Izinkanlah saya mengawali tulisan
esai ini dengan berbagi kisah tentang seorang kawan, kawan satu almamater
sewaktu menempuh pendidikan tinggi keguruan di kota kembang Bandung. Kebetulan
pula ia kawan sedaerah sewaktu kami berbincang bincang dalam suatu kesempatan.
Sama sama satu angkatan, hanya beda jurusan.
Ia di jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia dan saya di jurusan Pendidikan Sejarah. Ia mendalami sastra dan cara
pengajarannya, dan saya meminati masa lampau plus cara mengemasnya agar menarik
di hadapan peserta didik.
Namanya Ubaidillah Muchtar. Ia
seorang aktivis tulen, di internal kampus karena menjadi ketua himpunan
mahasiswa jurusan, dan terlibat pula secara intensif di organisasi ekstra
kampus yang peduli dengan isu isu pendidikan dan hak asasi manusia. Sedangkan
saya berkecimpung di salah satu organisasi pergerakan Islam yang concern
dengan isu isu kebangsaan, pengkaderan, dan kajian kajian yang dilakukan baik
di dalam maupun di luar kampus.
Kami bertemu ketika beragam
organisasi ekstra kampus terlibat dalam isu isu kampus. Ia seorang demonstrator
dan pencatat detail yang akurat, juga pendebat canggih yang bisa membuat lawan
debat menjadi keder.
Waktu terus berlalu. Kami sudah sama
sama lulus beberapa tahun yang silam. Saya sempat kehilangan kontak beberapa
waktu. Dan…thanks God, akhirnya saya dipertemukan dengan kawan saya tadi
itu lewat media temuan Mark Zuckerberg bernama Facebook belum lama berselang.
Ia sudah menikah, dan saya pun tak mau kalah. Saya lihat profilenya, rupanya ia
sudah menjadi guru nun jauh dari tempat kelahirannya di salah satu daerah
Pantura Jawa Barat. Kini, ia menjadi pendidik di Kabupaten Lebak Propinsi
Banten.
Ya, Banten. Sebuah wilayah yang
menurut sejarawan Taufik Abdullah adalah negerinya para ulama dan jawara. Tak
hanya menjadi mitos, juga realitas. Dan Kang Ubai-begitu saya biasa
menyapanya-adalah salah satu guru yang ditempatkan di pelosok Lebak sana, lebih
tepatnya ia mengajar di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang yang letaknya di atas
bukit dan termasuk ke dalam daerah konservasi Taman Nasional Gunung Halimun
Salak.
Seturut pengakuannya dalam surat
elektronik yang dikirimkan pada saya ia menulis, “SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang
terletak di Kampung Cigaclung, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Jarak dari pusat kota kabupaten sekira 50 kilometer. Dari
kecamatan sejauh 20 kilometer dan 10 kilometer dari desa…Rasanya seperti hidup
di dua alam. Modernitas dan tradisional bertarung dalam keseharian saya. Waktu
itu masih mengajar di SD Al Azhar Syifa Budi Cibubur. Menyaksikan
anak-anak datang di sekolah dengan kendaraan mewah. Sementara di Lebak, bahkan
sebulan sekali pun belum tentu ada mobil yang datang. Desa Sobang belum
teraliri listrik-PLN. Tidak ada televisi, telefon, bahkan signal hp.”
Kang Ubai pernah menghitung berapa
jarak yang mesti ditempuh dari rumahnya di Sawangan Depok hingga sampai ke
tempat tugasnya. Sekitar 120-an kilometer lebih katanya. Ia dari rumahnya harus
menempuh tiga jam perjalanan memakai motor sampai Pasar Ciminyak, dilanjutkan
dengan jalan kaki selama kurang lebih tiga jam perjalanan.
Jangan bayangkan jalan beraspal
mulus licin. Ia menandaskan bahwa rute menuju sekolahnya memang ekstrim. Hanya
ojeg bernyali yang sanggup ke sana. Kalau belum berpengalaman memakai motor ke
sana jangan coba coba karena kanan kiri jalan adalah jurang yang menganga, yang
siap menerkam siapapun yang lengah.
Kang Ubai menuliskan dengan detail
catatan perjalanannya setiap kali ke tempat tugas, dan ia membaginya di notes
facebook. Tempat tugas yang jauh dan rute yang ekstrim membuatnya harus pintar
membagi bagi waktu. Bermalam di tempat tugas atau mengontrak rumah adalah
solusinya.
Ia benar benar guru yang kreatif.
Walau di tengah keterbatasan, ia selalu muncul dengan ide yang brillian.
Mendirikan Taman Baca yang dinamainya Multatuli adalah ide hebat itu. Program
regulernya adalah reading group terhadap novel Max Havelaar. Siapa
pesertanya? Ya, anak anak Kampung Sobang tersebut. Ada yang masih SD, juga SMP.
Cobalah searching di mbah
Google, dengan kata kunci “Taman Baca Multatuli”, maka ia akan merujuk pada
taman baca yang didirikan oleh Kang Ubai. Salah satu perhelatan besar yang
sukses dilakukan Kang Ubai adalah menyelenggarakan acara Sastra Multatuli pada
Bulan Mei 2011 silam.
Di tengah kesederhanaan dan tak
adanya fasilitas memadai, tak membuat nyali Kang Ubai menjadi ciut, malahan ia
muncul dengan gagasan segarnya yang mungkin belum pernah terpikirkan oleh
mereka yang ada di sana sebelumnya.
Kang Ubai, kawan saya itu, secara
tak langsung telah mendidik anak anak kampung yang jauh dari hiruk pikuk dan
modernitas kota untuk menjadi manusia yang tercerahkan, menjadi pribadi pribadi
yang melek dengan realitas yang bakal dihadapi di masa yang akan datang dengan
cara menyadarkan mereka tentang pentingnya pendidikan. Caranya pun murah,
dengan mengajak mereka membaca dan belajar menulis.
Kang Ubai telah meluaskan pikiran,
membuka semesta pengetahuan dengan modus yang sederhana namun bermakna. Hasilnya
memang tak bisa dipetik sekarang. “Panen” dari bertanam pendidikan tak bisa
instan seperti kontes kontes yang diselenggarakan oleh beberapa televisi
swasta. Sesuatu yang cepat naik maka cepat pula turun. Dan saya pun “iri” pada
Kang Ubai.
Terus terang saya tak seheroik kawan
saya di atas itu, meski sama sama berprofesi guru. Namun, Kang Ubai telah
sedikit memberi inspirasi saya untuk menularkan spirit menanam harapan pada
dunia pendidikan sebagai salah satu pemutus mata rantai kemiskinan yang mendera
sebagian anak negeri ini. Ya, kemiskinan memang masih menjadi problematika di
negeri ini. Tak di desa, tak di kota.
Tak terkecuali pada anak anak didik
saya di sebuah sekolah yang jauh dari pusat kota kabupaten, hampir 45
kilometer. Untungnya terletak di jalur utama pantura. Jadi masih terbilang
ramai. Hampir tiap hari saya menempuh perjalanan pulang pergi 86 kilometer
jauhnya untuk mengajar di tempat tugas saya itu sejak Bulan September 2009.
Tak terasa sudah lebih tiga tahun
saya mengajar di sini. Dan saya tak bosan bosannya mengajak mereka yang sudah
kelihatan malas pergi ke sekolah-dengan ciri ciri banyaknya tanda bolos dan
tanpa keterangan-untuk tetap semangat ke sekolah dan belajar agar mereka tak
hidup “begitu begitu” saja. Minimal mereka mempunyai gairah untuk belajar
sebagai bekal masa depan yang masih misterus. Dan saya pikir, pendidikan adalah
salah satu “senjata” dalam menundukkan masa depan itu. Memang, masa depan itu
masih “gelap”, hanya dengan persiapan sedini mungkinlah ia bisa menjadi terang.
Kajian sosiologi menyebut bahwa
pendidikan merupakan cara yang memungkinkan untuk seseorang dalam melakukan
mobilitas vertikal yang dikehendakinya. Semacam melakukan lompatan yang berarti
dalam memperbaiki nasib ke arah yang lebih baik. Saya kira sudah banyak bukti
untuk itu.
Ir. Ciputra-seorang taipan dan
pendiri PT Pembangunan Jaya-menulis kesaksiannya dalam buku Guru Guru
Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, “Saya merasakan
sendiri betapa sulitnya jadi orang miskin, dengan mudah orang lain menghina,
saya merasa tak berdaya dan tidak diperhitungkan. Jiwa saya berontak, hati saya
tidak bisa menerima dan itu telah memicu saya bermimpi tidak mau jadi orang
miskin. Saya ingin berhasil, ingin berprestasi, ingin sanggup berdiri di atas
kaki sendiri bahkan bisa menolong orang lain. Untuk saya di masa itu
strateginya sederhana saja, yaitu saya harus bisa meninggalkan kampung halaman
dan bersekolah sampai perguruan tinggi di Pulau Jawa.”
Pak Ciputra sadar bahwa keadaan
miskin yang menimpanya bisa diubah asalkan dibarengi dengan kerja dan belajar
keras. Pak Cip tak mau berlama lama hidup dalam kubangan kemiskinan tanpa
solusi dan melontarkan seribu alasan untuk tak mengubahnya. Dengan keberanian
plus nekad ia pun berlayar ke Jawa, masuk ITB jurusan arsitektur.
Dalam salah satu talk show, Pak Cip
bercerita bahwa ketika kuliah pun ia tak mendapat pasokan dana dari kampung,
terpaksalah ia bekerja sambil kuliah. Nyatanya, pengalaman pahit itulah yang
kemudian dijadikan modal untuk terjun sepenuhnya ke dunia bisnis usai lulus
kuliah. Pilihannya terbukti benar. Kini ia benar benar taipan yang disegani.
Ladang bisnisnya merentang dari properti, teknologi informasi, media,
telekomunikasi, dan lain lain. Pengalamannya pernah menjadi miskin dijadikan
pemicu menuju hidup yang lebih baik.
Hampir sama dengan apa yang pernah
dialami oleh Jamil Azzaini, seorang trainer-motivator sekaligus entreprenur.
Dalam acara bincang bincang di salah satu televisi swasta, Jamil berkisah bahwa
dirinya berasal dari keluarga miskin di Lampung. Rumahnya panggung di pinggir
hutan sehingga kalau malah hari auman harimau terdengar. Melihat kenyataan
pahit itu Jamil tak putus harapan, ayahnya selalu melecutnya dengan perumpamaan
memilih menjadi kerang rebus atau kerang mutiara. Jamil memilih menjadi kerang
mutiara.
Semasa SMP, ia mencari uang dengan
menjadi buruh penyadap getah karet. Aromanya yang tak sedap membuat ia
dijadikan bulan bulanan teman sekolahnya bahkan sering diludahi tangannya. Di
SMA, ia mengayuh sepeda sepanjang 23 km menuju sekolah SMAN Way Halim Bandar
Lampung.
Menjelang lulus ia diterima di IPB
tanpa tes. Masalah muncul. Keluarganya tak punya uang untuk berangkat ke Bogor
melanjutkan kuliah. Bapaknya kemudian meminjam pada tetangga kampung yang
terbilang kaya. Namun malang, ia dan bapaknya malahan diusir tak dipinjami.
Jadilah ia berangkat ke Bogor dengan bekal pas pasan. Kuliah dengan menumpang
tidur dari masjid ke masjid.
Singkat kata, kepahitan hidup malah
dijadikan energi menantang masa depan. Kini, siapa yang tak kenal dengan Jamil
Azzaini. Salah satu motivator hebat negeri ini. Ia kemudian tak kikir dengan
ilmunya, pengalaman dan motivasi semangat wirausahanya ia bagikan pada anak
anak muda melalui lembaga training dan pesantren wirausaha yang didirikannya.
Ciputra dan Jamil Azzaini telah
menunjukkan dengan lugas bahwa kemiskinan bukan halangan untuk maju. Alih alih
terbebani, malahan menjadi penginjeksi bahwa di tengah serba kekurangan
meyakinkan diri bahwa usaha akan sampai. Tentu saja ini perlu ekstra usaha di
atas rata rata. Di lingkungan tempat saya mengajar sehari hari, kemiskinan
adalah sebagian realitas yang dihadapi oleh sebagian anak didik saya. Dan
secara tak sadar ikut memberikan andil meninabobokan bahwa miskin adalah takdir
yang mesti diterima dengan pasrah.
Akhirnya, tak ada pelecut untuk
menggunakan jalur pendidikan sebagai sarana mobilitas mengangkat derajat secara
vertikal. Tiba tiba saya teringat ucapan Martodikromo pada novel Para
Priyayi-nya Umar Kayam, “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian
harus berusaha jadi priyayi. Kalian harus sekolah.”
Kultur sosial dan lingkunganlah yang
menyebabkan sebagian siswa didik saya seperti tak punya semangat mencapai
pendidikan setinggi tingginya. Ada sih, hanya beberapa. Tak banyak jumlahnya.
Apa sebab? Sebagian karena kemiskinan dan sebagian karena faktor lain
semisal orang tua yang tak lengkap karena bercerai, ditinggal ibunya menjadi
TKW ke luar negeri dan paduan dari dua faktor tadi.
Seorang anak didik saya, sebut saja
Budi, ketika ditanya mengapa ia jarang masuk sekolah, dengan logat jawanya ia
menjawab, “Iya pak, saya jarang masuk. Tapi nggak disengaja. Bagaimana mau
masuk sekolah, adik saya masih kecil, di rumah nggak ada yang nemenin. Bapak
lagi kerja, ibu pergi ke Arab.”
Lainnya, “Nggak ada ongkos dan uang
jajan pak. Bapak saya nganggur. Jadi tak ada uang untuk berangkat.”
Tak banyak memang seperti ini,
tetapi kalau dibiarkan, percayalah, hidup mereka tak akan banyak berubah. Hanya
menjadi pelengkap data statistik belaka ketika musim sensus tiba, dan penggenap
angkatan kerja yang ditulis dalam grafik grafik indeks pembangunan. Selebihnya,
mungkin tak ada yang peduli dengan nasib mereka.
Saya lalu teringat ungkapan yang
pernah dilontakan oleh Donald Trump, seorang milyarder asal negeri Paman Sam,
“Jika anda terlahir miskin, itu bukan salah anda. Namun, jika mati dalam
keadaan miskin, itu baru salah anda. Kemiskinan merupakan suatu problem, dan
cara mengentaskannya adalah solusinya.
Pendeknya adalah kemiskian yang
mendera, apalagi di tengah kapitalisme pendidikan yang semakin membuas
belakangan ini. Tujuan pendidikan yang awalnya mulia kini sudah digaduhkan
dengan campur tangan kapitalisme terhadapnya. Biaya pendidikan cenderung
meningkat untuk tak mengatakannya mahal. Stratifikasi akibat kapitalisme
pendidikan pun tercipta.
Dengan bagus pengamat kebudayaan
kontemporer dari ITB, Yasraf Amir Piliang menulis dalam buku Dunia yang
Dilipat: Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan bahwa, “Dunia Pendidikan
yang sesungguhnya dibangun berlandaskan nilai nilai objektivitas, keilmiahan
(scientific), dan kebijaksanaan (virtue), sebagai nilai dasar dalam pencarian
ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh nilai nilai komersial, sebagai refleksi
dari keberpihakan pada kekuasaan kapital. Pendidikan sebagai wacana pencarian
pengetahuan (knowledge) dan kebenaran (truth), kini dijadikan sebagai wacana
pencarian keuntungan (profit). Tercipta sebuah relasi baru pengetahuan, yang
tidak saja berupa relasi kekuasaan/pengetahuan (power/knowledge), akan tetapi
juga keuntungan/pengetahuan (profit/knowledge).” Fenomena seperti inilah yang
sedang terjadi pada dunia pendidikan kita.
Benar, untuk tingkat dasar dan
menengah pertama memang digratiskan dengan fasilitas Bantuan Operasional
Sekolah atau BOS, namun bagaimanakah dengan kelanjutan pendidikan mereka di
tingkat pendidikan tinggi yang menuntut pembiayaan lebih besar? Biaya kuliah di
universitas negeri tak kurang mahalnya dengan biaya kuliah di universitas
swasta.
Dan benar pula apa yang ditulis oleh
sejarawan Bonnie Triyana dalam salah satu status di facebooknya. “Dipikir2
segregasi sekolah zaman sekarang juga mirip zaman Belanda. Bedanya dulu anak
priayi yg bisa masuk sekolah bergengsi (HBS, ELS, STOVIA). Kalo sekarang
berdasarkan duit, yang jg dimiliki sama anak elite yang engkongnya dulu jg
sekolahnya di HBS, ELS dan STOVIA. Coba lihat, ada gak anak pemulung sekolah di
HighScope, padahal mereka berhak atas pendidikan yang bermutu tinggi.”
Ya, biaya pendidikan belakangan ini
memang menjulang. Pendidikan hari ini sepertinya mesti ditukar dengan segepok
rupiah dan setumpuk dollar plus koneksi di sana sini. Tak di negeri, apalagi di
swasta. Sungguh ironis memang, Bangsa Indonesia yang mempunyai pegangan
Pancasila dalam tataran ideal nyatanya tak mampu mengejawantahkan dalam
realitas yang dihadapi di kanan dan di kiri. Pendidikan mahal, orang miskin
bertambah menurut deret hitung. Wajar saja jika kemudian negeri ini masih
merangkak, tertatih tatih dalam kubangan label negara berkembang.
Tak ada jalan lain untuk memutus
lingkaran setan kemiskinan selain pendidikan, walau agak mahal. Tetapi,
yakinlah bahwa jalan keluar pasti ada. Mengutip Chrisye, “Badai pasti berlalu.”
Meminjam istilah Sunda, “Hujan ge aya raatna.” Sejauh usaha
dioptimalkan, hasilnya serahkan pada Tuhan yang Maha Menggenggam segala
sesuatu.
Roda pasti akan selalu berputar,
kadang di bawah menuju ke atas. Dalam konteks pendidikan, biaya yang mahal bisa
diatasi dengan banyaknya beasiswa yang tersedia, bantuan pemerintah daerah,
donasi yayasan, dana Corporate Social Responsibility, dam masih banyak
lagi. Hamburan semangat inilah yang sering saya injeksikan pada sebagian anak
murid yang saya ajar. Tak hanya sekali. Tiap kali masuk kelas. Dan saya tak
bosan bosan.
Sering saya mengatakan berkali kali,
terutama ketika mengawali pelajaran di kelas bahwa pendidikan setinggi
tingginya itu penting; bahwa pendidikan dapat mengubah nasib; bahwa pendidikan
bisa membawa kita melaju menuju mobilitas sosial secara vertikal ke arah yang
lebih baik; dan pendidikan merupakan sarana peribadatan, seraya mengutip sabda
Rasulullah Muhammad SAW bahwa menuntut ilmu itu wajib sejak dari buaian hingga
liang lahat, oleh laki laki maupun perempuan. Tak ada diskriminasi jenis
kelamin dalam hal mencapai pendidikan. Hanya diperlukan pengorbanan dan
berjuang yang tak kenal lelah. Percayalah bahwa sukses tak bisa dipetik dalam
satu malam.
Selain itu, kerap kali saya selipkan
cerita cerita yang membangkitkan motivasi orang orang besar dan sukses,
contohnya ya itu tadi tentang kisah sukses Pak Cip dan Jamil Azzaini, bagaimana
mereka melewatkan hidupnya hingga seperti sekarang ini.
Pemberian motivasi ini bertujuan
menumbuhkan spirit untuk terus maju, pantang menyerah, berani mengubah keadaan
yang stagnan, dan siap menghadapi resiko apapun, bahkan yang paling pahit
sekalipun. Karena kehidupan pada hakekatnya adalah maju, maka untuk menjaga
keseimbangan kita mesti bergerak, tak boleh berhenti. Sekali berhenti, tentu
saja jatuh dan kemungkinan akn disalip oleh orang lain.
Sebagai selingan saya pun
menyelipkan cerita pahit berakhir sukses seperti yang pernah dialami oleh
Thomas Alfa Edison, Albert Einstein, Bach, Kolonel Sanders pendiri KFC. Mereka
yang diawal hidupnya dirundung kemalangan dengan versinya masing masing,
terbukti berakhir manis menjelang dewasa. Mereka tak kenal kata menyerah hingga
batas akhir entah dimana. Percobaan Alfa Edison yang ratusan kali ketika
memulai riset bola lampu tak berhenti saat lampu tak kunjung menyala. Ia terus
dan terus mencoba sampai akhirnya mendapat hasil yang dimaksud.
Ingat konsep mestakung yang pernah
dilontarkan oleh Prof. Yohanes Surya? Prof Yo punya teori bagus tentang
pencapaian dan usaha yang optimal. Ia menyebutnya sebagai “Mestakung” atau
Semesta Mendukung.
Dalam blog pribadinya ia menulis,
“Mestakung=seMESTA menduKUNG merupakan hukum alam dimana ketika suatu individu
atau kelompok berada pada kondisi kritis maka semesta (dalam hal ini
sel-sel tubuh, lingkungan dan segala sesuatu disekitar dia) akan mendukung
untuk dia keluar dari kondisi kritis. Ada 3 hukum Mestakung yaitu: Dalam setiap
kondisi KRItis ada jalan keluar, ketika seorang meLANGkah, ia akan melihat
jalan keluar, ketika seorang teKUN melangkah, ia akan mengalami mestakung.
Ketiga hukum ini saya singkat dengan KRILANGKUN (KRItis, LANGkah, teKUN).
Apapun kondis kritis yang Anda ciptakan, percayalah Tuhan Yang Maha Kuasa telah
menciptakan mestakung untuk membantu Anda keluar dari kondisi kritis itu. Anda
akan keluar sebagai pemenang.” Prof Yo sudah membuktikannya.
Hal hal memberikan suntikan motivasi
seperti inilah yang saya tularkan pada anak murid yang saya ajar. Metodenya
dengan bercerita alias mendongeng orang orang hebat di masa lampau dan masa
kini. Kebetulan juga saya berlatar belakang pendidikan sejarah yang hobi
mengkoleksi buku buku biografi. Dapatlah dikatakan punya “amunisi” cukup buat
berkisah.
Kenapa berkisah? Memang ini adalah
metode konvensional yang sudah usang. Mungkin ditertawakan karena sudah out
of date. Namun, inilah metode yang saya cocok untuk membangkitkan semangat
mengentaskan kemiskinan, minimal bagi dirinya sendiri dengan jalan terus rajin
belajar, terus berikhtiar sampai batas optimal.
Saya amat mengerti bahwa apa yang
saya sampaikan tak mungkin diterima dan dipraktekkan seratus persen oleh anak
murid saya. Ada satu, dua, tiga orang pun sudah bersyukur. Setidaknya saya
sudah mencoba dan berusaha.
Kemiskinan adalah problem besar
negeri ini. Menempuh jalur pendidikan merupakan salah satu solusinya, dan guru
ada didalamnya. Bravo pendidikan murah dan bermutu!
Sumber:
http://kobongkastrol.tumblr.com/post/45140201164/pendidikan-dan-memutus-lingkaran-kemiskinan
0 komentar:
Post a Comment