728x90 AdSpace

  • Latest News

    10 July 2015

    Pendidikan dan Memutus Lingkaran Kemiskinan



    Izinkanlah saya mengawali tulisan esai ini dengan berbagi kisah tentang seorang kawan, kawan satu almamater sewaktu menempuh pendidikan tinggi keguruan di kota kembang Bandung. Kebetulan pula ia kawan sedaerah sewaktu kami berbincang bincang dalam suatu kesempatan. Sama sama satu angkatan, hanya beda jurusan. 

    Ia di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan saya di jurusan Pendidikan Sejarah. Ia mendalami sastra dan cara pengajarannya, dan saya meminati masa lampau plus cara mengemasnya agar menarik di hadapan peserta didik.

    Namanya Ubaidillah Muchtar. Ia seorang aktivis tulen, di internal kampus karena menjadi ketua himpunan mahasiswa jurusan, dan terlibat pula secara intensif di organisasi ekstra kampus yang peduli dengan isu isu pendidikan dan hak asasi manusia. Sedangkan saya berkecimpung di salah satu organisasi pergerakan Islam yang concern dengan isu isu kebangsaan, pengkaderan, dan kajian kajian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar kampus.

    Kami bertemu ketika beragam organisasi ekstra kampus terlibat dalam isu isu kampus. Ia seorang demonstrator dan pencatat detail yang akurat, juga pendebat canggih yang bisa membuat lawan debat menjadi keder.

    Waktu terus berlalu. Kami sudah sama sama lulus beberapa tahun yang silam. Saya sempat kehilangan kontak beberapa waktu. Dan…thanks God, akhirnya saya dipertemukan dengan kawan saya tadi itu lewat media temuan Mark Zuckerberg bernama Facebook belum lama berselang. Ia sudah menikah, dan saya pun tak mau kalah. Saya lihat profilenya, rupanya ia sudah menjadi guru nun jauh dari tempat kelahirannya di salah satu daerah Pantura Jawa Barat. Kini, ia menjadi pendidik di Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

    Ya, Banten. Sebuah wilayah yang menurut sejarawan Taufik Abdullah adalah negerinya para ulama dan jawara. Tak hanya menjadi mitos, juga realitas. Dan Kang Ubai-begitu saya biasa menyapanya-adalah salah satu guru yang ditempatkan di pelosok Lebak sana, lebih tepatnya ia mengajar di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang yang letaknya di atas bukit dan termasuk ke dalam daerah konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

    Seturut pengakuannya dalam surat elektronik yang dikirimkan pada saya ia menulis, “SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang terletak di Kampung Cigaclung, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak dari pusat kota kabupaten sekira 50 kilometer. Dari kecamatan sejauh 20 kilometer dan 10 kilometer dari desa…Rasanya seperti hidup di dua alam. Modernitas dan tradisional bertarung dalam keseharian saya. Waktu itu masih mengajar di SD Al Azhar Syifa Budi Cibubur.  Menyaksikan anak-anak datang di sekolah dengan kendaraan mewah. Sementara di Lebak, bahkan sebulan sekali pun belum tentu ada mobil yang datang. Desa Sobang belum teraliri listrik-PLN. Tidak ada televisi, telefon, bahkan signal hp.”

    Kang Ubai pernah menghitung berapa jarak yang mesti ditempuh dari rumahnya di Sawangan Depok hingga sampai ke tempat tugasnya. Sekitar 120-an kilometer lebih katanya. Ia dari rumahnya harus menempuh tiga jam perjalanan memakai motor sampai Pasar Ciminyak, dilanjutkan dengan jalan kaki selama kurang lebih tiga jam perjalanan.

    Jangan bayangkan jalan beraspal mulus licin. Ia menandaskan bahwa rute menuju sekolahnya memang ekstrim. Hanya ojeg bernyali yang sanggup ke sana. Kalau belum berpengalaman memakai motor ke sana jangan coba coba karena kanan kiri jalan adalah jurang yang menganga, yang siap menerkam siapapun yang lengah.

    Kang Ubai menuliskan dengan detail catatan perjalanannya setiap kali ke tempat tugas, dan ia membaginya di notes facebook. Tempat tugas yang jauh dan rute yang ekstrim membuatnya harus pintar membagi bagi waktu. Bermalam di tempat tugas atau mengontrak rumah adalah solusinya.
    Ia benar benar guru yang kreatif. Walau di tengah keterbatasan, ia selalu muncul dengan ide yang brillian. Mendirikan Taman Baca yang dinamainya Multatuli adalah ide hebat itu. Program regulernya adalah reading group terhadap novel Max Havelaar. Siapa pesertanya? Ya, anak anak Kampung Sobang tersebut. Ada yang masih SD, juga SMP.

    Cobalah searching di mbah Google, dengan kata kunci “Taman Baca Multatuli”, maka ia akan merujuk pada taman baca yang didirikan oleh Kang Ubai. Salah satu perhelatan besar yang sukses dilakukan Kang Ubai adalah menyelenggarakan acara Sastra Multatuli pada Bulan Mei 2011 silam.
    Di tengah kesederhanaan dan tak adanya fasilitas memadai, tak membuat nyali Kang Ubai menjadi ciut, malahan ia muncul dengan gagasan segarnya yang mungkin belum pernah terpikirkan oleh mereka yang ada di sana sebelumnya.

    Kang Ubai, kawan saya itu, secara tak langsung telah mendidik anak anak kampung yang jauh dari hiruk pikuk dan modernitas kota untuk menjadi manusia yang tercerahkan, menjadi pribadi pribadi yang melek dengan realitas yang bakal dihadapi di masa yang akan datang dengan cara menyadarkan mereka tentang pentingnya pendidikan. Caranya pun murah, dengan mengajak mereka membaca dan belajar menulis.

    Kang Ubai telah meluaskan pikiran, membuka semesta pengetahuan dengan modus yang sederhana namun bermakna. Hasilnya memang tak bisa dipetik sekarang. “Panen” dari bertanam pendidikan tak bisa instan seperti kontes kontes yang diselenggarakan oleh beberapa televisi swasta. Sesuatu yang cepat naik maka cepat pula turun. Dan saya pun “iri” pada Kang Ubai.

    Terus terang saya tak seheroik kawan saya di atas itu, meski sama sama berprofesi guru. Namun, Kang Ubai telah sedikit memberi inspirasi saya untuk menularkan spirit menanam harapan pada dunia pendidikan sebagai salah satu pemutus mata rantai kemiskinan yang mendera sebagian anak negeri ini. Ya, kemiskinan memang masih menjadi problematika di negeri ini. Tak di desa, tak di kota.

    Tak terkecuali pada anak anak didik saya di sebuah sekolah yang jauh dari pusat kota kabupaten, hampir 45 kilometer. Untungnya terletak di jalur utama pantura. Jadi masih terbilang ramai. Hampir tiap hari saya menempuh perjalanan pulang pergi 86 kilometer jauhnya untuk mengajar di tempat tugas saya itu sejak Bulan September 2009.

    Tak terasa sudah lebih tiga tahun saya mengajar di sini. Dan saya tak bosan bosannya mengajak mereka yang sudah kelihatan malas pergi ke sekolah-dengan ciri ciri banyaknya tanda bolos dan tanpa keterangan-untuk tetap semangat ke sekolah dan belajar agar mereka tak hidup “begitu begitu” saja. Minimal mereka mempunyai gairah untuk belajar sebagai bekal masa depan yang masih misterus. Dan saya pikir, pendidikan adalah salah satu “senjata” dalam menundukkan masa depan itu. Memang, masa depan itu masih “gelap”, hanya dengan persiapan sedini mungkinlah ia bisa menjadi terang.

    Kajian sosiologi menyebut bahwa pendidikan merupakan cara yang memungkinkan untuk seseorang dalam melakukan mobilitas vertikal yang dikehendakinya. Semacam melakukan lompatan yang berarti dalam memperbaiki nasib ke arah yang lebih baik. Saya kira sudah banyak bukti untuk itu.

    Ir. Ciputra-seorang taipan dan  pendiri PT Pembangunan Jaya-menulis kesaksiannya dalam buku Guru Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, “Saya merasakan sendiri betapa sulitnya jadi orang miskin, dengan mudah orang lain menghina, saya merasa tak berdaya dan tidak diperhitungkan. Jiwa saya berontak, hati saya tidak bisa menerima dan itu telah memicu saya bermimpi tidak mau jadi orang miskin. Saya ingin berhasil, ingin berprestasi, ingin sanggup berdiri di atas kaki sendiri bahkan bisa menolong orang lain. Untuk saya di masa itu strateginya sederhana saja, yaitu saya harus bisa meninggalkan kampung halaman dan bersekolah sampai perguruan tinggi di Pulau Jawa.”

    Pak Ciputra sadar bahwa keadaan miskin yang menimpanya bisa diubah asalkan dibarengi dengan kerja dan belajar keras. Pak Cip tak mau berlama lama hidup dalam kubangan kemiskinan tanpa solusi dan melontarkan seribu alasan untuk tak mengubahnya. Dengan keberanian plus nekad ia pun berlayar ke Jawa, masuk ITB jurusan arsitektur.

    Dalam salah satu talk show, Pak Cip bercerita bahwa ketika kuliah pun ia tak mendapat pasokan dana dari kampung, terpaksalah ia bekerja sambil kuliah. Nyatanya, pengalaman pahit itulah yang kemudian dijadikan modal untuk terjun sepenuhnya ke dunia bisnis usai lulus kuliah. Pilihannya terbukti benar. Kini ia benar benar taipan yang disegani. Ladang bisnisnya merentang dari properti, teknologi informasi, media, telekomunikasi, dan lain lain. Pengalamannya pernah menjadi miskin dijadikan pemicu menuju hidup yang lebih baik.

    Hampir sama dengan apa yang pernah dialami oleh Jamil Azzaini, seorang trainer-motivator sekaligus entreprenur. Dalam acara bincang bincang di salah satu televisi swasta, Jamil berkisah bahwa dirinya berasal dari keluarga miskin di Lampung. Rumahnya panggung di pinggir hutan sehingga kalau malah hari auman harimau terdengar. Melihat kenyataan pahit itu Jamil tak putus harapan, ayahnya selalu melecutnya dengan perumpamaan memilih menjadi kerang rebus atau kerang mutiara. Jamil memilih menjadi kerang mutiara.

    Semasa SMP, ia mencari uang dengan menjadi buruh penyadap getah karet. Aromanya yang tak sedap membuat ia dijadikan bulan bulanan teman sekolahnya bahkan sering diludahi tangannya. Di SMA, ia mengayuh sepeda sepanjang 23 km menuju sekolah SMAN Way Halim Bandar Lampung.

    Menjelang lulus ia diterima di IPB tanpa tes. Masalah muncul. Keluarganya tak punya uang untuk berangkat ke Bogor melanjutkan kuliah. Bapaknya kemudian meminjam pada tetangga kampung yang terbilang kaya. Namun malang, ia dan bapaknya malahan diusir tak dipinjami. Jadilah ia berangkat ke Bogor dengan bekal pas pasan. Kuliah dengan menumpang tidur dari masjid ke masjid.
    Singkat kata, kepahitan hidup malah dijadikan energi menantang masa depan. Kini, siapa yang tak kenal dengan Jamil Azzaini. Salah satu motivator hebat negeri ini. Ia kemudian tak kikir dengan ilmunya, pengalaman dan motivasi semangat wirausahanya ia bagikan pada anak anak muda melalui lembaga training dan pesantren wirausaha yang didirikannya.

    Ciputra dan Jamil Azzaini telah menunjukkan dengan lugas bahwa kemiskinan bukan halangan untuk maju. Alih alih terbebani, malahan menjadi penginjeksi bahwa di tengah serba kekurangan meyakinkan diri bahwa usaha akan sampai. Tentu saja ini perlu ekstra usaha di atas rata rata. Di lingkungan tempat saya mengajar sehari hari, kemiskinan adalah sebagian realitas yang dihadapi oleh sebagian anak didik saya. Dan secara tak sadar ikut memberikan andil meninabobokan bahwa miskin adalah takdir yang mesti diterima dengan pasrah.

    Akhirnya, tak ada pelecut untuk menggunakan jalur pendidikan sebagai sarana mobilitas mengangkat derajat secara vertikal. Tiba tiba saya teringat ucapan Martodikromo pada novel Para Priyayi­-nya Umar Kayam, “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus berusaha jadi priyayi. Kalian harus sekolah.”

    Kultur sosial dan lingkunganlah yang menyebabkan sebagian siswa didik saya seperti tak punya semangat mencapai pendidikan setinggi tingginya. Ada sih, hanya beberapa. Tak banyak jumlahnya. Apa sebab? Sebagian karena kemiskinan dan sebagian karena faktor  lain semisal orang tua yang tak lengkap karena bercerai, ditinggal ibunya menjadi TKW ke luar negeri dan paduan dari dua faktor tadi.

    Seorang anak didik saya, sebut saja Budi, ketika ditanya mengapa ia jarang masuk sekolah, dengan logat jawanya ia menjawab, “Iya pak, saya jarang masuk. Tapi nggak disengaja. Bagaimana mau masuk sekolah, adik saya masih kecil, di rumah nggak ada yang nemenin. Bapak lagi kerja, ibu pergi ke Arab.”

    Lainnya, “Nggak ada ongkos dan uang jajan pak. Bapak saya nganggur. Jadi tak ada uang untuk berangkat.”

    Tak banyak memang seperti ini, tetapi kalau dibiarkan, percayalah, hidup mereka tak akan banyak berubah. Hanya menjadi pelengkap data statistik belaka ketika musim sensus tiba, dan penggenap angkatan kerja yang ditulis dalam grafik grafik indeks pembangunan. Selebihnya, mungkin tak ada yang peduli dengan nasib mereka.

    Saya lalu teringat ungkapan yang pernah dilontakan oleh Donald Trump, seorang milyarder asal negeri Paman Sam, “Jika anda terlahir miskin, itu bukan salah anda. Namun, jika mati dalam keadaan miskin, itu baru salah anda. Kemiskinan merupakan suatu problem, dan cara mengentaskannya adalah solusinya.

    Pendeknya adalah kemiskian yang mendera, apalagi di tengah kapitalisme pendidikan yang semakin membuas belakangan ini. Tujuan pendidikan yang awalnya mulia kini sudah digaduhkan dengan campur tangan kapitalisme terhadapnya. Biaya pendidikan cenderung meningkat untuk tak mengatakannya mahal. Stratifikasi akibat kapitalisme pendidikan pun tercipta.

    Dengan bagus pengamat kebudayaan kontemporer dari ITB, Yasraf Amir Piliang menulis dalam buku Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan bahwa, “Dunia Pendidikan yang sesungguhnya dibangun berlandaskan nilai nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan (virtue), sebagai nilai dasar dalam pencarian ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh nilai nilai komersial, sebagai refleksi dari keberpihakan pada kekuasaan kapital. Pendidikan sebagai wacana pencarian pengetahuan (knowledge) dan kebenaran (truth), kini dijadikan sebagai wacana pencarian keuntungan (profit). Tercipta sebuah relasi baru pengetahuan, yang tidak saja berupa relasi kekuasaan/pengetahuan (power/knowledge), akan tetapi juga keuntungan/pengetahuan (profit/knowledge).” Fenomena seperti inilah yang sedang terjadi pada dunia pendidikan kita.

    Benar, untuk tingkat dasar dan menengah pertama memang digratiskan dengan fasilitas Bantuan Operasional Sekolah atau BOS, namun bagaimanakah dengan kelanjutan pendidikan mereka di tingkat pendidikan tinggi yang menuntut pembiayaan lebih besar? Biaya kuliah di universitas negeri tak kurang mahalnya dengan biaya kuliah di universitas swasta.

    Dan benar pula apa yang ditulis oleh sejarawan Bonnie Triyana dalam salah satu status di facebooknya. “Dipikir2 segregasi sekolah zaman sekarang juga mirip zaman Belanda. Bedanya dulu anak priayi yg bisa masuk sekolah bergengsi (HBS, ELS, STOVIA). Kalo sekarang berdasarkan duit, yang jg dimiliki sama anak elite yang engkongnya dulu jg sekolahnya di HBS, ELS dan STOVIA. Coba lihat, ada gak anak pemulung sekolah di HighScope, padahal mereka berhak atas pendidikan yang bermutu tinggi.”

    Ya, biaya pendidikan belakangan ini memang menjulang. Pendidikan hari ini sepertinya mesti ditukar dengan segepok rupiah dan setumpuk dollar plus koneksi di sana sini. Tak di negeri, apalagi di swasta. Sungguh ironis memang, Bangsa Indonesia yang mempunyai pegangan Pancasila dalam tataran ideal nyatanya tak mampu mengejawantahkan dalam realitas yang dihadapi di kanan dan di kiri. Pendidikan mahal, orang miskin bertambah menurut deret hitung. Wajar saja jika kemudian negeri ini masih merangkak, tertatih tatih dalam kubangan label negara berkembang.

    Tak ada jalan lain untuk memutus lingkaran setan kemiskinan selain pendidikan, walau agak mahal. Tetapi, yakinlah bahwa jalan keluar pasti ada. Mengutip Chrisye, “Badai pasti berlalu.” Meminjam istilah Sunda, “Hujan ge aya raatna.” Sejauh usaha dioptimalkan, hasilnya serahkan pada Tuhan yang Maha Menggenggam segala sesuatu.

    Roda pasti akan selalu berputar, kadang di bawah menuju ke atas. Dalam konteks pendidikan, biaya yang mahal bisa diatasi dengan banyaknya beasiswa yang tersedia, bantuan pemerintah daerah, donasi yayasan, dana Corporate Social Responsibility, dam masih banyak lagi. Hamburan semangat inilah yang sering saya injeksikan pada sebagian anak murid yang saya ajar. Tak hanya sekali. Tiap kali masuk kelas. Dan saya tak bosan bosan.

    Sering saya mengatakan berkali kali, terutama ketika mengawali pelajaran di kelas bahwa pendidikan setinggi tingginya itu penting; bahwa pendidikan dapat mengubah nasib; bahwa pendidikan bisa membawa kita melaju menuju mobilitas sosial secara vertikal ke arah yang lebih baik; dan pendidikan merupakan sarana peribadatan, seraya mengutip sabda Rasulullah Muhammad SAW bahwa menuntut ilmu itu wajib sejak dari buaian hingga liang lahat, oleh laki laki maupun perempuan. Tak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hal mencapai pendidikan. Hanya diperlukan pengorbanan dan berjuang yang tak kenal lelah. Percayalah bahwa sukses tak bisa dipetik dalam satu malam.

    Selain itu, kerap kali saya selipkan cerita cerita yang membangkitkan motivasi orang orang besar dan sukses, contohnya ya itu tadi tentang kisah sukses Pak Cip dan Jamil Azzaini, bagaimana mereka melewatkan hidupnya hingga seperti sekarang ini.

    Pemberian motivasi ini bertujuan menumbuhkan spirit untuk terus maju, pantang menyerah, berani mengubah keadaan yang stagnan, dan siap menghadapi resiko apapun, bahkan yang paling pahit sekalipun. Karena kehidupan pada hakekatnya adalah maju, maka untuk menjaga keseimbangan kita mesti bergerak, tak boleh berhenti. Sekali berhenti, tentu saja jatuh dan kemungkinan akn disalip oleh orang lain.

    Sebagai selingan saya pun menyelipkan cerita pahit berakhir sukses seperti yang pernah dialami oleh Thomas Alfa Edison, Albert Einstein, Bach, Kolonel Sanders pendiri KFC. Mereka yang diawal hidupnya dirundung kemalangan dengan versinya masing masing, terbukti berakhir manis menjelang dewasa. Mereka tak kenal kata menyerah hingga batas akhir entah dimana. Percobaan Alfa Edison yang ratusan kali ketika memulai riset bola lampu tak berhenti saat lampu tak kunjung menyala. Ia terus dan terus mencoba sampai akhirnya mendapat hasil yang dimaksud.

    Ingat konsep mestakung yang pernah dilontarkan oleh Prof. Yohanes Surya? Prof Yo punya teori bagus tentang pencapaian dan usaha yang optimal. Ia menyebutnya sebagai “Mestakung” atau Semesta Mendukung.

    Dalam blog pribadinya ia menulis, “Mestakung=seMESTA menduKUNG merupakan hukum alam dimana ketika suatu individu atau kelompok  berada pada kondisi kritis maka semesta (dalam hal ini sel-sel tubuh, lingkungan dan segala sesuatu disekitar dia) akan mendukung untuk dia keluar dari kondisi kritis. Ada 3 hukum Mestakung yaitu: Dalam setiap kondisi KRItis ada jalan keluar, ketika seorang meLANGkah, ia akan melihat jalan keluar, ketika seorang teKUN melangkah, ia akan mengalami mestakung. Ketiga hukum ini saya singkat dengan KRILANGKUN (KRItis, LANGkah, teKUN). Apapun kondis kritis yang Anda ciptakan, percayalah Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan mestakung untuk membantu Anda keluar dari kondisi kritis itu. Anda akan keluar sebagai pemenang.” Prof Yo sudah membuktikannya.

    Hal hal memberikan suntikan motivasi seperti inilah yang saya tularkan pada anak murid yang saya ajar. Metodenya dengan bercerita alias mendongeng orang orang hebat di masa lampau dan masa kini. Kebetulan juga saya berlatar belakang pendidikan sejarah yang hobi mengkoleksi buku buku biografi. Dapatlah dikatakan punya “amunisi” cukup buat berkisah.

    Kenapa berkisah? Memang ini adalah metode konvensional yang sudah usang. Mungkin ditertawakan karena sudah out of date. Namun, inilah metode yang saya cocok untuk membangkitkan semangat mengentaskan kemiskinan, minimal bagi dirinya sendiri dengan jalan terus rajin belajar, terus berikhtiar sampai batas optimal.

    Saya amat mengerti bahwa apa yang saya sampaikan tak mungkin diterima dan dipraktekkan seratus persen oleh anak murid saya. Ada satu, dua, tiga orang pun sudah bersyukur. Setidaknya saya sudah mencoba dan berusaha.

    Kemiskinan adalah problem besar negeri ini. Menempuh jalur pendidikan merupakan salah satu solusinya, dan guru ada didalamnya. Bravo pendidikan murah dan bermutu!

    Sumber:
    http://kobongkastrol.tumblr.com/post/45140201164/pendidikan-dan-memutus-lingkaran-kemiskinan

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Pendidikan dan Memutus Lingkaran Kemiskinan Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top