728x90 AdSpace

  • Latest News

    25 February 2012

    Catatan RG Minggu ke-37 Max Havelaar (Tamat Tahun I, 23 Maret 2010-21 Februari 2011)


    Minggu pagi yang indah. Langit cerah. Sinar matahari hangat menyentuh permukaan kulit. Minggu pagi di pasar Reni Jaya, Pondok Petir. Tangan Linda cekatan memilih sayuran. Aku memesan ketoprak. Duduk sebentar di bangku dekat pedagang ikan segar. Lalu bergegas menyusul Linda. Beberapa drum berisi ikan menghiasi kios. Tangannya terus bergantian memegang pisau dan sendok. Pisau untuk membuang sisik dan sendok mengambil isi perut ikan.
    Beberapa ikat bayam, beberapa butir tomat, tiga kantong labu kecil, beberapa potong tahu dan tempe, serta sedikit ikan mengisi kantong dari plastik yang kami bawa. Juga bumbu-bumbu yang sudah ditumbuk halus. Ada juga mangga dan jeruk medan di kantong itu.
    Pedagang dan pembeli memenuhi lorong-lorong. Sayuran dan buah-buahan juga ikan dan daging di meja-meja. Tiga ekor ayam dipesan Linda. Setelah sepakat soal harga, pedagang bertanya jumlah potongan. Kudengar Linda bertanya jumlah biasa. Pedagang menjawab sembilan, sepuluh, dua belas, lima belas. Linda meminta dua belas.
    Kami kembali ke penjual ketoprak setelah selesai di tukang ayam. Menerima pesanan ketoprak. Lalu menyantapnya. Penjual ketoprak yang selalu dikerubuti pembeli. Antrean panjang selalu menyertainya. Jika tak sabar menanti maka alamat tak dapat menikmati.
    Di hari Minggu kami senang menyusuri lorong-lorong pasar. Jika tidak ke pasar Ciputat, maka pasar Reni Jaya menjadi tujuan. Sekadar membeli beberapa ekor ikan atau sayuran. Minggu ini aku sengaja meminta dibelikan ayam dan tempe. Aku akan membawanya besok pagi ke Ciseel. Ya, ke Ciseel. Tentu saja sudah direbus terlebih dahulu dan diberi bumbu kuning agar ketika tiba di sana tinggal menggorengnya. Linda, istriku menyetujui tanpa banyak bertanya. Ia sudah tahu besok aku akan menamatkan pembacaan novel Max Havelaar tahun pertama dengan anak-anak Taman Baca Multatuli.
    Demikianlah, di pagi hari berikutnya, aku pergi meninggalkan rumah. Bawaanku, sebuah tas gendong berisi buku catatan dan pakaian, sebuah tas kecil berisi makanan ringan, dan jas hujan. Serta sebuh kotak plastik transparan 60 liter yang biasa kubawa di belakang sepeda motor. Isinya sekotak ayam yang sudah dibumbui, sekotak tahu dan tempe, dan buku-buku cerita.
    Aku tidak akan menuliskan perjalanan antara rumah hingga Ciminyak. Sebab pembaca sudah mengetahuinya. Aku hanya akan bercerita dari Ciminyak hingga Ciseel saja. Aku tidak melalui jalur Cangkeuteuk seperti biasa atau melalui Cikadu dengan turunan yang tajam. Aku melalui Cikawah melewati Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Lalu ke Cireundeu, Cigaclung, dan Ciseel. Di Cigaclung aku berhenti sebab di sanalah aku harus berhenti. Di Cigaclung, sekolah tempat anak-anak belajar berada.
    Ketika memasuki wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak tadi, aku bertemu dengan awan-awan rendah. Sepeda motor mengeluarkan suara lebih nyaring. Hujan lebat menghantam kaca helm dan bukit-bukit seperti berasap. Aku berusaha keras agar dapat melihat ke depan dan tidak tergelincir melewati jalanan licin.
    Setelah berjalan selama tiga setengah jam, aku tiba di Cigaclung. Pukul satu siang ketika aku selesai dari kelas hujan reda. Di bukit-bukit kabut meruap seperti habis terbakar. Awan tetap rendah, tetapi cahaya matahari sudah menyinarinya bagaikan senyuman lebar. Kutinggalkan sekolah kuberjalan ke Ciseel.
    Sekarang aku melanjutkan perjalanan dan gara-gara keletihanku, dalam diriku sesuatu berubah. Mandi keringat. Tibalah aku di Ciseel. Aku membantingkan badan ke kiri dan kanan. Aku merentangkan lengan sambil menghirup udara segar. Memandang bukit-bukit hijau. Memandang pohon-pohon. Sejak dari rumah aku sudah menjalani seratus dua puluh kilometer.
    Di saat istirahat sekolah tadi, aku memberitahu Pipih, Nurajizah, Nurhalimah, Rohanah, Aliyudin, dan Sanadi tentang niatku nanti sore. Kuminta mereka untuk ke rumah lebih awal. Pukul dua siang, anak-anak perempuan membantu menggoreng ayam, tahu, dan tempe. Dan membuat sambal. Serta memasak nasi. Anak laki-laki mengambil daun pisang dan membantu menyalakan api di tungku.
    Ketika matahari mulai ke barat, kami berkumpul di ruang tengah rumah. Hari itu, Senin, 21 Februari 2011. Ini pertemuan kami yang ke-37. Di rumah ini, Taman Baca Multatuli. Aku duduk di antara anak-anak yang memegang novel Max Havelaar. Senin sore ini kami akan menuntaskan pembacaan Max Havelaar setelah sebelas bulan kami membaca.
    Pukul empat seperti minggu sebelumnya, kami memulai pembacaan. Di antara yang hadir ada Elis, Rukanah, Sadah, Ucu, Mariam, Herti, Oom, Suryati, Suarsih, Suana, Suha, Dedi Kala, Herman, Irman, Tomi, Yani, Dede, Ano, Sujatna, Unang, Sumyati, Samnah, Ajis, Cecep, Sanadi, Radi, Mariah, Aliyudin, Siti Nurajizah, Pipih, Nuraenun, Rohanah, Nuraeni, dan beberapa anak yang tak menuliskan kesan dan pesannya di buku merah.
    Aliyudin dan Pipih menulis seperti ini.
    Aliyudin: “Di akhir cerita Havelaar ngomong bahwa Max Havelaar adalah Multatuli. Kata Havelaar, ‘Ya, saya, Multatuli (yang telah banyak menderita), mengangkat pena.’ Dan di akhir atau menyelesaikan dan menamatkan saya dan teman-teman bersama Pak Ubai di Taman Baca Multatuli, kami makan bersama”.
    Sementara Pipih, menulis “Pada hari Senin tanggal 21 Februari 2011 yaitu terakhir kami reading Multatuli. Selama beberapa bulan kami membaca Multatuli. Akhirnya selesai juga pada hari ini.”
    Demikianlah, kami memulai pembacaan Max Havelaar minggu terakhir ini. Kubaca paragraf berikut. Paragraf yang berisi Multatuli sebagai narator. Multatuli menghentikan narasi Stern dan juga Batavus Droogstoppel. Berikut paragrafnya.
    “Cukup, Stern yang baik! Saya, Multatuli, mengangkat pena. Kau tidak perlu menulis kisah hidup Havelaar. Saya telah memanggilmu dalam kehidupan… saya membawamu dari Hamburg…saya telah mengajarkanmu menulis tulisan indah Belanda dalam waktu singkat… saya biarkan kau mencium Louise Rosemeyer, yang berkecimpung di gula… Cukup, Stern, kau boleh pergi!”
    Stern adalah orang Jerman yang datang ke Belanda untuk belajar bekerja pada perusahaan Droogstoppel. Bahasa Belanda Stern belum bagus tetapi rupa-rupanya Stern mulai belajar bahasa Belanda dengan menerjemahkan sajak-sajak milik Sjaalman yang terdapat dalam bingkisan yang dikirimkan kepada Batavus Droogstoppel. Sajak-sajak berbahasa Jerman.
    Cara Multatuli menghentikan Stern berbeda dengan cara yang dipakai untuk menghentikan Droogstoppel. Berikut kulanjutkan membaca paragraf yang berisi penghentian Batavus Droogstoppel.
    “Pria Berselendang itu dan istrinya…”
    “Berhenti, pertunjukan celaka tentang kebohongan hina mengenai keserakahan dan penghinaan terhadap Tuhan! Saya yang menciptakanmu… kau tumbuh menjadi monster melalui pena saya… saya benci pekerjaan tangan saya: tercekik dalam kopi dan hilang!”
    Multatuli menghentikan Stern dengan baik dengan cara lunak. Sementara terhadap Batavus, Multatuli menggunakan cara keras. Menyuruhnya pulang dan mencekik lehernya dalam tumpukan kopi. Multatuli membuat pengakuan bahwa ia yang menghidupkan Stern, menciptakan Batavus Droogstoppel, dan memberikan arahan bagi pemikiran bahwa ia adalah Havelaar sendiri dengan menyebut tujuan penulisan novel ini.
    “Ya, saya, Multatuli, ‘yang telah banyak menunjukkan’, mengangkat pena. Saya tidak akan meminta maaf atas bentuk buku saya. Bentuk yang tampak cocok bagi saya untuk mencapai tujuan.”
    “Tujuan rangkap”.
    “Yang paling utama, saya ingin mewujudkan sesuatu yang bisa disimpan sebagai suatu peninggalan suci, sebagai pusaka, oleh Max kecil dan saudara perempuannya ketika orangtuanya mendapat cobaan berupa kelaparan. Saya ingin memberi anak-anak itu sebuah hak paten kebangsawanan dari tangan saya sendiri.”
    “Dan yang kedua: saya ingin dibaca!”
    Multatuli muncul ketika Stern sedang menceritakan Havelaar menunggu Gubernur Jenderal semalaman. Multatuli tidak hanya menghentikan Stern dan Droogstoppel tetapi kemudian menggugat Droogstoppel dan Slymering serta meminta pemerintah Belanda turun tangan menyelesaikan ketidakadilan di Jawa.
    “Ya, saya ingin dibaca! Saya ingin dibaca oleh politisi yang berkewajiban membuka mata atas pertanda waktu… oleh para ahli pengetahuan, yang “hanya ingin melihat, sekali pun demikian” buku yang dicari-cari setiap orang… oleh pedagang yang memiliki ketertarikan pada pelelangan kopi…oleh pelayan wanita yang akan membeli saya dengan beberapa pence… oleh mantan Gubernur Jenderal yang pensiun… oleh Menteri yang bertugas… oleh para pejabat istana Yang Mulia… oleh para pendeta pendoa, yang akan berkata more majorum bahwa saya sedang melawan berhala picik yang mereka buat dalam bayangan mereka… oleh ribuan dan sepuluh ribuan specimen orang-orang seperti Droogstoppel, yang—terus mengasah kapak kecil mereka dalam cara yang diketahui banyak orang—menjadi yang paling nyaring saat mengulangi perkataan mengenai “kecantikan” tulisan saya… oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang haus tahu apa yang terjadi pada kerajaan besar di luar negeri, yang merupakan milik Kerajaan Belanda.”
    “Ya, saya akan dibaca!”
    “Ketika tujuan ini tercapai, saya akan puas. Karena bukan tujuan saya untuk menulis dengan bagus.. saya ingin menulis dengan cara begitu agar didengarkan. Dan, seperti seseorang yang berteriak “Berhenti pencuri!”, yang sedikit kesulitan dengan cara mengimprovisasi perhatian masyarakat, maka saya sepenuhnya bersikap masa bodoh terhadap penilaian masyarakat atas cara berteriak “Berhenti pencuri!” saya.
    “Buku ini kacau… terpisah-pisah… mengejar efek… gayanya buruk… kemampuan penulisnya kurang… tidak punya bakat… tidak memiliki metode…”
    “Benar, benar… semua benar! Namun… Masyarakat Jawa teraniaya!”
    “Karena: Substansi karya saya tak terbantahkan!”
    “Terlebih, semakin nyaring buku saya dicela maka saya akan semakin senang, karena semakin besar kesempatan saya untuk didengar. Dan itu yang saya mau!”
    “Namun Anda yang telah saya ganggu dalam “tekanan usaha” Anda atau dalam “masa pensiun” yang damai Anda-anda Menteri dan Gubernur Jenderal… jika saya adalah Anda, maka saya tidak akan terllau banyak berharap pada kemampuan pena saya yang kurang. Hal ini bisa dilatih, Anda tahu, dan dengan sedikit usaha bahkan mungkin bisa menjadi cukup mahir untuk membuat orang-orang percaya pada kebenaran! Maka saya akan meminta sebuah tempat di parlemen untuk orang-orang seperti itu, tempat yang hanya ditujukan untuk memerotes sertifikat integritas yang saling ditunjukkan oleh para ahli Hindia Timur—mungkin untuk memberikan gagasan luar biasa pada dunia bahwa, hanya mereka sendiri yang memiliki kelebihan itu…”
    “Ditujukan untuk memerotes ekspedisi tanpa akhir, dan tindakan heroik terhadap makhluk-makhluk malang menyedihkan yang awalnya terdorong melakukan pemberontakan akibat perlakuan buruk…”
    “Ditujukan untuk memerotes kepengecutan memalukan yang menodai kehormatan bangsa, melalui permohonan sumbangan masyarakat untuk para korban perampokan yang berlangsung selamanya!”
    “Saya setuju pemberontak-pemberontak itu adalah para tengkorak yang kelaparan, dan para perampok itu adalah orang-orang berbadan sehat!”
    Multatuli ternyata tidaklah berhenti dengan usahanya di Belanda, ia mengancam akan meluaskannya ke Eropa.
    “Dan jika tempat dalam parlemen itu menolak saya… jika masyarakat teguh dalam ketidakpercayaan pada saya…”
    “Maka saya akan menerjemahkan buku saya ke dalam beberapa bahasa yang saya kuasai, dan ke dalam bahasa yang masih saya pelajari, untuk bertanya pada pihak Eropa tentang apa yang telah gagal saya temukan di Belanda.”
    “Dan di semua ibukota lagu-lagu akan dinyanyikan beserta pengulangan seperti ini: Sebuah negara perampok terletak di lautan, di antara Scheldt dan Friesland sebelah timur!”
    “Dan jika ini bahkan tidak membantu?”
    “Maka saya akan menerjemahkan buku saya ke dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis, Batak…
    “Dan saya akan melemparkan kelewang—nyanyian peperangan yang menggugah ke dalam jiwa setiap korban malang yang telah saya janjikan pertolongan, saya, Multauli.”
    “Bantuan dan pertolongan, dalam artian legal, jika mungkin… dengan artian legitimasi paksaan, jika dibutuhkan.”
    “Dan hal ini akan memberikan reaksi kurang baik di ‘Pelelangan Kopi Perusahaan Dagang Belanda!’”
    “Karena saya bukanlah penyair penyelamat lalat, bukan pemimpi konyol, seperti Havelaar yang tertindas, yang telah melaksanakan tugas dengan keberanian seekor singa, dan sekarang kelaparan seperti marmut sabar di musim dingin.”
    “Buku ini hanyalah permulaan…”
    “Saya akan memperbesar kekuatan, dan kebaikan sebagai senjata, dalam proporsi ketika dibutuhkan!”
    Di akhir buku ini Multatuli menyebutkan bahwa bukunya dipersembahkan kepada Raja William III.
    “Puji Tuhan bahwa itu tidak dibutuhkan!”
    “Tidak! Itu tidak akan dibutuhkan! Karena saya mempersembahkan buku saya pada Anda, William ke Tiga, Raja, Adipati, Pangeran… lebih dari Pangeran, Adipati, dan Raja… Kaisar kerajaan agung Insulinde, yang melingkar jauh di garis khatulistiwa sana seperti ikatan jamrud…”
    “Pada Anda dengan yakin saya berani bertanya, apakah ini keinginan kerajaan Anda: Bahwa para Havelaar akan dilempari lumpur Slymering dan Droogstoppel?”
    “dan di tempat yang jauh dari Anda, lebih dari tiga puluh juta orang DIANIAYA DAN DIEKSPLOITASI ATAS NAMA ANDA?...”
    Sore menerjang kampong Ciseel. Nasi tersaji di atas daun pisang. Lauk dan sambal menghiasi. Kami makan bersama. Tahun pertama membaca Max Havelaar telah kami selesaikan. Kebahagiaan menyeruak bersama angin sore. Berikut kutuliskan komentar kawan-kawan Multatuli yang menyimak aktivitas kami melalui jejaring sosial.
    “Happy Ending, khatam Max Havelaar, makan ayam goring bersama di alas daun pisang. Terasa nikmat dan menyenangkan. Apalagi langsung dengan tangan telanjang. Selamat!” Demikian komentar salah seorang kawan.
    Kawan yang lain berkomentar, “Apa yang bakal dikata Multatuli memandang semua ini…? Dari aku sih: Mantap! Malah terbit liur hendak makan bersuap begini pula… cuman sulit cari daun pisangnya… inilah… generasi anyar Saijah dan Adinda abad ke-XXI…”
    “Segeeerrr… pengen gabung. Hehe… akhirnya tuntas, selamat!” tulis seorang kawan.
    Terimakasih, kawan. Kami akan terus berjalan menyusuri rerimbun Max Havelaar menjelajah hutan kata dan kalimat.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan RG Minggu ke-37 Max Havelaar (Tamat Tahun I, 23 Maret 2010-21 Februari 2011) Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top