728x90 AdSpace

  • Latest News

    02 March 2016

    Imajinasi Multatuli



    OLEH Ubaidilah Muchtar 

                Multatuli menulis di novel Max Havelaar yang terkenal, “Ya, saya amat gembira terpanggil ke Banten Kidul. Saya berkata kepada wanita yang turut menanggung derita saya dan yang memperbesar bahagia saya: ‘bergembiralah, karena kulihat Allah menurukan sampana di atas kepala anak kita! Dia utus aku ke suatu tempat di mana pekerjaan belum selesai, dan Dia anggap aku cakap untuk berada di sana, sebelum panen.’ Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia bukan tumbuh karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak menerima upah.” Saya tidak yakin bahwa semangat mengajar saya meningkat ketika berada di Lebak. Tetapi, saya dapat merasakan adanya kegamangan terhadap penugasan ini segera setelah saya sampai di Ciseel.
                Saya memasuki perkampungan itu, yang merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang membentang melintas di tiga kabupaten: Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Kampung Ciseel, bagian dari Desa Sobang, Kecamatan Sobang. Kampung itu hanya dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki setelah melewati Pasar Ciminyak di Kecamatan Muncang yang letaknya 40 Km dari Rangkasbitung.
                Jalan pedalaman Lebak adalah jalan setapak yang di pinggir kiri dan kanannya acap kali berjajar pohon atau tebing tinggi dan jurang yang curam. Hari itu, cuaca panas sekali. Di atas wilayah tersebut terhias dengan gerumbulana awan putih seperti kapas menggantung di langit biru terang khas wilayah Khatulistiwa. Garis terang di puncak awan seperti jalan yang membelah lautan. Juga ada lubang-lubang awan menyerupai luka yang menganga.
                Tempat pemberhentian terakhirku di awal Februari 2009 itu adalah sebuah bangunan sekolah yang terletak di tengah perbukitan. Tempat itu terdiri dari tiga bangunan. Dua bangunan ruang kelas dan satu ruang guru. Di tempat itu tidak ada sinyal telefon, tidak ada aliran listrik, dan tentu saja tidak ada catatan tentang Multatuli yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak. Bangunan sekolah tepat berada di tanah datar di puncak bukit dengan sebuah lapangan sepak bola. Di sana saya akan memulai mengajar untuk anak-anak usia sekolah menengah pertama.   
                Sembilan bulan setelah saya sampai di Ciseel, saya memutuskan membawa buku-buku dan majalah bekas dari rumah di pinggiran Ibu kota Jakarta. Di awal November yang penghujan, saya membawa buku dan majalah yang disimpan di kotak plastik yang diikat di jok sepeda motor. Buku dan majalah itu sebagai bahan bacaan bagi anak-anak di Kampung Ciseel, Cigaclung, Cikadu, Babakan Aceh, dan Cangkeuteuk. Kampung-kampung yang belum tersentuh modernitas. Di antara semua bawaan di dalam kotak plastik itu saya membawa 20 eksemplar novel Max Havelaar karya Multatuli. Buku-buku dan majalah tersebut disimpan di sebuah rak di rumah Pak RT Sarip yang dikontrak setiap bulan.
                Itulah awal terbentuknya Taman Baca Multatuli di Kampung Ciseel di rumah milik Pak RT Sarip. Seorang lelaki berusia 30an tahun, pemimpin warga Ciseel yang kemudian menjadi teman dalam mengembangkan taman baca. Saya memanggilnya Kang Sarip.

    Reading Group Max Havelaar        
    Seperti langkah yang ditempuh Fritz Senn, saya memutuskan untuk memulai memandu pembacaan novel Max Havelaar karya Multatuli bagi anak-anak Ciseel dan sekitarnya. Saya memulai pada 23 Maret 2010. Saya ingin mengenalkan karya sastra dunia kepada anak-anak di pedalaman Lebak. Max Havelaar merupakan karya Multatuli dengan inspirasi Lebak. Bentuk pembacaan novel secara pelan ini saya dapatkan dari seorang teman, Sigit Susanto. Sigit adalah peserta reading group novel Ulysses yang dipandu Fritz Senn di Yayasan James Joyce di Zurich.
    Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Multatuli, pengarang Max Havelaar telah tinggal di Indonesia selama 15 tahun. Kenyataan inilah yang menjadi penting diketahui karena masa yang lama menetap inilah yang memberikan kepadanya pokok bercerita yang menggugah perhatian banyak orang. Selain juga menentukan pertumbuhan dirinya sebagai pengarang yang berarti dalam sejarah sastra. Karena tinggal di Indonesialah yang memungkinkan pribadinya beserta bakatnya berkembang seperti tercermin dalam karyanya Max Havelaar.
                Max Havelaar merupakan tulisan pertama yang membeberkan kepada dunia mengenai penindasan kolonialisme di Hindia Belanda. Max Havelaar menginspirasi tokoh-tokoh bangsa untuk mengobarkan semangat kemerdekaan, kebebasan, dan keadilan. Di dalam Max Havelaar terdapat nilai-nilai antipenindasan, antikorupsi, kemanusiaan yang tinggi, dan perjuangan terhadap persamaan harkat manusia.
    Sampai sekarang Max Havelaar dibaca yang ketiga kali sejak 23 Maret 2010. Selama 5 tahun 5 bulan membaca Max Havelaar dalam bentuk reading group. Pembacaan yang pertama selesai 11 bulan (23 Maret 2010-21 Februari 2011). Pembacaan yang kedua selama 2 tahun 3 bulan (30 Mei 2011-21 Agustus 2013). Pembacaan yang ketiga (11 September 2013-sekarang).
    Pembacaan Max Havelaar yang pertama tamat setelah 37 pertemuan. Pembacaan yang kedua tamat setelah 78 pertemuan. Pembacaan yang ketiga sudah memasuki pertemuan yang ke-45. Novel Max Havelaar dibaca setiap Selasa atau Rabu dalam kelompok selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu. Selain Max Havelaar ada juga pembacaan novelet Saija (Bahasa Sunda) setiap Kamis sore.
    Pembacaan Max Havelaar sejak pertama 23 Maret 2010 hingga Maret 2016 ini sebanyak 160 pertemuan. Pembacaan superlelet ini diikuti peserta dengan ragam usia yang berbeda. Dari anak-anak yang belum dapat membaca hingga dewasa.
    Rata-rata peserta yang hadir di setiap pembacaan beragam. Pembacaan Max Havelaar yang pertama dimulai dengan peserta 17 orang pada pertemuan pertama dan 32 orang di pertemuan terakhir (Pertemuan ke-37). Rata-rata jumlah peserta pada pembacaan pertama 19 orang. Pertemuan dengan peserta paling banyak terjadi pada pertemuan ke-37 dengan peserta 32 orang. Sementara pertemuan ke-10 dan 12 tercatat sebagai pertemuan peserta paling sedikit yaitu 7 orang.
    Pembacaan Max Havelaar yang kedua diikuti rata-rata peserta 21 orang. Pertemuan dengan peserta paling banyak terjadi pada pertemuan ke-74 dengan peserta 42 orang. Sedangkan pertemuan dengan peserta 4 orang terjadi pada pertemuan ke-42. Pertemuan pertama pembacaan kedua diikuti 21 orang dan pada pertemuan terakhir (ke-78) ada 20 orang yang hadir.
    Pada pembacaan yang ketiga Max Havelaar (hingga pertemuan ke-45 ), rata-rata peserta 18 orang. Pertemuan dengan jumlah peserta terbanyak terjadi di pertemuan ke-1 (35 orang). Sementara pertemuan dengan peserta paling sedikit terjadi di pertemuan ke-19 (7 orang).
    Pembacaan kali kedua Max Havelaar tamat lebih lama karena jumlah peserta berusia muda lebih banyak. Hal tersebut menyebabkan banyak kosa kata dan kalimat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam. Berbeda saat pembacaan pertama Max Havelaar yang sebagian besar pesertanya adalah anak-anak usia SMP dan SMA. Selain tingkat penguasaan kosa kata dan kalimat juga konsentrasi peserta yang harus terus dijaga. Selain itu pada pertemuan kedua, jumlah peserta yang semakin banyak dengan ruangan yang lebih luas. Sehingga memungkinkan banyak peserta muda yang terus bergerak. Maka selain bertugas memandu pembacaan Max Havelaar, saya juga bekerja untuk dapat mengkondisikan peserta anak-anak.
    Pembacaan Max Havelaar setiap Selasa atau Rabu sore selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu hanya membaca 3-5 halaman. Pembacaan dimulai pukul 16.00 dan berakhir ketika hari mulai gelap, sekitar pukul 18.00 WIB. Jumlah halaman novel Max Havelaar adalah 396.
    Ritual tamat membaca Max Havelaar juga ditandai dengan makan-makan. Peserta makan bersama, nasi liwet dengan lauk dan lalapan beralas daun pisang. Peserta perempuan mempersiapkan makan dengan memasak sendiri. Sementara peserta laki-laki menyiapkan daun pisang dan mengumpulkan kayu bakar. Taman Baca Multatuli memang tidak mendapatkan bantuan finansial dari siapa-siapa, maka kegiatan seperti makan-makan ini dilakukan dengan iuran.
    Sebagai penanda lain, ditayangkan film Max Havelaar atau film dokumenter tentang Multatuli di saat khataman membaca Max Havelaar. Kegiatan ini untuk menambah pemahaman peserta. Menonton film Max Havelaar di akhir pembacaan dimaksudkan agar peserta tidak kecewa. Jadi tamatkan terlebih dahulu pembacaannya baru menonton filmnya.
    Pada saat pembacaan berlangsung, peserta juga disuguhkan beberapa benda/alat peraga penunjang teks. Berbagai jenis caping, ikat kepala (rombal/romal), lesung, alu, poster, kayu manis, memo, dan gambar-gambar lainnya. Benda-benda yang dimaksud yaitu sebagian kecil dari yang terdapat dalam novel Max Havelaar. Penghadiran benda-benda tersebut untuk menguatkan pemahaman teks kepada peserta.
    Selama pembacaan Max Havelaar berlangsung, beredar buku folio bergaris berisi kesan dan pesan setiap peserta. Peserta menuliskan nama, pesan, dan kesan mengikuti reading group Max Havelaar di buku tersebut. Buku tersebut kini berjumlah tiga buah. Berisi setidaknya 2.764 kesan atau kesan peserta. Tidak semuanya menuliskan kesan atau pesan, tentu. Ada pula peserta yang menuliskan kritik dan otokritik. Buku merah, demikian kami menyebut buku kesan dan pesan peserta reading group Max Havelaar tersebut.
    Saya menghabiskan waktu sore di Taman Baca Multatuli dengan anak-anak yang mulai mengenal Multatuli dan mengenal betul Ciseel. Aliyudin, Pipih, Mariah, Dedi Kala, Pepen,  Irman, Elah, Siti Alfiah adalah di antaranya. Aliyudin, Siti Nurajizah, dan Siti Alfiah kini melanjutkan kuliah di Rangkasbitung. Pipih dan Mariah bekerja menjadi pembantu di Ibukota Jakarta. Sementara Pepen dan Dedi Kala pergi ke Malaysia bekerja di perkebunan sawit. Anak-anak pembaca awal Max Havelaar kini meninggalkan Ciseel. Semoga imajinasi Multatuli mengendap dalam ingatan dan mewujud sikap baik dalam kehidupan anak-anak Ciseel. Reading group adalah upaya kecil menghidupkan ingatan melalui bacaan. Dengan nasihat di awal tulisan yang melekat dalam pikiran, saya memutuskan untuk menulis catatan ini dan tidak akan mengalihkan pikiran dari Multatuli.  


    NB: Hari ini 2 Maret 2016 tepat 196 tahun Multatuli lahir (2 Maret 1820). Selamat ulang tahun, Bung!
              
    Ubaidilah Muchtar
    Guru SMPN Satu Atap 3 Sobang, Lebak, Banten dan pemandu Reading Group Max Havelaar.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Imajinasi Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top