Oleh Ubaidilah Muchtar
127 tahun yang lalu ia
meninggal. Sebenarnya belum begitu tua, dan cukup sehat, kecuali bahwa ia punya
asma, dan levernya sudah sakit sejak di negeri Hindia, hingga warna mukanya
kekuning-kuningan. Keadaannya adalah seperti seekor burung kenari.
19 Februari 1887
Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman. Di sebuah rumah yang dibeli
oleh pengagum-pengagumnya. Ia meninggal dalam posisi duduk di kursi. Dua bulan
sebelumnya, tepat 11 Desember 1886, ia berucap, “Asmaku sangat mengganggu.
Tidak selalu sama terus, tapi, kadang-kadang aku seperti mau berhenti bernafas.”
Tidak lama sesudah
Multatuli meninggal, diketahui ia meninggalkan utang. Ada utang 120 Mark pada
petani kol, 100 Mark pada beberapa toko buku, 140 Mark pada tukang daging, dan
seterusnya, dan seterusnya. Inilah akhir hidup novelis masyhur kelahiran
Amsterdam, 2 Maret 1820 si “aku yang banyak menderita”.
Dalam suratnya yang
terakhir (17 Agustus 1886) kepada sahabat lamanya Marie Anderson ia menulis:
“Terus terang: aku tidak bisa hidup,
artinya dalam hal keuangan. Bahwa kami hidup dalam rumah yang relatif bagus,
lebih merepotkan daripada sepenuhnya. Disebabkan karena berbagai hal yang
kebetulan aku sebetulnya tidak bisa tinggal di sini, namun aku tidak bisa
pergi. Bagaimana nasib M. kalau aku mati, hal yang segera akan terjadi, aku
kira, aku tidak tahu! Singkatnya, kami sering sangat tertekan. Ini membuat
getir tahun-tahunku atau … bulan-bulanku yang terakhir.”
Multatuli, seorang
pendahulu, adalah juga orang Belanda pertama yang dikremasi, di Gotha. Hanya
beberapa orang Belanda yang hadir, di antaranya: Mimi dan saudaranya laki-laki,
sahabatnya Braunius Oeberius dan istri, dan dua orang muda yang tidak dikenal
dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.
Abunya mula-mula
disimpan oleh Mimi, kemudian bertahun-tahun disimpan di perpustakaan
Universitas di Amsterdam. Tahun 1948 didirikan sebuah monumen di pemakaman
Westerveld, kotak kaleng berisi abu Mimi dan Multatuli, dikuburkan dengan
khidmat di situ. Monumen tersebut direncanakan oleh A.H. Wegerif. Diresmikan 6
Maret 1948.
Di monumen tersebut
tertulis ucapan Multatuli yang indah bunyinya: “Panggilan nurani manusia ialah
untuk menjadi manusia.”
Multatuli alias Eduard
Douwes Dekker, si pemikir revolusioner, penyair, satirikus, kritikus, moralis,
dan pembaharu adalah penulis terbesar, “satu-satunya pengarang Belanda yang lebih
dari seratus tahun tetap menarik perhatian.” Demikian Willem Frederik Hermans
mencatat.
Pengaruhnya juga
tertinggal di Indonesia, utamanya pada pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan
dan kemerdekaan.
Mashuri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, masa itu, dalam kata pengantar Max Havelaar edisi pertama, 1972 (terj. H.B. Jassin) mencatat bahwa
bagi bangsa Indonesia, Multatuli
mempunyai arti yang khusus. Karena bukunya merupakan bahan dokumentasi yang
penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Tetapi nilai yang
tiada taranya, terletak pada segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan
watak yang ditampilkannya.
“Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempunyai kedudukan
yang penting dalam sejarah bangsa kita, khususnya masa penjajahan Belanda.
Seperti kita maklumi, dengan roman itu Multatuli telah berhasil membukakan mata
kaum politik di negeri Belanda terhadap kebobrokan yang terdapat di daerah
jajahannya. Akibatnya, sejak terbit karya itu pada tahun 1860 dimulai
usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mendatangkan kesejahteraan pada
kehidupan rakyat Indonesia lewat kebijakan ekonomi serta kesempatan pendidikan.
Gagasan-gagasan dalam roman itu akhirnya juga bermuara kepada kebijaksanaan
Politik Etika yang termasyhur itu yang memperhatikan kepentingan dan kemajuan
bangsa Indonesia.” Subagio Sastrowardoyo mencatat hal tersebut dalam kata
pengantar buku Willem Frederik Hermans, Multatuli
yang Penuh Teka-Teki (1988).
Subagio juga
mengingatkan bahwa, Multatuli memang
penting bagi Indonesia, dan bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat
hidupnya…. Tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang amat
panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan berpengaruh itu, di
dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan itu, Multatuli dengan Max
Havelaar-nya makin lama makin Nampak sebagai tokoh yang makin susut sosok
kepribadiannya di ufuk sejarah, yang berteriak sia-sia di tengah padang pasir
yang tak memantulkan kembali kumandang suaranya.
Semangat Multatuli
dalam Max Havelaar yang berisi
semangat antikorupsi, melawan pembodohan dan pemiskinan, melawan
kesewenang-wenangan dan eksploitasi. Roman dengan banyak hikmah yang harus
terus kita renungkan. Roman dengan nilai-nilai yang menyentuh lubuk hati umat
manusia. Semangat itu jangan sampai pupus. Membaca Max Havelaar kembali adalah satu upaya. Ya, membaca kembali Max Havelaar!
Max Havelaar,
roman yang mempunyai kekuatan masyarakat. Roman yang merupakan hasil
kesusastraan yang tinggi. Roman kepahlawanan, pembela rakyat tertindas.
Meskipun sudah 153 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Meskipun banyak kritik
yang menimpanya. Namun tetap pada
keyakinannya: Ya, aku bakal dibaca!
Berikut ini ramalan
Multatuli yang ia tulis dalam Max
Havelaar:
“Buku itu isinya
aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk,
tidak Nampak keahlian; …. tidak ada bakat, tidak ada metode.”
Baik, baik …..
semuanya itu benar, ….tapi orang Jawa dianiaya!
Sebab orang tidak
bisa membantah maksud utama karyaku.
Semakin keras
orang mengeritik bukuku, semakin baik aku rasa, sebab lebih besar kemungkinan
bakal didengar; --dan itulah yang aku mau.
127 tahun yang lalu
Multatuli meninggal. Namun membaca Max
Havelaar masih relevan dan harus terus diupayakan. Terus dihidupkan. Drs.
G. Termorshuizen pernah menulis, “Pertemuan
dengan dengan Havelaar tetap aktual: manusia Havelaar yang tidak terikat secara
historis, individu yang berjuang melawan kepentingan diri kolektivitas. Terutama
motif-motif manusiawi, itulah titik tolak Multatuli, yang menjadikan Max
Havelaar mengandung tenaga yang begitu hebat.”
Kearifan ucapannya
tetap bertahan. Membimbing kita agar selalu waspada pada praktik kekerasan dan eksploitasi,
penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan. Juga bentuk feodal pemerintahan,
serta tokoh-tokohnya yang rakus dan korup.
Kearifan seperti:
“Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi, kita bersukacita karena
memotong padi yang kita tanam”. Tetap berlaku hingga hari ini.
Damai selalu di sana,
Max! ***
Pondok Petir, 16 Februari 2014
0 komentar:
Post a Comment