "Saya tidak mau ketinggalan reading groups Multatuli". Setiap Selasa sore ia hadir di Taman Baca Multatuli. Di hari lain pun ia selalu ada. Bahkan jika malam tiba, Pepen selalu menyempatkan datang. Pepen termasuk yang tekun. Pepen termasuk yang pertama kali selesai membaca bab 17 novel Max Havelaar. Bab tentang Saijah dan Adinda. Pepen juga mengingat detail kisah itu. Setiap kali reading groups berlangsung ia menunjukkan kesungguhan mengikuti acara ini. Pepen jarang mau difoto. Ia selalu menuliskan namanya dengan P32N di buku daftar hadir reading groups Max Havelaar. Pepen satu kelas dengan Pipih. Pepen tak banyak bicara. Pepen menulis di kolom pesan kesan di minggu ke-10 ini seperti ini: "Tina itu tergila-gila sama Havelaar". Aku senang membaca pesan dan kesan mereka saat mengikuti reading groups Max Havelaar ini.
Siti Alfiah adalah peserta ketiga belas. Siti Alfiah oleh teman-temannya dipanggil Eneng. Siti Alfiah tahun ini lulus SMP. Siti Alfiah putri Pak Barnas dan Ibu Julaiha. Pak Barnas pernah aku ceritakan sedikit di catatan reading groups minggu ketujuh. Siti Alfiah akan melanjutkan ke SMA di kota. Siti Alfiah pandai bernyanyi. Menurut teman-temannya Siti Alfiah suka bernyanyi saat ada hajatan. Aku pernah melihat Siti Alfiah bernyanyi saat kenaikan kelas tahun lalu.
Sebenarnya masih ada peserta yang lainnya. Hanya mereka tidak hadir di reading groups minggu ke-10 ini. Mereka itu di antaranya Maman, Nurdiyanta, Aliyudin, Sumarna, Minong, Johar, Suardi, Pendi, Rohanah, Siti Nurhalimah, Siti Nurajijah, Armani, Coni, Asep, dan Mano. Mereka tak hadir di minggu ke-10 ini.
Semoga para pembaca masih mau melanjutkan membaca catatanku ini.
Oh iya, di status jejaring sosial facebook aku menulis bahwa di akhir reading groups minggu ke-10 aku menemukan sosok lain Havelaar. Salah seorang temanku menulis "Sopo Kang?" maka aku akan membahasnya sekarang. Sebab di status itu aku berjanji akan membahasnya di catatan minggu ke-10 ini. Semoga masih mau melanjutkan membacanya.
Kami memulai reading groups minggu ke-10 seperti yang tertera dalam jadual, yaitu pukul 16.00 WIB. Seperti juga Selasa minggu lalu hujan turun dengan deras di tengah hari hingga menjelang acara reading groups berlangsung. Menjelang pukul empat hujan mereda dan di Taman Baca Multatuli peserta telah banyak yang datang.
Aku memulai membaca dengan terlebih dahulu mengulas sedikit bacaan minggu lalu. Minggu lalu kami tiba pada bacaan ketika Havelaar diambil sumpahnya sebagai Asisten Residen Lebak yang baru menggantikan Slotering. Havelaar membacakan sumpahnya untuk menjaga masyarakat pribumi dari eksploitasi, tekanan, perlakuan buruk, dan pemerasan.
Minggu ke-10 ini aku memulai membaca paragraf tentang janji Havelaar. Berikut paragraf pertama dan kedua yang aku baca di minggu ini.
Kami yakin bahwa Havelaar akan melindungi pihak yang miskin dan ditekan di mana saja dia menemukannya, bahkan meskipun dia harus menjanjikan yang sebaliknya atas nama "Tuhan yang Maha Kuasa".
Kemudian Residen berbicara pada para pemimpin, memperkenalkan Asisten Residen tersebut pada mereka sebagai kepala divisi, meminta mereka untuk mematuhinya, melaksanakan kewajibannya secara teliti, dan hal-hal biasa seperti itu. Setelah itu satu persatu para pemimpin itu diperkenalkan ke Havelaar. Dia berjabat tangan dengan mereka, dan "pelantikan" itu selesai. (hal. 121)
Lalu kuminta Siti Alfiah untuk melanjutkan membaca. Siti Alfiah pun membaca untuk kami. Siti Alfiah membacakan paragraf tentang kisah Havelaar dan Tina yang baru saja kembali dari Eropa setelah mengambil cuti. Cuti saat melaksanakan tugasnya di Ambon. Havelaar memang pernah menjadi Asisten Residen di Ambon. Banyak orang yang terkaget-kaget sebab Havelaar kini ditugaskan di divisi yang bonus perkebunannya sangat sedikit. Lebak, merupakan daerah miskin. Namun Havelaar tidak pernah mengeluhkannya. Karena ambisinya bukan untuk mendapatkan jabatan tinggi atau pun uang yang banyak.
Havelaar sudah cukup puas ditempatkan di Lebak. Meskipun uang yang banyak sangat berguna baginya. Hal ini disebabkan ia telah menghabiskan sebagian kecil uang yang ditabungnya bertahun-tahun saat pergi ke Eropa. Ia cukup puas jika di Lebak nanti ia dapat menghapus tunggakan ekonominya. Mengingat istrinya yang sederhana dalam selera dan keinginannya akan membantu Havelaar sepenuh hatinya. (hal. 123-124)
Selanjutnya aku yang membaca. Aku membaca paragraf tentang keadaan ekonomi Havelaar. Havelaar sebenarnya dapat mengatur keuangannya, namun saat orang lain membutuhkan bantuannya, ia akan membantunya dengan nyata, memberi. Kebaikannya ini menjadi salah satu kelemahannya. Dia membantu orang lain, namun anaknya "Max" dan istrinya "Tina" menderita akibat ketidaktegasannya. Di paragraf ini dikisahkan bagaimana dia kekurangan uang untuk membeli ranjang besi untuk Max-nya yang seminggu lagi akan dilahirkan. Bahkan sebelumnya ia telah mengorbankan perhiasan Tina-nya untuk menyelamatkan orang lain yang keadaannya jelas lebih baik dari dia.
Aku membaca kembali kalimat-kalimat untuk memperjelas pemahaman peserta reading. Sebagian dari mereka memang sudah memahami paragraf ini. Aku pun meminta Pepen untuk melanjutkan membaca. Pepen membaca paragraf yang isinya bahwa hal-hal buruk ini sudah jauh ditinggalkan ketika mereka kini tinggal di Lebak. Mereka kini menempati rumah "yang sangat ingin mereka tinggali suatu saat nanti". Mereka melengkapi perabot dengan membelinya dari Batavia dan mereka kini dapat mengatur kehidupannya. Pokoknya mereka nyaman dan tenteram. Bahkan Tina yang tahu Havelaar sering menulis mengusulkan agar Havelaar mencetak tulisan-tulisannya tersebut.
Ya, mereka akan bahagia di Rangkas Bitung, baik Havelaar maupun Tina-nya! (hal. 125)
Akan tetapi masih ada hal yang membebani mereka yaitu utang yang mereka tinggalkan di Eropa. Mereka saat di Eropa meninggalkan utang akibat dari kebaikan hati Havelaar.
"Bagaimanapun saya akan merasa menyesal jika meninggalkan Lebak, Tina, karena banyak hal yang harus dilakukan di sini. Kau harus sangat berhemat, sayang, maka kemudian kita dapat melunasi segalanya, meskipun saya tidak memperoleh promosi…dan jika kita berhasil, saya berharap dapat tinggal lama di Lebak, sangat lama!" (hal. 126)
Meskipun desakan ekonomi ini sangat kuat namun Havelaar tahu bahwa kesalahan ini adalah akibat ulahnya. Tina pun tahu hal itu dan Tina selalu menerima apa saja yang Havelaar lakukan sebab Tina sangat mencintai Havelaar.
Paragraf selanjutnya aku baca. Paragraf ini berkisah asal muasal utang yang ditanggung Havelaar saat di Eropa. Semua utang itu ia tanggung akibat kebaikan hatinya menolong orang lain. Ya, menolong dan membantu mereka yang kesusahan. Di paragraf ini dikisahkan bagaimana Havelaar membawa dua wanita miskin yang tinggal di Nieuwstraat dan belum pernah meninggalkan Amsterdam dan belum pernah mengalami "darmawisata", mengelilingi pasar malam di Harleem. Havelaar membelikan makanan untuk anak-anak yatim piatu di semua panti asuhan di Amsterdam, kue dan susu almond, serta menimbun mereka dengan mainan. Havelaar juga membayar semua tagihan hotel penyanyi miskin yang ingin pulang ke negara mereka. Termasuk memberi uang untuk biaya mereka membawa pulang harpa, biola, dan gitar bas penyanyi itu. Havelaar juga memberi makanan dan pakaian seorang gadis yang menyapanya suatu malam di jalanan. Havelaar juga mengembalikan piano seorang ayah yang anaknya senang main piano. Havelaar juga membeli kebebasan sebuah keluarga budak di Manado. Havelaar juga merawat dan menerima orang Amerika para penangkap ikan paus yang terdampar di Ambon dan Manado serta menampungnya di rumahnya. (hal 126-127)
Semua yang dilakukan Havelaar saat menolong yang membutuhkan itu disetujui oleh Tina. Tina memahami sifat Havelaar, suaminya. Tina berpikir bukankah suatu saat nanti suaminya akan mendapatkan promosi dan jabatan yang tinggi hingga dapat melunasi utangnya.
"Jika ada kesalahan yang bisa ditemukan dalam dirinya, itu terkait dengan betapa tergila-gilanya dia pada Havelaar, dan jika sekiranya benar dikatakan bahwa, banyak yang harus dimaafkan dari mereka yang telah banyak mencintai, itu nyata dalam kasusnya!" (hal. 127-128)
"Hebat ya, Tina!" seru peserta reading.
"Tina begitu baik dan cinta pada Havelaar," seruku.
Paragraf-paragraf selanjutnya berkisah tentang sejarah hidup Tina. Tina dengan kekayaan yang hilang darinya. Kekayaan yang Tina simpan di sebuah kotak kecil yang hilang. Keluarga ibu dan ayah Tina berasal dari keluarga yang kaya raya. Namun karena Tina sejak kecil sudah kehilangan kedua orang tuanya maka Tina tak mengetahuinya. Tina diurus oleh keluarganya. Tina tidak tahu di mana, kapan, dan bagaimana kekayaan itu bisa hilang. Tina sendiri tidak pernah menaruh perhatian pada masalah uang, dan hanya berkata sedikit atau tidak sama sekali ketika Havelaar memaksanya untuk memberikan detail mengenai pemilikan terdahulu dari keluarganya.
Kakeknya Tina ikut ke tempat pengasingan Pangeran William ke lima di Inggris dan menjadi kapten kavaleri di kesatuan Duke of York. Kakek Tina bernama Baron van W. Namun karena ceroboh maka semua kekayaannya hilang. Ayah Tina meninggal saat usia delapan belas tahun karena dibunuh.
Keluarga dari ibunya juga hidup makmur. Itu yang Tina ingat. Kakeknya merupakan pemilik layanan pos di Switzerland. Namun semua itu tidak ada atau hanya sedikit yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Havelaar dan Tina kini hidup nyaman dan tenteram di Lebak. Mereka berbahagia hidup berdampingan dengan masyarakat Lebak. Rakyat Lebak. Seperti paragraf di awal tulisan ini. Paragraf yang ketika selesai membacanya aku merasa ada sesuatu yang lain dari sosok Havelaar. Sosok romantis yang mengerti benar suasana dan keadaan di Lebak, tempat barunya sebagai Asisten Residen. Havelaar yang memahami benar kehidupan masa lalu dan kini. Havelaar yang memiliki Tina sebagai penyemangatnya. Tina yang memahami benar suaminya. Tina yang pasti akan langsung masuk ke dalam penyebab kemiskinan rakyat Lebak lebih dari yang disuruh oleh Max-nya jika ia mengetahuinya. Tina dan Havelaar yang berbahagia dengan cinta dan anak yang mereka miliki.
Begitu banyak mawar di kebun
Juga rampeh dan cempaka
Begitu banyak melati
juga lili-lili indah
Kuakhiri reading groups minggu ke-10 ini. Kuselesaikan Bab 7 ini di Selasa sore, 26 Mei 2010. Kubuka pesan seorang yang baik beberapa hari yang lalu lantas kubaca pelan. Pesannya, ketika kau merasa sepi dan sendiri sebenarnya kau sedang belajar tentang ketangguhan. [ubaidilah muchtar]
0 komentar:
Post a Comment