728x90 AdSpace

  • Latest News

    14 February 2012

    Catatan Reading Group Minggu ke-36 Novel Max Havelaar

    Hujan baru saja turun di kampung Ciseel. Turun tidak deras. Hanya rintik-rintik yang cukup membasahi badan. Batu kali yang tersusun tak rapi di jalan kampung mendadak licin untuk dilalui. Air hujan menggenang di sela-sela batu, di tanah yang tak rata. Daun padi menyimpan air hujan. Menetes-netes pelan. Bersatu di petak sawah dengan padi yang daunnya mulai menghijau.
    Tomi (14) sedang merapikan durian di carangkanya. Tiga tahun lalu ia mulai belajar mikul. Waktu masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Kini jumlah durian yang akan dipikulnya tiga puluh buah. Dua kali lebih banyak daripada ketika saat pertama mikul. Carangka terbuat dari bambu. Tomi dibantu ayahnya membuat carangka ketika musim panen durian tiba.
    Tangan cekatan Imong (9) merapikan buah durian di carangka yang lebih kecil. Imong tak sekuat Tomi. Imong baru belajar mikul tahun ini. Imong hanya sanggup membawa dua puluh buah durian dalam pikulannya. Carangkanya tentu saja lebih kecil dari carangka milik Tomi.
    Senin siang itu Tomi dan Imong mikul durian milik Pak Sahrudin. Durian-durian itu akan dibawanya ke Cangketuek. Selain oleh tenaga mesin berupa sepeda motor. Buah durian yang ada di kampung Ciseel masih juga diangkut dengan cara tradisional, dipikul. Mikul begitu orang-orang di kampung Ciseel menyebutnya. Anak-anak juga ikut mikul durian. Jika orang tua mereka mampu memikul hingga 60 biji buah durian. Anak-anak mikul durian antara 10-30 biji.
    Tomi dan Imong, dua dari banyak anak-anak di kampung Ciseel yang mengisi waktu selepas sekolah dengan bekerja. Menggembala kambing, mengambil kayu bakar, mencangkul di sawah, bersama orang tua mengambil air nira, atau mikul durian. Jika sore menjelang mereka akan berkumpul di rumah pak RT. Menyuntukki teks novel Max Havelaar dalam Reading Group Max Havelaar.
    Hari itu Senin, 14 Februari 2011. Aku baru saja tiba di rumah yang dijadikan Taman Baca Multatuli. Setelah berjalan kaki meninggalkan sekolah tibalah aku di rumah ini. Di rumah ini aku dan anak-anak Ciseel membaca Max Havelaar setiap hari Selasa sore. Tapi untuk minggu ini kami akan membacanya di hari Senin. Di rumah ini sebenarnya aku tidak sendirian. Ada kawan-kawanku yang tinggal. Dua orang kawanku. Seperti kawan-kawanku yang lain aku sebenarnya tinggal di sini hanya empat hari dalam seminggu. Sejak bulan November tahun 2009 aku membawa beberapa buku ke kampung ini. Dan kini sudah ada tiga rak buku di rumah ini. Rumah yang kusewa setiap bulan dan kujadikan Taman Baca Multatuli.
    Kami biasa bertemu dengan anak-anak di ruang tengah rumah ini. Dengan beralas tikar kami berkumpul dan membac novel. Selain hari Selasa anak-anak akan berdatangan untuk membaca dan meminjam buku. Tak terkecuali jika malam tiba di kampung ini. Beberapa anak akan datang menemaniku. Bahkan di anatara mereka ada yang terkadang menginap di rumah ini. Anak laki-laki, tentunya. Jika malam tiba maka penerangan di rumah ini hanya sebuah lampu neon 15 watt. Lampu yang menghasilkan terang yang berasal dari sinar matahari. Jumlahnya pun tak seberapa di kampung ini. Dapat dihitung dengan jari saja. Beruntung aku tinggal di rumah pak RT dapat menikmati terang di malam hari meskipun tak terlalu terang. Hingga hari ini kampung Ciseel gelap jika malam tiba. Demikianlah kami warga kampung Ciseel menikmati hari-hari dari nasib kami yang masih gelap yang terlupakan, yang luput dari perhatian mereka yang memimpin negeri ini. Namun kami masih punya sungai Ciseel. Sungai kecil yang mengalir membelah kampung. Terkadang dapat diandalkan untuk pembangkit listrik. Cukup untuk beberapa rumah mendapatkan terang di malam hari.
    Jam menunjukkan pukul tiga sore ketika aku tiba. Aku melepas sepatu dan kaus kaki. Lalu berjalan menuju kamar. Menjatuhkan tas dari punggung dan menyeka keringat dengan handuk yang tergantung di galah bambu. Membuka celana dan baju. Menggantinya dengan handuk dan pergi ke bak mandi yang terbuka setengah. Mengguyur kepala hingga kaki dengan air yang keluar dari selang dan mengisi bak. Lalu kembali ke kamar. Mengelap badan, dan dengan senang aku mengenakan celana dan kaus yang diambil dari lemari kayu kecil yang berdiri di pojok kamar. Menatap ke luar jendela. Menyaksikan beberapa anak sedang berjalan ke arah rumah ini.
    Satu jam kemudian, sambil duduk di atas tikar plastik, aku tengah bersiap memandu anak-anak Ciseel membaca novel Max Havelaar yang sebagian perekatnya terkelupas dan pecah karena sering dibaca. Begitu kami memulai pertemuan ke-36 ini. Kubaca surat pengunduran Havelaar yang dikirimkannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Surat yang bertanggal 29 Maret 1856 dan ditulis di Rangkasbitung. Sebuah surat pendeka dengan bunyi seperti ini.
    Kepada Gubernur Jenderal Rangkasbitung, 29 Maret 1856
    Hindia Belanda Timur
    Saya telah mendapat kehormatan dalam menerima memorandum Yang Mulia No. 54 tanggal 23 bulan ini.
    Menjawab dokumen itu, saya merasa terpaksa untuk memohon pada Yang Mulia agar mengabulkan pemecatan diri saya secara terhormat dari tugas melayani negara.
    Max Havelaar
    Tidak diperlukan waktu lama di Bogor untuk menerima pengunduran diri Havelaar, seakan merupakan keharusan untuk memutuskan bagaimana mengelakkan tuduhannya. Karena itu membutuhkan waktu sebulan, dan pemecatan yang diminta sampai di Lebak dalam waktu beberapa hari.
    “Terimakasih Tuhan!” seru Tina. “Akhirnya kau bisa menjadi dirimu sendiri!”
    Havelaar tidak memperoleh instruksi untuk memindahkan administrasi divisinya pada Verbrugge ad interim (sementara), oleh karena itu diasumsikan bahwa dia harus menunggu penggantinya. Pejabat itu sudah lama bersusah-susah, karena dia harus datang dari bagian lain Jawa yang sangat berbeda. Setelah menunggu setidaknya hampir tiga minggu, mantan Asisten Residen Lebak, yang, bagaimanapun, masih berfungsi sebagai Asisten Residen selama waktu itu, menulis surat berikut pada Pengawas Verbrugge.
    Sebuah surat tertanggal 15 April 1856 yang ditulis di Rangkasbitung. Surat dengan nomor 153 yang ditujukan kepada Verbrugge sebagai pengawas. Surat yang panjang yang menumpahkan perasaan Havelaar sebab ia tidak dapat menjalankan tugasnya kembali. Havelaar juga meminta kepada Pengawas Verbrugge untuk melaksanakan administrasi Divisi Lebak. Permintaan itu agar segera dilaksanakan oleh Verbrugge mulai besok pagi. Artinya mulai tanggal 16 April 1856.
    Setelah itu Havelaar meninggalkan Rangkasbitung bersama istri dan anaknya. Dia menolak untuk dikawal. Duclari dan Verbrugge sangat terharu dengan perpisahan itu. Havelaar juga terharu, khususnya ketika, di pos pendukung pertama, dia menemukan kerumunan besar orang, yang diam-diam pergi dari Rangkasbitung untuk memberi penghormatan terakhir padanya.
    Havelaar menuju Serang. Tiba di Serang, keluarga itu turun di rumah Tuan Slymering, di sana mereka diterima dengan keramahan umum Hindia Timur. Malam harinya, Residen menerima banyak tamu yang berkata bahwa mereka datang untuk bertemu dengan Havelaar. Maka malam itu Havelaar melakukan banyak jabat tangan penuh ekspresi.
    Namun Havelaar harus pergi ke Batavia. Havelaar akan menghadap ke Gubernur Jenderal. Ketika tiba di sana, Havelaar meminta sesi dengar pendapat dengan atasannya. Yang kemudian ditolak, karena Yang Mulia kakinya bengkak.
    Havelaar menanti hingga bengkak itu membaik. Lalu dia meminta sesi dengar pendapat lagi. Yang Mulia “bahkan harus menolak sesi dengar pendapat dengan Direktur Jenderal Keuangan, karena tekanan tugas”, dan akibatnya dia juga tidak bisa menemui Havelaar.
    Pekerjaaan Havelaar lebih berat dari bekerja: dia menunggu!
    Havelaar akhirnya mendapatkan jawaban bahwa Yang Mulia tidak dapat menemuinya karena dia sangat sibuk dengan persiapan kepergiannya. Havelaar meminta satu setengah jam saja untuk bertemu. Dan mendapat jawaban bahwa Yang Mulia, Gubernur Jenderal akan berangkat besok.
    Berita ini menyambarnya seperti halilintar. Dia masih bertahan sepenuh hati pada keyakinan bahwa, Wakil Raja yang pensiun itu adalah orang yang adil dan bijaksana, dan… telah ditipu, seperempat jam tampaknya cukup bagi Havelaar untuk membuktikan keadilan alasannya, namun tampaknya seperempat jam ini telah mengingkarinya.
    Akhirnya datanglah malam ketika kami menutup novel ini dan menyimpannya kembali. Kami yang berkumpul sore ini: Dede, Cecep, Unang, Yani, Sujatna, Tomi, Sumarna, Imong, Ajis, Aliyudin, Herman, Suana, Sadah, Mariah, Nuraenun, Suryati, Ucu, Siti Nurajizah, Pipih, Nuraeni, Suarsih, Oom, Herti, Elah, dan Elis.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan Reading Group Minggu ke-36 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top