728x90 AdSpace

  • Latest News

    05 May 2010

    Multatuli Digendong 120 Kilometer



    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Malam ini malam Minggu. Malam menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2010. Sejak dari Pasar Rebo hingga Lebak Bulus Macet. Kemacetan Berlanjut hingga Ciputat setelah melewati Jembatan Layang. Warga Jakarta dan dunia baru saja memperingati Hari Buruh Sedunia atau biasa disebut Mayday. Aku berada di antara ribuan kendaraan yang menyemut, berjalan pelan, berbagi jalan, mengarah ke Parung. Melewati Pasar Ciputat, aku tidak langsung ke Parung. Kuarahkan ke Pamulang namun hanya 500 meter aku berhenti. Aku berhenti tepat di ujung Pasar Cimanggis, Ciputat. Di pojok jalan yang mempertemukan kendaraan dari Parung dan Pamulang. Letaknya di depan proyek pembangunan RSUD Tangerang Selatan.

    Ya, minggu lalu kuterima dua buah poster dari seorang kawan. Seorang kawan asal Cianjur yang menetap di Swiss. Kawan tersebut sengaja pergi ke Belanda dan mampir di museum multatuli. Lalu poster tersebut dibawa oleh kawan yang lain ke Indonesia. Perkawanan yang baik. Rasanya terima kasih saja tak akan cukup. Maka kusiapkan bermilyar salam untuk mereka. Kawan dari Cianjur ke Belanda. Membawa poster. Poster dititipkan kepada kawan asal Kendal yang sedang pulang kampung. Kawan yang sedang pulang kampung tersebut lalu menyerahkan poster tersebut kepadaku. Sebuah poster peringatan 150 Max Havelaar dan 190 tahun Multatuli. Poster dengan wajah Multatuli sedang memegang dagu. Serta sebuah poster Schiller dan Goethe.

    Di pojok pasar Cimanggis ini aku memberikan poster tersebut untuk diberi bingkai. Ya, di pojok pasar Cimanggis tempat pembuatan bingkai berada. Berbagai macam bingkai dapat dibuat di sana. Maka kumintakan bingkai untuk poster tersebut. Pemilik toko ini berperangai baik. Aku tidak tahu namanya. Namun dalam percakapan singkat aku tahu ia berasal dari Cilacap. Bingkai yang kuminta berwarna hitam dengan pinggiran linen tiga lapis berwana emas. Memakai kaca polos. Sementara ukuran posternya 70x90 centimeter.

    Aku pun melanjutkan perjalananku menuju rumah di Sawangan. Di antara kendaraan-kendaraan yang berjalan pelan, aku menggendong poster yang kini telah diberi bingkai. Kuketahui cara terbaik membawa pigura seperti ini dari bapak pemilik toko bingkai. Menurutnya cara ini lebih baik dan menghindari kaca pecah. Aku membawanya di punggung dan tas kusimpan di dada. Adu manis.

    Poster yang telah diberi bingkai ini kudiamkan satu hari. Senin subuh aku akan membawanya ke Taman Baca Multatuli. Di rumah aku sengaja tak membuka bungkusnya. Serta kubiarkan tali ikatannya begitu saja. Aku tidak ingin membukanya. Aku sudah melihatnya saat berada di toko bingkai. Sudah kupastikan bingkai yang kini melekat di poster peringatan 150 tahun Max Havelaar ini sesuai dangan yang kupesan.
    Pukul lima Senin pagi aku sudah bersiap. Senin ini aku tidak akan membawa boks plastik yang biasa kuisi buku. Senin ini aku hanya akan membawa poster 150 tahun Max Havelaar yang kini telah berbingkai. Kumasukkan tangan kananku. Menyusul kemudian tangan kiriku. Kumasukkan ke dalam tali plastik yang mengikat bingkai. Gerakan ini layaknya saat kita menggendong tas di punggung. Kemudian tali plastic yang menjulur dari punggung ke pinggang ini bertemu di perut. Tali plastic yang bertemu diperut ini kemudian disatukan, diikatkan. Kegiatan ini layaknya sedang memakaikan sabuk pengaman.

    Pagi masih gelap saat kutinggalkan Sawangan. Kuarahkan kendaraanku ke Parung. Jalan yang menghubungkan Parung dengan Ciputat tampak ramai. Keramaian terutama yang mengarah ke Ciputat. Suasana sebaliknya tampak di jalur yang mengarah Parung. Udara dingin menusuk tulang. Langit gelap tanpa bintang. Matahari tak hendak menampakan wujudnya. Hujan sepertinya akan turun. Motorku tak dapat lari kencang. Tiupan angin dari depan terhalang oleh bingkai di punggung. Membuat jalannnya tertahan. Aku sadar tak akan dapat berjalan kencang sebab tali plastik yang menjulur dari punggung ke pinggang melewati ketiak menekan dengan kuat. Maka kubiarkan jalan kendarananku apa adanya.

    Melewati Pasar Parung yang ramai bingkai di punggungku masih aman. Pasar Parung sepagi ini sangat ramai. Jalan di depan pasar hampir tertutup aktivitas jual beli. Tidak hanya sayuran. Berbagai bahan makanan ada di sana. Bahkan ada juga yang menjual berbagai jenis ikan hias. Menurut seorang kawan yang tinggal di Parung, banyak warga luar kota yang sengaja berbelanja di Pasar Parung ini. Bahkan ada yang dari Lampung.

    Memasuki Rumpin tanpa sengaja aku membungkukan badanku karena terasa pegal. Jalan kendaraanku lebih lancer. Aku sadar ternyata dengan posisi seperti itu angin dari depan tak terlalu terhalangi. Namun aku sadar tak mungkin aku terus menerus membungkukkan badan. Kunikmati perjalananku memasuki rumpin yang masih banyak pepohonan. Udara hangat menarpa wajahku. Memasuki Leuwiliang aku menyaksikan bayangan badanku di tebing. Aku melihat bayangan badanku mirip ibu hamil. Di perutku tergantung tas di punggungku ada bingkai berdiri.

    Jalan Leuwiliang sedang diperbaiki. Jalan di kelupas dengan berbagai ukuran. Ada yang selebar kasur. Ada yang memanjang. Ada yang seukuran kamar tidur. Bahkan ada yang hampir seluruh badan jalan dikelupas. Mungkin ini cara menghemat anggaran perbaikan jalan, pikirku. Aku harus hati-hati dengan kondisi jalan seperti ini. Jika tidak konsentrasi, roda depanku dapat tergelincir dan masuk ke petakan jalan yang dikelupas. Dalamnya bervariasi. Namun dugaanku antara lima hingga lima belas centimeter. Aku teringat kawanku M. Abduh. Minggu lalu ia terjatuh di Sajira. Ia terjatuh bukan di jalanan jelek menuju Taman Baca Multatuli. Justru dia terjatuh di jalan beraspal. Ketika itu ia sedang mengendarai motornya dari rumahnya di Rangkasbitung menuju SMP Satap 3 Sobang. Tiba di Sajira, dalam kecepatan tinggi ia tak sanggup menghindari lubang. Ia terjatuh dengan tangan, dada, dan dagunya menyentuh aspal jalan. Aku merinding melihat telapak tangannya terkelupas. Hingga terlihat dagingnya. Maka ketika ia tiba di Taman Bac Multatuli sore harinya, aku berusaha mengobatinya. Aku tumbuk kencur di batok kelapa hingga lembut. Kencur yang ditumbuk halus tersebut lalu kuberi air. Kuoleskan tumbukkan kencur ke lukanya. Ia terlihat meringis pedih. Menurutnya, kencur tersebut mengasilkan rasa yang panas pada lukanya. Panasnya terasa sangat lama. Aku berpikir, bagaimana jika jalan ini ditanami padi saja dan dijadikan sawah. Lalu sawah-sawah tersebut dibagikan ke petani.

    Aku berhenti di pertigaan Bunar yang menuju Parung Panjang. Banyak orang yang menyebut daerah ini dengan nama Kadaka. Di Kadaka aku biasa berhenti untuk sarapan. Seperti juga pagi ini. Aku berhenti di warung yang menyediakan nasi uduk dengan berbagai lauk tambahannya. Ibu penjual nasi uduk sudah tahu menuku. Ia membuatkan sepiring nasi uduk dengan telur bulat dan tahu serta gorengan. Segelas besar air teh tawar minumnya. Di warung nasi uduk ini aku tiba saat jarum jam menunjuk ke pukul tujuh. Jadi perjalan dari rumah sudah dua jam. Aku memahami keterlambatan ini. Jika tak membawa bingkai, aku akan tiba di sana pukul enam lima belas. Sehabis membayar nasi uduk aku meminta izin untuk menggunakan toiletnya. Ibu yang ramah membolehkan aku. Perjalan dari Kadaka akan lebih berat. Selepas Jasinga akan menemui banyak perkebunan kelapa sawait. Artinya hembusan angin akan lebih kuat.

    Benar saja dugaanku. Selepas Jasinga perjalananku makin berat. Tali plastik yang menjulur dari punggung ke pinggang menakan kuat. Angin dari depan tertahan. Bahkan ada bagian penutup bingkai yang terbuka hingga udara masuk memenuhi bagian dalam. Hal ini membuat kertas penutup bingkai menggelembung. Di antara Jasinga dan Cipanas tak terlalu banyak perkampungan. Di kanan dan kiri jalan banyak tumbuh kelapa sawit dan berbagai tanaman lainnya. Pemandangan bukit-bukit terlihat jelas di sini. Gunung Pongkor tempat orang mencari emas tampak dari sini. Banyak bukit yang terlihat kuning. Mungkin karena banyak tanaman yang ditebang hingga yang tampak hanya tanah. Bukit yang gundul. Di sepanjang jalan ini juga akan jarang berpapasan dengan kendaraan. Hanya satu atau dua kendaraan umum yang menghubungkan Bogor dengan Cipanas, Rangkasbitung. Namun jika sore hari tiba banyak truk besar yang mengangkut kayu atau bambu melintas di sini. Aku pernah melintas di jalan ini di malam hari. Aku mengingatnya tiga kali aku melintasi jalan ini malam hari. Salah satunya ketika malam tujuh belas Agustus tahun lalu. Waktu itu aku menuju ke sekolah untuk melaksanakan peringatan tujuh belasan. Namun seorang kawan yang tinggal di Cipanas menegurku. Menurutnya tak baik berjalan malam melintasi kawasan perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Banten ini. Tapi aku tak ingin membicarakan hal tersebut.

    Tiba di pertigaan Cipanas, sorot matahari makin terasa. Peluh mengucur dalam jaketku. Aku mengarah ke Ciminyak. Di Ciminyak tak kuhentikan jalanku. Kulurus memasuki hutan. Sampai di Cangkeutuek jalan mulai basah. Ternyata semalam dua kali hujan turun. Di tengah hutan kuberhenti sejenak. Kubuang sedikit angin dalam ban belakangku. Sebab sedari tadi jalannya terlalu lincah. Aku khawatir terperosok. Maka setelah kugembosi sedikit jalanku mulai lancar. Tiba di Taman Baca Multatuli pukul Sembilan. Kuturunkan Multatuli dari gendonganku. Aku telah menggendongnya 120 kilometer jauhnya.  Kubuka pembungkusnya. Kusiapkan tempat di salah satu bagian Taman Baca Multatuli. Kang Syarief ikut membantu menempelkan. Selepas menempelkannya, aku bergegas ke sekolah. Aku terlambat satu jam. Kawanku ternyata baik hati. Ia memindahkan jamnya. Aku disimpannya di jam terakhir. Hari ini kebahagianku bertambah satu. Kusiapkan berton-ton salam untuk mereka yang paling baik. Salam.      
      

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Multatuli Digendong 120 Kilometer Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top