Saya tidak bisa melayani dengan cara yang lain daripada yang saya lakukan di Lebak.
(Max Havelaar)
Batavus Drooggstoppel adalah makelar kopi dan tinggal di Lauriergracht No. 37 Amsterdam. Dia ingin menulis sebuah buku. Buku tentang kopi. Buku yang akan ditulisnya dengan akal sehat dan penuh kebenaran. Sebab menurut Batavus penyair dan novelis tidak menulis apa-apa kecuali kebohongan.
Di suatu malam, Batavus bertemu dengan teman lamanya yang terlihat buruk. Ia tidak mengenakan mantel bulu di musim dingin, melainkan hanya memakai syal biasa di lehernya. Batavus memanggilnya: Sjaalman. Batavus lalu meninggalkannya. Keesokan harinya Batavus menerima sebuah paket dari Sjaalman. Paket tersebut berisi banyak tulisan dan dokumen. Di paket tersebut terdapat juga surat yang berisi ajakan untuk menerbitkan tulisan-tulisan tersebut. Batavus tidak tertarik. Akan tetapi setelah melihat ada beberapa dokumen tentang kopi (Mengenai Harga Kopi Jawa), Batavus berubah pikiran. Dimintanya Ernest Stern (pemuda Jerman) yang akan menuliskan bukunya dengan bahan-bahan dari Sjaalman. Judulnya harus “Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda”.
Mulailah Stern menulis cerita dengan deskripsi perjalanan di Jawa. Juga bagaimana kekuasaan Hindia Belanda dan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat dihisap. Tenaga dan hartanya dieksploitasi secara sewenang-wenang.
Pemerintah memaksa petani untuk menggarap tanaman-tanaman tertentu di tanah mereka sendiri; pemerintah menghukum mereka jika menjual hasil yang diperoleh kepada pembeli lain, kecuali pemerintah; dan pemerintah menetapkan harga yang harus dibayar. Biaya pengangkutan ke Eropa lewat maskapai dagang yang mendapat keistimewaan sangatlah tinggi; uang yang dibayarkan kepada para pejabat untuk menyemangati mereka telah meningkatkan harga pokok, dan karena seluruh perdagangan harus menghasilkan keuntungan. Keuntungan itu tidak bisa didapat dengan cara lain, selain membayar orang Jawa sekadarnya agar mereka tidak kelaparan.
Penduduk misikin digerakkan oleh kekuatan ganda; mereka diusir dari sawah mereka sendiri; dan bencana kelaparan sering kali muncul akibat tindakan-tindakan ini.
“Bencana kelaparan? Bencana kelaparan di Jawa yang kaya dan subur?”—Ya, pembaca, beberapa tahun silam ada distrik-distrik yang kehilangan penduduk akibat kelaparan; para ibu menjual anak mereka untuk mendapat makanan, para ibu menyantap anak mereka sendiri.” (hlm. 91)
Stern kemudian bercerita bahwa di Banten Selatan (Baca: Lebak) sedang menunggu Asisten Residen baru pengganti Slotering yang mati dibunuh. Asisten Residen yang baru ditunjuk itu, Max Havelaar.
Havelaar tiba di ibu kota baru distrik Lebak: Rangkas Bitung. Havelaar seorang yang jujur, jenaka dan menyenangkan, peka terhadap cinta dan persahabatan. Dia penuh kontradiksi: setajam silet, berhati selembut anak perempuan, dan selalu menjadi yang pertama yang merasakan luka akibat kata-kata pahitnya sendiri.
Havelaar berjanji akan melindungi semua orang miskin dan tertindas yang ditemuinya. Melindungi penduduk pribumi dari pemerasan dan tirani. Havelaar akan melawan kekuasaan korup dan sewenang-wenang yang sedang berlangsung di Lebak. Perampokan kerbau, kerja tanpa bayaran, dan penyiksaan. Sehari setelah kedatangannya di Lebak, Havelaar berpidato. Secara tegas Havelaar menyampaikan keberpihakannya. Havelaar memberitahukan bahwa tugas pemimpin bukanlah menumpuk kekayaan. Harus meninggalkan kepentingan pribadi. Havelaar juga memperingatkan pemimpin Lebak yang banyak melakukan kesalahan sehingga banyak kemiskinan di desa-desa.
Beberapa catatan penyalahgunaan kekuasaan di Lebak, Havelaar dapatkan dari arsip yang ditinggalkan pendahulunya: Slotering alias C.E.P. Carolus. Dari dokumen-dokumen yang ditemukannya Dekker membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parang Kujang, Raden Wira Kusuma. Menantu Adipati Lebak, Karta Nata Negara. Adipati Lebak waktu itu ditakuti dan sangat dihormati oleh penduduk. Menurut kode pemerintah kolonial ia adalah ‘saudara muda’ asisten residen Douwes Dekker.
Slotering orang yang baik dan jujur. Slotering meninggal karena diracun. Slotering sedang menyelidiki penyalahgunaan kekuasaan ini dan berencana akan melaporkannya. Slotering telah mengadukan kepada Residen Banten, C.P. Brest van Kempen alias Slijmering. Slotering ingin mengakhiri penderitaan rakya. Pembicaraannya dengan residen selalu sia-sia karena hal ini sudah umum diketahui bahwa pemerasan itu untuk kepentingan dan di bawah perlindungan Adipati Lebak.
Residen Banten tidak mau mengadukan Adipati kepada pemerintah Hindia Belanda.
Droogstoppel menyela cerita Stern. Droogstoppel merasa kurang puas dengan tulisan Stern.
Droogstoppel tadinya sangat berharap bahwa cerita itu berkaitan dengan kopi. Batavus mendapatkan penjelasan Stern yang mengatakan, “tenanglah, banyak jalan menuju Roma, tunggulah sampai akhir pendahuluan. Aku berjanji semuanya akan tiba pada kopi. Kopi, kopi, dan tidak ada yang lain, kecuali kopi.” “Ingatlah Horatius,” lanjut Stern, “bukankah dia berkata, “Omne tulit punctum qui miscuit”—Kopi dengan sesuatu yang lain? Dan, bukankah kau bertindak dengan cara yang sama ketika memasukkan gula dan susu ke dalam cangkir?” (hlm. 184)
Batavus sangat terkejut mengetahui bahwa dalam tulisan Stern dan dokumen Sjaalman tidak ada kopi yang ditanam di Distrik Lebak. Batavus punya jalan untuk memasukkan khutbah Domine Wawelaar. Batavus berkeinginan agar orang Jawa menanam kopi. Jika pun itu mustahil, seharusnya mereka mengirim orang-orang yang tinggal di sana ke tempat lain yang tanahnya bagus untuk kopi. Melalui Wawelaar, Batavus ingin menghentikan kebiasaan tidak menanam kopi di Lebak. Oleh karena itu, orang-orang harus datang kepada Tuhan. Batavus akan menasehati anak-anak mereka (Frits dan Marie) yang sudah diracuni oleh surat-surat yang ada dalam paket Sjaalman. Begitu juga Batavus akan menasehati Stern yang sudah terlalu jauh menyimpang. Mereka (orang Jawa) harus kembali kepada Tuhan. Batavus meyakini bahwa segala sesuatu yang dibimbing tangan Tuhan akan menjadi baik. Tuhan akan menjaga mereka dalam kehidupan sementara dan abadi. Terutama tanah di Lebak bisa dibuat sangat cocok ditanami kopi.
Pendeta Wawelaar berkhutbah. Dalam khutbahnya ia berkata bahwa telah menjadi kehendak Tuhan bahwa kita bangsa Belanda mengharuskan orang Jawa bekerja sekeras-kerasnya, bahkan sampai melampaui batas-batas kemanusiaan dan sesudah itu kita mengirimkan kepada mereka kitab-kitab Injil dan sebagainya.
Dekker menjawab melalui Stern dengan bersahaja bahwa Wawelaar itu karikatur, yang pantas menjadi guru Kristen yang pandai, ramah dan saleh. Wawelaar itu fiksi, khayal dan bohong-bohongan. “…karena dia adalah pelayan yang giat dan tekun bekerja.”. Dan orang Jawa bukanlah kafir.
Cerita “Pemecah-Batu Jepang” dikisahkan Havelaar kepada Si Upik Keteh. Di Sumatra berarti “nona kecil”. Gadis kecil yang ditemui Havelaar di Natal. Kepada Si Upik Keteh, Havelaar menceritakan kisah tersebut. Kisah yang diambilnya dari majalah Hindia Belanda. Kisah yang ditulis oleh Jeronimus. Jeronimus adalah nama pena dari Baron van Hoevell, pendeta Batavia yang sering membela bumiputera saat dia jadi anggota parlemen.
Havelaar tahu di Lebak terjadi banyak kesalahan. Penyalahgunaan kekuasaan. Namun tidak ada yang dapat mengambil tindakan. Havelaar berusaha mengingatkan Adipati Lebak dengan kelembutan. Havelaar tidak ingin kehormatan Lelaki Tua itu tercemar. Havelaar hendak menyelamatkan, memperbaiki, dan bukan menghancurkan. Dia bersimpati terhadap Adipati. Semua orang tahu bahwa ketidakadilan dan pemerasan, tapi tidak ada yang berani mengambil tindakan. Havelaar membantu orang-orang yang berani mengadu kehilangan kerbau. Hal tersebut dilakukannya di malam hari. Namun orang-orang yang berani mengeluh itu dipanggil Adipati, dan mereka bersimpuh di kaki Adipati, memohon ampun. Lalu mereka akan mengatakan bahwa kerbau mereka tidak dirampas dari mereka tanpa bayaran. Mereka percaya akan mendapat ganti dua kali lipat. Mereka juga tidak dipanggil dari lading-ladang mereka untuk bekerja tanpa bayaran di sawah-sawah Adipati; mereka tahu sekali bahwa nantinya Adipati akan membayar mahal untuk tenaga mereka. Mereka mengadu karena kedengkian tanpa dasar, mereka gila, dan memohon agar dihukum karena kekurangajaran yang keterlaluan itu. Ironi.
Kisah Saijah dan Adinda merupakan kisah tragis yang menimpa rakyat Lebak. Kisah yang menguras air mata. Kisah tentang perampasan. Kisah penderitaan rakyat. Kisah tentang nasib rakyat. Kisah makhluk sejoli yang menjadi gambaran bagi kehidupan umum bangsa kita di bawah telapak kaki penjajah. Kisah sedih yang memikat perhatian. Kisah tentang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Kisah yang didasarkan pada penderitaan dan kesedihan yang sungguh ada dan banyak dialami oleh rakyat di desa-desa. Kisah ini mungkin membosankan bagi yang membaca.
Saijah dan Adinda tinggal di Badur, bagian dari distrik Parang Kujang. Sebuah dusun di Banten Selatan, di Lebak. Mereka hidup di tengah kemiskinan yang disebabkan oleh kelaliman kepala distrik. Demang Parang Kujang, Wira Kusuma yang suka merampas hak milik penduduk. Saijah telah mengenal Adinda sedari kecil dan mereka berencana akan kawin kemudian. Ayah Saijah tiga kali kehilangan kerbaunya. Ibu Saijah meninggal karena berduka akibat kehilangan kerbau. Saat itulah, ayah Saijah dalam kedukaannya meninggalkan Badur untuk mencari kerja di Distrik Buitenzorg (Bogor). Namun dia dihukum cambuk karena meninggalkan Lebak tanpa surat jalan dan dibawa kembali oleh polisi ke Badur. Dia dipenjarakan karena dianggap gila—dan dikhawatirkan akan mengamuk. Ayah Saijah tidak lama di dalam penjara karena tidak lama berselang dia meninggal.
Saijah berusia lima belas tahun dan Adinda tiga tahun lebih muda ketika ayah Saijah meninggalkan Badur. Saijah mendengar di Batavia ada banyak pekerjaan. Saijah akan bekerja sebagai kacung-bendi. Saijah mendatangi rumah Adinda dan menyampaikan maksudnya. Diperhitungkan ia akan kembali ke desanya setelah tiga tahun kemudian setelah ia cukup memperoleh uang untuk membeli kerbau dua dan cukup usia untuk menikah. Adinda berjanji akan setia kepadanya dan menanti di bawah ketapang, di pinggir Desa Badur, di tepi hutan kalau kekasihnya pulang nanti.
Apakah pembaca merasa bosan?
Baik kita lanjutkan, saya percaya pembaca masih sanggup melanjutkan!
Tetapi setelah Saijah kembali, dilihatnya rumah Adinda telah hancur, sedang Adinda dengan adik-adik serta ayahnya telah pindah dari kampungnya ke tempat yang lebih aman di daerah Lampung. Mereka lari dari Badur untuk menghindari pemerasan-pemerasan yang dilakukan kepada distrik. Kerbau ayah Adinda telah dirampas. Mereka sekeluarga takut akan menerima hukuman karena tidak sanggup membayar pajak. Sebelum meninggalkan kampung mereka, ibu Adinda meninggal karena sedih. Adik perempuannya yang bungsu juga meninggal karena tidak punya ibu dan tidak punya seorang pun yang menyusuinya.
Dalam keadaan hampir gila, karena bingung dan kecewa, Saijah terus mencari tempat pelarian kekasihnya. Ia sampai di Lampung dan bergabung dengan segerombolan pemberontak. Saijah menemukan Adinda sekeluarga di sebuah perkampungan yang terbakar dan semua penduduknya baru saja dibinasakan oleh tentara Belanda. Ia melihat ayah Adinda beserta ketiga saudaranya terbunuh, sedang Adinda sendiri telah menjadi mayat, teraniaya dengan cara mengerikan. Karena penasaran dan putus asa Saijah mendorongkan dirinya ke muka serdadu Belanda yang sudah siap dengan bedilnya ke arahnya. Saijah mati tertembus bayonet.
Bagi Batavus Droogstoppel simpati kepada orang Jawa yang tertindas haruslah dibuang jauh-jauh. Bagi mereka yang tidak bekerja seperti penduduk Lebak itu logis tetap miskin, demikian pandangan Batavus. Batavus Droogstoppel harus menemui Sjaalman dan istrinya. Batavus ingin menasehati mereka. Batavus juga berkisah tentang kunjungannya ke Drierbergen bersama istri dan Marie. Bertemu dengan mertuanya, Tuan Last tua. Mereka bertemu dengan seseorang yang pernah bertugas di Hindia Timur dan kini tinggal di rumah pedesaan besar. Si lelaki itu mengenal Sjaalman dan tidak menyukainya. Dia mengatakan bahwa pemerintah bertindak benar dengan memecatnya, karena Sjaalman ini orang yang tidak pernah merasa puas dan suka mengomentari segalanya dan tingkah lakunya tercela.
Tuan Slijmering, Residen Banten mengirim surat untuk Havelaar. Ia berjanji akan datang ke Rangkas Bitung keesokan harinya untuk merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Havelaar paham apa yang dimaksud dengan ‘perundingan’, pendahulunya, Carolus, telah sering berunding dengan Residen Banten. Havelaar menulis surat. Residen Banten datang. Pertama kali bertemu Bupati, bertanya kepadanya apa yang bisa memberatkan Asisten Residen itu, dan apakah dia—Bupati itu—memerlukan uang. Residen memberinya beberapa lembar. Kemudian menemui Havelaar dan memintanya untuk menarik aduannya soal penyalahgunaan kekuasaan. Havelaar menolak dengan tegas dan sopan. Havelaar akan melayangkan gugatannya ke Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal tak menanggapi permohonan audiensi Havelaar. Sibuk. Terlalu sibuk mengurusi kepergiannya untuk pensiun. Havelaar dipindahkan ke Ngawi. Havelaar tidak akan pergi ke Ngawi. Ia menulis surat pemecatannya sendiri. Surat tertanggal 29 Maret 1856. Lalu berturut-turut suratnya tertanggal 23 Mei 1856.
Harapan Havelaar sia-sia. Gubernur Jenderal berangkat tanpa mendengarkannya. Havelaar berkeliaran dalam keadaan miskin dan terabaikan. Dia terus mencari.
Kemudian Multatuli mengambil pena. Dia tidak lagi perlu Stern dan menghentikan Droogstoppel. Droogstoppel sebagai produk menyedihkan dari ketamakan kotor dan kemunafikan terkutuk. Tersedak kopi dan minggatlah!
Havelaar ingin mengatakan bahwa orang Jawa diperlakukan dengan buruk. Jika mereka tidak percaya, ia akan menerjemahkan bukunya ke dalam beberapa bahasa yang dikuasainya dan ke dalam bahasa yang sedang dipelajari. Di semua ibu kota, ucapan semacam ini akan terdengar, “Ada segerombolan perampok di antara Jerman dan Sungai Scheldt!” Jika masih tidak berhasil akan dia terjemahkan bukunya ke dalam bahasa di Hindia sebab orang Jawa harus dibantu, secara hukum atau melalui jalan kekerasan jika perlu.
Akhirnya Multatuli mempersembahkan bukunya kepada Raja William Ketiga. KAISAR dari Kerajaan INSULINDE yang menakjubkan, yang melingkari khatulistiwa bak untaian zamrud! Dan bertanya kepadanya apakah memang kehendak KEKAISARAN-NYA bahwa orang-orang seperti Havelaar harus diciprati lumpur oleh orang-orang seperti Slijmering dan Droogstoppel; dan lebih dari tiga puluh juta RAKYAT nun jauh di sana harus diperlakukan dengan buruk dan mengalami pemerasan atas nama-Nya.
Penulis
Multatuli, nama sebenarnya Eduard Douwes Dekker. Amsterdam, 2 Maret 1820 tempat dan tanggal ia lahir. Tahun 1838 pergi ke Hindia Belanda (Indonesia). Bekerja untuk pemerintah Belanda di Jawa, Sumatra, Manado, dan Ambon sebagai asisten residen. Kawin pada 10 April 1846 di Cianjur dengan Everdina van Wijnbergen (Tine). Sekembali cuti dari Eropa diangkat menjadi asisten residen di Lebak (4 Januari 1856). Mengajukan berhenti karena pertikaian mengenai prinsip. Surat minta berhenti ditulisnya pada 29 Maret 1856. Tiga bulan sejak diambil sumpah 21 Januari atau delapan puluh empat hari sejak hari pertama di Lebak. Tahun-tahun terakhir ia tinggal di Jerman. Meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman pada tanggal 19 Februari 1887.
Karya-karya penting Multatuli: Max Havelaar (1860), Minnebrieven (1861), Ide-Ide: 7 Jilid (1862-1877) di dalamnya termuat Vortenschool dan Woutertje Pieterse, Duizend-en-eenige hoofdstukken over specialiteiten (1871), dan Milioenenstudien (1873).
Judul buku: Max Havelaar
Judul Asli: Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company
Penulis: Multatuli
Penerbit: Qanita, Bandung
Cetakan ke-II: Agustus 2014
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Tebal: 480 halaman
ISBN: 978-602-1637-45-6
Ledeng, 11 Februari 2015[]
Sumber: http://www.buruan.co/max-havelaar-sebuah-perkenalan/
0 komentar:
Post a Comment