OLEH Ubaidilah
Muchtar
Multatuli menulis di novel Max Havelaar yang terkenal, “Ya, saya
amat gembira terpanggil ke Banten Kidul. Saya berkata kepada wanita yang turut
menanggung derita saya dan yang memperbesar bahagia saya: ‘bergembiralah,
karena kulihat Allah menurukan sampana di atas kepala anak kita! Dia utus aku
ke suatu tempat di mana pekerjaan belum selesai, dan Dia anggap aku cakap untuk
berada di sana, sebelum panen.’ Sebab kita bersukacita bukan karena memotong
padi; kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam. Dan jiwa manusia
bukan tumbuh karena upah, tapi karena kerja yang membikin ia berhak menerima
upah.” Saya tidak yakin bahwa semangat mengajar saya meningkat ketika berada di
Lebak. Tetapi, saya dapat merasakan adanya kegamangan terhadap penugasan ini
segera setelah saya sampai di Ciseel.
Saya memasuki perkampungan itu, yang
merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang membentang melintas
di tiga kabupaten: Sukabumi, Bogor, dan Lebak. Kampung Ciseel, bagian dari Desa
Sobang, Kecamatan Sobang. Kampung itu hanya dapat dijangkau dengan kendaraan
roda dua atau berjalan kaki setelah melewati Pasar Ciminyak di Kecamatan
Muncang yang letaknya 40 Km dari Rangkasbitung.
Jalan pedalaman Lebak adalah jalan
setapak yang di pinggir kiri dan kanannya acap kali berjajar pohon atau tebing
tinggi dan jurang yang curam. Hari itu, cuaca panas sekali. Di atas wilayah
tersebut terhias dengan gerumbulana awan putih seperti kapas menggantung di
langit biru terang khas wilayah Khatulistiwa. Garis terang di puncak awan
seperti jalan yang membelah lautan. Juga ada lubang-lubang awan menyerupai luka
yang menganga.
Tempat pemberhentian terakhirku di
awal Februari 2009 itu adalah sebuah bangunan sekolah yang terletak di tengah
perbukitan. Tempat itu terdiri dari tiga bangunan. Dua bangunan ruang kelas dan
satu ruang guru. Di tempat itu tidak ada sinyal telefon, tidak ada aliran
listrik, dan tentu saja tidak ada catatan tentang Multatuli yang pernah menjadi
Asisten Residen Lebak. Bangunan sekolah tepat berada di tanah datar di puncak
bukit dengan sebuah lapangan sepak bola. Di sana saya akan memulai mengajar
untuk anak-anak usia sekolah menengah pertama.
Sembilan bulan setelah saya sampai
di Ciseel, saya memutuskan membawa buku-buku dan majalah bekas dari rumah di
pinggiran Ibu kota Jakarta. Di awal November yang penghujan, saya membawa buku
dan majalah yang disimpan di kotak plastik yang diikat di jok sepeda motor.
Buku dan majalah itu sebagai bahan bacaan bagi anak-anak di Kampung Ciseel,
Cigaclung, Cikadu, Babakan Aceh, dan Cangkeuteuk. Kampung-kampung yang belum
tersentuh modernitas. Di antara semua bawaan di dalam kotak plastik itu saya
membawa 20 eksemplar novel Max Havelaar
karya Multatuli. Buku-buku dan majalah tersebut disimpan di sebuah rak di rumah
Pak RT Sarip yang dikontrak setiap bulan.
Itulah awal terbentuknya Taman Baca
Multatuli di Kampung Ciseel di rumah milik Pak RT Sarip. Seorang lelaki berusia
30an tahun, pemimpin warga Ciseel yang kemudian menjadi teman dalam
mengembangkan taman baca. Saya memanggilnya Kang Sarip.
Reading Group Max Havelaar
Seperti langkah yang ditempuh Fritz Senn,
saya memutuskan untuk memulai memandu pembacaan novel Max Havelaar karya Multatuli bagi anak-anak Ciseel dan sekitarnya. Saya
memulai pada 23 Maret 2010. Saya ingin mengenalkan karya sastra dunia kepada
anak-anak di pedalaman Lebak. Max
Havelaar merupakan karya Multatuli dengan inspirasi Lebak. Bentuk pembacaan
novel secara pelan ini saya dapatkan dari seorang teman, Sigit Susanto. Sigit
adalah peserta reading group novel Ulysses
yang dipandu Fritz Senn di Yayasan James Joyce di Zurich.
Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, lahir
di Amsterdam, 2 Maret 1820. Multatuli, pengarang Max Havelaar telah tinggal di Indonesia selama 15 tahun. Kenyataan
inilah yang menjadi penting diketahui karena masa yang lama menetap inilah yang
memberikan kepadanya pokok bercerita yang menggugah perhatian banyak orang.
Selain juga menentukan pertumbuhan dirinya sebagai pengarang yang berarti dalam
sejarah sastra. Karena tinggal di Indonesialah yang memungkinkan pribadinya
beserta bakatnya berkembang seperti tercermin dalam karyanya Max Havelaar.
Max Havelaar merupakan tulisan pertama
yang membeberkan kepada dunia mengenai penindasan kolonialisme di Hindia
Belanda. Max Havelaar menginspirasi
tokoh-tokoh bangsa untuk mengobarkan semangat kemerdekaan, kebebasan, dan
keadilan. Di dalam Max Havelaar
terdapat nilai-nilai antipenindasan, antikorupsi, kemanusiaan yang tinggi, dan
perjuangan terhadap persamaan harkat manusia.
Sampai
sekarang Max Havelaar dibaca yang
ketiga kali sejak 23 Maret 2010. Selama 5 tahun 5 bulan membaca Max Havelaar dalam bentuk reading group. Pembacaan yang pertama
selesai 11 bulan (23 Maret 2010-21 Februari 2011). Pembacaan yang kedua selama
2 tahun 3 bulan (30 Mei 2011-21 Agustus 2013). Pembacaan yang ketiga (11
September 2013-sekarang).
Pembacaan
Max Havelaar yang pertama tamat
setelah 37 pertemuan. Pembacaan yang kedua tamat setelah 78 pertemuan.
Pembacaan yang ketiga sudah memasuki pertemuan yang ke-45. Novel Max Havelaar dibaca setiap Selasa atau
Rabu dalam kelompok selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu. Selain Max Havelaar ada juga pembacaan novelet Saija (Bahasa Sunda) setiap Kamis sore.
Pembacaan
Max Havelaar sejak pertama 23 Maret
2010 hingga Maret 2016 ini sebanyak 160 pertemuan. Pembacaan superlelet ini
diikuti peserta dengan ragam usia yang berbeda. Dari anak-anak yang belum dapat
membaca hingga dewasa.
Rata-rata
peserta yang hadir di setiap pembacaan beragam. Pembacaan Max Havelaar yang pertama dimulai dengan peserta 17 orang pada
pertemuan pertama dan 32 orang di pertemuan terakhir (Pertemuan ke-37).
Rata-rata jumlah peserta pada pembacaan pertama 19 orang. Pertemuan dengan
peserta paling banyak terjadi pada pertemuan ke-37 dengan peserta 32 orang.
Sementara pertemuan ke-10 dan 12 tercatat sebagai pertemuan peserta paling
sedikit yaitu 7 orang.
Pembacaan
Max Havelaar yang kedua diikuti
rata-rata peserta 21 orang. Pertemuan dengan peserta paling banyak terjadi pada
pertemuan ke-74 dengan peserta 42 orang. Sedangkan pertemuan dengan peserta 4
orang terjadi pada pertemuan ke-42. Pertemuan pertama pembacaan kedua diikuti
21 orang dan pada pertemuan terakhir (ke-78) ada 20 orang yang hadir.
Pada
pembacaan yang ketiga Max Havelaar
(hingga pertemuan ke-45 ), rata-rata peserta 18 orang. Pertemuan dengan jumlah
peserta terbanyak terjadi di pertemuan ke-1 (35 orang). Sementara pertemuan
dengan peserta paling sedikit terjadi di pertemuan ke-19 (7 orang).
Pembacaan
kali kedua Max Havelaar tamat lebih
lama karena jumlah peserta berusia muda lebih banyak. Hal tersebut menyebabkan
banyak kosa kata dan kalimat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam. Berbeda
saat pembacaan pertama Max Havelaar
yang sebagian besar pesertanya adalah anak-anak usia SMP dan SMA. Selain
tingkat penguasaan kosa kata dan kalimat juga konsentrasi peserta yang harus
terus dijaga. Selain itu pada pertemuan kedua, jumlah peserta yang semakin
banyak dengan ruangan yang lebih luas. Sehingga memungkinkan banyak peserta
muda yang terus bergerak. Maka selain bertugas memandu pembacaan Max Havelaar, saya juga bekerja untuk
dapat mengkondisikan peserta anak-anak.
Pembacaan
Max Havelaar setiap Selasa atau Rabu
sore selama 1,5-2 jam sekali dalam seminggu hanya membaca 3-5 halaman. Pembacaan
dimulai pukul 16.00 dan berakhir ketika hari mulai gelap, sekitar pukul 18.00
WIB. Jumlah halaman novel Max Havelaar
adalah 396.
Ritual
tamat membaca Max Havelaar juga
ditandai dengan makan-makan. Peserta makan bersama, nasi liwet dengan lauk dan
lalapan beralas daun pisang. Peserta perempuan mempersiapkan makan dengan
memasak sendiri. Sementara peserta laki-laki menyiapkan daun pisang dan
mengumpulkan kayu bakar. Taman Baca Multatuli memang tidak mendapatkan bantuan
finansial dari siapa-siapa, maka kegiatan seperti makan-makan ini dilakukan
dengan iuran.
Sebagai
penanda lain, ditayangkan film Max
Havelaar atau film dokumenter tentang Multatuli di saat khataman membaca Max Havelaar. Kegiatan ini untuk
menambah pemahaman peserta. Menonton film Max
Havelaar di akhir pembacaan dimaksudkan agar peserta tidak kecewa. Jadi
tamatkan terlebih dahulu pembacaannya baru menonton filmnya.
Pada
saat pembacaan berlangsung, peserta juga disuguhkan beberapa benda/alat peraga
penunjang teks. Berbagai jenis caping, ikat kepala (rombal/romal), lesung, alu,
poster, kayu manis, memo, dan gambar-gambar lainnya. Benda-benda yang dimaksud
yaitu sebagian kecil dari yang terdapat dalam novel Max Havelaar. Penghadiran benda-benda tersebut untuk menguatkan
pemahaman teks kepada peserta.
Selama
pembacaan Max Havelaar berlangsung,
beredar buku folio bergaris berisi kesan dan pesan setiap peserta. Peserta
menuliskan nama, pesan, dan kesan mengikuti reading
group Max Havelaar di buku
tersebut. Buku tersebut kini berjumlah tiga buah. Berisi setidaknya 2.764 kesan
atau kesan peserta. Tidak semuanya menuliskan kesan atau pesan, tentu. Ada pula
peserta yang menuliskan kritik dan otokritik. Buku merah, demikian kami
menyebut buku kesan dan pesan peserta reading
group Max Havelaar tersebut.
Saya
menghabiskan waktu sore di Taman Baca Multatuli dengan anak-anak yang mulai
mengenal Multatuli dan mengenal betul Ciseel. Aliyudin, Pipih, Mariah, Dedi
Kala, Pepen, Irman, Elah, Siti Alfiah
adalah di antaranya. Aliyudin, Siti Nurajizah, dan Siti Alfiah kini melanjutkan
kuliah di Rangkasbitung. Pipih dan Mariah bekerja menjadi pembantu di Ibukota
Jakarta. Sementara Pepen dan Dedi Kala pergi ke Malaysia bekerja di perkebunan
sawit. Anak-anak pembaca awal Max
Havelaar kini meninggalkan Ciseel. Semoga imajinasi Multatuli mengendap
dalam ingatan dan mewujud sikap baik dalam kehidupan anak-anak Ciseel. Reading group adalah upaya kecil
menghidupkan ingatan melalui bacaan. Dengan nasihat di awal tulisan yang
melekat dalam pikiran, saya memutuskan untuk menulis catatan ini dan tidak akan
mengalihkan pikiran dari Multatuli.
NB: Hari ini 2 Maret 2016 tepat 196 tahun Multatuli lahir (2 Maret 1820). Selamat ulang tahun, Bung!
Ubaidilah Muchtar
Guru SMPN Satu Atap 3 Sobang, Lebak,
Banten dan pemandu Reading Group Max
Havelaar.
0 komentar:
Post a Comment