728x90 AdSpace

  • Latest News

    13 June 2017

    Petualangan (Literasi) “Anak-anak Multatuli”


    “Bahaya kelaparan? ….. Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca; beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, …. ibu-ibu menjual anaknya untuk makan, ….. ibu-ibu memakan anaknya sendiri.”
    (Multatuli, 1859:64)

    Hati saya gemetar membaca paragraf di atas. Multatuli menulis novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda 157 tahun lalu. Ia telah berani mengatakan bahwa rakyat Jawa kelaparan padahal tanah Jawa subur. Hasil panennya yang melimpah dibawa ke Eropa dan menjadi komoditi mewah. Tapi, apakah rakyat Jawa menikmati hasil dari tanahnya sendiri? Tidak! Rakyat Jawa hidup nelangsa.

    Kemudian, setelah 157 tahun berlalu apakah rakyat Jawa -umumnya Indonesia- sudah bisa keluar dari cengkeraman kemiskinan? Tentu orang bisa berkata, perekonomian kita dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan dan jumlah kemiskinan berkurang.

    Tapi, mengapa petani kita masih tak mampu membeli beras? Mengapa masih ada anak yang putus sekolah? Mengapa rakyat Indonesia berbondong-bondong pergi ke luar negeri untuk mencari upah? Dan, mengapa masih ada mahasiswa yang dipaksa drop out karena kesulitan membayar biaya kuliah?
    Tapi, mari simpan sejenak persoalan di muka. Sebab, saya akan mengulas catatan-catatan Ubaidilah Muchtar saat memandu Reading Group Multatuli yang terhimpun dalam buku berjudul Anak-anak Multatuli (ArkeaBooks, 2015).

    Setiap Selasa sore, anak-anak berkumpul di Taman Baca Multatuli yang terletak di kampung Ciseel, Lebak, Banten. Mereka bersama-sama menyuntuki karya sastra dunia. Novel yang membunuh kolonialisme, tulis Pramoedya Ananta Toer. Novel yang ditulis oleh seorang amtenar Hindia-Belanda yang berani mengabarkan bahwa rakyat Jawa kelaparan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.

    Petualangan literasi mereka telah dimulai sejak 23 Maret 2010 silam. Mereka akan duduk melingkar sambil memegang novel Max Havelaar. Ubaidilah Muchtar atau yang lebih akrab disapa Guru Ubai akan membacakan dengan nyaring paragraf demi paragraf. Kadang mereka diminta membaca secara bergantian. Membacakan untuk teman-temannya. Saat itu, novel Max Havelaar yang tersedia di Taman Baca Multatuli hanya berjumlah 20 eksemplar. Jika jumlah peserta reading lebih dari dua puluh, maka mereka dengan senang hati akan berbagi.

    Sebetulnya novel Max Havelaar ditulis bukan untuk anak-anak. Bahkan, terkadang orang dewasa pun akan menemui kesukaran dalam membacanya. Sebab ia tak dapat dibaca sepintas lalu. Maka, Guru Ubai selalu siap menjelaskan apa yang kurang dimengerti lewat contoh yang dekat dengan kehidupan mereka. Di awal petualangan misalnya, mereka bertemu dengan sosok Batavus Droogstoppel—si kersang hati, makelar kopi asal Belanda yang mengambil keuntungan atas kolonialisme Belanda. Mereka bertanya apa itu makelar? “Oh, tengkulak!” seru Pendi (hlm. 4).

    Lewat tokoh Batavus, mereka juga bisa melihat bahwa perilaku orang Eropa begitu menggelitik dan tak jauh lebih baik dari bangsa terjajah. Batavus si makelar, yang selalu mengagung-agungkan ketaatannya pada agama dan menganggap rendah orang lain. Setidaknya, tokoh Batavus ini menjadi cerminan umum dari para Orientalis yang memandang bahwa bangsa Timur tak beradab, lantas harus dididik oleh bangsa Eropa agar menjadi beradab.

    Tentu dengan melihat sosok Batavus yang perilakunya tak lebih baik dari bangsa terjajah ini, dapat membuka kesadaran mereka bahwa tak selamanya Bangsa Eropa lebih unggul. Lambat laun akan menghapus perasaan inferior mereka kala berhadapan dengan bangsa Eropa. Bahkan sederajat!
    Penderitaan rakyat Jawa masa itu sejatinya adalah dampak dari dua bentuk penindasan sekaligus: kolonialisme dan feodalisme. Multatuli dengan jenius membongkar kedok atas watak busuk feodalisme. Ia gambarkan bagaimana begitu mudahnya Adipati Karta Nata Nagara bersama menantunya Demang Wiranata Kusumah merampas kerbau rakyat. Mereka pekerjakan rakyat di ladang-ladang mereka tanpa upah. Membuat ladang-ladang rakyat terbengkalai sehingga saat masa panen tiba tak ada yang bisa dipetik. Artinya tak bisa makan dan tak mampu membayar pajak pada pemerintah.

    Petualangan kian tambah seru saat berjumpa dengan kisah romantis nan tragis Saijah dan Adinda. Saijah dan keluarganya yang selalu menderita akibat kerbaunya yang dirampas berulangkali. Kisah romantis ini diakhiri dengan matinya Adinda di Lampung. Di seberang pulau dari tempatnya lahir dan dibesarkan. Tempat di mana seharusnya ia menunggu dan menyambut Saijah pulang.
    Anak-anak Multatuli juga dipandu Guru Ubai membaca kisah Saijah dan Adinda dalam versi bahasa Sunda. Bahasa yang sehari-hari mereka gunakan. Mereka ikut merasakan penderitaan Saijah dan Adinda. Tak sedikit di antara mereka meneteskan air mata atas kepedihan yang dialami Saijah dan Adinda. Mereka ikut menyelami “Kisah kemiskinan daerah Lebak. Kisah tentang tanam paksa, penyalahgunaan kekuasaan pejabat pribumi, serta perampokan hewan ternak seperti kerbau oleh pejabat model Demang Parangkujang, Wiratnakusumah yang memperparah kehidupan rakyat Lebak yang miskin dan sengsara.” Tulis Guru Ubai (hlm. 332). Tak hanya membaca, mereka juga bermain peran dalam kisah Saijah dan Adinda.

    Petualangan Anak-anak Multatuli berakhir pada minggu ke 37, 21 Februari 2011. Hampir satu tahun mereka menamatkan novel kepahlawanan pembela rakyat Lebak. Tanah mereka sendiri. Petualangan ini sejatinya adalah penyelaman atas sejarah masyarakat mereka: sejarah pahit kesewenang-wenangan kekuasaan. Ada rasa haru, bahagia, serta syukur dalam diri mereka. Selebihnya banyak sekali pelajaran yang dipetik oleh segerombolan Anak-Anak Multatuli ini.

    Saya sangat tergugah oleh Dedi Kala yang menulis dalam kesan pertemuan ke 26, “Jika saya menjadi Bupati, saya gak akan korupsi.” Petualangan Anak-Anak Multatuli ini telah membuka kesadaran Dedi bahwa kelak ia akan senantiasa bersikap jujur dan tak merugikan orang lain. Lewat petualangan ini ia dapat memikirkan hasil pelajaran dari sejarah masyarakatnya dan melihat kondisi hari ini. Lantas mengartikulasikan jalan keluarnya, bahwa kelak “saya gak akan korupsi.” Selain itu, ada optimisme dalam diri Dedi bahwa kelak ia pun bisa menjadi apa yang ia cita-citakan.

    Sastra bukan sebatas permainan kata tanpa makna. Sastra memiliki potensi untuk mengartikulasikan keadaan. Sehingga menggiring pembaca agar membuka indranya untuk memaknai realitas. Maka sastra akan lebih bermakna secara konkret. Lebih jauhnya memberikan inspirasi dan semangat untuk menciptakan perubahan. Begitulah saya kira petualangan Anak-anak Multatuli yang sejatinya merupakan sebuah proses pendidikan dialogis ala Paulo Freire.

    Saya sepenuhnya sepakat dengan Ben Abel pada catatan penutup di buku ini. Bahwa 37 catatan yang ditulis Guru Ubai menggambarkan keakraban guru dan murid-muridnya dalam menyuntuki novel Max Havelaar. Sebuah proses dialogis antara guru dan murid. Tak menempatkan murid sebagai objek, tapi hadir dan terlibat aktif sebagai subjek. Metode pendidikan semacam inilah yang akan menjadi alat pembebasan, bukan sebagai penjinakan sosial-budaya.

    Buku ini pun tak melulu berbicara tentang Max Havelaar dan kegiatan Reading Group. Guru Ubai menggambarkan suasana alam di sekitar Lebak. Berbagi pengalaman perjalanan yang ditempuh dari atas motornya (lebih dari 120 Km jarak antara Ciseel dengan rumahnya di Depok). Juga yang tak kalah menarik, menghadirkan latar kehidupan Anak-anak Multatuli yang sederhana dan bersahaja.
    Lebih jauh lagi, petualangan ini memberi inspirasi pada Anak-anak Multatuli, bahwa masa depan yang cemerlang bagi mereka adalah sesuatu yang memungkinkan. Bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan yang ditempuh melalui manunggal karsa, kata, dan karya.[]

    Data buku:
    Judul: Anak-anak Multatuli; Sebuah Catatan Pemanduan Pembacaan Max Havelaar
    Penulis: Ubaidilah Muchtar
    Penerbit: ArkeaBooks
    ISBN: 978-602-70564-8-0
    Cetakan: Pertama, Desember 2015

    Sumber: http://www.buruan.co/petualangan-literasi-anak-anak-multatuli/
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Petualangan (Literasi) “Anak-anak Multatuli” Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top