728x90 AdSpace

  • Latest News

    08 September 2015

    Anak-anak Multatuli








    Anak-anak Ciseel yang lima tahun lalu mulai membaca Max Havelaar kini sudah meninggalkan kampung mereka. Membawa serta imajinasi Multatuli dalam ingatan.


    Sudah lama sebetulnya, Ubaidillah Mucthar, penggagas reading group Max Havelaar mengirimkan catatan panjang tentang bagaimana ia membangun kelompok membaca di Kampung Ciseel, Lebak, Banten. Tak butuh waktu lama untuk membulatkan tekad menerbitkan buku ini. Hanya saja, beberapa kesibukan membuat proses penerbitan naskah ini baru menemui ‘waktunya’ di Bulan September. (Coming soon: Anak Anak Multatuli by ArkeaBooks).

    Kelompok baca di Ciseel yang diampu Ubai beranggotakan anak-anak usia sekolah, hingga mereka yang sudah dewasa dan para bocah yang belum mengenal kata. Setiap minggu, biasanya pada Selasa atau Rabu, mereka membaca super lelet. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat.

    Pak Guru Ubai tak segan-segan menunjukkan benda sebagai visualisasi kata. Mereka punya sejumlah caping di sana, lantaran ada kata “caping” dalam buku Max Havelaar. Suatu kali, pernah Ubai membelikan buah pir, agar anak-anak Ciseel mengetahui bentuknya dan mereka menyantapnya bersama-sama.

    “Itu membaca super lelet. Dalam dua jam pertemuan, cuma 3-4 halaman saja,” ujar Ubai saat minggu  lalu berkunjung ke workshop Arkea di kawasan Palbatu Jakarta Selatan.

    Max Havelaar ialah karya kelas dunia. Ditulis oleh Multatuli yang pernah menjadi Asisten Residen pemerintah Belanda di Jawa. Membaca super lelet, berarti juga mengaji makna kata demi kata. Agar kata-kata itu bisa dipahami dan merasuk ke dalam jiwa.  Data Unesco tahun 2012 menyebutkan, hanya 1 dari 1000 warga Indonesia yang mau membaca dan mampu memahami buku. 

    Tahun 2010, Ubai memulai kelompok baca itu. Saat belum ada tiang listrik di Ciseel dan pengetahuan anak-anak di sana tentang pekerjaan masih sebatas petani, guru dan manusia kardus. Manusia kardus ialah sebutan bagi orang-orang desa (umumnya perempuan) yang mengadu nasib di Jakarta bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

    Kini reading group itu sudah masuk tahun kelima. Dan sudah ada anak-anak Ciseel yang bercita-cita menjadi bupati. Ada yang menulis, “Nanti kalau saya jadi pejabat, saya tidak akan semena-mena terhadap masyarakat.”

    Ya, mereka tak sekadar membaca. Tapi juga menulis. Apa saja untuk mengungkapkan perasaan setelah membaca Max Havelaar. Atau Catatan harian. Atau menuliskan majinasi. Barangkali jika semua catatan itu ditumpuk, tingginya sudah lebih dari 50 cm.

    RGM2
    Foto: Taman Baca Multatuli – Facebook
    Anak-anak itu tahu Multatuli dan kritik pedasnya untuk pemerintah kolonial Belanda membuat gempar dan berhasil menyulut kemarahan orang Belanda di tanah air mereka, pada era itu. Max Havelaar disebut-sebut sebagai buku yang membunuh kolonialisme.

    Sejauh ini, kelompok baca itu menamatkan Max Havelaar sebanyak dua kali. Yang pertama tamat setelah 37 pertemuan. Dan yang kedua tamat setelah 78 pertemuan.  Berdasarkan kisah Ubai via email kepada saya pekan lalu, kini pembacaan Max Havelaar yang ketiga sudah masuk pertemuan ke-36. Saat tamat, mereka biasanya punya ritual makan-makan beralas daun pisang.

    Kini, anak-anak yang sudah khatam Max Havelaar pun sudah meninggalkan Ciseel, menempuh kehidupan. Ada yang bekerja sebagai pembantu di Jakarta, ataupun pekerja perkebunan kelapa sawit di Malaysian. Ada juga yang kuliah di Rangkasbitung. Kata Ubai, ia berharap imajinasi Multatuli mengendap dalam ingatan mereka dan mewujud menjadi sikap yang baik dalam kehidupan.
    Itu tentang reading group.  Adapun taman baca baru berdiri 10 November.

    RGM4
    Foto: TamanBaca Mulatuli- Facebook
    Ubai memang ditugaskan sebagai guru Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap 3 Sobang sehingga ia punya akses ke Ciseel.  Pertama kali ia membawa koleksi buku dan majalahnya dari Depok ke Ciseel pada awal November yang berpenghujan. Dalam kotak yang ia ikat di boncengan sepeda motor ada 20 eksemplar Buku Max Havelaar, yang kemudian ia simpan di rak rumah kontrakan milik Pak RT Sarip. Ubai memanggilnya Kang Sarip, yang kemudian menjadi temannya dalam mengembangkan komunitas membaca di Ciseel. Belakangan, koleksi buku mereka bertambah banyak. “Buku-buku Chappy Hakim juga ada,” ujarnya.

    Kini Ubai berkutat dengan thesisnya, sebagai syarat kelulusan studi master di UPI Bandung. “Sekarang, tak bisa ke sana lagi setiap hari,” katanya.

    Tapi, reading group yang sudah menamatkan Max Havelaar sebanyak dua kali itu sudah mandiri. Tak melulu butuh Ubai untuk memandu. Anak-anak yang sudah tamat membaca, memandu adik-adik mereka membaca Max Havelaar.  Meski begitu, Ubai masih rajin ke Ciseel, sekitar empat jam perjalanan dari Depok. Dengan medan yang bisa dibilang tak mudah.

    Militansi Ubai, yang pertama kali saya ketahui lewat media sosial, menurut saya, sungguh mengguncang. Dan menggerakkan.

    Sejak dipandu, anak-anak itu mau dan akhirnya mampu memahami buku.Kampung Ciseel barangkali masih ‘dimatikan’ oleh infrastruktur yang buruk, meski letaknya tak seberapa jauh dari Jakarta. Namun tingkat literasi anak-anak itu, setidaknya,  cukup menyalakan harapan untuk masa depan Ciseel dan mudah-mudahan menginspirasi desa-desa lainnya.

    Mengutip kata Ubai, “Reading group adalah upaya kecil menghidupkan ingatan melalui bacaan.”
    Foto: ReadingMultatuli.com

    Foto: ReadingMultatuli.com
    Jadi, jangan bangga kalau cuma kamu yang bisa baca.
    Jangan bangga kalau cuma rumahmu yang punya rak-rak berisi buku.
    Ajak temanmu membaca agar negeri ini makmur sentosa.

    Happy International Literacy Day.

    Let’s learn for life!

    Sumber: http://arkea.id/blog/anak-anak-multatuli/#more-4727
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Anak-anak Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top