728x90 AdSpace

  • Latest News

    29 March 2014

    Buku Merah


    oleh: Ubaidilah Muchtar

    Ini tentang empat tahun membaca “Max Havelaar”.

    Sore hari. Matahari hampir hilang. Pengeras suara dari atas rumah menyemburkan lagu-lagu. Ramai orang lalu lalang. Mengantar beras dan kue-kue. Ibu-ibu sibuk di dapur. Pemuda di depan bangunan dengan terpal biru sibuk mengisikan beras ke dalam karung. Memberikan tanda pada tiap baskom. Pemuda yang lain mencatatnya di buku.

    Ada keramaian di Ciseel sore itu. Selasa, 23 Maret 2010.

    Di tempat lain. Di rumah Kang Sarif, Ketua RT yang rumahnya dijadikan Taman Baca Multatuli beberapa anak telah berkumpul. Ada 17 anak yang tercatat dalam buku. Mereka menuliskan nama dan kesan pertamanya. Juga membubuhkan tanda tangan di kolom yang tersedia. Inilah pertemuan pertama kelompok baca novel Max Havelaar.

    Ketujuh belas peserta yang hadir di sore Selasa itu merupakan murid SMPN Satu Atap 3 Sobang. Mereka anak-anak yang tinggal di Kampung Ciseel. Kampung Ciseel merupakan bagian dari Desa Sobang. Letaknya di kaki Gunung Halimun Salak yang kini menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tepatnya di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

    Peserta pertemuan pertama kelompok baca Max Havelaar yaitu Rohanah, Anisah, Siti Nurhalimah, Pendi, Pepen, Coni, Sumi, Pipih Suyati, Siti Alfiah, Nurdiyanta, Mano Hidayat, Aliyudin, Sujatna, Sanadi, Fahruroji, Dedi Kala, dan Maman Suparman.

    Sejak sore Selasa itu pertemuan demi pertemuan dilakukan. Hingga pada tanggal 21 Februari 2011 pembacaan novel Max Havelaar untuk pertama kalinya tamat. Tamat setelah 37 pertemuan. Pembacaan Max Havelaar pertama kali berlangsung selama 11 bulan.

    Pembacaan Max Havelaar untuk kedua kalinya pun dilakukan. Selasa tanggal 31 Mei 2011 mengawali. Tercatat ada 21 peserta yang ikut dipetemuan pertama pembacaan kedua ini. Mereka itu adalah Nuraenun, Sujana, Radi, Irman, Oom, Unang, Rukanah, Sadah, Suarsih, Suha, Elah Hayati, Sangsang, Asep, Ano Sumarna, Yani, Sanadi, Sujatna, Mariah, Rohanah, Nurdiyanta, dan Aliyudin.

    Novel Max Havelaar setebal 396 halaman ini ditamatkan untuk kedua kalinya pada pertemuan ke-78. Pertemuan terakhir ini berlangsung pada tanggal 21 Agustus 2013. Selama 2 tahun 3 bulan Max Havelaar dibaca untuk kedua kalinya.

    Saat catatan ini ditulis pembacaan Max Havelaar untuk ketiga kalinya sudah memasuki pertemuan ke-19. Sejak pertama dimulai, ini pertemuan ke-134 kali. Pembacaan ketiga novel Max Havelaar dimulai pada 11 September 2013. Pertemuan pertama pembacaan ketiga dilaksanakan di tepian Sungai Ciminyak dengan peserta lebih dari 50 orang. Sementara yang mencatatkan namanya di pertemuan perdana ada 35 orang. Mereka yang ikut membaca Max Havelaar kini tidak hanya anak-anak dari Kampung Ciseel. Mereka juga datang dari Kampung Babakan Aceh, Cigaclung, Cireundeu, Ciparahu, dan Cikadu. Mereka mencatatkan namanya di buku merah.

    Buku Merah

    Orang kiri dari Kendal yang lama tinggal di Swiss menulis dalam bukunya Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Jilid 2 tentang buku kecil itu. Ia menulis tentang buku saku berwarna merah. Buku tersebut dilihatnya saat berkunjung ke China selama dua minggu. Terhitung sejak tanggal 21 September sampai 5 Oktober 2006.

    Buku saku berwarna merah tersebut semacam buku panduan dari Mao untuk rakyat China. Buku tersebut berjudul: Quotations From Chairman Mao Tse-Tung. Buku tersebut ditulis dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Setidaknya terdapat 31 foto Mao menghiasi bagian dalam buku mini tebal berwarna merah tersebut. Tebal buku kecil merah itu 590 halaman dan memuat 33 Bab, yang berisi nilai-nilai kepemimpinan politik Mao.

    “Ketika kedua patung sudah kubungkus, aku masih penasaran dan melirik sebuah buku saku berwarna merah. Pertanyaan segera memenuhi benakku, kitab apakah yang berwarna merah itu, sehingga sampai di pelosok desa bisa ditemukan? Ketika buku yang kuanggap kitab semacam kitab suci itu kuraih, segera kuketahui ternyata buku itu semacam buku panduan dari Mao untuk rakyat China. Aku membeli sebuah dan lebih jauh kuperiksa isinya tertulis: Quotations From Chairman Mao Tse-Tung. Buku mini tebal berwarna merah itu dilengkapi sebuah foto Mao di sampul plastik depan. Buku itu ditulis dalam dua bahasa, mandarin dan Inggris. Halaman awal bersebelahan dengan foto Mao yang besar tertulis: Workers off all countries, unite! Foto-foto  Mao dalam berbagai pose dan kegiatan, ikut menyertai di dalam buku tersebut. Belakangan hingga perjalanan kami sampai di Beijing, ternyata memang buku merah tentang Maoisme itu cukup popular dan bisa ditemukan di banyak tempat. Aku mengukir Tanya, begitukah cara Mao menyebarkan ajarannya?” (Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Jilid 2, hlm. 310) 

    Buku merah tentang Maoisme ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Oncor tahun 2010. Buku dengan sampul putih tersebut berjudul: The Little Red Book: Leadership Secrets of Mao Tse-Tung.

    Buku kecil Kutipan Ketua Mao tersebut dibuat pada tahun 1964 melalui penggabungan pidato dan tulisan Mao. Dibuat oleh Departemen Politik Umum dari Tentara Pembebasan Rakyat China berdasarkan perintah Lin Biao. Buku yang berisikan 426 paragraf tersebut disusun berdasarkan topik mulai dari perjuangan partai dan kelas, peperangan dan tentara, hingga metode berpikir, pengembangan ideologi secara pribadi, kritik dan otokritik, dan tentang pemuda serta perempuan.

    Buku Merah Kecil ini telah disebarluaskan ke seluruh China lebih dari 5 miliar eksemplar. Hal tersebut berlangsung sejak permulaan Revolusi Budaya pada tahun 1966. Buku Merah Kecil ini termasuk salah satu dari 50 lebih buku yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia yang disusun Andrew Taylor. Buku yang dimaksud yaitu: Buku-Buku yang mengubah Dunia (2011). Buku terbitan Erlangga tersebut menempatkan Buku Merah Kecil atau Kitab Merah Kecil ini di posisi ke-48.

    Pembaca, maaf saya, saya tidak bermaksud menghentikan keasyikan pembaca. Namun yang saya maksud buku merah yaitu buku kesan dan pesan peserta reading group Max Havelaar. Ya, buku merah yang itu!

    Mari, kita mulai!

    Buku merah itu kini tiga jumlahnya. Memuat sekian banyak kesan dan pesan dari peserta pembaca Max Havelaar secara berjamaah di Taman Baca Multatuli. Sejak awal dimulai hingga catatan ini dituliskan. Namun saya akan membatasi pada kesan dan pesan peserta dari kawan-kawan yang datang bukan dari Ciseel. Kesan dan pesan para peserta dari luar. Ya, ini juga yang sempat saya janjikan di catatan sebelumnya. Catatan tentang empat tahun Taman Baca Multatuli. Melalui catatan ini saya berusaha melunasi janji.

    Baca Pertama

    Saya akan memulainya dari pembacaan Max Havelaar pertama kali. Tanggal 7 Mei 2010 merupakan pertemuan ke-7 pembacaan Max Havelaar untuk pertama kali. Sore itu hari Jumat. Ya, Jumat sore kami kedatangan tamu. Mas Sigit Susanto tamu tersebut. Ia penulis buku perjalanan. Sayangnya ia tak sempat menuliskan kesan dan pesan di buku merah. Namun namanya tertera di sana.

    Di pembacaan pertama ini juga ada dua orang peserta dari luar Ciseel yang ikut serta membaca Max Havelaar. Siapa dia. Mereka yaitu Suryo Wibowo dan Pram. Mereka datang di pertemuan ke-12 tanggal 8 Juni 2010. Hari Selasa. Ini kesan mereka, “Teman-teman teruskan membaca Max Havelaar! Teruskan semangat kalian!” dan “Kalian semua: HEBAT!!! Banyak baca & menulis, ya…” Suryo merupakan juru foto dan Pram pewarta. Mereka dari Tempo majalah.

    Baca Kedua

    Pembacaan Max Havelaar kali kedua dimulai tanggal 31 Mei 2011. Pada pertemuan kedua, Selasa, 7 Juni 2011 tiga orang tamu ikut serta. Satu dari Jakarta dan pasangan suami istri dari Italia. Mas Wid Widodo  dari DAAI TV yang pertama. Carlo Laurenti serta Maria Eleonora Catureali orang kedua dan ketiga.

    Mas Wid Widodo sayangnya tak sempat mengisi buku merah. Sore itu selepas ikut membaca Max Havelaar ia kembali ke Jakarta. Sementara Carlo dan Maria tinggal empat hari di Ciseel. Berikut kesan Carlo di buku merah, ia mencatat.

    “A most unespected boomerang of my homage to Multatuli in Italian Cultural Institute last week. Now I understand in a new light the mind of Multatuli! It is home the most hidden place that one can look at Europe with different eyes.”

    Carlo Laurenti merupakan penerjemah puisi-puisi Lu Xun (188?/1936). Hampir 15 tahun lamanya ia menggeluti puisi-puisi Lu Xun. Selain menerjemahkan puisi Lu Xun. Carlo juga membuat beberapa film dokumenter tentang China dan sastrawan dunia.

    Sementara itu Maria Eleonora menuliskan kesannya di buku merah seperti berikut:

    “I have come in a far away village, green hills and mountains and paddy fields. I have been roudied by an unfrebeing recital on “MAX HAVELAAR” by Multatuli. Children, boys and girls listening and participating in a still a now always actual story.”

    Di bulan Juli pada pertemuan keempat, Selasa, 12 Juli 2011 ada tiga kawan dari DAAI TV yang ikut membaca Max Havelaar. Vince Rumintang, Bannu Maulana, dan Prayitno. Mereka membuat liputan untuk program Meniti Harapan: Menyerap Semangat Multatuli. Berikut kesan ketiganya.

    “Pertama kali menginjakan kaki di Multatuli cuma kaget, ternyata jaraknya jauh dan susah ditempuh. Hanya untuk melihat taman baca di pemukiman warga. Eh… pas liat anak-anak semangat baca, dan tahu tentang Multatuli seneng banget. Malah malu, karena saya tidak tahu banyak soal Multatuli. Teman-teman di Taman Baca Multatuli terus tingkatkan minat bacanya! I Love U all… mmmuah…”

    “Keep your spirit an dedication to increase their knowledge. One day they gonna be better then they are now … and it come from you…”

    “Buku Max Havelaar wajib dibaca masyarakat Indonesia karena isinya inspiratif dan bisa membangkitkan nasionalisme yang tinggi. Untuk lebih cinta pada negara dan bangsa Indonesia.”

    Masih di Juli juga hadir Mbak Nima Sirait dan Mas Sapto Agus. Mereka berdua juga dari DAAI TV. Mereka sedang membuat film dokumenter Rumah Multatuli untuk program Refleksi. Mbak Nima menulis di buku merah.

    “Teman-teman Taman Baca Multatuli, kalian sangat beruntung sudah mengenal, membaca, dan mendalami karya sastra sekelas Multatuli di usia yang sangat muda. Manfaatkan fasilitas taman baca ini sebaik-baiknya dengan membaca banyak buku. Buku akan membawa kalian ke tempat mana saja di dunia, menjadikan kalian apa saja yang kalian cita-citakan. Semangat selalu ya…”

    Sementara Mas Sapto Agus menulis.

    “Sangat mengagumkan melihat semangat kalian. Galilah terus ilmu dari buku yang kalian baca. Kalian boleh berada di tempat yang jauh dan terpencil tapi pikiran kalian akan sanggup keluar dari keterpencilan ini dengan membaca.”

    Pertemuan ke-30 pembacaan kedua Max Havelaar juga ada beberapa kawan kru Kick Andy Hope dari Metro TV. Pertemuan ke-30 dilaksanakan pada 10 Maret 2012. Di buku merah terdapat nama-nama: Budiyanto, Sriyanto, Hermawan Prasetyo, Bambang Rakhmanto, Aisy Ilfiyah, Bronto, Kumala Dewi, dan Andika Maryanto. Mereka berkunjung ke Ciseel dari tanggal 9 hingga 12 Maret 2013.

    Berikut kesan yang terulis di buku merah:

    “Melihat anak-anak antusias melakukan RG Max Havelaar di pinggir kali, sangat menyenangkan.”

    “Hmmm diajak shooting ke lokasi-lokasi yang mengagumkan + medan yang begitu luar biasa.”

    “Hidup sastra and Jas Merah!”

    “Saya kalah saing dengan anak-anak Kp. Ciseel, mereka tahu cerita Max Havelaar, saya tidak…”

    “Medan RG luar biasa… tapi semangattt….”

    “Amazing!”

    “Gokillah, pokoknya! Keep reading guys!

    Baca Ketiga

    Pembacaan ketiga kali novel Max Havelaar berlangsung pada Rabu tanggal 11 September 2013. Pertemuan pertama pembacaan ketiga ini diikuti pula oleh empat kru dari Bali TV. Salah satunya Mas Juli. Mas Juli dan kawan-kawan sedang membuat dokumenter untuk program Sebuah Pengabdian yang ditayangkan di Bali TV dan Bandung TV. Dokumenter yang mereka buat berjudul; Asa di Kampung Ciseel. Mereka tinggal dari tanggal 10 hingga 13 September 2013. Berikut salah satu kesan yang mereka tuliskan di buku merah.

    Reading book ‘Max Havelaar’ ini sangat luar biasa dalam arti mampu membantu dan menambah wawasan masyarakat Kampung Ciseel. Dengan kondisi kampung yang terisolir dan kurangnya sarana infrastruktur namun dengan adanya reading book ‘Max Havelaar’ ini setidaknya mampu mengobati hasrat masyarakat khususnya anak-anak dalam hal membaca.”

    Pada pertemuan keempat tanggal 7 Oktober 2013 juga datang peserta dari Metro TV mereka sedang membuat liputan untuk program Wideshoot. Selama dua hari mereka mengikuti kegiatan di Taman Baca Multatuli. Saya mohon maaf sebab kesan mereka di buku merah tidak ditemukan. Namun Rukanah sempat menuliskan kesannya seperti berikut.

    “Teman-teman hari ini hari Senin. Kita kedatangan tamu 3 orang. Tamu yang gendut itu namanya Kak Ari. Dua temannya lagi aku lupa (Mas Albar dan Pak Malik--saya). Oh, ya, terima kasih Kak sudah datang ke Taman Baca Multatuli. Kami sangat senang atas kedatangan Kakak ke Ciseel, kampung kami.”

    Selasa, 11 Maret 2014 pertemuan ke-18 ikut membaca Max Havelaar: Wilma van Der Maten. Wilma koresponden dari Radio VPRO Nederland. Sore itu ia duduk bersama membaca Max Havelaar Bab 5. Wilma memberikan kesannya seperti berikut:

    “Had a great trip. I will come back. Lebak is so beautiful especially your village. I can imagine your more happy there then in Jakarta. Hope we meet soon again also my best wishes to the Multatuli children. Salam!

    Pada akhirnya: membaca novel Max Havelaar hanyalah satu jalan dari banyak jalan mengenalkan sastra. Satu upaya kecil menghidupkan ingatan melalui bacaan. Dan buku merah mencatatnya.

    Bernapas panjanglah kau, bernapas panjanglah kelompok baca Max Havelaar!***

    Ciseel, 25 Maret 2014
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Buku Merah Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top