oleh: Ubaidilah Muchtar
Ini tentang empat tahun membaca “Max Havelaar”.
Sore hari. Matahari hampir hilang.
Pengeras suara dari atas rumah menyemburkan lagu-lagu. Ramai orang lalu lalang.
Mengantar beras dan kue-kue. Ibu-ibu sibuk di dapur. Pemuda di depan bangunan
dengan terpal biru sibuk mengisikan beras ke dalam karung. Memberikan tanda
pada tiap baskom. Pemuda yang lain mencatatnya di buku.
Ada keramaian di Ciseel sore itu.
Selasa, 23 Maret 2010.
Di tempat lain. Di rumah Kang Sarif,
Ketua RT yang rumahnya dijadikan Taman Baca Multatuli beberapa anak telah
berkumpul. Ada 17 anak yang tercatat dalam buku. Mereka menuliskan nama dan
kesan pertamanya. Juga membubuhkan tanda tangan di kolom yang tersedia. Inilah
pertemuan pertama kelompok baca novel Max
Havelaar.
Ketujuh belas peserta yang hadir di
sore Selasa itu merupakan murid SMPN Satu Atap 3 Sobang. Mereka anak-anak yang
tinggal di Kampung Ciseel. Kampung Ciseel merupakan bagian dari Desa Sobang.
Letaknya di kaki Gunung Halimun Salak yang kini menjadi bagian dari Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Tepatnya di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Peserta pertemuan pertama kelompok
baca Max Havelaar yaitu Rohanah, Anisah, Siti Nurhalimah, Pendi, Pepen,
Coni, Sumi, Pipih Suyati, Siti Alfiah, Nurdiyanta, Mano Hidayat, Aliyudin,
Sujatna, Sanadi, Fahruroji, Dedi Kala, dan Maman Suparman.
Sejak sore Selasa itu
pertemuan demi pertemuan dilakukan. Hingga pada tanggal 21 Februari 2011
pembacaan novel Max Havelaar untuk
pertama kalinya tamat. Tamat setelah 37 pertemuan. Pembacaan Max Havelaar pertama kali berlangsung
selama 11 bulan.
Pembacaan Max Havelaar untuk kedua kalinya pun
dilakukan. Selasa tanggal 31 Mei 2011 mengawali. Tercatat ada 21 peserta yang
ikut dipetemuan pertama pembacaan kedua ini. Mereka itu adalah Nuraenun,
Sujana, Radi, Irman, Oom, Unang, Rukanah, Sadah, Suarsih, Suha, Elah Hayati,
Sangsang, Asep, Ano Sumarna, Yani, Sanadi, Sujatna, Mariah, Rohanah,
Nurdiyanta, dan Aliyudin.
Novel Max Havelaar setebal 396 halaman ini
ditamatkan untuk kedua kalinya pada pertemuan ke-78. Pertemuan terakhir ini
berlangsung pada tanggal 21 Agustus 2013. Selama 2 tahun 3 bulan Max Havelaar dibaca untuk kedua kalinya.
Saat catatan ini ditulis
pembacaan Max Havelaar untuk ketiga
kalinya sudah memasuki pertemuan ke-19. Sejak pertama dimulai, ini pertemuan
ke-134 kali. Pembacaan ketiga novel Max
Havelaar dimulai pada 11 September 2013. Pertemuan pertama pembacaan ketiga
dilaksanakan di tepian Sungai Ciminyak dengan peserta lebih dari 50 orang.
Sementara yang mencatatkan namanya di pertemuan perdana ada 35 orang. Mereka
yang ikut membaca Max Havelaar kini tidak
hanya anak-anak dari Kampung Ciseel. Mereka juga datang dari Kampung Babakan
Aceh, Cigaclung, Cireundeu, Ciparahu, dan Cikadu. Mereka mencatatkan namanya di
buku merah.
Buku Merah
Orang kiri dari Kendal yang lama
tinggal di Swiss menulis dalam bukunya Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia: Jilid 2 tentang buku kecil itu. Ia menulis tentang
buku saku berwarna merah. Buku tersebut dilihatnya saat berkunjung ke China
selama dua minggu. Terhitung sejak tanggal 21 September sampai 5 Oktober 2006.
Buku saku berwarna merah tersebut
semacam buku panduan dari Mao untuk rakyat China. Buku tersebut berjudul: Quotations From Chairman Mao Tse-Tung.
Buku tersebut ditulis dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Setidaknya
terdapat 31 foto Mao menghiasi bagian dalam buku mini tebal berwarna merah
tersebut. Tebal buku kecil merah itu 590 halaman dan memuat 33 Bab, yang berisi
nilai-nilai kepemimpinan politik Mao.
“Ketika
kedua patung sudah kubungkus, aku masih penasaran dan melirik sebuah buku saku
berwarna merah. Pertanyaan segera memenuhi benakku, kitab apakah yang berwarna
merah itu, sehingga sampai di pelosok desa bisa ditemukan? Ketika buku yang
kuanggap kitab semacam kitab suci itu kuraih, segera kuketahui ternyata buku
itu semacam buku panduan dari Mao untuk rakyat China. Aku membeli sebuah dan
lebih jauh kuperiksa isinya tertulis: Quotations From Chairman Mao Tse-Tung.
Buku mini tebal berwarna merah itu dilengkapi sebuah foto Mao di sampul plastik
depan. Buku itu ditulis dalam dua bahasa, mandarin dan Inggris. Halaman awal
bersebelahan dengan foto Mao yang besar tertulis: Workers off all countries,
unite! Foto-foto Mao dalam berbagai pose
dan kegiatan, ikut menyertai di dalam buku tersebut. Belakangan hingga
perjalanan kami sampai di Beijing, ternyata memang buku merah tentang Maoisme
itu cukup popular dan bisa ditemukan di banyak tempat. Aku mengukir Tanya,
begitukah cara Mao menyebarkan ajarannya?” (Menyusuri Lorong-Lorong Dunia:
Jilid 2, hlm. 310)
Buku merah tentang Maoisme ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Oncor
tahun 2010. Buku dengan sampul putih tersebut berjudul: The Little Red Book: Leadership Secrets of Mao Tse-Tung.
Buku kecil Kutipan Ketua Mao tersebut dibuat pada tahun 1964 melalui
penggabungan pidato dan tulisan Mao. Dibuat oleh Departemen Politik Umum dari
Tentara Pembebasan Rakyat China berdasarkan perintah Lin Biao. Buku yang
berisikan 426 paragraf tersebut disusun berdasarkan topik mulai dari perjuangan
partai dan kelas, peperangan dan tentara, hingga metode berpikir, pengembangan
ideologi secara pribadi, kritik dan otokritik, dan tentang pemuda serta
perempuan.
Buku
Merah Kecil ini telah disebarluaskan ke seluruh
China lebih dari 5 miliar eksemplar. Hal tersebut berlangsung sejak permulaan
Revolusi Budaya pada tahun 1966. Buku
Merah Kecil ini termasuk salah satu dari 50 lebih buku yang paling
berpengaruh dalam sejarah manusia yang disusun Andrew Taylor. Buku yang
dimaksud yaitu: Buku-Buku yang mengubah
Dunia (2011). Buku terbitan Erlangga
tersebut menempatkan Buku Merah Kecil
atau Kitab Merah Kecil ini di posisi
ke-48.
Pembaca, maaf saya, saya tidak
bermaksud menghentikan keasyikan pembaca. Namun yang saya maksud buku merah
yaitu buku kesan dan pesan peserta reading
group Max Havelaar. Ya, buku merah yang itu!
Mari, kita mulai!
Buku merah itu kini tiga jumlahnya.
Memuat sekian banyak kesan dan pesan dari peserta pembaca Max Havelaar secara berjamaah di Taman Baca Multatuli. Sejak awal
dimulai hingga catatan ini dituliskan. Namun saya akan membatasi pada kesan dan
pesan peserta dari kawan-kawan yang datang bukan dari Ciseel. Kesan dan pesan
para peserta dari luar. Ya, ini juga yang sempat saya janjikan di catatan
sebelumnya. Catatan tentang empat tahun Taman Baca Multatuli. Melalui catatan
ini saya berusaha melunasi janji.
Baca
Pertama
Saya akan memulainya dari pembacaan Max Havelaar pertama kali. Tanggal 7 Mei
2010 merupakan pertemuan ke-7 pembacaan Max
Havelaar untuk pertama kali. Sore itu hari Jumat. Ya, Jumat sore kami
kedatangan tamu. Mas Sigit Susanto tamu tersebut. Ia penulis buku perjalanan.
Sayangnya ia tak sempat menuliskan kesan dan pesan di buku merah. Namun namanya
tertera di sana.
Di pembacaan pertama ini juga ada
dua orang peserta dari luar Ciseel yang ikut serta membaca Max Havelaar. Siapa
dia. Mereka yaitu Suryo Wibowo dan Pram. Mereka datang di pertemuan ke-12
tanggal 8 Juni 2010. Hari Selasa. Ini kesan mereka, “Teman-teman teruskan membaca
Max Havelaar! Teruskan semangat kalian!” dan “Kalian semua: HEBAT!!! Banyak
baca & menulis, ya…” Suryo merupakan juru foto dan Pram pewarta. Mereka
dari Tempo majalah.
Baca
Kedua
Pembacaan Max Havelaar kali kedua dimulai tanggal 31 Mei 2011. Pada pertemuan
kedua, Selasa, 7 Juni 2011 tiga orang tamu ikut serta. Satu dari Jakarta dan pasangan
suami istri dari Italia. Mas Wid Widodo dari DAAI TV yang pertama. Carlo Laurenti
serta Maria Eleonora Catureali orang kedua dan ketiga.
Mas Wid Widodo sayangnya tak sempat
mengisi buku merah. Sore itu selepas ikut membaca Max Havelaar ia kembali ke Jakarta. Sementara Carlo dan Maria
tinggal empat hari di Ciseel. Berikut kesan Carlo di buku merah, ia mencatat.
“A
most unespected boomerang of my homage to Multatuli in Italian Cultural
Institute last week. Now I understand in a new light the mind of Multatuli! It
is home the most hidden place that one can look at Europe with different eyes.”
Carlo Laurenti merupakan penerjemah
puisi-puisi Lu Xun (188?/1936). Hampir 15 tahun lamanya ia menggeluti
puisi-puisi Lu Xun. Selain menerjemahkan puisi Lu Xun. Carlo juga membuat
beberapa film dokumenter tentang China dan sastrawan dunia.
Sementara itu Maria Eleonora
menuliskan kesannya di buku merah seperti berikut:
“I
have come in a far away village, green hills and mountains and paddy fields. I
have been roudied by an unfrebeing recital on “MAX HAVELAAR” by Multatuli.
Children, boys and girls listening and participating in a still a now always
actual story.”
Di bulan Juli pada pertemuan
keempat, Selasa, 12 Juli 2011 ada tiga kawan dari DAAI TV yang ikut membaca Max
Havelaar. Vince Rumintang, Bannu Maulana, dan Prayitno. Mereka membuat
liputan untuk program Meniti Harapan:
Menyerap Semangat Multatuli. Berikut kesan ketiganya.
“Pertama
kali menginjakan kaki di Multatuli cuma kaget, ternyata jaraknya jauh dan susah
ditempuh. Hanya untuk melihat taman baca di pemukiman warga. Eh… pas liat
anak-anak semangat baca, dan tahu tentang Multatuli seneng banget. Malah malu,
karena saya tidak tahu banyak soal Multatuli. Teman-teman di Taman Baca
Multatuli terus tingkatkan minat bacanya! I Love U all… mmmuah…”
“Keep
your spirit an dedication to increase their knowledge. One day they gonna be
better then they are now … and it come from you…”
“Buku
Max Havelaar wajib dibaca masyarakat Indonesia karena isinya inspiratif dan
bisa membangkitkan nasionalisme yang tinggi. Untuk lebih cinta pada negara dan
bangsa Indonesia.”
Masih di Juli juga hadir Mbak Nima
Sirait dan Mas Sapto Agus. Mereka berdua juga dari DAAI TV. Mereka sedang membuat film dokumenter Rumah Multatuli untuk program Refleksi.
Mbak Nima menulis di buku merah.
“Teman-teman
Taman Baca Multatuli, kalian sangat beruntung sudah mengenal, membaca, dan
mendalami karya sastra sekelas Multatuli di usia yang sangat muda. Manfaatkan
fasilitas taman baca ini sebaik-baiknya dengan membaca banyak buku. Buku akan
membawa kalian ke tempat mana saja di dunia, menjadikan kalian apa saja yang
kalian cita-citakan. Semangat selalu ya…”
Sementara Mas Sapto Agus menulis.
“Sangat
mengagumkan melihat semangat kalian. Galilah terus ilmu dari buku yang kalian
baca. Kalian boleh berada di tempat yang jauh dan terpencil tapi pikiran kalian
akan sanggup keluar dari keterpencilan ini dengan membaca.”
Pertemuan ke-30 pembacaan kedua Max Havelaar juga ada beberapa kawan kru
Kick Andy Hope dari Metro TV.
Pertemuan ke-30 dilaksanakan pada 10 Maret 2012. Di buku merah terdapat
nama-nama: Budiyanto, Sriyanto, Hermawan Prasetyo, Bambang Rakhmanto, Aisy
Ilfiyah, Bronto, Kumala Dewi, dan Andika Maryanto. Mereka berkunjung ke Ciseel
dari tanggal 9 hingga 12 Maret 2013.
Berikut kesan yang terulis di buku
merah:
“Melihat
anak-anak antusias melakukan RG Max Havelaar di pinggir kali, sangat menyenangkan.”
“Hmmm
diajak shooting ke lokasi-lokasi yang mengagumkan + medan yang begitu luar biasa.”
“Hidup
sastra and Jas Merah!”
“Saya
kalah saing dengan anak-anak Kp. Ciseel, mereka tahu cerita Max Havelaar, saya
tidak…”
“Medan
RG luar biasa… tapi semangattt….”
“Amazing!”
“Gokillah,
pokoknya! Keep reading guys!”
Baca
Ketiga
Pembacaan ketiga kali novel Max Havelaar berlangsung pada Rabu
tanggal 11 September 2013. Pertemuan pertama pembacaan ketiga ini diikuti pula
oleh empat kru dari Bali TV. Salah
satunya Mas Juli. Mas Juli dan kawan-kawan sedang membuat dokumenter untuk
program Sebuah Pengabdian yang
ditayangkan di Bali TV dan Bandung TV. Dokumenter yang mereka buat
berjudul; Asa di Kampung Ciseel. Mereka
tinggal dari tanggal 10 hingga 13 September 2013. Berikut salah satu kesan yang
mereka tuliskan di buku merah.
“Reading book ‘Max Havelaar’ ini sangat luar biasa dalam arti mampu membantu dan menambah wawasan
masyarakat Kampung Ciseel. Dengan kondisi kampung yang terisolir dan kurangnya
sarana infrastruktur namun dengan adanya reading book ‘Max Havelaar’ ini setidaknya mampu mengobati hasrat
masyarakat khususnya anak-anak dalam hal membaca.”
Pada pertemuan keempat tanggal 7
Oktober 2013 juga datang peserta dari Metro
TV mereka sedang membuat liputan untuk program Wideshoot. Selama dua hari mereka mengikuti kegiatan di Taman Baca
Multatuli. Saya mohon maaf sebab kesan mereka di buku merah tidak ditemukan.
Namun Rukanah sempat menuliskan kesannya seperti berikut.
“Teman-teman
hari ini hari Senin. Kita kedatangan tamu 3 orang. Tamu yang gendut itu namanya
Kak Ari. Dua temannya lagi aku lupa (Mas Albar dan Pak Malik--saya). Oh, ya,
terima kasih Kak sudah datang ke Taman Baca Multatuli. Kami sangat senang atas
kedatangan Kakak ke Ciseel, kampung kami.”
Selasa, 11 Maret 2014 pertemuan
ke-18 ikut membaca Max Havelaar:
Wilma van Der Maten. Wilma koresponden dari Radio VPRO Nederland. Sore itu ia
duduk bersama membaca Max Havelaar
Bab 5. Wilma memberikan kesannya seperti berikut:
“Had
a great trip. I will come back. Lebak is so beautiful especially your village.
I can imagine your more happy there then in Jakarta. Hope we meet soon again
also my best wishes to the Multatuli children. Salam!”
Pada akhirnya: membaca novel Max Havelaar hanyalah satu jalan dari
banyak jalan mengenalkan sastra. Satu upaya kecil menghidupkan ingatan melalui
bacaan. Dan buku merah mencatatnya.
Bernapas panjanglah kau, bernapas
panjanglah kelompok baca Max Havelaar!***
Ciseel, 25 Maret 2014
0 komentar:
Post a Comment