Oleh: Ginanjar Hambali
Jauh dari istri, tidak ada listrik, sinyal handphone sangat jelek dan tidak ada jaringan internet. Sempat ragu menjalankan tugas sebagai guru di SMP 3 Satu Atap Sobang, Kabupaten Lebak-Banten, namun akhirnya menjadi sosok yang memberi hiburan, membuka wawasan, dan pemikiran bagi anak-anak juga masyarakat sekitar, lewat komunitas baca Multatuli.
Komunitas baca itu, bertempat di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, tempat dia tinggal di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai guru Bahasa Indonesia. Bapak guru itu namanya Ubaidilah Muchtar. Pak guru Ubai begitu dia biasa dipanggil oleh anak-anak, adalah alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang lulus tahun 2004. Mahasiswa angkatan 1999 itu, dikenal sebagai aktivis mahasiswa, Pernah menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, aktif di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), menghadiri sejumlah aktivitas diskusi, seperti layaknya aktivis kampus di Kota Bandung.
Setelah lulus, sempat menjadi relawan LSM selama dua tahun. Pada tahun 2009, menjadi guru di Kabupaten Lebak. Semula laki-laki yang tinggal di Depok itu ragu, dan kabarnya menangis, melihat kondisi dimana dia ditempatkan. Sempat tidur di masjid, menumpang di sekolah, dan kemudian laki-laki itu memutuskan tinggal di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, lokasi tempat dia tinggal sekitar 50 kilometer dari Kota Rangkasbitung atau sekitar 8 kilometer dari sekolah.
Ke Kampung Ciseel, dari Jakarta naik Kereta Api Jakarta-Rangkasbitung, turun di Rangkas, kemudian melanjutkan naik elf ke pasar Ciminyak sekitar satu jam. Kemudian naik ojeg dari Pasar Ciminyak ke Ciseel Rp30.000-40.000. Tidak ada angkutan kota, kecuali ojek yang tukangnya harus mempunyai keahlian khusus, karena jalannya turun naik, lebarnya 1,5 meter, disisi kiri jalan curam sekitar 15 meter ke dalam.
Sekarang, banyak anak-anak di Kampung Ciseel yang terhibur dengan membaca buku, banyak yang bercita-cita meneruskan sekolahnya, kalau jadi pejabat bersumpah tidak akan menindas rakyat. Bersumpah, akan membangun Lebak. Bersumpah, kalau berhasil bukan untuk dirinya saja, namun untuk lingkungan yang lebih besar. Catatan perjalanan anak-anak Taman Baca Multatuli, kabarnya akan dibukukan. Kita tunggu.
Barangkali Ubaidilah adalah sosok guru yang bukan hanya mengajar anak-anak di ruang kelas, juga di lingkungan masyarakat demi meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Ubai telah jatuh cinta, dan membuang jauh-jauh mimpi untuk mengajar di kota, dia hanya meminta doa, agar Komunitas Baca Multatuli dan semangat mendidiknya tetap berkobar.
***
Kecamatan Angsana sekitar 68 KM dari kota Kabupaten Pandeglang, dari Ibu Kota Kecamatan sekitar 13 kilometer, menuju Desa Padaherang, disanalan terletak SMPN 2 Angsana. Jalannya berbatu diliputi tanah, kalau musim hujan jalanan berlumpur, terpaksa harus jalan jalan kaki.
Sutisna sejak tahun 2009, ditugaskan di SMP tersebut. Dia salah satu alumni Universitas Pasundan Bandung, Jurusan Pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan. Di sekolahnya jumlah guru PNS ada tiga orang plus Kepala Sekolah. Kondisi ini kembali menunjukan bahwa sekolah-sekolah yang terletak di pelosok, banyak terkendala oleh jumlah guru yang minim. Sejumlah SMP, terutama SMP Satap, masih ada yang hanya mempunyai satu orang kepala sekolah dan satu orang guru.
Menjawab persoalan kurangnya guru, biasanya sekolah mengangkat guru honorer, namun diantaranya tidak sesuai kualifikasi. Selain itu jumlahnya pun masih kurang sebanding dengan beban tugas. Tak heran bila banyak guru di tempat terpencil, mengajar sampai 50 jam seminggu. Sering pula guru di kampung mengajar beberapa bidang studi. Kalau di Kota, tentu saja banyaknya jam mengajar berkorelasi dengan tambahan pendapatan, kalau di kampung? Jangan terlalu berharap karena SPP saja banyak yang menunggak.
“Sebuah kebanggaan, ketika masyarakat semakin sadar akan arti pentingnya pendidikan,” kata dia.
Di tempat lain, kita menemukan kadang guru di daerah perkotaan di sebuah SMA Negeri/SMP Negeri menumpuk. Beberapa guru, terpaksa tidak mengajar sesuai bidangnya. Kadang, untuk keperluan kenaikan pangkat yang mensyaratkan minimal guru harus mengajar 24 jam, pihak sekolah memanifulasi data, yang penting tercetak 24 jam dan mata pelajaran sesuai dengan izajah.
Pemerataan guru sangat penting, lebih-lebih di kampung dimana sarana dan prasarana sekolah sangat kurang. Sekolah kebanyakan hanya ruang-ruang kelas, persinggungan kemajuan teknologi informasi pun sangat minim. Bila di kota anak-anak sudah terbiasa dengan internet, karena menjamurnya warnet, di kampung bisa jadi hanya mimpi. Bila di kota laboratorium untuk mendukung proses pembelajaran lumayan ada, di daerah pelosok rata-rata baru sebatas mimpi.
Bila saja guru menyebar, bisa jadi pembelajaran akan menjadi lebih efektif, sayang banyak guru yang tidak betah melakoninya. Segala usaha dilakukan oleh sejumlah guru yang tidak mau ditempatkan di daerah terpencil, termasuk mengeluarkan sejumlah uang.
Pemerintah memang beberapa tahun ini sudah mengeluarkan kebijakan untuk memberi tambahan penghasilan bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, namun tidak semuanya mendapatkan. Selain memperhatikan kesejahteraan, pemerintah juga harus menertibkan pemerataan guru agar bisa bertahan bertugas di daerah terpencil, karena tidak mungkin kualitas tercapai sementara ruang-ruang kosong karena tidak ada guru yang mengajar. Peraturan mestinya ditegakan.
Sutisna, memang masih iri dengan guru-guru yang ada di Kota, rasa itu datang ketika hasratnya melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 kembali muncul. Sutisna ingin melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan karir, Namun mimpinya harus tertunda; medan yang tidak dekat, serta merasa kasihan pada murid-muridnya, kalau dia harus meninggalkan mereka, karena kesibukan kuliah.
Ginanjar Hambali
Guru Ekonomi di SMAN 3 Pandeglang, Banten. Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Sumber: http://www.ispi.or.id/2011/12/28/kisah-guru-terpencil/
Jauh dari istri, tidak ada listrik, sinyal handphone sangat jelek dan tidak ada jaringan internet. Sempat ragu menjalankan tugas sebagai guru di SMP 3 Satu Atap Sobang, Kabupaten Lebak-Banten, namun akhirnya menjadi sosok yang memberi hiburan, membuka wawasan, dan pemikiran bagi anak-anak juga masyarakat sekitar, lewat komunitas baca Multatuli.
Komunitas baca itu, bertempat di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, tempat dia tinggal di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai guru Bahasa Indonesia. Bapak guru itu namanya Ubaidilah Muchtar. Pak guru Ubai begitu dia biasa dipanggil oleh anak-anak, adalah alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang lulus tahun 2004. Mahasiswa angkatan 1999 itu, dikenal sebagai aktivis mahasiswa, Pernah menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, aktif di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), menghadiri sejumlah aktivitas diskusi, seperti layaknya aktivis kampus di Kota Bandung.
Setelah lulus, sempat menjadi relawan LSM selama dua tahun. Pada tahun 2009, menjadi guru di Kabupaten Lebak. Semula laki-laki yang tinggal di Depok itu ragu, dan kabarnya menangis, melihat kondisi dimana dia ditempatkan. Sempat tidur di masjid, menumpang di sekolah, dan kemudian laki-laki itu memutuskan tinggal di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, lokasi tempat dia tinggal sekitar 50 kilometer dari Kota Rangkasbitung atau sekitar 8 kilometer dari sekolah.
Ke Kampung Ciseel, dari Jakarta naik Kereta Api Jakarta-Rangkasbitung, turun di Rangkas, kemudian melanjutkan naik elf ke pasar Ciminyak sekitar satu jam. Kemudian naik ojeg dari Pasar Ciminyak ke Ciseel Rp30.000-40.000. Tidak ada angkutan kota, kecuali ojek yang tukangnya harus mempunyai keahlian khusus, karena jalannya turun naik, lebarnya 1,5 meter, disisi kiri jalan curam sekitar 15 meter ke dalam.
Dorongan dari istri yang bernama Linda Nurlinda selalu menguatkannya, Ubai bertahan, jiwa aktivis; berbagi dan membangun masyarakat kembali muncul. Sebagai orang yang mencintai sastra, dia mendirikan komunitas baca, 23 Maret dan diberi nama nama Multatuli. Koleksi buku taman baca Multatuli pada mukanya hanya setumpuk buku koleksi Ubai. Tempatnya, di rumah Syarif Hidayat Ketua RT di Kampung Ciseel, tempat Ubai tinggal.Taman Baca Multatuli, sekarang berkembang menjadi taman bacaan anak-anak. Mereka membaca novel Saidjah-Adinda, mereka membaca buku yang dibawa oleh Ubai dan sumbangan dari sejumlah orang yang senang dengan aktivitas guru muda tersebut, Anak-anak kampung pun semakin terbuka pemikiran, juga karakternya.
Sekarang, banyak anak-anak di Kampung Ciseel yang terhibur dengan membaca buku, banyak yang bercita-cita meneruskan sekolahnya, kalau jadi pejabat bersumpah tidak akan menindas rakyat. Bersumpah, akan membangun Lebak. Bersumpah, kalau berhasil bukan untuk dirinya saja, namun untuk lingkungan yang lebih besar. Catatan perjalanan anak-anak Taman Baca Multatuli, kabarnya akan dibukukan. Kita tunggu.
Barangkali Ubaidilah adalah sosok guru yang bukan hanya mengajar anak-anak di ruang kelas, juga di lingkungan masyarakat demi meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Ubai telah jatuh cinta, dan membuang jauh-jauh mimpi untuk mengajar di kota, dia hanya meminta doa, agar Komunitas Baca Multatuli dan semangat mendidiknya tetap berkobar.
***
Kecamatan Angsana sekitar 68 KM dari kota Kabupaten Pandeglang, dari Ibu Kota Kecamatan sekitar 13 kilometer, menuju Desa Padaherang, disanalan terletak SMPN 2 Angsana. Jalannya berbatu diliputi tanah, kalau musim hujan jalanan berlumpur, terpaksa harus jalan jalan kaki.
Sutisna sejak tahun 2009, ditugaskan di SMP tersebut. Dia salah satu alumni Universitas Pasundan Bandung, Jurusan Pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan. Di sekolahnya jumlah guru PNS ada tiga orang plus Kepala Sekolah. Kondisi ini kembali menunjukan bahwa sekolah-sekolah yang terletak di pelosok, banyak terkendala oleh jumlah guru yang minim. Sejumlah SMP, terutama SMP Satap, masih ada yang hanya mempunyai satu orang kepala sekolah dan satu orang guru.
Menjawab persoalan kurangnya guru, biasanya sekolah mengangkat guru honorer, namun diantaranya tidak sesuai kualifikasi. Selain itu jumlahnya pun masih kurang sebanding dengan beban tugas. Tak heran bila banyak guru di tempat terpencil, mengajar sampai 50 jam seminggu. Sering pula guru di kampung mengajar beberapa bidang studi. Kalau di Kota, tentu saja banyaknya jam mengajar berkorelasi dengan tambahan pendapatan, kalau di kampung? Jangan terlalu berharap karena SPP saja banyak yang menunggak.
Pada mulanya, Sutisna mengaku sempat ingin menangis, melihat lokasi dimana dia ditugaskan. Namun, sekarang tidak lagi. Dia merasa jatuh cinta. Dia merasa disana ada sesuatu yang diperjuangkan, menyadarkan pada masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan. Pasalnya masih banyak masyarakat menganggap bahwa mencari uang lebih penting dari sekolah, mereka lebih suka anaknya pergi ke sawah atau ke Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, dan pekerjaan kasar lain, persis seperti yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Sutisna menjadi semakin sadar, mengajar tidak hanya di ruang kelas, tidak hanya berhenti ketika bel pulang berbunyi. Kadang Sutisna menerima kedatangan anak-anak yang ingin belajar tambahan seperti Bahasa Inggris, dan keterampilan lain seperti komputer. Tidak dibayar memang, namun anak-anak mengerti, mereka juga membantu Sutisna, ada yang memasak atau membereskan rumah. Disela-sela itu, Sutisna sering memotivasi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan.Pak Guru Sutisna juga biasa keliling kampung, dari rumah ke rumah silaturahmi sambil menyadarkan orangtua betapa pentingnya pendidikan anak-anak mereka. Sesuatu yang amat membahagiakannya, ketika beberapa dari anak didiknya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Sebuah kebanggaan, ketika masyarakat semakin sadar akan arti pentingnya pendidikan,” kata dia.
Di tempat lain, kita menemukan kadang guru di daerah perkotaan di sebuah SMA Negeri/SMP Negeri menumpuk. Beberapa guru, terpaksa tidak mengajar sesuai bidangnya. Kadang, untuk keperluan kenaikan pangkat yang mensyaratkan minimal guru harus mengajar 24 jam, pihak sekolah memanifulasi data, yang penting tercetak 24 jam dan mata pelajaran sesuai dengan izajah.
Pemerataan guru sangat penting, lebih-lebih di kampung dimana sarana dan prasarana sekolah sangat kurang. Sekolah kebanyakan hanya ruang-ruang kelas, persinggungan kemajuan teknologi informasi pun sangat minim. Bila di kota anak-anak sudah terbiasa dengan internet, karena menjamurnya warnet, di kampung bisa jadi hanya mimpi. Bila di kota laboratorium untuk mendukung proses pembelajaran lumayan ada, di daerah pelosok rata-rata baru sebatas mimpi.
Bila saja guru menyebar, bisa jadi pembelajaran akan menjadi lebih efektif, sayang banyak guru yang tidak betah melakoninya. Segala usaha dilakukan oleh sejumlah guru yang tidak mau ditempatkan di daerah terpencil, termasuk mengeluarkan sejumlah uang.
Pemerintah memang beberapa tahun ini sudah mengeluarkan kebijakan untuk memberi tambahan penghasilan bagi guru yang bertugas di daerah terpencil, namun tidak semuanya mendapatkan. Selain memperhatikan kesejahteraan, pemerintah juga harus menertibkan pemerataan guru agar bisa bertahan bertugas di daerah terpencil, karena tidak mungkin kualitas tercapai sementara ruang-ruang kosong karena tidak ada guru yang mengajar. Peraturan mestinya ditegakan.
Sehingga guru tidak kabur, sistem rotasi juga mesti diberlakukan agar guru tidak hanya menumpuk di kota. Sehingga guru dari daerah terpencil pun bisa mutasi ke kota atau sebaliknya, sehingga ada pengalaman yang banyak dalam mengajar.Pak Guru Ubai, Pak Guru Sutisna, adalah sosok guru yang mengabdi di daerah terpencil, walau pun tentu masih banyak yang lebih terpencil dari mereka, dengan cerita heroiknya masing-masing. Mereka berdua adalah sosok sarjana Pendidikan yang bertahan di tempat sunyi demi sebuah pekerjaan, mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Sutisna, memang masih iri dengan guru-guru yang ada di Kota, rasa itu datang ketika hasratnya melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 kembali muncul. Sutisna ingin melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan karir, Namun mimpinya harus tertunda; medan yang tidak dekat, serta merasa kasihan pada murid-muridnya, kalau dia harus meninggalkan mereka, karena kesibukan kuliah.
Ginanjar Hambali
Guru Ekonomi di SMAN 3 Pandeglang, Banten. Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Sumber: http://www.ispi.or.id/2011/12/28/kisah-guru-terpencil/
0 komentar:
Post a Comment