728x90 AdSpace

  • Latest News

    28 January 2013

    Mereka yang Mengeluh

    —Catatan Pertemuan Ke-58 Pembacaan Kedua Kali Novel Max Havelaar



    Havelaar menerima sepucuk surat dari Regen Cianjur yang mengabarkan bahwa sang Regen ingin mengunjungi pamannya, Adipati Lebak. Ini adalah berita buruk. Havelaar sudah menyadari jika para pemimpin di Kabupaten Priangan telah terbiasa memamerkan kekayaan, dan bahwa sang Tumenggung Cianjur tidak akan melakukan perjalanan tanpa diiringi ratusan pengawal, yang bersama dengan kuda-kudanya, harus diberi tempat menginap serta makanan. Sebelumnya dia merasa senang jika bisa menahan kunjungan ini, namun meskipun telah mencoba semampunya, dia tidak bisa memikirkan cara lain untuk dapat melaksanakannya tanpa menyakiti perasaan Regen Lebak, yang begitu angkuh dan akan merasa gusar jika kemiskinannya diajukan sebagai alasan agar tidak dikunjungi. Lagi pula jika kunjungan itu tidak bisa dihindari, maka dipastikan bisa memperburuk beban yang sudah lama memberati orang-orang.

    (Paragraf pembuka Bab 16 Max Havelaar: 287)

    Televisi di rumah Kang Syarif menayangkan berita banjir yang melanda ibu kota, Jakarta. Hujan masih menetes-netes. Membasahi tanah Ciseel. Jalanan berbahan dasar batu kali membelah Ciseel. Licin. Di luar gelap. Orang-orang baru keluar dari masjid. Anak-anak berjalan pelan menuju rumah Pak Rahmat. Rumah tempat mengaji malam. Senda gurau terdengar di antara mereka. Sore tadi mereka membaca Max Havelaar di Taman Baca Multatuli.

    Di rumah Kang Syarif, ada Emak Hewi, Kang Iwan, Istri Kang Iwan, Teh Titin, Akmal. Akmal, anak Kang Syarif yang baru berumur 3 bulan. Akmal sehat. Berat badannya 8 kg. Kang Iwan merupakan warga Subang yang sedang bekerja di Ciseel. Kang Iwan merupakan guru bagi Kang Syarif. Usianya tidak jauh terpaut dari Kang Syarif. Di kisaran 36-38 tahun. Kang Syarif banyak menimba ilmu pertukangan dari Kang Iwan. Kini Kang Syarif sudah mahir merancang dan membangun rumah. Berbagai peralatan tukang juga dimilikinya.

    Selama tinggal di Ciseel aku banyak dibantu Kang Syarif. Kang Syarif membantu dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di Ciseel. Rumah Kang Syarif pula yang dijadikan Taman Baca Multatuli sejak November 2009. Rumah itu kukontrak setiap bulan. Saat ini Taman Baca Multatuli sudah pindah. Kini memiliki bangunan sendiri. Bangunan yang mulai ditempati 2 Oktober 2012 yang lalu. Dan Kang Syarif pula yang membangun Taman Baca Multatuli. Kang Syarif menjadi kepala tukang. Dan beberapa warga menjadi laden. Sementara yang menggambar bangunan Taman Baca Multatuli adalah Rani Wulansari. Lulusan teknik sipil salah satu universitas di Bandung. Rani kini bekerja di Jakarta. Terima kasih aku sampaikan untuk Rani atas gambar yang dibuatkan.

    Kang Syarif telentang di tikar. Menyaksikan berita di televisi. Berita yang mengabarkan banjir Jakarta. Aku duduk di belakangnya. Di sampingku ada Emak Hewi. Kang Iwan dan istrinya duduk dekat pintu menuju dapur dan kamar mandi. Ketika masih digunakan sebagai Taman Baca Multatuli di dinding rumah ini kupasang beberapa pigura berisi foto Multatuli. Kini yang terpajang fotonya Resti. Resti anak pertama Kang Syarif. Resti kini kelas tiga di Ibtidaiyah.

    Meskipun Taman Baca Multatuli sudah pindah sejak 2 Oktober 2012. Namun aku masih mengisi satu kamar di rumah Kang Syarif. Kamar itu masih berisi beberapa potong pakaian, tiga ikat karpet, dan beberapa buku. Malam ini aku akan mengosongkannya. Malam ini aku akan mulai tidur di Taman Baca Multatuli. Taman Baca Multatuli yang sekarang terdiri dari tiga ruangan. Satu ruangan berisi buku-buku. Ruangan ini berukuran 7x4 meter. Ruangan ini yang sering digunakan sebagai tempat kami membaca bersama. Membaca Max Havelaar dan Saija bersama-sama. Juga membaca buku lainnya. Selain membaca di ruangan ini juga anak-anak bermain. Di sampingnya ada kamar mandi dan dapur berukuran 3x3 meter. Dan satu kamar tidur berukuran 2,5x3 meter.

    Kasur palembang sudah kugulung. Beberapa potong pakaian dan buku kumasukkan ke dalam tas punggung. Kang Syarif meminta Teh Titin membawakan sarung bantal. Kang Syarif menerima sarung bantal dari istrinya dan memasukkan bantal. Bantal itu lalu diberikannya padaku. Batal kuterima. Kumasukan ke dalam gulungan kasur.

    Warga Jakarta mulai berbenah. Mereka yang rumahnya terkena banjir meninggalkan rumah. Banjir memasuki rumah warga. Sungai Ciliwung meluap. Airnya mengisi rumah-rumah warga. Jalan-jalan penuh air. Kendaraan banyak yang terendam. Pejabat pemerintah diwawancara. Listrik dipadamkan di beberapa wilayah Jakarta.

    Warga Jakarta selalu dihantui banjir di saat musim penghujan tiba. Banjir selalu menyerang tanpa ampun pemukiman warga. Terutama pemukiman yang berada di bantaran sungai. Bagi warga Ciseel bukan banjir yang selalu dikhawatirkan ketika musim penghujan tiba. Urug atau longsor adalah hantu itu. Kekhawatiran akan urug selalu menyergap perasaan warga. Meskipun selama ini kekhawatiran itu tidak terjadi di Ciseel. Ciseel dikelilingi beberapa bukit. Letak kampung yang seperti sebuah mangkuk. Mempertajam perasaan akan urug.  

    Aku sudah berdiri. Tas berisi pakaian telah nemplok di punggung. Kasur kudekap. Kupamitan ke Kang Syarif akan menginap di rumah baru. Taman Baca Multatuli. Kang Syarif berpesan, “Jika nanti malam hujan besar, jangan tidur di kamar. Pindah ke ruang baca.” Emak Hewi mengiyakan. Aku mendengarkan. Aku keluar dari rumah Kang Syarif. Di televisi orang-orang dijemput perahu karet. Mereka dijemput tentara. Juga beberapa petugas. Orang-orang mengisi tenda di jalan raya.

    Malam masih hujan. Di rumah Pak Udil beberapa warga berkumpul. Rumah Pak Udil tepat berhadapan dengan masjid. Letaknya lebih rendah dari masjid. Rumah Pak Udil sering disebut alun-alun. Meskipun yang dimaksud adalah jalan kampung di depan rumah Pak Udil. Jalan itu alun-alun. Tengah kampung. Papan catur di tengah-tengah mereka. Gerimis masih turun. Pelan-pelan. Jalanan Kampung Ciseel basah dan licin. Langit masih gelap. Lampu listrik menerangi sebagian rumah di Ciseel.

    Begitulah kisah kepergianku malam itu. Tetapi aku tidak akan membicarakan malam itu, malam yang benar menurut pesan Kang Syarif dan hujan hebat turun dari langit. Aku akan menceritakan tentang pembacaan Max Havelaar sore hari sebelum malam itu. Hari itu, Rabu, 16 Januari 2013.

    Rabu sore itu peserta reading group Max Havelaar sudah memenuhi ruang baca Taman Baca Multatuli. Anak-anak duduk melingkar. Novel Max Havelaar sejumlah 25 eksemplar telah diturunkan. Tikar dan karpet telah digelar. Beberapa mainan sudah dirapikan. Anak-anak dalam balutan pakaian warna-warni. Beberapa anak kecil terlihat berpupur. Pupur putih menghias seluruh wajah mereka. Pupur putih selalu diberikan orang tua mereka. Anak-anak sampai berusia sekolah dasar kelas pertama masih dipupur. Bedak putih.

    Sandal jepit berderet di halaman Taman Baca Mulatuli. Beberapa payung juga ada di sana. Tersiram hujan. Tempias air hujan. Menempel di kaca jendela. Di kaca pintu. Di lantai. Di kusen kayu. Di kayu pintu. Spanduk Taman Baca Multatuli berkibar diterpa angin. Terkadang hilang dari pandangan. Melipat dan terbang ke genteng. Dua buah lesung sengaja dimasukan ke bagian dapur. Agar terhindari dari air hujan. Air dapat melapukan kayu. Lesung terbuat dari kayu.

    Sore itu kami mulai membaca Bab 16 Max Havelaar. Bab 16 dari 20 bab yang terdapat dalam Max Havelaar. Dalam Catatan Pengenalan (Ringkasan) di Edisi 1875, Multatuli menulis, “Ketika musim dingin tahun 1859, ketika saya menulis Havelaar di Brussels, sebagian ditulis di sebuah ruangan kecil tanpa perapian, sebagian ditulis di meja kotor, bergoyang-goyang di sebuah kedai minuman di antara orang-orang yang baik, namun para peminum bir yang berpikiran sedikit tidak berseni, saya pikir saya harus menyelesaikan sesuatu, menerima sesuatu, membawa sesuatu.” Multatuli menulis Max Havelaar dalam keadaan serba kekurangan. Bahkan Multatuli harus memakan kacang-kacangan yang dipungutnya dari pasar. Max Havelaar ditulis Multatuli antara bulan September sampai Desember tahun 1859.

    Bab 16 Max Havelaar paragraf pertama kubaca. Setelah sebelumnya kusampaikan terima kasih atas kehadiran anak-anak sore itu. Sore yang hujan. Namun mereka tetap datang. Tetap ikut membaca dan mendengarkan pembacaan Max Havelaar.

    Kisah diterimanya sebuah surat oleh Havelaar membuka Bab 16. Sebuah surat yang mengabarkan akan datangnya tamu ke Lebak. Surat dari Regen Cianjur. Regen Cianjur yang tidak lain adalah keponakan dari Adipati Lebak, Karta Natanagara. Bagi Havelaar ini adalah berita buruk. Havelaar mengetahui bahwa rombongan dari cianjur tentu akan sangat banyak. Mereka membutuhkan penginapan dan makanan. Bagi Havelaar tentu akan sangat memberatkan bagi rakyat Lebak yang sudah sangat menderita.

    Namun di sisi lain, Havelaar pun tidak ingin membuat Adipati Lebak tersakiti hatinya. Sebab diketahui Adipati Lebak tidak lebih kaya daripada keponakannya, Regen Cianjur. Havelaar tidak ingin perasaan Regen Lebak tersakiti akibat kemiskinannya diajukan sebagai alasan agar tidak dikunjungi. Dan apabila kunjungan tersebut digagalkan, maka dapat dipastikan memperburuk beban yang sudah lama memberati rakyat Lebak.

    Akh, betapa bimbangnya hati Havelaar. Dan tentu saja berita sudah beredar di desa-desa, bahwa dirinya akan melaksanakan keadilan. Terutama setelah Havelaar memanggil para pemimpin Lebak untuk bertemu dalam sebuah pertemuan yang dinamakan sebah. Di sebah tersebut Havelaar berpidato. Meskipun pidato tersebut tentu saja tidak langsung dapat memerintahkan untuk menyelidiki kejahatan. Akan tetapi tanda-tanda sudah mulai kelihatan. Rakyat Lebak sudah mulai berani mengeluh, meskipun hanya secara bimbang dan sembunyi-sembunyi.

    Dalam sebuah paragraf dikisahkan bagaimana mereka yang mengeluh mendatangi Havelaar dalam remang malam dan ketakutan. Berikut kubacakan paragraf tersebut. Anak-anak, peserta reading group Max Havelaar menyimak dan membacanya di halaman 288-289.

    Mereka akan merayap mendaki jurang saat petang, karena Tina sering duduk di kamarnya maka dia sering terkejut oleh suara desiran yang tiba-tiba, melalui jendela yang terbuka dia bisa melihat sosok gelap mengendap-endap dengan langkah waspada. Tapi sekarang dia tidak lagi terlonjak, karena dia sudah tahu maksudnya ketika bayangan itu menjelajah mengitari rumahnya seperti hantu, mereka mencari perlindungan dari Maxnya! Dia akan member isyarat agar bayangan itu datang, lalu bayangan itu akan mendekat untuk mempertanyakan penghinaan dan penyiksaan yang dia alami. Kebanyakan dari mereka dating dari Distrik Parangkujang, di mana menantu Regen menjadi pemimpinnya. Jelas sang pemimpin tidak lambat untuk mengambil bagian keuntungannya, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hampir selalu melakukan pemerasan dengan mengatasnamakan Regen. Sangat menyentuh bagaimana orang-orang malang itu begitu bergantung pada sikap ksatria Havelaar, dan begitu yakin jika keesokan harinya Havelaar tidak akan menyuruh mereka mengumumkan apa yang telah mereka katakana secara rahasia di ruangannya pada malam sebelumnya. Karena itu, tentu saja, berarti hinaan bagi mereka semua, dan kematian bagi orang banyak! Havelaar mencatat apa yang mereka katakan, lalu menyuruh mereka kembali ke desanya. Dia berjanji jika keadilan akan dilaksanakan asalkan mereka tidak memberontak, atau, kebanyakan mereka berniat seperti itu, kabur dari divisi itu. Biasanya, tidak lama kemudian dia telah berada di tempat kejadian; faktanya, dia telah sering berada di sana dan menyelidiki kasus ini—kebanyakan sepanjang malam—bahkan sebelum para pengadu kembali. Dengan begini Havelaar telah mengunjungi, dalam divisi yang luas itu, desa-desa yang terletak sejauh dua puluh empat jam perjalanan dari Rangkasbitung, tanpa disadari baik oleh Regen maupun Pengawas Verbrugge jika dia telah absen dari markas divisional. Adalah tujuannya untuk melindungi para pengadu dari bahaya pembalasan, dan pada saat yang sama melindungi Regen dari aib penyelidikan publik yang, di bawah kekuasaan Asisten Residen yang sekarang, jelas tidak akan berakhir menjadi penarikan kembali keluhan tersebut. Dia masih berharap agar sang pemimpin bisa berputar dari jalan berbahaya yang telah mereka jalani begitu lama, dan kalau begitu dia bisa meminta kompensasi bagi para korban perampokan.

    Tapi tiap kali dia berbicara dengan Regen, dia sadari jika janji untuk berubah tidak dipenuhi, dan dengan pahit dia merasa tertekan oleh kegagalan usahanya.
    (Max Havelaar: 288-289)

    Pembaca yang baik,

    Baik kita tinggalkan sejenak Havelaar dengan kesedihan dan kesulitan tugasnya. Saatnya kini memberitahu para pembaca mengenai kisah pemuda Jawa, yaitu Saijah dari Desa Badur. Menurut Stern, ia mengambil kisah Saijah dari berkas milik Havelaar. Kisah Saijah adalah kisah mengenai pemerasan dan perampokan. Perampokan hewan. Perampokan kerbau. Sebanyak tiga puluh dua orang di Distrik Parangkujang terpisah dengan, dalam satu bulan, tiga puluh enam ekor kerbau yang dirampok dengan mengatasnamakan Regen. Ketiga puluh dua orang tersebut telah mengadukan kehilangan kerbaunya kepada Havelaar dan telah dibuktikan kebenarannya oleh Havelaar.

    Menurut Stern, terdapat lima distrik seperti Parangkujang di Divisi Lebak.

    Pencurian kerbau adalah salah satu dari penyalahgunaan kekuasaan yang tampak. Bahkan bukan hanya kerbau yang dicuri, juga, bahkan, mencuri kerbau bukanlah kejahatan utama. Pencurian kerbau merupakan kejahatan yang lebih mudah dideteksi. Pencurian yang dilakukan tanpa rasa malu. Lantas apa kejahatan yang jauh lebih serius dari pencurian kerbau? Melakukan kerja tanpa bayaran. Kejahatan yang tersembunyi. Penyalahgunaan wewenang yang tidak mudah dideteksi.

    Bagi sebagian pembaca Eropa ditemukan kesulitan dalam membentuk opini yang benar mengenai masalah Hindia Timur. Havelaar sering menyebut mereka “orang Jawa” saat menyinggung masyarakat Jawa dalam tulisannya.  Mungkin hal tersebut terbiasa bagi para pembaca Eropa. Akan tetapi sebutan “orang Jawa” akan terdengar keliru bagi mereka yang memiliki pengalaman langsung dengan Jawa. Karesidenan terbarat Banten, Batavia, Priangan, Karawang, dan sebagian dari Cirebon, yang semuanya disebut Sunda, tidak dianggap sebagai bagian Jawa. Di sini, kita tidak menganggap, tentu saja, sebagian dari populasi yang terdiri dari orang asing dari luar negeri, dan hanya memerhatikan penduduk asli; namun mereka jelas cukup berbeda dengan orang-orang yang ada di Jawa Tengah dan Timur.

    Mengakhiri pembacaan Max Havelaar berikut kesan dari salah satu peserta. Peserta yang datang sore itu ada 36 peserta. Namun hanya 20 peserta yang membubuhkan kesan di buku merah. Mereka yang menuliskan kesannya secara berturut-urut: Elis, Rukanah, Unang, Heri Maulana, Yeni, Niah, Samnah, Suryati, Iis Dahlia, Rini, Mamay, Susanti, Irman, M. Azis, Sujana, Sangsang, Cecep Nurkholis, Nurasiyah, Nurainun, dan Ukri.

    Rukanah salah satunya. Menurut Rukanah, “Hari ini kebanyakan anak-anak yang hadir. Jangan lupa, ya, ikut reading kalau gak sibuk. Sementara Suryati menuliskan kesannya, “Sekarang ini adalah reading Max Havelaar yang ke-58. Semoga sampai seterusnya terus berlanjut dengan lebih menyenangkan. Amin….!”
    Happy New Year. I Love You, Taman Baca Multatuli.” Tulis Irman dengan huruf kapital.

    Terima kasih Irman, Rukanah, Suryati, dan anak-anak Multatuli yang terus ikut membaca Max Havelaar. Terima kasih pembaca catatan ini, tentu. Terima kasih telah menyelesaikan membaca catatan hingga kalimat ini. Saya mohon diri—saya harus menutup catatan ini. Saya harus pergi tidur. Saya undang Anda untuk mengambil bagian pada catatan yang akan datang. Maka selamat tinggal!

    Ubaidilah Muchtar
    Cinangka, 27.01.2013—22.30
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Mereka yang Mengeluh Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top