Apa yang terkandung dalam isi hatinya, juga terkandung dalam isi hati kita semua. Oleh karena itu Multatuli masih tetap suatu pribadi yang hidup dan sebeltulnya dia masih berdiri di tengah-tengah kita, juga hari ini, di sini.
Belum sempurna rasanya membahas buku dan
sejarah Nusantara tanpa membahas sosok Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
alias Multatuli. Sosok yang mempengaruhi jalan sejarah Indonesia lewat
kekuatan kata-kata. Ia berani menyisihkan dirinya dari mainstream untuk membela idealismenya. Suatu tindakan yang jarang kita temukan akhir-akhir ini.
Ulasan mengenai sosok Multatuli dan buku
“Max Havelaar”-nya rasanya sudah cukup banyak dilakukan sehingga rasanya
tidak perlu kulakukan lagi. Selain itu kemampuan analisisku terlalu
rendah untuk menginterpretasi kedalaman tokoh Multatuli maupun karyanya.
Sebagai gantinya berikut akan kukutip kembali sebuah artikel dari
majalah Pewarta PPK No. 15 April 1952 yang membahas
tentang tokoh Multatuli. Majalah ini diterbitkan oleh Kementrian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bag. Penerangan. Artikel
Multatuli dari majalah tersebut sengaja kukutip kembali karena merupakan
buah pikiran dari Rob Nieuwenhuys, seorang sastrawan Belanda yang
kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Berikut adalah teks lengkapnya,
dengan ejaan yang telah diperbaiki.
MULTATULI
Multatuli, dia seorang Belanda. Kenapa kita tidak tulis tentang dia? Sudah hampir basi kedengaran di telinga : kita tidak benci pada Bangsa Belanda, pada si Piet atau si Jan. Kita cuma benci pada sistem pemerintahannya yang pernah menindas rakyat Indonesia berabad-abad lamanya!
Multatuli artinya : akusudahbanyakmenderita. Si Akusudahbanyakmenderita ini boleh dianggap sebagai salah satu figuur besar dalam sejarah kemanusiaan. Nama yang sebetulnya adalah Eduard Douwes Dekker. Lahir di Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1820. Sejak umut 19 tahun sudah menginjak bumi Nusantara, untuk kemudian menjadi ambtenaar Belanda. Dalam umur 36 tahun ia diangkat menjadi asisten residen dari Lebak (Banten). Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat , betapa sistem kolonialisme dan feodalisme menghisap dan memeras darah rakyat yang melarat. Sebagai manusia, jiwanya berontak ! Dia murka ! Dia minta lepas dari jabatannya, untuk pulang kembali ke Nederland dengan tidak menggondol kekayaan dari Indonesia sedikitpun dan dengan tidak mengharapkan pensiun.
Dalam tahun 1860 bukunya yang pertama “Max Havelaar of de Koffie-veilingen der Nederlandsche Handelmaatschappij” keluar. Seluruh Nederland gempar. Perbuatan-perbuatan kejam, jahat, dan tidak mengenal perikemanusiaan dari amtenar-amtenar kolonial serta kaki tangannya para bangsawan feodal dibongkar dan ditelanjangi bulat-bulat. Walaupun namanya menjadi besar karena buku yang ditulis, namun ia tetap hidup melarat. Dan sang “proletar-intelek” ini akhirnya mati di Nieder-Ingelheim dalam usia 67 tahun.
Bangsa Indonesia sanggup menghargai siapa saja yang yang memang patut dihargai. Multatuli, sebagai manusia tetap berjasa buat rakyat Indonesia yang melarat dan menderita. Oleh karenanya jasa-jasanya patut diperingati dan dihargai. Maka oleh anggota dari perkumpulan PEN-club dan LEKRA pada tanggal 19 Februari yang lalu ia diperingati, yang berarti diperingati untuk pertama kalinya oleh masyarakat Indonesia. Di bawah ini kita muatkan ringkasan daripada pidato Rob Niewenhuys, seorang ahli kesusastraan Multatuli, sebagai pembicara utama dalam pertemuan – peringatan tersebut.- Redaksi -
Hari ini, adalah tepat 65 tahun yang
lalu, bahwa Multatuli meninggal dunia di Nieder-Ingelheim. Kejadian ini
sudah lama sekali, Lodewijk van Deysel (penulis Belanda) juga mati pada
beberapa minggu yang lalu. Pun dia saya peringati, tapi seolah-olah dia
sudah lebih lama meninggalkan kita daripada Multatuli. Sedangkan waktu
Van Deysel meninggal orang bertanya : “Astaghfirullah, masih hidupkan
orang ini?” berkata orang tentang Multatuli : “Sungguh aneh betul, bahwa
dia telah mati 65 tahun yang lalu dan dia menulis “Max Havelaar” hampir
seratus tahun yang silam!”
Multatuli, walaupun semua itu dia tulis
dalam tahun 1860 atau 1870 atau 1880, masih tetap menerangkan hal-hal
yang mengenai kita, sampai sedemikian rupa mengenai diri kita hingga
kita menjadi murka oleh karenanya. Dia tetap populer dan terkenal, dan
sampai sekarangpun masih terdapat orang-orang yang pro dan kontra
Multatuli. Multatuli merupakan batu ujian. Dari pernyataan pro dan anti
Multatuli kita bisa membaca watak orang-orang yang bersangkutan. Dari
pernyataan-pernyataan itu dapat ditarik garis batas yang memisahkan kaum
konservatif dari kaum progresif.
Kalau dulu, waktu Multatuli masih hidup
ada orang yang tidak sependapat dengan dia, sekarangpun orang itu masih
berpendirian begitu. Pengikut dan lawan Multatuli sampai sekarang masih
tetap bertengkar dan berselisih dengan mempergunakan surat-surat
selebaran, juru-juru sita dan sebagainya. Seperti terjadi baru-baru ini,
yaitu tatkala Tuan Ett, konservator dari Multatuli Museum mengeluarkan
sebuah brosur tentang suatu perkara yang Multatuli turut tersangkut di
dalamnya. Dan yang juga menarik perhatian adalah, bahwa setelah lima
puluh atau enam puluh tahun, selalu masih tetap saja soal-soal atau
pendapat lama yang masih dipertengkarkan kalau orang membicarakan
Multatuli. Multatuli masih tetap berdiri di tengah-tengah kita sekarang
seperti halnya dahulu waktu dia masih hidup, yaitu sebagai “pengarang
yang besar” dan sebagai “manusia jahat yang selalu mengacau keadaan dan
mendustakan isterinya”.
Orang berkata, bahwa Multatuli adalah
penulis berkaliber besar; dia memiliki gaya bahasa yang bagus-indah dan
gemilang; tentang ini kawan dan lawan seiya-sekata. Dengan pengakuan
ini, dimaksud oleh lawan-lawannya untuk lebih berat menuduh manusia
Multatuli sebagai orang tolol yang selalu kacau pikirannya sebagai
pembohong , sebagai orang yang suka melamun, dan sebagai manusia yang
rusak akhlaknya. Dan orang berkata, seperti juga dimaksud oleh
Droogstoppel : “Lebih pintar manusia lebih jahat dia”. Akan tetapi ini
hanya suatu sebutan, suatu kebenaran – seperti yang pernah diucapkan Du
Perron – yang lahir “dari pikiran orang-orang kecil untuk orang-orang
kecil”. Ini adalah hiburan yang dibuat sendiri oleh orang-orang kecil
dan buat orang-orang kecil, karena mereka tidak bisa menjadi besar, jadi
juga tidak dapat berbuat dosa yang besar. Orang tentu mengerti kalau
saya bilang : Dengan berbuat dosa – ini hanya berarti menerjang
hukum-hukum susila – orang tak akan menjadi besar dan seorang penyair
yang tidak terkenal, dengan banyak meminum arak tidak akan dapat menjadi
Li Tai Po atau dengan meminum “absyth” tidak akan menjadi Verlaine.
Akan tetapi, orang besar tak dapat dipisahkan dari dosa-dosa yang
diperbuatnya. Jikalau Dostojefski, Goethe, Proust, Fide, Verlaine, Li
Tai Po, Rimbaud atau Multatuli hendak kita hukum karena dosa-dosa
mereka, maka kita hendaknya harus memakain kebajikan mutlak sebagai
ukuran, dan dengan itu juga kesahajaan-kesederhanaan yang mutlak.
Dapat saya menggambarkan bahwa orang yang jujur dan sopan lebih banyak menghargai kebajikan daripada kebesaran.
Lawan-lawan Multatuli berkata : “Engkau
menulis baik sekali, engaku memiliki gaya bahasa yang gemilang, teruslah
menulis, tetapi cobalah melakukan dengan memakai dasar fikiran yang
lain”. Untuk membalas ejekan ini, Multatuli cuma mengemukakan satu
jawaban saja :
“Saya menulis menurut pendapat, menurut pendapat….. tidak, saya hanya menulis cuma menurut pendapat dan fikiran saya sendiri, tuan-tuan; tuan tinggal di villa tuan – tuan menikmati duit tuan, tuan melagakkan prinsip-prinsip tuan sendiri, tuan mengingkari diri tuan sendiri, tetapi saya hanya menulis menurut pendapat dan fikiran saya sendiri, dan tuan harus menyerahkan hal ini kepada saya sendiri.”
Kenapa Multatuli menulis baik? Karena
tiap perkataan berisikan keyakinannya, kebenciannya, cintanya, dan
kesentimentilannya, perasaannya tentang keadilan dan kebenaran “Le style c’est L’homme meme”
kata penulis Perancis Buffon yang hidup dalam abad-18, “gaya bahasa,
itu adalah manusia sendiri”. Dan sebutan ini pasti juga mengenai diri
Multatuli.
Kebesarannya sebagai pengarang tidak
dapat dipisahkan daripada wataknya, kekuatan jiwa dan temperamennya. Dan
kepada diri sendiri saya bertanya : Apakah bukan suatu tanda adanya
kekuatan jiwa, suatu tanda bahwa ia berwatak, apakah bukan suatu tanda
kebesaran, bahwa ia telah menulis “Max Havelaar” (ingat, ini adalah
sebuah buku yang terdiri dari 3 sampai 400 halaman) dalam tujuh atau
delapan minggu dalam musim dingin di tahun 1857-58 dalam sebuah kamar
kecil di atas loteng di Brussel yang tidak “dipanaskan”, dalam keadaan
sengsara dan melarat yang amat sangat dan diganggu oleh keadaan
keluarganya di Negeri Belanda yang juga dalam keadaan melarat.
Panggilan manusia adalah untuk jadi
manusia, karena lahirnya Max Havelaar adalah tidak lain dan tidak bukan
hanya suatu tanda daripada perjuangan Multatuli buat menegakkan
“keluhuran manusia”. Dan”keluhuran manusia” ini adalah taruhan daripada
drama yang terjadi di Kawedanan Lebak dalam tahun 1856.
Dalam “Max Havelaar” orang selalu melihat
dua macam maksud : 1. Suatu usaha dari Multatuli untuk mendapatkan
“nama baiknya” kembali dalam “urusan Lebak”; 2. Protesnya terhadap
korupsi dan pembelaannya kepada “Orang Jawa” yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh pemerintah. Tetapi kata “Orang-orang Jawa” ialah
“Orang Indonesia” karena nama Indonesia pada ketika itu belum ada. Ia
berpihak kepada “Orang Jawa” karena mereka adalah orang-orang yang
tertindas; oleh karenanya ia cinta kepada mereka, dan karir serta
keberuntungannya tergantung pada “permainannya” dalam membela
kepentingan-kepentingan mereka.
Kita ketahui pernyataan-pernyataan di
Negeri Belanda setelah “Max Havelaar” diterbitkan :
Pernyataan-pernyataan ini adalah penjelasan daripada kesan yang dalam
yang pada umumnya ditimbulkan oleh buku ini. “Max Havelaar” timbul pada
saat orang di Nederland terlibat dalam sengketa ketatanegaraan yang
prinsipil antara kaum konservatif dan kaum liberal, antara
pengikut-pengikut Cultuurstelsel dan pengikut apa yang
dinamakan kerja sukarela, yang belakangan tentu saja dari kaum liberal.
Dalam parlemen perdebatan berjalan terus menerus dengan tak ada akhirnya
dan di tengah-tengah perdebatan itu muncullah “Max Havelaar” dengan
pembelaannya buat kerja sukarela (kata kaum liberal) tidak, buat cultuurstelsel
(kata orang-orang konservatif). Dengan lain perkataan, kedua belah
pihak mencari alasan-alasan mereka dalam sang “Max Havelaar”. Akan
tetapi Multatuli tidak menyetujui semua itu dan dalam brosurnya yang
terkenal “Over Vrije Arbeid” (1862) (Tentang Kerja Sukarela) dengan sengit sekali ia menyerang semua pihak, pengikut vrije arbeid maupun pengikut cultuurstelsel.
“Soal kerja sukarela adalah bukan soal. Janganlah dicuri orang Jawa itu, janganlah dirampok dia, jangan bunuh dia… maka dalam beberapa waktu akan ternyata apakah dia mau bekerja dengan sukarela atau tidak. Saya kira : ya ! Dan kalau demikian halnya, saya pun setuju dengan kerja sukarela. Sesungguhnya, juga peradaban akan segera datang, dan dia – dimana saja tidak kurang daripada di Jawa – akan kiusambut dengan segala kegembiraan, walaupun dia akan membawa kerugian bagi Negeri Belanda. Karena di atas kepentingan-kepentingan tanah air berdiri tegak kepentingan KEMANUSIAAN.”
Akan tetapi walaupun bukunya sangat
berkesan dan berpengaruh, dan walupun semenjak “Havelaar” diterbitkan
tidak lagi dijalankan politik kolonial dengan maksud jahat seperti pada
masa yang sudah-sudah namun Multatuli sendiri tetap miskin sampai ia
menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Dalam tahun 1862 ia benar-benar
menjadi “gembel” yang hidupnya menderita dan sengsara.
“Saya sedih dan menderita. Dan saya mencari sebabnya yang menghalang-halangi usaha saya yang baik, dan sebabitu telah saya dapati berupa suatu penyakit yang bersarang dalam tubuh tuan-tuan hai orang-orang Belanda, dan penghalang itu telah saya temukan berupa suatu penyakit yang busuk… berupa dusta. Ya, saya telah mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi tuan-tuan tidak mendengarnya.
Dan tiap hari orang hanya mendustakan tuan-tuan dan tuan-tuan mau mendengarnya. Oleh karena itu saya menyingkirkan diri sedikit, dan meletakkan surat saya yang penuh cacian di muka rumah mereka yang menipu tuan-tuan. Oleh karena itu sambil jalan saya pakukan pengumuman saya tentang permusuhan pada gerbang prajurit-prajurit perampok, yang dalam lapang tohani menyobek-nyobek perasaan tuan-tuan, dan yang menghancurkan kebesaran mereka sendiri dengan melakukan pencurian. Dalam abad-abad pertengahan orang merampas harta benda rakyat. Pada masa itu, perbuatan sedemikian disebut orang perbuatan kesatria, perbuatan orang bangsawan. Semakin tinggi istana mereka semakin sukar maling itu dicari… dan semakin tinggi kebangsawanannya. Kini orang tidak mengemukakan kebenaran kepada tuan-tuan dan itu namanya kepintaran, agama pada dewasa ini. Tatkala kaum tani bersatu-padu, segera ternyata, bahwa prajurit-prajurit itu tidaklah merupakan orang-orang yang paling gagah dan berkuasa, dan mereka hanya adapat bertindak sewenang-wenang selama rakyat jelata lupa bahwa kemungkinan pemberontakan ada. Dan tuan-tuan orang-orang biasa yang berpiliran sehat, ingatlah bahwa jubah pembohong-pembohong yang sudah bejat akhlaknya itu tidak lebih kuat daripada baju besi yang dipakai oleh kau ksatria-bangsawan yang suka merampok harta benda orang.
Hanya satu macam ksatria-bangsawan saja yang ada. Ksatria-bangsawan yang sama sekali tidak perlu berjubah ataupun berbaju besi. Daerah pertempurannya adalah sang cahaya, tamengnya adalah kebenaran : hakimnya adalah sejarah kemanusiaam dan pedangnya ialah PERKATAAN. Perkataan itu akan kusampaikan kepada tuan-tuan menurut kekuatan yang ada pada saya dan akan kusampaikan pula dalam “ideen” yang saya bermaksud untuk menerbitkannya. Di situ akan kucurahkan segenap isi hatiku”
Apa yang terkandung dalam isi hatinya,
juga terkandung dalam isi hati kita semua. Oleh karena itu Multatuli
masih tetap suatu pribadi yang hidup dan sebetulnya dia masih berdiri di
tengah-tengah kita juga hari ini, di sini.
0 komentar:
Post a Comment