Kolonialisme Belanda memang mengeruk sumber daya Indonesia. Tetapi Indonesia ternyata juga merupakan sumber ilham komponis Belanda. Salah satu karya musik pertama Belanda yang digubah berdasarkan Indonesia adalah Elégie Saïdjah, karya komponis Richard Hol.
Pada tahun 1860 terbit roman Max Havelaar karya Multatuli yang merupakan nama pena Eduard Douwes Dekker. Pada tahun itu juga terbit sebuah karya musik untuk instrumen gesek diiringi piano. Elégie Saïdjah, demikian judul karya itu, diciptakan oleh Richard Hol dan jelas bersumber pada roman Multatuli. Itulah karya musik klasik pertama yang bersumber pada Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia.
Bergeser lirih
Henk Mak van Dijk, seorang pianis Belanda, menulis buku berjudul Wajang Foxtrot. Di situ dia menjelaskan asal usul karya ini. Dalam novel Max Havelaar terdapat bagian yang sangat terkenal, Saïdjah dan Adinda. Singkat ceritanya, Saïdjah pada usia 15 tahun pindah ke kota besar, karena di desa Badoer kerbau ayahnya terus-terusan dicuri. Dia bekerja di Batavia. Kepada kekasihnya Adinda dia berjanji akan pulang dalam tiga tahun untuk menikahinya.
Dalam perjalanan ke kota Saïdjah menjadi begitu sedih. Kemudian ia menyanyikan lagu berjudul Ik weet niet waar ik sterven zal artinya: entah di mana aku akan mati. Dengan lagu itu ia membayangkan semua kemungkinan bagaimana dirinya akan menemui ajal. Lebih dari itu tidak ada orang akan bisa mendengar keluh kesahnya. Hanya Adinda yang akan mendengarnya. Begini akhir lagunya:
Kalau saya mati di Badoer dan dikubur di luar desa, ke timur di dekat bukit yang berumput tinggi, maka kalau Adinda lewat, pinggir sarungnya akan bergeser lirih di sepanjang rumput. Itu yang akan saya dengar.
Kisahnya berakhir dengan tragis. Saïdjah kembali ke desa mendapati Adinda sudah pergi ke Sumatra. Saïdjah menyusul, dia bergabung dengan kalangan pemberontak. Di sebuah desa yang baru dibakar habis oleh tentara Hindia Belanda, Saïdjah mendapati jenazah Adinda yang kena siksaan. Dalam keadaan putus asa ia menghunjamkan diri kepada tentara yang menghandangnya dengan bayonet. Dengan begitu Saïdjah sampai pada ajalnya.
Hanyut terbawa nasib
Cerita yang sangat terkenal ini merupakan ilham bagi komponis Belanda Richard Hol untuk menggubah sebuah karya musik yang berjudul Elégie Saïdjah, anak judulnya Ik weet niet waar ik sterven zal. "Panjangnya sekitar enam menit, dan menariknya terdapat versi untuk piano solo, versi untuk cello dan piano, kemudian versi untuk orkestra dan juga akan untuk klarinet dan piano," demikian Henk.
Elégie Saïdjah juga terbit pada tahun 1860, tak lama setelah Max Havelaar terbit. Tapi sejak itu, karya ini dilupakan orang. Buku Wajang Foxtrot sekarang menerbitkan rekamannya. Bisakah dikatakan ini merupakan karya musik pertama di Belanda tentang Indonesia?
Henk Mak van Dijk membenarkan. "Karya ini digubah pada tahun 1860, jadi sudah sangat lama." Richard Hol menulisnya tak lama setelah Max Havelaar terbit. Mungkin saja, seperti banyak orang Belanda lain, ia hanyut terbawa oleh buku itu dan oleh nasib malang para petani Jawa. Karenanya dia menggubah karya ini yang sedikit banyak berwarna sedih. Tampaknya dia memang satu-satunya komponis pada abad 19 yang melakukannya.
Pélog dan sléndro
Pada abad 19 itu, gamelan Jawa dan Sunda mulai didengar orang di Belanda. Saat itu bisa dikatakan gamelan mulai berpengaruh pada dunia musik Belanda. Menarik untuk mengetahui adakah suara-suara gamelan juga terdengar dalam Elégie Saïdjah?
"Kalau kita dengar lagu ini," demikian Henk, "maka jelas nuansa romantisnya." Waktu itu Eropa memang berada pada puncak zaman romantis. Mungkin kedengarannya seperti karya-karya Brahms atau Schumann. Diawali dengan minor, lalu ada pula bagian mayornya. Nuansanya berat. "Pada saat itu sepertinya kita merasakan nasib tragis Saïdjah," Henk Mak van Dijk berlanjut, "Kalau kita simak baik-baik akan terdengar semacam sentuhan gamelan. Pada bagian awal terdengar pizzicato, biola atau cello yang dipetik, ini menarik dan bisa diartikan sebagai gamelan."
Di bagian tengah terdengar tremolo yaitu not-not yang dimainkan dengan cepat pada piano. Itu juga bisa didengar sebagai efek gamelan. "Menurut saya Richard Hol sendiri belum pernah mendengar gamelan," Henk memastikan. Pada tahun 1852 ada gamelan yang dipamerkan di Delft, tapi itu cuma pameran. Gamelan pertama yang dimainkan, gamelan yang sangat bagus, datang dari Solo dan pentas pada pameran di Arnhem pada tahun 1878. Jadi 19 tahun setelah karya Richard Hol terbit. Maka dari itu bisa disimpulkan, waktu menggubah Elégie Saïdjah, Richard Hol belum pernah mendengar gamelan yang lengkap, tetapi bisa saja dia memainkan salah satu instrumen gamelan.
Mengangkat Saïdjah
Jadi, bisa disimpulkan bahwa karya Richard Hol ini tidak menggunakan unsur lima nada, unsur pentatonis yang dimiliki gamelan, seperti karya-karya komponis Barat lain yang memang dicipta sesudah tahun 1860.
Unsur gamelan baru terdengar pada karya-karya komponis Indisch seperti Constant van de Wall atau Paul Seelig yang juga diuraikan pada buku Wajang Foxtrot. Pada karya-karya mereka terdengar nada-nada pélog dan sléndro, itu jelas nada gamelan. Tapi pada karya Richard Hol ini tidak terdengar begitu. Yang jelas inilah karya pertama yang mengangkat masalah Hindia Belanda serta kisah Saïdjah dan Adinda.
Sumber: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/desah-keluhan-saidjah-sebagai-karya-musik-belanda
0 komentar:
Post a Comment