728x90 AdSpace

  • Latest News

    19 February 2016

    129 Tahun yang Lalu



    Oleh Ubaidilah Muchtar


    Apakah gunanya bagi si miskin keindahan musim bunga? Tidak ada!
    Langit gemintang? Tidak ada! Apakah gunanya baginya kesenian?
    Apa gunanya baginya nada, warna, haruman? Tidak ada!
    Apakah baginya puisi? Cinta?

    (Multatuli)


    Multatuli mendapat serangan-serangan sengit sampai lama sesudah ia meninggal dunia, sebaliknya ia mendapat pembela-pembela namanya pula. Multatuli tepat hari ini 129 tahun sudah tidak lagi berada di dunia ini. 

    Multatuli lahir tahun 1820. Tepatnya 2 Maret 1820 di Amsterdam. Nama sebenarnya Eduard Douwes Dekker. Tahun 1838 pergi ke Hindia. Bekerja pada Gubernemen di Jawa, Sumatra, Manado, dan Ambon. Menikah dengan Everdine van Wijnbergen (Tina). Sekembali cuti dari Eropa diangkat menjadi asisten residen Lebak pada 21 Januari 1856.

    Karya-karyanya yang penting di antaranya: Max Havelaar (1860), Minnebrieven (1861), Ideeen (1862-1877), Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (1871), dan Milioenenstudien (1873).

    Tahun-tahun terakhir hidupnya tinggal di Jerman.

    Pada 11 Desember 1886, Multauli menulis dalam buku catatan yang kemudian di bukukan oleh Busken Huet tanpa sepengetahuan atau seizin Multatuli berjudul “Riwayat Hidup”. Dalam buku tersebut terdapat sebuah fragmen panjang dari Dagboekbladen van een Oud Man, Lembaran-Lembaran buku harian seorang Laki-Laki Tua, yang dipetiknya dari surat kepada teman Multatuli, Krusmen tanggal 24 Februari-6 Mei 1851. Multatuli menulis.

    “Asmaku sangat mengganggu. Tidak selalu sama terus, tapi kadang-kadang aku seperti mau berhenti bernafas.”

    Lebih dua bulan kemudian, tanggal 19 Februari 1887, Multatuli sungguh-sungguh berhenti bernafas. Selain asma ia juga memiliki masalah dengan levernya yang sudah sakit sejak di Hindia. Penyakit levernya itu menjadikan kulit mukanya kekuning-kuningan. Keadaannya seperti seekor burung kenari yang pernah dimilikinya. Multatuli pernah menulis tentang burung itu tanggal 24 Januari 1881 dalam sepucuk surat kepada Woutertje, yang akan mencapai usia lima tahun keesokan harinya, seperti tertulis dalam Willem Frederik Hermans (1988).

    “Anakku manis, anakku manis. Besok anakku akan ulang tahun. Itu berarti bahwa setahun sudah lewat dan bahwa kau menjadi setahun lebih tua. Memang benar bahwa kau tiap hari menjadi lebih tua sedikit, tapi kalau sudah lewat 156 hari, maka itu adalah satu tahun penuh. Dan kini kau sudah kelima kali berulang tahun. Kami sangat gembira karena kau setiap hari bertambah besar sedikit dan sekarang sudah berusia lima tahun. Itu belum tua sekali, tapi buat seorang anak kecil itu sudah lumayan. Kau bukan lagi seorang anak pembual kecil, keciiil sekali seperti dulu. Dan tiap tahun kau bertambah besar sedikit. Akhirnya, bila kau 20 tahun, akan sama besar dengan papa.

    Ah, alangkah sedihnya aku bahwa kenari kita sudah mati. kita begitu lama bersama burung yang manis itu! Dan dulu itu betapa bagus ia menyanyi. Tapi tahun terakhir memang aku lihat ia tidak menyanyi lagi. Aku kira menangis ia sudal lama sakit dan karena itu tidak suka lagi menyanyi. Namun aku tidak juga mengerti. Sebab biasanya kalau burung sakit, bisa kita lihat pada bulunya. Dan kenari kita selalu baik bulunya dan warnanya kuning indah.”

    Sewaktu ia meninggal tak banyak yang hadir di Gotha, tempat memperabukan mayatnya untuk memberi penghormatan terakhir. Mimi dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius Oeberius dan istri, dan dua orang muda tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.

    F.M Wibaut kemudian menulis mengenai peristiwa penghormatan terakhir itu dalam De Gids Mei 1910 seperti ditulis oleh S.B Aminoedin dalam “Si Pendekar dari Lebak” dalam Kian Kemari (1973).

    “Para hadirin datang ke mari bukan untuk mendengarkan pidato-pidato atau sebagai pembicara-pembicara dalam upacara alakadarnya itu. Hadirin merasa bahwasanya Belanda tidak mempunyai kepentingan dalam bagaimana ‘penghormatan terakhir’ ini berlangsung. Sebab Nederland sendiri masih harus memberikan pada Multatuli ‘penghormatan pertama’nya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, kami atas nama kawan-kawan Middelburg akhirnya meletakkan karangan bunga tanda simpati padanya. Lalu peti diturunkan perlahan-lahan ke tempat perabuan. Dalam keheningan itu terasalah pada kami apa yang kiranya dirasakan kebanyak orang yang telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Terima kasih pada Multatuli atas jasa-jasanya bagi generasi muda.”

    Multatuli telah tiada. Multatuli hidup bagaikan lilin menerangkan sekitarnya, tapi mengorbankan dirinya. Berani menerima konsekuensi yang tidak enak bagi kariernya. Multatuli, ia yang pernah menjadi jantung hati pengarang yang membuka mata Belanda bagi kenyataan bahwa orang Indonesia dianiaya. Multatuli, ya, dia sebagai orang pertama yang memberi bangsa kita nama sendiri.

    Selamat jalan, Bung!

    Pondok Petir, 19 Februari 2016
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: 129 Tahun yang Lalu Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top