—Catatan RG 59 Pembacaan II Max Havelaar
Kisah saya akhirnya hanya ditujukan pada mereka yang mampu memegang keyakinan sulit bahwa, ada jantung yang berdetak di balik kulit hitam itu, dan bahwa dia yang dianugerahi kulit berwarna putih, beserta keturunan, kedermawanan, pengetahuan bisnis dan ketuhanan, dan jasa, yang sejalan dengan itu …. bahwa dia bisa menggunakan kelebihan “warna putih”—nya berbeda jauh dengan pengalaman mereka yang tidak begitu diberkahi dalam warna kulit dan kesempurnaan spiritual.
(Max Havelaar; 296-297)
Enjun dan Minel bersaudara. Adik dan kakak. Enjun baru belajar membaca. Minel sudah kelas tiga. Enjun baru masuk sekolah. Minel sudah mampu membaca meski terbata. Minel sering mengajarkan Enjun mengenal abjad dan angka. Enjun baru mengenal angka 1 sampai 10. Enjun dan Minel bersekolah di MI Al Hidayah Ciseel.
Sujatna dan Nurajizah dua orang yang melanjutkan sekolah selepas dari SMP. Di Kampung Ciseel hanya mereka yang melanjutkan tahun ini. Sujatna masuk SMK. Sedang Nurajizah kini menjadi siswa Madrasah Aliyah. Sujatna membonceng Nurajizah setiap pagi. Sekolah mereka berada di Ciminyak. Meski sekolah mereka berbeda, mereka pergi dan pulang bersamaan.
Sujatna dan Nurajizah termasuk yang pertama ikut membaca Max Havelaar di awal tahun 2010. Nurajizah masih sering ikut membaca Max Havelaar hingga sekarang. Sujatna sudah mulai jarang ikut serta. Sesekali saja ia ikut membaca. Kini kedua adiknya yang tidak pernah absen membaca Max Havelaar.
Sujatna adalah kakak dari Minel dan Enjun. Minel dan Enjun seperti generasi kedua pembaca Max Havelaar. Setelah kakaknya, Sujatna juga membaca Max Havelaar. Rumah mereka tidak jauh dari Taman Baca Multatuli. Rumah mereka berada di samping kanan Taman Baca Multatuli. Jika sore tiba selang air yang mengisi bak mandi rumahnya harus berbagi. Bak mandi di Taman Baca Multatuli juga diisinya.
Enjun kuajak bermain congklak. Tangannya cekatan mengisi lobang. Memindahkan biji congklak. Kami bergantian memindahkan biji-biji congkal dan mengisi lumbung masing-masing. Minel bersama Sapri bermain ular tangga. Sapri satu kelas dengan Enjun di MI Al Hidayah Ciseel. Sapri anak yang cerdas. Dia sudah lancar membaca. Penjumlahan sudah dikuasainya. Meski tentu masih penjumlahan sederhana. Menurut cerita dari Minel, Sapri meraih peringkat pertama semester ini.
Di luar masih hujan. Jam dinding coklat menunjukkan. Kini sudah setengah lima sore. Setelah Sapri berturut-turut datang: Suryati, Yeni, Sangsang, Unang, Idayanti, Iis Dahlia. Juga datang seorang anak perempuan bernama Dila. Dila merupakan keponakan Idayanti. Dila berumur 4 tahun. Ia ikut duduk di lingkaran mendengarkan pembacaan novel karya Multatuli, Max Havelaar.
Rabu sore ini tanggal 23 Januari 2013. Ini pertemuan ke-59 di pembacaan kedua kali novel Max Havelaar. Sore ini kudengar kabar dari warga Ciseel banyak anak yang terkena sakit. MI Al Hidayah Ciseel sudah seminggu ini berisi setengah. Anak-anak menderita panas dan pusing. Semoga saja mereka lekas kembali ke keadaan semula. Sehat wal afiat.
Sore ini kami membaca Bab 16 Max Havelaar. Pembacaan dimulai dari halaman 293-298. Ini paragraf pembuka pertemuan sore yang hujan itu. Paragraf sindiran. Paragraf yang sebelumnya menjelaskan bahwa banyak orang yang mengaku “ahli” Hindia. Akan tetapi hanya berbekal opini. Bersumber dari penafsiran bahwa Hindia Belanda Timur terbatas pada Jawa. Sehingga mereka para “ahli” tersebut memiliki persepsi salah mengenai orang Melayu, Ambon, Batak, Alifuru, Timor, Dayak, Bugis atau Makassar. Mereka tidak pernah meninggalkan Eropa.
Para pejabat di Holland lebih sering mendapatkan masukan yang salah. Masukan dan penjelasan mengenai Hindia Belanda Timur dari para “ahli”. Dan biasanya karena dia adalah orang yang telah mendapat gelar Ahli, hasil voting parlemen biasanya diwarnai oleh kesalahan-kesalahan yang tampaknya menjadi bagian dari pembagian “posisi-posisi penting” di Hindia.
Havelaar lalu memberikan sindiran atas peristiwa yang menurutnya aneh ini. Berikut sindiran Havelaar:
“Ini adalah fenomena aneh—mungkin berasal dari semacam inersia yang bisa menghindarkan kesulitan untuk menilai diri sendiri—bahwa orang-orang hanya memberi sedikit kepercayaan pada mereka yang bisa menciptakan gagasan untuk memiliki pengetahuan super, tiap kali pengetahuan semacam itu hanya bisa diperoleh dari sumber yang tidak dapat diakses oleh semua orang. Sebabnya mungkin karena kepercayaan diri orang itu sedikitnya telah terluka dengan harus menerima kesuperan seperti itu, dibandingkan bila orang tersebut bisa menggunakan sumber yang sama sendirian, yang menyebabkan munculnya semacam persaingan. Orang-orang mewakili pengalaman secara mudah dengan melepaskan opininya segera telah didebat oleh seseorang yang memiliki pengalaman yang dia anggap lebih baik dari miliknya, pemberian sebuah penilaian semacam itu tidak boleh disebabkan oleh superioritas pribadi—pengakuan yang akan lebih sulit!—tapi hanya pada keadaan khusus di mana lawan seperti itu pasti memiliki keberuntungan yang sama.” (Max Havelaar: 293-294)
Havelaar menyatakan bahwa seringkali para pejabat di Hindia meniadakan kepentingan mereka yang “memiliki posisi penting di Hindia”. Banyak para pejabat yang hanya mengandalkan ingatan anonym banyak tahun yang dihabiskan di daerah tempat ditugaskan. Banyak orang-orang Belanda yang menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun di Hindia Belanda Timur tanpa pernah berhubungan dengan masyarakat biasa maupun para pemimpin pribumi. Masih menurut Havelaar:
“…dan sangat menyedihkan ketika memikirkan bahwa Dewan Hindia seringkali terdiri sepenuhnya atau kebanyakan terdiri dari orang-orang seperti itu—sungguh, metode itu bahkan digunakan untuk meyakinkan raja untuk mengakui pemilihan Gubernur Jenderal sebagai bagian dari orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok ahli ini.” (Max Havelaar: 294)
Havelaar berharap bahwa Gubernur Jenderal yang terpilih memimpin Hindia Belanda Timur secara berurutan, mereka jujur dan cukup memiliki otak untuk mempelajari apa yang harus mereka ketahui. Tidak lupa Havelaar mengajak kita untuk berharap agar mereka (Gubernur Jenderal) menjauhkan diri tidak hanya dari kesombongan ilmiah sejak awal, tapi juga, dan khususnya, sikap pasif lesu di tahun-tahun terakhir administrasi mereka.
Para pembaca yang baik, kemudian yang berbicara adalah Stern. Menurutnya, “Saya sudah berkata, jika Havelaar yakin jika dia bisa mengharapkan bantuan Gubernur Jenderal dalam melaksanakan tugas sulitnya, dan saya menambahkan bahwa keyakinan itu merupakan salah satu bukti kenaifannya.”
Padahal Gubernur Jenderal yang dimaksud Havelaar telah menunggu penggantinya: keinginan untuk beristirahat di Belanda akan segera terjadi! Demikian Stern menjelaskan. Masih menurut Stern:
“Kita akan melihat konsekuensi dari kecenderungan untuk tidur ini bagi Divisi Lebak, pada Havelaar, pada si orang Jawa Saijah, yang kisah monotonnya—salah satu dari banyak!—akan saya hubungkan sekarang.” (Max Havelaar: 295)
Kisah monoton yang dimaksud, yaitu kisah semut pekerja. Saya teringat di buku kesan dan pesan reading group yang biasa diedarkan saat pembacaan berlangsung, Suryati menulis di buku merah tersebut. Suryati menulis sebagai berikut, “Pada Bab 16 halaman 295-296 menceritakan tentang semut si pekerja keras. Mungkin ini kisah satu halaman yang saya suka. Coba baca ya….”
Nah, ini kisah yang disukai Suryati tersebut:
Ya, akan menjadi kemonotonan! Semonoton kisah seekor semut pekerja yang harus menyeret kontribusinya untuk persediaan musim dingin di atas tanah liat—sebuah gunung—yang terdapat di jalan menuju gudang. Berkali-kali dia jatuh dengan bebannya, dan berkali-kali juga dia mencoba melihat apakah ada kemungkinan untuk mencapai batu kecil di sana… batu yang ada di puncak gunung. Namun antara dia dan puncak itu terdapat jurang yang harus dilewati… jurang yang tidak cukup dimasuki seribu semut. Untuk tujuan tersebut makhluk kecil ini, dengan nyali ciut untuk mau menyeret bebannya di sepanjang tanah datar itu—sebuah beban yang beratnya berkali lipat daripada tubuhnya sendiri—harus mengangkat beban itu di atas kepalanya sembari berusaha berdiri tegak di lokasi yang tidak stabil itu. Dia harus menjaga keseimbangan, karena dia harus naik lurus dengan membawa beban di antara kaki depannya. Beban itu harus dia ayunkan ke depan dan ke sisi lain, sehingga dia bisa sampai di sebuah bagian yang menonjol di dinding batu. Dia terhuyung, terbanting, memulai lagi, terbalik, mencoba berpegangan pada pohon yang separuh tercabut, yang pucuk teratasnya merunduk ke kedalaman itu—tangkai rumput!—dia kehilangan pegangan yang dia cari; pohon itu terayun ke belakang—tangkai rumput muncul di baliknya! Aduh! Si pekerja keras itu telah terjatuh di tebing curam dengan bawaannya. Dia tidak bergerak untuk sesaat, kira-kira sedetik…yang cukup lama bagi seekor semut. Apakah dia terkejut akibat rasa sakit karena terjatuh? Ataukah dia menyerah dengan sedikit karena segala usahanya sia-sia saja? Kesimpulannya, dia tidak kehilangan keberanian. Sekali lagi dia meraih bawaannya, dan sekali lagi dia menyeretnya ke atas, untuk segera jatuh lagi, dan lagi, melewati tebing curam menuju ke kedalaman.
Begitulah kemonotonan kisah saya. (Max Havelaar; 295-296)
“Akan tetapi,” menurut Stern, “ia tidak akan membicarakan semut, yang rasa senang dan sedihnya di luar persepsi kita, terima kasih pada kekasaran perasaan kita.”
Stern hanya akan menceritakan tentang pria dan wanita, makhluk-makhluk yang hidup dan bergerak serta kehidupannya sama seperti kita. Untuk memastikan, mereka yang menghindari perasaan dan ingin menghindari rasa sakit menyedihkan akan berkata bahwa, pria dan wanita ini berkulit kuning, atau coklat—banyak orang yang menyebut mereka hitam; dan bagi orang-orang itu perbedaan warna merupakan alasan yang cukup untuk memutar mata mereka menjauh dari penderitaan seperti itu, atau, jika mereka berkenan untuk bagaimanapun juga mengawasinya, mengawasi tanpa perasaan.
Semoga kita tidak demikian, dan tidak memiliki perilaku demikian.
Kemudian paragraf yang kubaca adalah sebuah pernyataan penting tentang keberpihakan penulis buku ini. Keberpihakan kepada mereka yang teraniaya. Sebuah statement penting untuk kita renungkan dan praktikkan. Sebentuk keberpihakan Havelaar pada mereka yang tidak beruntung. Pada mereka yang tidak berpunya, bahkan tersingkirkan. Seperti yang telah kutuliskan di awal tulisan ini.
Kisah saya akhirnya hanya ditujukan pada mereka yang mampu memegang keyakinan sulit bahwa, ada jantung yang berdetak di balik kulit hitam itu, dan bahwa dia yang dianugerahi kulit berwarna putih, beserta keturunan, kedermawanan, pengetahuan bisnis dan ketuhanan, dan jasa, yang sejalan dengan itu …. bahwa dia bisa menggunakan kelebihan “warna putih”—nya berbeda jauh dengan pengalaman mereka yang tidak begitu diberkahi dalam warna kulit dan kesempurnaan spiritual.
(Max Havelaar; 296-297)
Sebuah pengakuan. Berikut akan kubacakan dua paragraf terakhir. Dua paragraf sebelum kututup reading group sore itu. Sore ke-59 kali kami bertemu sejak 30 Mei 2011 yang lalu untuk membaca. Ya, membaca! Membaca novel kepahlawanan, pembela rakyat tertindas: Max Havelaar.
Bagaimanapun, keinginan saya untuk bersimpati dengan masyarakat Jawa tidak sejauh itu untuk bisa membuat saya berpikir jika penjelasan tentang pencurian, di siang hari bolong, kerbau terakhir dari kendang, dicuri tanpa ragu-ragu di bawah perlindungan kekuasaan Belanda… uraian mengenai pemilik dan anak-anaknya yang menangisi hewan itu ketika dibawa paksa… bahwa pemiliknya duduk di tangga rumah yang telah dirampok, terdiam dan terguncang serta tenggelam dalam kesedihan… uraian mengenai dia dihalau oleh hinaan dan caci maki, oleh hukuman cambuk rotan dan belenggu penjara… tidak, saya tidak mengharapkan juga tidak menginginkan, Oh, saudara-saudara Belanda, penggambaran itu akan menggerakkan anda sama seperti jika saya menggambarkan sekelompok petani Belanda yang sapi-sapinya telah dirampas. Saya meminta agar tidak ada lagi air mata yang menetes dari wajah berdebu itu, bukan merupakan keberangan mulia ketika saya membicarakan keputusasaan korban-korban itu. Saya juga tidak menginginkan Anda bangkit dan menghadap raja dengan memegang buku ini, lalu berkata: “Lihatlah, Oh… Raja, ini yang terjadi pada kerajaan Anda, di kerajaan Insulinde Anda yang indah!”
Tidak, tidak, tidak, saya tidak mengharapkan itu! Terlalu berlebihan jika rasa simpati Anda diserap oleh penderitaan yang ada di tangan, lalu membiarkan Anda untuk mengasihani sesuatu yang begitu jauh! Tidakkah sistem saraf Anda selalu sakit akibat tugas sulit memilih Anggota Parlemen yang baru? Tidakkah jiwa Anda yang bimbang terombang-ambing di antara jasa yang masyhur sedunia si tidak penting A dengan si bukan siapa-siapa B? Dan apakah Anda tidak ingin agar air mata Anda yang berharga mengalir karena hal yang lebih serius daripada… tapi apa lagi yang bisa saya katakana?
(Max Havelaar: 297-298)
Aku kira sampai di sini pembacaan Max Havelaar sore itu. Sore yang hujan. Sore yang basah. Oh ya, saat pembacaan berlangsung, buku kesan dan pesan reading group Max Havelaar terus berputar. Idayanti menulis, “Teman-teman sekarang kita reading Max Havelaar yang ke-59. Walaupun sekarang lagi hujan, tapi kita harus tetap semangat yah…!” Buku kesan dan pesan masih berputar. Kini giliran Iis Dahlia. Iis menulis, “Hay, teman-teman kita sekarang reading! Tapi kita sekarang readingnya sedikitan hanya 10 orang tapi harus serius meskipun sedikitan ya?”
Minel. Nama sebenarnya Suna Wijaya. Minel menuliskan namanya di buku kesan pesan. Minel. Ini pertama kali Minel menulis di buku ini. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya Minel tidak sempat menulis. Minel masih kurang percaya diri. Sore ini kuminta ia menuliskan namanya dan menuliskan kesan. Kulihat Minel memegang balpoin. Minel menulis, “Seru lho teman-teman! Riding Max Haplar sama teman-teman.”
Di urutan paling bawah terdapat nama Sapri. Sapri menuliskan namanya untuk pertama kali. Seperti Minel. Sapri menuliskan namanya tanpa kesan: SAPRI. Sapri lalu membubuhkan tanda tangan. Selain Sapri juga ada Yeni, Yeni anaknya Pak Buhadi. Rumah Yeni berdampingan dengan Taman Baca Multatuli. Yeni adik dari Sanadi. Sanadi seperti juga Jajat. Sanadi kini tidak lagi di Ciseel. Sanadi mondok di Leuwi Co’o dekat Ciminyak. Sanadi tinggal di rumah seorang kyai. Sebulan sekali ia pulang ke Ciseel.
Akh, lupa sedang membicarakan Yeni! Ya, Yeni menulis di buku merah. Ini yang ditulis Yeni, “Reading Max Havelaar.” Pendek sekali, ya, pembaca. Bagaimana dengan Unang? Unang menulis, “Teman-teman ayo kita reading Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Seru loh? Reading sama teman-teman.” Unang kini kelas IX di SMPN satap 3 Sobang. Unang tinggal dengan saudaranya di Ciseel. Ayah dan ibu Unang di Pasir Nangka. Tiga jam perjalanan kaki dari Ciseel. Unang pernah pergi dan pulang sekolah dari rumahnya di Pasir Nangka ke Cigaclung. Cigaclung tempat sekolah berada. Namun hanya beberapa bulan saja. Fisiknya tidak sanggup pergi pulang enam jam menuju sekolah.
Di paling atas, yang pertama membubuhkan kesan sore ini: Sangsang. Sangsang baru seminggu kembali dari Pandeglang. Orang tuanya tinggal di Pandeglang. Di Ciseel, Sangsang tinggal bersama nenek. Sangsang menulis, “Teman-teman ayo kita reading!”
Mereka tentu saja kemudian membubuhkan tanda tangan di kolom terakhir buku kesan dan pesan reading group Max Havelaar ini. Dua anak tidak menuliskan namanya di buku merah sore ini, yaitu Enjun dan Dila. Tentu saja kelak Enjun dan Dila akan ikut seperti kakak-kakaknya, anak-anak Multatuli. Menuliskan hari, tanggal, nama, kesan dan pesan, dan membubuhkan tanda tangan di buku merah. Buku tempat anak-anak Multatuli menuliskan perasaannya. I Love Multatuli.
Ubaidilah Muchtar
Cinangka, 26 Januari 2013
Kisah saya akhirnya hanya ditujukan pada mereka yang mampu memegang keyakinan sulit bahwa, ada jantung yang berdetak di balik kulit hitam itu, dan bahwa dia yang dianugerahi kulit berwarna putih, beserta keturunan, kedermawanan, pengetahuan bisnis dan ketuhanan, dan jasa, yang sejalan dengan itu …. bahwa dia bisa menggunakan kelebihan “warna putih”—nya berbeda jauh dengan pengalaman mereka yang tidak begitu diberkahi dalam warna kulit dan kesempurnaan spiritual.
(Max Havelaar; 296-297)
Enjun dan Minel bersaudara. Adik dan kakak. Enjun baru belajar membaca. Minel sudah kelas tiga. Enjun baru masuk sekolah. Minel sudah mampu membaca meski terbata. Minel sering mengajarkan Enjun mengenal abjad dan angka. Enjun baru mengenal angka 1 sampai 10. Enjun dan Minel bersekolah di MI Al Hidayah Ciseel.
Sujatna dan Nurajizah dua orang yang melanjutkan sekolah selepas dari SMP. Di Kampung Ciseel hanya mereka yang melanjutkan tahun ini. Sujatna masuk SMK. Sedang Nurajizah kini menjadi siswa Madrasah Aliyah. Sujatna membonceng Nurajizah setiap pagi. Sekolah mereka berada di Ciminyak. Meski sekolah mereka berbeda, mereka pergi dan pulang bersamaan.
Sujatna dan Nurajizah termasuk yang pertama ikut membaca Max Havelaar di awal tahun 2010. Nurajizah masih sering ikut membaca Max Havelaar hingga sekarang. Sujatna sudah mulai jarang ikut serta. Sesekali saja ia ikut membaca. Kini kedua adiknya yang tidak pernah absen membaca Max Havelaar.
Sujatna adalah kakak dari Minel dan Enjun. Minel dan Enjun seperti generasi kedua pembaca Max Havelaar. Setelah kakaknya, Sujatna juga membaca Max Havelaar. Rumah mereka tidak jauh dari Taman Baca Multatuli. Rumah mereka berada di samping kanan Taman Baca Multatuli. Jika sore tiba selang air yang mengisi bak mandi rumahnya harus berbagi. Bak mandi di Taman Baca Multatuli juga diisinya.
Enjun kuajak bermain congklak. Tangannya cekatan mengisi lobang. Memindahkan biji congklak. Kami bergantian memindahkan biji-biji congkal dan mengisi lumbung masing-masing. Minel bersama Sapri bermain ular tangga. Sapri satu kelas dengan Enjun di MI Al Hidayah Ciseel. Sapri anak yang cerdas. Dia sudah lancar membaca. Penjumlahan sudah dikuasainya. Meski tentu masih penjumlahan sederhana. Menurut cerita dari Minel, Sapri meraih peringkat pertama semester ini.
Di luar masih hujan. Jam dinding coklat menunjukkan. Kini sudah setengah lima sore. Setelah Sapri berturut-turut datang: Suryati, Yeni, Sangsang, Unang, Idayanti, Iis Dahlia. Juga datang seorang anak perempuan bernama Dila. Dila merupakan keponakan Idayanti. Dila berumur 4 tahun. Ia ikut duduk di lingkaran mendengarkan pembacaan novel karya Multatuli, Max Havelaar.
Rabu sore ini tanggal 23 Januari 2013. Ini pertemuan ke-59 di pembacaan kedua kali novel Max Havelaar. Sore ini kudengar kabar dari warga Ciseel banyak anak yang terkena sakit. MI Al Hidayah Ciseel sudah seminggu ini berisi setengah. Anak-anak menderita panas dan pusing. Semoga saja mereka lekas kembali ke keadaan semula. Sehat wal afiat.
Sore ini kami membaca Bab 16 Max Havelaar. Pembacaan dimulai dari halaman 293-298. Ini paragraf pembuka pertemuan sore yang hujan itu. Paragraf sindiran. Paragraf yang sebelumnya menjelaskan bahwa banyak orang yang mengaku “ahli” Hindia. Akan tetapi hanya berbekal opini. Bersumber dari penafsiran bahwa Hindia Belanda Timur terbatas pada Jawa. Sehingga mereka para “ahli” tersebut memiliki persepsi salah mengenai orang Melayu, Ambon, Batak, Alifuru, Timor, Dayak, Bugis atau Makassar. Mereka tidak pernah meninggalkan Eropa.
Para pejabat di Holland lebih sering mendapatkan masukan yang salah. Masukan dan penjelasan mengenai Hindia Belanda Timur dari para “ahli”. Dan biasanya karena dia adalah orang yang telah mendapat gelar Ahli, hasil voting parlemen biasanya diwarnai oleh kesalahan-kesalahan yang tampaknya menjadi bagian dari pembagian “posisi-posisi penting” di Hindia.
Havelaar lalu memberikan sindiran atas peristiwa yang menurutnya aneh ini. Berikut sindiran Havelaar:
“Ini adalah fenomena aneh—mungkin berasal dari semacam inersia yang bisa menghindarkan kesulitan untuk menilai diri sendiri—bahwa orang-orang hanya memberi sedikit kepercayaan pada mereka yang bisa menciptakan gagasan untuk memiliki pengetahuan super, tiap kali pengetahuan semacam itu hanya bisa diperoleh dari sumber yang tidak dapat diakses oleh semua orang. Sebabnya mungkin karena kepercayaan diri orang itu sedikitnya telah terluka dengan harus menerima kesuperan seperti itu, dibandingkan bila orang tersebut bisa menggunakan sumber yang sama sendirian, yang menyebabkan munculnya semacam persaingan. Orang-orang mewakili pengalaman secara mudah dengan melepaskan opininya segera telah didebat oleh seseorang yang memiliki pengalaman yang dia anggap lebih baik dari miliknya, pemberian sebuah penilaian semacam itu tidak boleh disebabkan oleh superioritas pribadi—pengakuan yang akan lebih sulit!—tapi hanya pada keadaan khusus di mana lawan seperti itu pasti memiliki keberuntungan yang sama.” (Max Havelaar: 293-294)
Havelaar menyatakan bahwa seringkali para pejabat di Hindia meniadakan kepentingan mereka yang “memiliki posisi penting di Hindia”. Banyak para pejabat yang hanya mengandalkan ingatan anonym banyak tahun yang dihabiskan di daerah tempat ditugaskan. Banyak orang-orang Belanda yang menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun di Hindia Belanda Timur tanpa pernah berhubungan dengan masyarakat biasa maupun para pemimpin pribumi. Masih menurut Havelaar:
“…dan sangat menyedihkan ketika memikirkan bahwa Dewan Hindia seringkali terdiri sepenuhnya atau kebanyakan terdiri dari orang-orang seperti itu—sungguh, metode itu bahkan digunakan untuk meyakinkan raja untuk mengakui pemilihan Gubernur Jenderal sebagai bagian dari orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok ahli ini.” (Max Havelaar: 294)
Havelaar berharap bahwa Gubernur Jenderal yang terpilih memimpin Hindia Belanda Timur secara berurutan, mereka jujur dan cukup memiliki otak untuk mempelajari apa yang harus mereka ketahui. Tidak lupa Havelaar mengajak kita untuk berharap agar mereka (Gubernur Jenderal) menjauhkan diri tidak hanya dari kesombongan ilmiah sejak awal, tapi juga, dan khususnya, sikap pasif lesu di tahun-tahun terakhir administrasi mereka.
Para pembaca yang baik, kemudian yang berbicara adalah Stern. Menurutnya, “Saya sudah berkata, jika Havelaar yakin jika dia bisa mengharapkan bantuan Gubernur Jenderal dalam melaksanakan tugas sulitnya, dan saya menambahkan bahwa keyakinan itu merupakan salah satu bukti kenaifannya.”
Padahal Gubernur Jenderal yang dimaksud Havelaar telah menunggu penggantinya: keinginan untuk beristirahat di Belanda akan segera terjadi! Demikian Stern menjelaskan. Masih menurut Stern:
“Kita akan melihat konsekuensi dari kecenderungan untuk tidur ini bagi Divisi Lebak, pada Havelaar, pada si orang Jawa Saijah, yang kisah monotonnya—salah satu dari banyak!—akan saya hubungkan sekarang.” (Max Havelaar: 295)
Kisah monoton yang dimaksud, yaitu kisah semut pekerja. Saya teringat di buku kesan dan pesan reading group yang biasa diedarkan saat pembacaan berlangsung, Suryati menulis di buku merah tersebut. Suryati menulis sebagai berikut, “Pada Bab 16 halaman 295-296 menceritakan tentang semut si pekerja keras. Mungkin ini kisah satu halaman yang saya suka. Coba baca ya….”
Nah, ini kisah yang disukai Suryati tersebut:
Ya, akan menjadi kemonotonan! Semonoton kisah seekor semut pekerja yang harus menyeret kontribusinya untuk persediaan musim dingin di atas tanah liat—sebuah gunung—yang terdapat di jalan menuju gudang. Berkali-kali dia jatuh dengan bebannya, dan berkali-kali juga dia mencoba melihat apakah ada kemungkinan untuk mencapai batu kecil di sana… batu yang ada di puncak gunung. Namun antara dia dan puncak itu terdapat jurang yang harus dilewati… jurang yang tidak cukup dimasuki seribu semut. Untuk tujuan tersebut makhluk kecil ini, dengan nyali ciut untuk mau menyeret bebannya di sepanjang tanah datar itu—sebuah beban yang beratnya berkali lipat daripada tubuhnya sendiri—harus mengangkat beban itu di atas kepalanya sembari berusaha berdiri tegak di lokasi yang tidak stabil itu. Dia harus menjaga keseimbangan, karena dia harus naik lurus dengan membawa beban di antara kaki depannya. Beban itu harus dia ayunkan ke depan dan ke sisi lain, sehingga dia bisa sampai di sebuah bagian yang menonjol di dinding batu. Dia terhuyung, terbanting, memulai lagi, terbalik, mencoba berpegangan pada pohon yang separuh tercabut, yang pucuk teratasnya merunduk ke kedalaman itu—tangkai rumput!—dia kehilangan pegangan yang dia cari; pohon itu terayun ke belakang—tangkai rumput muncul di baliknya! Aduh! Si pekerja keras itu telah terjatuh di tebing curam dengan bawaannya. Dia tidak bergerak untuk sesaat, kira-kira sedetik…yang cukup lama bagi seekor semut. Apakah dia terkejut akibat rasa sakit karena terjatuh? Ataukah dia menyerah dengan sedikit karena segala usahanya sia-sia saja? Kesimpulannya, dia tidak kehilangan keberanian. Sekali lagi dia meraih bawaannya, dan sekali lagi dia menyeretnya ke atas, untuk segera jatuh lagi, dan lagi, melewati tebing curam menuju ke kedalaman.
Begitulah kemonotonan kisah saya. (Max Havelaar; 295-296)
“Akan tetapi,” menurut Stern, “ia tidak akan membicarakan semut, yang rasa senang dan sedihnya di luar persepsi kita, terima kasih pada kekasaran perasaan kita.”
Stern hanya akan menceritakan tentang pria dan wanita, makhluk-makhluk yang hidup dan bergerak serta kehidupannya sama seperti kita. Untuk memastikan, mereka yang menghindari perasaan dan ingin menghindari rasa sakit menyedihkan akan berkata bahwa, pria dan wanita ini berkulit kuning, atau coklat—banyak orang yang menyebut mereka hitam; dan bagi orang-orang itu perbedaan warna merupakan alasan yang cukup untuk memutar mata mereka menjauh dari penderitaan seperti itu, atau, jika mereka berkenan untuk bagaimanapun juga mengawasinya, mengawasi tanpa perasaan.
Semoga kita tidak demikian, dan tidak memiliki perilaku demikian.
Kemudian paragraf yang kubaca adalah sebuah pernyataan penting tentang keberpihakan penulis buku ini. Keberpihakan kepada mereka yang teraniaya. Sebuah statement penting untuk kita renungkan dan praktikkan. Sebentuk keberpihakan Havelaar pada mereka yang tidak beruntung. Pada mereka yang tidak berpunya, bahkan tersingkirkan. Seperti yang telah kutuliskan di awal tulisan ini.
Kisah saya akhirnya hanya ditujukan pada mereka yang mampu memegang keyakinan sulit bahwa, ada jantung yang berdetak di balik kulit hitam itu, dan bahwa dia yang dianugerahi kulit berwarna putih, beserta keturunan, kedermawanan, pengetahuan bisnis dan ketuhanan, dan jasa, yang sejalan dengan itu …. bahwa dia bisa menggunakan kelebihan “warna putih”—nya berbeda jauh dengan pengalaman mereka yang tidak begitu diberkahi dalam warna kulit dan kesempurnaan spiritual.
(Max Havelaar; 296-297)
Sebuah pengakuan. Berikut akan kubacakan dua paragraf terakhir. Dua paragraf sebelum kututup reading group sore itu. Sore ke-59 kali kami bertemu sejak 30 Mei 2011 yang lalu untuk membaca. Ya, membaca! Membaca novel kepahlawanan, pembela rakyat tertindas: Max Havelaar.
Bagaimanapun, keinginan saya untuk bersimpati dengan masyarakat Jawa tidak sejauh itu untuk bisa membuat saya berpikir jika penjelasan tentang pencurian, di siang hari bolong, kerbau terakhir dari kendang, dicuri tanpa ragu-ragu di bawah perlindungan kekuasaan Belanda… uraian mengenai pemilik dan anak-anaknya yang menangisi hewan itu ketika dibawa paksa… bahwa pemiliknya duduk di tangga rumah yang telah dirampok, terdiam dan terguncang serta tenggelam dalam kesedihan… uraian mengenai dia dihalau oleh hinaan dan caci maki, oleh hukuman cambuk rotan dan belenggu penjara… tidak, saya tidak mengharapkan juga tidak menginginkan, Oh, saudara-saudara Belanda, penggambaran itu akan menggerakkan anda sama seperti jika saya menggambarkan sekelompok petani Belanda yang sapi-sapinya telah dirampas. Saya meminta agar tidak ada lagi air mata yang menetes dari wajah berdebu itu, bukan merupakan keberangan mulia ketika saya membicarakan keputusasaan korban-korban itu. Saya juga tidak menginginkan Anda bangkit dan menghadap raja dengan memegang buku ini, lalu berkata: “Lihatlah, Oh… Raja, ini yang terjadi pada kerajaan Anda, di kerajaan Insulinde Anda yang indah!”
Tidak, tidak, tidak, saya tidak mengharapkan itu! Terlalu berlebihan jika rasa simpati Anda diserap oleh penderitaan yang ada di tangan, lalu membiarkan Anda untuk mengasihani sesuatu yang begitu jauh! Tidakkah sistem saraf Anda selalu sakit akibat tugas sulit memilih Anggota Parlemen yang baru? Tidakkah jiwa Anda yang bimbang terombang-ambing di antara jasa yang masyhur sedunia si tidak penting A dengan si bukan siapa-siapa B? Dan apakah Anda tidak ingin agar air mata Anda yang berharga mengalir karena hal yang lebih serius daripada… tapi apa lagi yang bisa saya katakana?
(Max Havelaar: 297-298)
Aku kira sampai di sini pembacaan Max Havelaar sore itu. Sore yang hujan. Sore yang basah. Oh ya, saat pembacaan berlangsung, buku kesan dan pesan reading group Max Havelaar terus berputar. Idayanti menulis, “Teman-teman sekarang kita reading Max Havelaar yang ke-59. Walaupun sekarang lagi hujan, tapi kita harus tetap semangat yah…!” Buku kesan dan pesan masih berputar. Kini giliran Iis Dahlia. Iis menulis, “Hay, teman-teman kita sekarang reading! Tapi kita sekarang readingnya sedikitan hanya 10 orang tapi harus serius meskipun sedikitan ya?”
Minel. Nama sebenarnya Suna Wijaya. Minel menuliskan namanya di buku kesan pesan. Minel. Ini pertama kali Minel menulis di buku ini. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya Minel tidak sempat menulis. Minel masih kurang percaya diri. Sore ini kuminta ia menuliskan namanya dan menuliskan kesan. Kulihat Minel memegang balpoin. Minel menulis, “Seru lho teman-teman! Riding Max Haplar sama teman-teman.”
Di urutan paling bawah terdapat nama Sapri. Sapri menuliskan namanya untuk pertama kali. Seperti Minel. Sapri menuliskan namanya tanpa kesan: SAPRI. Sapri lalu membubuhkan tanda tangan. Selain Sapri juga ada Yeni, Yeni anaknya Pak Buhadi. Rumah Yeni berdampingan dengan Taman Baca Multatuli. Yeni adik dari Sanadi. Sanadi seperti juga Jajat. Sanadi kini tidak lagi di Ciseel. Sanadi mondok di Leuwi Co’o dekat Ciminyak. Sanadi tinggal di rumah seorang kyai. Sebulan sekali ia pulang ke Ciseel.
Akh, lupa sedang membicarakan Yeni! Ya, Yeni menulis di buku merah. Ini yang ditulis Yeni, “Reading Max Havelaar.” Pendek sekali, ya, pembaca. Bagaimana dengan Unang? Unang menulis, “Teman-teman ayo kita reading Max Havelaar di Taman Baca Multatuli. Seru loh? Reading sama teman-teman.” Unang kini kelas IX di SMPN satap 3 Sobang. Unang tinggal dengan saudaranya di Ciseel. Ayah dan ibu Unang di Pasir Nangka. Tiga jam perjalanan kaki dari Ciseel. Unang pernah pergi dan pulang sekolah dari rumahnya di Pasir Nangka ke Cigaclung. Cigaclung tempat sekolah berada. Namun hanya beberapa bulan saja. Fisiknya tidak sanggup pergi pulang enam jam menuju sekolah.
Di paling atas, yang pertama membubuhkan kesan sore ini: Sangsang. Sangsang baru seminggu kembali dari Pandeglang. Orang tuanya tinggal di Pandeglang. Di Ciseel, Sangsang tinggal bersama nenek. Sangsang menulis, “Teman-teman ayo kita reading!”
Mereka tentu saja kemudian membubuhkan tanda tangan di kolom terakhir buku kesan dan pesan reading group Max Havelaar ini. Dua anak tidak menuliskan namanya di buku merah sore ini, yaitu Enjun dan Dila. Tentu saja kelak Enjun dan Dila akan ikut seperti kakak-kakaknya, anak-anak Multatuli. Menuliskan hari, tanggal, nama, kesan dan pesan, dan membubuhkan tanda tangan di buku merah. Buku tempat anak-anak Multatuli menuliskan perasaannya. I Love Multatuli.
Ubaidilah Muchtar
Cinangka, 26 Januari 2013
0 komentar:
Post a Comment