Oleh Ubaidilah Muchtar
Apakah gunanya
bagi si miskin keindahan musim bunga? Tidak ada!
Langit gemintang?
Tidak ada! Apakah gunanya baginya kesenian?
Apa gunanya
baginya nada, warna, haruman? Tidak ada!
Apakah baginya
puisi? Cinta?
(Multatuli)
Multatuli mendapat serangan-serangan
sengit sampai lama sesudah ia meninggal dunia, sebaliknya ia mendapat pembela-pembela
namanya pula. Multatuli tepat hari ini 129 tahun sudah tidak lagi berada di
dunia ini.
Multatuli lahir tahun
1820. Tepatnya 2 Maret 1820 di Amsterdam. Nama sebenarnya Eduard Douwes Dekker.
Tahun 1838 pergi ke Hindia. Bekerja pada Gubernemen di Jawa, Sumatra, Manado,
dan Ambon. Menikah dengan Everdine van Wijnbergen (Tina). Sekembali cuti dari
Eropa diangkat menjadi asisten residen Lebak pada 21 Januari 1856.
Karya-karyanya yang
penting di antaranya: Max Havelaar
(1860), Minnebrieven (1861), Ideeen (1862-1877), Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (1871), dan Milioenenstudien (1873).
Tahun-tahun terakhir
hidupnya tinggal di Jerman.
Pada 11 Desember 1886,
Multauli menulis dalam buku catatan yang kemudian di bukukan oleh Busken Huet tanpa
sepengetahuan atau seizin Multatuli berjudul “Riwayat Hidup”. Dalam buku
tersebut terdapat sebuah fragmen panjang dari Dagboekbladen van een Oud Man, Lembaran-Lembaran buku harian
seorang Laki-Laki Tua, yang dipetiknya dari surat kepada teman Multatuli,
Krusmen tanggal 24 Februari-6 Mei 1851. Multatuli menulis.
“Asmaku sangat
mengganggu. Tidak selalu sama terus, tapi kadang-kadang aku seperti mau
berhenti bernafas.”
Lebih dua bulan kemudian, tanggal 19 Februari
1887, Multatuli sungguh-sungguh berhenti bernafas. Selain asma ia juga memiliki
masalah dengan levernya yang sudah sakit sejak di Hindia. Penyakit levernya itu
menjadikan kulit mukanya kekuning-kuningan. Keadaannya seperti seekor burung
kenari yang pernah dimilikinya. Multatuli pernah menulis tentang burung itu
tanggal 24 Januari 1881 dalam sepucuk surat kepada Woutertje, yang akan
mencapai usia lima tahun keesokan harinya, seperti tertulis dalam Willem
Frederik Hermans (1988).
“Anakku manis, anakku
manis. Besok anakku akan ulang tahun. Itu berarti bahwa setahun sudah lewat dan
bahwa kau menjadi setahun lebih tua. Memang benar bahwa kau tiap hari menjadi
lebih tua sedikit, tapi kalau sudah lewat 156 hari, maka itu adalah satu tahun
penuh. Dan kini kau sudah kelima kali berulang tahun. Kami sangat gembira
karena kau setiap hari bertambah besar sedikit dan sekarang sudah berusia lima
tahun. Itu belum tua sekali, tapi buat seorang anak kecil itu sudah lumayan. Kau
bukan lagi seorang anak pembual kecil, keciiil sekali seperti dulu. Dan tiap
tahun kau bertambah besar sedikit. Akhirnya, bila kau 20 tahun, akan sama besar
dengan papa.
Ah, alangkah sedihnya
aku bahwa kenari kita sudah mati. kita begitu lama bersama burung yang manis
itu! Dan dulu itu betapa bagus ia menyanyi. Tapi tahun terakhir memang aku
lihat ia tidak menyanyi lagi. Aku kira menangis ia sudal lama sakit dan karena
itu tidak suka lagi menyanyi. Namun aku tidak juga mengerti. Sebab biasanya kalau
burung sakit, bisa kita lihat pada bulunya. Dan kenari kita selalu baik bulunya
dan warnanya kuning indah.”
Sewaktu ia meninggal
tak banyak yang hadir di Gotha, tempat memperabukan mayatnya untuk memberi
penghormatan terakhir. Mimi dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius
Oeberius dan istri, dan dua orang muda tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen
dan Wibaut.
F.M Wibaut kemudian
menulis mengenai peristiwa penghormatan terakhir itu dalam De Gids Mei 1910 seperti ditulis oleh S.B Aminoedin dalam “Si
Pendekar dari Lebak” dalam Kian Kemari
(1973).
“Para hadirin datang ke
mari bukan untuk mendengarkan pidato-pidato atau sebagai pembicara-pembicara
dalam upacara alakadarnya itu. Hadirin merasa bahwasanya Belanda tidak
mempunyai kepentingan dalam bagaimana ‘penghormatan terakhir’ ini berlangsung. Sebab
Nederland sendiri masih harus memberikan pada Multatuli ‘penghormatan pertama’nya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, kami atas nama kawan-kawan Middelburg akhirnya
meletakkan karangan bunga tanda simpati padanya. Lalu peti diturunkan
perlahan-lahan ke tempat perabuan. Dalam keheningan itu terasalah pada kami apa
yang kiranya dirasakan kebanyak orang yang telah meninggalkan kami untuk
selama-lamanya. Terima kasih pada Multatuli atas jasa-jasanya bagi generasi
muda.”
Multatuli telah tiada. Multatuli
hidup bagaikan lilin menerangkan sekitarnya, tapi mengorbankan dirinya. Berani
menerima konsekuensi yang tidak enak bagi kariernya. Multatuli, ia yang pernah
menjadi jantung hati pengarang yang membuka mata Belanda bagi kenyataan bahwa
orang Indonesia dianiaya. Multatuli, ya, dia sebagai orang pertama yang memberi
bangsa kita nama sendiri.
Selamat jalan, Bung!
Pondok Petir, 19
Februari 2016
0 komentar:
Post a Comment