Gadis pengutil buku itu bernama Liessel Meminger. Buku yang pertama kali ia curi adalah buku panduan umum untuk prosesi pemakaman saat memakamkan adik laki-lakinya. Ia belum juga dapat membaca saat mengambil buku yang terjatuh dari kantong petugas pemakaman.
Ayah angkatnya, Hans Hubermann, seorang veteran prajurit Jerman mengajarinya cara membaca dengan suka cita. Buku panduan untuk pemakaman itu berhasil mereka tamatkan. Sejak saat itu, Lieseel mulai mencintai aktivitas membaca. Menariknya, Liessel selalu menulis kosakata yang baru dikenalnya di dinding basement. Lambat laun, kemampuan membacanya semakin membaik.
Liessel juga semakin rakus membaca buku. Adalah Ilsa Hermann, istri seorang perwira militer Jerman sering mengajak Liessel membaca di perpustakaan milik putranya yang gugur di medan perang. Namun, tak lama kemudian Buergermeister Hermann melarang Liessel memasuki perpustakaan itu.
Tapi nyatanya tak mematikan semangat Liessel untuk melahap buku. Ia menyelinap melalui jendela dan mencuri buku di perpustakaan Ilsa Hermann dengan dalih meminjam dan akan mengembalikan sehabis dibaca.
Alarm tanda bahaya membangunkan warga sipil di tengah malam dan menggiring mereka untuk berlindung di bungker-bungker yang telah disiapkan. Dentuman-dentuman bom sekutu menggetarkan bungker hingga menggedor rasa cemas dan takut. Apa lagi yang diberikan perang kepada warga sipil selain kegalauan?
Demi mengalihkan rasa takut, Liessel melisankan sebuah kisah. Para pengungsi sedikit dapat melonggarkan rasa takut bercampur tegang ketika mendengar kisah yang dituturkan dengan lantang oleh Liessel. Mereka menyimak dan menanti dengan sabar peristiwa demi peristiwa dalam kisah yang dituturkan Liessel. Di sini, kita dapat menangkap pesan bahwa imajinasi bisa juga mengalihkan rasa takut dan getir akibat perang.
Di atas adalah beberapa cuplikan dari film The Book Thief (2013). Apa yang dilakukan Liessel dalam mengalihkan rasa takut akan perang juga pernah dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer. Konon, kisah Sanikem alias Nyai Ontosoroh lebih dulu diceritakan secara lisan kepada sesama tahanan politik di pulau Buru. Tujuannya adalah untuk menaikan moral dan motivasi hidup para tapol di pulau pengasingan buatan pak Harto itu.
Sebab, di antara tapol ada yang terbunuh dan bunuh diri akibat frustrasi. Kemudian lahirlah tetralogi Buru yang dikenal di berbagai belahan dunia. Novel yang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah menengah Amerika Serikat tapi menjadi bacaan haram di negeri tempat karya itu lahir.
Menulis adalah menyambung usia, ucap Pram. Menulis adalah juga menolak lupa. Menulis adalah juga upaya merawat ingatan. Lebih jauh, menulis adalah membangunkan kesadaran manusia yang terlelap dalam buaian nyanyian pengantar tidur. Maka, menulis sejatinya akan membawa kita pada aktivitas membaca, atau sebaliknya.
Siapa yang akan menyangka, seorang amtenar Belanda, asisten residen pula menulis kesaksian tentang penderitaan umat manusia di sebuah tempat bernama Lebak dalam sebuah novel. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dengan tepat menikam jantung kemanusiaan Eropa. Dunia gempar bukan main, ada kesewenang-wenangan yang mekar di Hindia Belanda oleh kekuasaan lokal yang juga didukung dan dilindungi oleh pemerintah kolonial.
Lewat novel itu, kolonialisme Eropa mulai dipertanyakan dan diperdebatkan bahkan tak sedikit mendapat kecaman oleh warga Eropa sendiri. Alhasil, praktik perbudakan, tanam paksa, dan kerja paksa harus diganti dengan model yang lebih manusiawi. Berikan pribumi pendidikan, tapi jangan beri mereka kebebasan. Sebab kaum kulit cokelat itu masih terbelakang dan belum cukup dewasa untuk memimpin dan mengelola kekayaan alam dan bangsanya.
Tapi pendidikan Eropa yang pelit itu juga memberi kesempatan kepada pribumi untuk mempelajari bahasa Belanda dan bahasa penjajah lainnya. Celakanya (atau berkah), kecakapan berbahasa Belanda ini malah membawa pribumi pada novel karangan si amtenar yang hidupnya luntang-lantung tak jelas di Eropa setelah jabatan sebagai asisten residen Lebak dicopot gubernur jenderal Hindia Belanda.
Alhasil, para pelajar dan khususnya yang pernah membaca novel Max Havelaar mulai menyadari situasi bangsanya. Bahwa terdapat sistem yang menindas mereka. Perlawanan terhadap kolonialisme pun telah membuka babak baru. Kartini dan Tirto Adisoerjo adalah salah dua contoh yang melakukan perlawanan model baru pribumi, yakni dengan mengangkat pena. Berbicara atas nama bangsanya. Keduanya sangat mengagumi dan mendapat inspirasi dari novel Max Havelaar. Cikal bakal dari kebangkitan nasionalisme Indonesia sebetulnya bisa dilacak melalui pengorganisasian, pergerakan, dan tulisan-tulisan dari Tirto Adisoerjo.
Betapa berjasanya Multatuli bersama novelnya Max Havelaar. Sebuah karya sastra dapat membuktikan tajinya sebagai pendorong untuk mengubah wajah dunia. Tapi sayang, novel ini tak menjadi bacaan yang wajib di sekolah-sekolah. Dalam mata pelajaran sejarah pun, hanya dikenalkan secara singkat dan terbatas.
Beruntunglah bagi anak-anak kampung Ciseel yang rutin membaca novel Max Havelaar setiap pekan. Mereka adalah anak rohani Multatuli. Sejak Maret 2010, anak-anak Multatuli akan duduk melingkar menyuntuki karya sastra dunia setiap Selasa sore. Mereka menyelami kisah masa lalu tempat mereka lahir, tumbuh dan bermain.
Di tempat pedalaman yang terpencil dan jauh dari hingar-bingar modernitas, guru Ubai membawa pulang Max Havelaar dari pengembaraannya yang panjang. Taman Baca Multatuli dibangun sebagai tempat imajinasi anak-anak Ciseel melayang jauh ke masa lalu, sejarah mereka. Anak-anak yang baru mengenal cahaya lampu listrik pada tahun 2013 ini, lebih dulu mengenal kisah yang dituturkan Multatuli. Buku dan karya sastra telah menjadi bagian dari diri mereka lebih lama sebelum lahirnya program gerakan literasi di sekolah yang digalakkan oleh kementrian kebudayaan dan pendidikan.
Betapa bahagianya mendengar kabar bahwa banyak anak-anak Ciseel yang melanjutkan sekolah, bahkan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Maka, jangan kaget jika suatu hari nanti anak-anak Ciseel akan tumbuh dan mewarisi perjuangan Kartini, Tirto Adisoerjo dan yang paling dekat guru Ubai. Sebab, mereka telah memahami benar bahwa perjuangan dengan mengangkat pena sedikitnya dapat mengubah wajah dunia.
Multatuli juga bukan hanya milik Lebak. Di negerinya Belanda, Multatuli dibikin patung dan museum, bahkan dijadikan merek dagang untuk model perdagangan yang adil yang umum dikenal sebagai fairtrade, lawan dari freetrade yang banyak merugikan petani. Tapi lebih jauh lagi, di mana ada kesewenang-wenangan kekuasaan dan pencurian hak rakyat, di sanalah Multatuli akan hadir dan menjelma menjadi siapa saja yang berteguh hati membela penderitaan rakyat yang ditindas.
Kini, Taman Baca Multatuli di Ciseel telah menginjak usianya yang ketujuh. Bukan hal yang mudah merawat taman baca. Apalagi taman baca yang mandiri dan senantiasa tak menggantungkan diri pada kemurahan penguasa. Merawat budaya membaca adalah menyusun langkah menuju masa depan yang cerah. Menjadi lentera dalam kegelapan.
Semoga panjang umur Taman Baca Multatuli. Panjang umur perjuangan. Dan, panjang umur kegembiraan.[]
Sumber: http://www.buruan.co/panjang-umur-taman-baca-multatuli/
0 komentar:
Post a Comment