Oleh
Ubaidilah Muchtar
Pada tanggal 4 Januari 1839 tiba di Batavia seorang
pemuda Belanda. Ia datang dengan kapal Dorothea. Setelah pelayaran yang menyita
waktu tiga belas minggu lebih. Kapal itu berangkat 23 September tahun
sebelumnya. Pemuda itu yang kemudian hari terkenal sebagai Multatuli, dia yang banyak menderita, alias Eduard
Douwes Dekker.
Ayahnya bernama Engel Dekker, nakhoda kapal. Sytske
Eeltjes Klein: Eduard, ibunya. Engel Dekker, agaknya seorang yang suka
berkelakar dan pandai berbicara. Seorang nakhoda yang tegap, yang cepat
membahasakan orang dengan “jongetje”, buyung. Ia biasanya tidak di rumah,
seperti lazimnya kapten kapal.
Sytske, pembawaannya agak gugup. Dia cepat tangan
ringan kaki, kata orang.
Multatuli lahir di sebuah rumah, di jalan sempit, di
Korsjespoortsteeg, di Amsterdam. Multatuli anak keempat atau sebenarnya anak
kelima. Saudaranya, Antje, lahir di tahun 1818 dan hanya hidup dua belas hari.
Saudara-saudara lainnya bernama Catharina (1809-1849), Pieter (1812-1861), dan
Jan (1818-1864). Sesudah Multatuli masih lahir seorang lagi di tahun 1832,
yaitu Willem. Multatuli sendiri lahir, 2 Maret 1820. Hari ini tepat usianya 194.
Multatuli dibesarkan dalam suatu keluarga yang
sederhana. Multatuli kecil banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang
gelisah dan ‘sukar’. Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988) mencatat, “ketika ia dimasukkan sekolah dasar orang
cemas dengan daya pikirnya, seperti yang sering terjadi pada anak-anak yang
terlalu cerdas”.
Orang tua Multatuli berharap ia menjadi pendeta.
Maka selepas Sekolah Dasar, ia masuk Sekolah Latin di Singel. Di bulan Maret
1832 ia menulis namanya dalam album sekolah: Eduard Douwes Dekker, nama
rangkap.
Tidak dijelaskan mengapa ia meninggalkan Sekolah
Latin setelah belajar dua atau tiga tahun. Ia mengatakan bahwa ia senang di
sekolah tersebut dan tidak terlalu bodoh untuk mengikuti pelajaran. Ia tidak
enggan melakukan olahraga untuk kaum laki-laki seperti meluncur di atas es dan
ia tidak segan-segan berkelahi. Ia selalu tampil membela yang lemah dan
terinjak-injak. Ia menolong menyelamatkan topi pet yang diterbangkan angin
milik seorang anak Yahudi yang tidak seorang pun mengacuhkannya. Ia bahkan
pernah ingin pergi ke Yunani untuk berjuang buat orang Yunani dalam perang
kemerdekaan mereka melawan Turki. Tapi perdamaian ditandatangani ketika ia
berusia dua belas tahun. Ia terlambat lahir!
Di usianya yang kedelapan belas, ia kemudian menjadi
pegawai kecil pada firma tekstil Van de Velde, di persil Singel 134. Ia minta
berhenti bekerja setelah tiga tahun bekerja. Kekasihnya yang pertama bernama
Louis. Dan itu sama sekali bukan kekasihnya yang terakhir.
Eduard sudah sejak dini secara impulsif bisa jatuh
kasihan kepada orang yang lemah dan orang cacat, bahwa ia berani melawan
ketidakadilan, bahwa hatinya mudah terbakar dan bahwa ia cenderung terlibat
dalam kesulitan-kesulitan keuangan.
Sebagai pemuda 18 tahun Multatuli bekerja pada
Pemerintah Belanda, yakni pada Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Ia cakap
untuk pekerjaannya. Di masa pertama ia menjadi amtenar (pegawai pemerintah) ini ia mengalami guncangan batin sebab
terputusnya hubungan dengan Caroline Versteegh. Penyebabnya karena dianggap
oleh orang tua si gadis calon suami yang kurang serius dan lamarannya ditolak.
Tahun 1842 Multatuli dipindahkan ke Sumatra Barat. Bulan
Juli 1842 Douwes Dekker ditempatkan sebagai kontelir di Natal, suatu jabatan
yang bukan saja meminta segala tenaga kerjanya, tapi yang juga buat pertama
kali membawanya berhadap-hadapan dengan penderitaan penduduk.
Drs. G. Termorshuizen dalam Pendahuluan novel Max
Havelaar (1973) mencatat: Menarik
perhatian reaksinya yang hampir spontan terhadap penderitaan penduduk itu,
berupa pendirian yang pada hakekatnya akan menentukan tindakannya dalam
‘perkara Lebak’ 13 tahun kemudian. Dalam suatu laporan tanggal 21 Maret 1843 ia
menulis: ‘Saya kira orang sedikit saja atau sama sekali tidak bekerja, baik di
kebun-kebun lada maupun di sawah-sawah, tapi saya kira pula (……) bahwa yang
menjadi sebabnya ialah tenaga yang patah oleh tiada bekerja (……). Haruslah
diberikan gambaran masa depan yang lebih menyenangkan bagi pekerja, harapan
masa depan yang lebih menggembirakan dan dalam hal ini baiklah dimulai dengan
memberinya makanan yang cukup.’
Natal adalah dukacerita yang pertama dalam hidup
Multatuli sebagai amtenar. Di bulan
Juli 1843 ia dipecat oleh jenderal Michiels, atasannya. Setelah di Natal, ia
perbantukan kepada residen Padang Hulu. Setelah dari Padang, berturut-turut ia
bertugas di Purwakarta, Karawang, Purworejo, Manado dan di musim gugur 1851 ia
menjadi asisten residen Ambon, tapi tidak lama karena sakit keras.
Sewaktu tinggal di Purworejo, dua tahun lebih ia di
sana, Eduard Douwes Dekker hidup dengan miskin tapi jujur. Rochussen, gubernur
jenderal mengunjunginya dan Dekker adalah satu-satunya pejabat yang tidak
menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk itu.
Atasannya, residen Bagelen, Von Schmidt auf
Altenstadt, menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakuan dan cara
hidupnya baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam
sikapnya.
Tanggal 10 April 1846 bagi Dekker adalah tanggal
kebahagian. Dekker menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen, yakni Tine—pahlawati—dalam
Max Havelaar. Dekker dan Everdine menikah
di Cianjur.
Pagi-pagi
jam sepuluh ada keramaian yang tidak lazim di jalan besar yang menghubungkan
daerah Pandeglang dengan Lebak.
Demikian kalimat pertama dalam Bab V novel Max Havelaar. Hari itu 21 Januari 1856.
Dekker tiba dengan keluarganya di Rangkasbitung, ibukota Lebak. Di hari itu
juga Dekker mengucapkan sumpah jabatan.
Dekker berjanji bahwa ia “akan melindungi penduduk Bumiputera terhadap
penindasan, penyiksaan, dan penganiayaan”. Dekker diangkat sebagai asisten
residen Lebak. Keesokan harinya, ia mengucapkan pidato yang ditujukan kepada
kepala-kepala Lebak. Lebak daerah miskin dan bahwa penduduknya dihisap oleh
bupati dan kepala-kepala (bawahan)nya.
Multatuli bertugas menjadi asisten residen di Lebak
selama tiga bulan dari 21 Januari 1856 sampai 29 Maret 1856. Atasannya, residen
Banten Brest van Kempen dan gubernur jenderal Duymaer van Twist. Gubernur
jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist memasuki sejarah sebagai ‘gubernur
jenderal yang dimaki-maki Multatuli.’ Karena itu ia sekaligus menjadi gubernur
jenderal paling masyhur yang pernah memerintah ‘Hindia Timur Belanda’.
Baiklah, pembaca, saya cukupkan sampai di sini saja
tentang Dekker! Tentang novel masyhur Max
Havelaar.
Selanjutnya saya ingin menuliskan manusia-manusia
Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan Multatuli, dengan Max Havelaar. Anda, tentu saja, saya
percaya telah membaca Max Havelaar!
Namun saya akan menceritakan Kartini, Pramoedya Ananta Toer, R.T.A. Sunarya,
H.B. Jassin, Y.B. Mangunwijaya, dan Asep Sambodja.
Baiklah, saya coba sampaikan satu demi satu!
Kartini memiliki kesamaan dengan Multatuli. Mereka
sama-sama menulis. Meski Kartini tidak menulis novel. Ia menulis surat-surat.
Kartini sadar bahwa penduduk Jawa dianiaya. Kartini telah melanjutkan apa yang
dirintis Multatuli. Kartini menyadari bahwa pangkal kesengsaraan yang membelit
bangsanya adalah kolonialisme. Kartini dengan gigih melawan kolonialisme.
Kartini mengetahui Max Havelaar. Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar. “Max Havelaar aku punya,” katanya, “karena aku sangat, sangat suka
pada Multatuli.” Demikian Pramoedya
Ananta Toer mencatat dalam Panggil Aku
Kartini Saja (2010).
Pembaca, kurang afdal jika menulis Multatuli tak
menyertakan Pramoedya Ananta Toer. Ya, Pram! Bagaimana hubungan Pram dengan
Multatuli. Orang Kiri dari Lereng Merapi pernah menuliskannya secara mendalam dalam
esai, “Denyar Max Havelaar di Bumi Manusia (Sebuah Percobaan Mengenal Dua Sosok: Multatuli dan Pramoedya)”.
Pramlah yang terus mendengung-dengungkan Multatuli. Dalam
esainya, Multatuli, Sebuah Kenangan. Pram
mengakui bahwa di masa awal tahun 1930-an ia mulai mengenal Multatuli. Pram
pertama-tama kaget mengetahui Multatuli sebagai orang Belanda. Akan tetapi
semakin lama semakin timbul penghormatannya.
Pram menulis, “Dari
bacaan itu dapat kusimpulkan: semua nasionalis barisan terdepan pernah
mempelajari, bukan sekadar membaca: Multatuli. Dia tonggak awal dalam sejarah
Indonesia yang menampilkan seseorang yang membela rakyat kecil dari kejahatan
cultuurstelsel klasik van de Bosch. Yang
memberikan keberanian, kelugasan, kecerahan, dan hidup mudanya pada perlawanan
terhadap kerakusan para pembesarnya sendiri, para pembesar sebangsa sendiri.
Yang memberitahukan, bahwa sampai Raja Belanda pun, dapat dihimbau, bahwa
kepala desa, kepala distrik sampai Gubernur Jenderal bukan pagar-pagar
kekuasaan yang tak tertembusi oleh daya tulisan dan daya cetak. Dia yang
mengajarkan bagaimana tumbuh, berkembang, lurus ke atas, dengan integritas
tetap utuh, tidak mondar-mandir dan berpusing dalam lingkaran setan.”
Pram menganggap bahwa Multatuli adalah penyadar.
Pram bahkan pernah mengusulkan untuk membangun patung Multatuli. Pram
beralasan:
“Saya
masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena
dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di
bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa
mereka dijajah.”
Multatuli banyak sekali jasanya bagi Indonesia.
Menurut Pram dalam Saya Ingin Lihat Semua
Ini Berakhir (2008) bahwa seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli,
tidak akan mengenal humanisme:
“Seorang
politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme,
humanitas secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa
menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena dia tidak kenal sejarah
Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusiaan, humanisme secara
modern, dan bisa menjadi kejam.”
Pram juga pernah menerjemahkan Max Havelaar, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di Bintang Timur. Namun sayangnya
terjemahan Pram atas Max Havelaar ini
belum dibukukan. Semoga dapat kita nikmati. Itulah Pram!
Multatuli pernah menulis dalam Max Havelaar bahwa jika orang tidak percaya padanya. Jika anggota
dewan tidak juga mau memperbaiki keadaan di tanah Jawa. Maka ia akan
menerjemahkan bukunya ke dalam berbagai bahasa.
“Maka
akan kuterjemahkan bukuku dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis,
Batak ……” (Max Havelaar,
hal. 348)
Dua orang di antara yang berhasil merealisasikan
kalimat Multatuli itu tak lain adalah R.T.A. Sunarya dan H.B. Jassin. Nama
pertama, R.T.A. Sunarya adalah penerjemah kisah Saijah dan Adinda yang terdapat dalam Max Havelaar ke dalam bahasa Sunda. Terjemahan R.T.A. Sunarya atas kisah
Saijah dan Adinda pertama kali terbit
tahun 1932 oleh Bale Pustaka.
Cetakan kedua Saija
terjemahan R.T.A. Sunarya ini dilakukan oleh Kiblat Buku Utama (Januari 2003).
Dalam Panganteur, R.T. A Sunarya
menulis:
“Wekasan
serat, ieu carita Saija ku simkuring henteu disalin saceplakna sakecap-sakecap,
tapi “disundakeun”. Nu dipambrih, sangkan leuwih sumerepna kana rasa Ki Sunda,
katuang, babakuna ku batur jenuk balarea di desa-desa.
Ku
sabab eta rea kecap jeung iketan nu dirobah, malah ngaran asal Saijah oge,
dicoret “h”na, sabab nu maeh kana eta aksara, ilahar ngaran awewe. Ngaran
Adinda diganti ku “Ina” nenehna tina “Adina” nu memper kana harti Adinda.
Tapi
mungguh jejerna, galur ieu carita, saeutik oge henteu nyimpang tina asal.”
Kita dapat membaca Max Havelaar dalam bahasa Indonesia adalah karena H. B. Jassin. Ya,
H.B. Jassin yang menerjemahkan Max
Havelaar. Diterbitkan pertama kali tahun 1972 oleh penerbit Djambatan
dengan judul: Max Havelaar atau Lelang
Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Cetakan pertama Max Havelaar diberi Kata
Pengantar oleh Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. kala itu.
Juga ada Sepatah Kata dari Duta Besar
Keradjaan Belanda, Hugo Scheltema. Penerbitan Max Havelaar ini merupakan bantuan subsidi pemerintah Belanda.
Sementara di cetakan kedua Max Havelaar (1973) dalam Kata
Pengantar tercatat:
“Cetakan
pertama buku Max Havelaar dalam bahasa Indonesia ini terbit pada bulan Juni 1972. Di luar dugaan
dalam beberapa bulan saja karya Multatuli ini habis terjual. Mungkin antaranya
karena pengarang tersebut mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia. Dan
karena edisi pertama itu disubsidi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, sehingga
harganya yang murah melancarkannya sampai ke kalangan pembaca yang lebih luas……
Dalam
pada itu penerjemahnya, H.B. Jassin dapat undangan untuk berkunjung ke negeri
Belanda kuranglebih setahun, telah dianugerahi Hadiah
Martinus Nijhoff untuk tahun 1973
yangdiberikan oleh Prins Bernhard Fonds
atas karya terjemahan Max Havelaar
ini.”
Djambatan menerbitkan Max Havelaar hingga cetakan kesembilan tahun 2005. Dengan edisi khusus
pelajar pada cetakan ketiga (1974).
Multatuli adalah salah satu faktor dalam pembentukan
para intelektual Indonesia. Salah satunya, Y.B. Mangunwijaya. Dalam Para Tokoh Angkat Bicara: Buku 3 (1996),
yang merupakan kumpulan wawancara. Y.B. Mangunwijaya dalam “Saya Tak Mau Jadi
Godfather” pewawancara Tuti Indra Malaon dan Drigo L.Tobing, ketika ditanyakan
siapa penulis favoritnya, ia menjawab:
“Kalau
novel, gimana ya? Pramoedya Ananta Toer. Tapi guru saya yang pertama sebetulnya
Multatuli. Max Havelaar.”
Saya yakin bahwa banyak penulis Indonesia membaca Max Havelaar. Salah satunya, Asep
Sambodja. Asep Sambodja meyakini bahwa banyak sastrawan yang terpengaruh oleh
Multatuli. Asep Sambodja dalam Historiografi
Sastra Indonesia 1960-an mencatat:
Multatuli
alias Eduard Douwes Dekker yang menulis buku Max Havelaar (1960) juga memengaruhi sastrawan
revolusioner Indonesia. “Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut
dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang
pemerintah,” tulis Multatuli.
Multatuli telah tiada. Namun karyanya tetap dibaca.
Seperti kehendaknya, “Ya, aku bakal
dibaca!”
Selamat ulang tahun, Max!***
Pondok
Petir, 1 Maret 2014
0 komentar:
Post a Comment