Mencari tahu
siapa Multatuli sekaligus menyaksikan langsung kesenian tradisional
Lebak, Banten ternyata dapat ditemukan dalam kegiatan Sastra Multatuli
2012. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat-Sabtu (11-12/5) lalu di Taman
Baca Multatuli, Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten
Lebak, Banten.
Kegiatan tahunan kali kedua ini diselenggarakan kembali oleh Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar yang didirikan oleh Ubaidilah Muchtar, seorang guru di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang Lebak, Banten untuk mengapresiasi sastra sekaligus menggiatkan praktik menulis bagi warga kampung Ciseel tempat Ubaidilah mengabdi.
Grup ini, menurut Ubay, panggilan akrabnya mempunyai kegiatan membaca buku karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Buku yang dianggap sebagai literatur Belanda terpenting ini berkisah tentang nasib buruk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam hal ini kaum tani di Lebak.
“Memasuki tahun kedua, grup membaca kami sedang memasuki Bab X yaitu pertemuan ke-35.
Selain Max Havelaar, Taman Baca Multatuli juga melaksanakan Reading Group Saijah Adinda dalam bahasa Sunda. Untuk kegiatan pun kami terus mengembangkannya. Selain pementasan drama Saijah dan Adinda oleh anak-anak Taman Baca Multatuli, tahun ini pun tetap ada pertunjukan bermacam kesenian masyarakat Lebak. Di antaranya Ngagondang (nyanyian dan tarian rakyat), Gegendeh (memukul lesung) dan juga perjalanan ke Baduy Dalam, menuju Cibeo dan Cikartawana, kemudian anak-anak menuliskannya,” terang lulusan UPI Bandung ini dari panggung Sastra Multatuti 2012, Jumat (11/5) malam.
Barnas, sesepuh Kampung Ciseel pun sempat memberikan komentarnya yakni tentang kemajuan daerahnya setelah hadinya Taman Baca Multatuli selama kurun waktu 3,5 tahun tersebut.
“Meski kita berada di tempat terpencil, tapi kita tidak boleh terkucil,” teriak Barnas disusul tepukan warga dan para peserta tamu seperti Sigit Susanto, Heri Candrasantosa, Daurie Bintang, Rama Prabu, Akhelbry, Masopang, Tommas Titus Kurniawan, Ariev Yudi, Dian Hardiana, dan Niduparas Erlang.
Pada malam apresiasi Sastra Multatuli tersebut, panggung hiburan menampilhan sulap anak-anak yang dibawakan Sigit Susanto dari Swiss, ia sebagai moderator di Milis APSAS (Apresiasi Sastra), dilanjutkan pembacaan puisi Saijah (Bab XVII) dalam enam bahasa; Jerman, Inggris, Indonesia, Belanda dan Sunda, serta Italia.
“Sebagaimana buku Max Haveelar yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, maka tahun ini baru 6 bahasa yang dibacakan oleh anak-anak Taman Bacaan Multatuli Ciseel, kami akan terus mencari jejaknya kalau bisa sampai 49 bahasa,” timpal Ubay.
Maka, semakin malam panggung Sastra Multatuli 2012 semakin meriah, sebab antusias warga semakin membuncah kala menyaksikan anak-anak mereka membacakan buku catatan perjalanan Sastra Multatuli tahun 2011 lalu yang diterbitkan oleh TB Multatuli. Catatan tersebut memuat tulisan karya anak-anak Ciseel, peserta tamu, dan makalah pengisi acara. Petikan pengamalan saat mengikuti Sastra Multatuli tahun lalu dibacakan anak-anak saat melakukan perjalanan ke gedung dan rumah peninggalaln Eduard Douwes Dekker di Kota Rangkasbitung. Mereka juga menelusuri jalan, sekolah, aula, bahkan apotik bernama Multatuli. Bahkan hal yang berkaitan dengannya, seperti ke perpustakaan Saijah Adinda dan Alun-alun Rangkasbitung serta ke dalam pendopo kabupaten Lebak.
Masih di malam yang sama, salah satu tamu Sastra Multatuli--Rama Prabu membacakan puisi berjudul Rumah Multatuli karangannya sendiri yang didedikasikan untuk pendiri TB Multatuli yakni Ubaidilah Muchtar. Tepuk tangan pun membahana dari tangan penonton warga Ciseel dan sekitarnya hingga pada pertunjukan pencak silat yang rupanya menghentak warga, sebab pencak silat ini diiringi musik gendang yang dikolaborasikan dengan gerakan tarian tradisional diringi nyanyian sinden Sarhati yang memukau warga.
Pencak silat adalah hiburan favorit warga Ciseel. Apalagi pencak silat ini ditampilkan oleh Padepokan Mekar Saputra dari kampung sebelah, Cangkeuteuk. Semakin malam semakin kelam, pertunjukan Debus ternyata juga lebih memukau penonton dan peserta tamu. Bagaimana tidak pertunjukan yang mengendepankan kekuatan tubuh tersebut mengakibatkan salah satu penampil mengalami gagal teknis, bagian perutnya bermasalah sehingga hantaman godam palu nyata membuat perutnya nyeri tak tertahankan. Namun seseorang segera memberikan jampi-jampi sehingga penampil kembali sedia kala. Hebat.
Hari berikutnya peserta diajak jalan-jalan ke perkampungan Baduy Dalam, ke kampung Cibeo dan Cikertawana. Di sini praktik menulis anak-anak TB Multatuli berlangusng, yakni menuliskan catatan perjalanan yang akan menjadi kenangan saat bersama-sama melewati bukit berbatu, jalan setapak, bahkan pinggiran jurang atau berjalan kaki berkilo-kilo meter ke pedalaman suku Baduy.
Akhirnya hingga Sabtu (12/5) malam, nuansa Sastra Multatuli kembali terdengar dari seorang anak yang membacakan puisi yang tercipta di tahun 1834 oleh Multatuli untuk Ibunya, disusul pementasan kesenian qasidah dan pemutaran film Taman Baca Multatuli yang pernah tayang di Metro TV, serta menonton film Garuda di Dadaku hingga larut malam. Keesokan harinya, Minggu (13/5), peserta tamu kembali ke kota dan daerahnya masing-masing. (ali/xpresi)
Kegiatan tahunan kali kedua ini diselenggarakan kembali oleh Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar yang didirikan oleh Ubaidilah Muchtar, seorang guru di SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang Lebak, Banten untuk mengapresiasi sastra sekaligus menggiatkan praktik menulis bagi warga kampung Ciseel tempat Ubaidilah mengabdi.
Grup ini, menurut Ubay, panggilan akrabnya mempunyai kegiatan membaca buku karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Buku yang dianggap sebagai literatur Belanda terpenting ini berkisah tentang nasib buruk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam hal ini kaum tani di Lebak.
“Memasuki tahun kedua, grup membaca kami sedang memasuki Bab X yaitu pertemuan ke-35.
Selain Max Havelaar, Taman Baca Multatuli juga melaksanakan Reading Group Saijah Adinda dalam bahasa Sunda. Untuk kegiatan pun kami terus mengembangkannya. Selain pementasan drama Saijah dan Adinda oleh anak-anak Taman Baca Multatuli, tahun ini pun tetap ada pertunjukan bermacam kesenian masyarakat Lebak. Di antaranya Ngagondang (nyanyian dan tarian rakyat), Gegendeh (memukul lesung) dan juga perjalanan ke Baduy Dalam, menuju Cibeo dan Cikartawana, kemudian anak-anak menuliskannya,” terang lulusan UPI Bandung ini dari panggung Sastra Multatuti 2012, Jumat (11/5) malam.
Barnas, sesepuh Kampung Ciseel pun sempat memberikan komentarnya yakni tentang kemajuan daerahnya setelah hadinya Taman Baca Multatuli selama kurun waktu 3,5 tahun tersebut.
“Meski kita berada di tempat terpencil, tapi kita tidak boleh terkucil,” teriak Barnas disusul tepukan warga dan para peserta tamu seperti Sigit Susanto, Heri Candrasantosa, Daurie Bintang, Rama Prabu, Akhelbry, Masopang, Tommas Titus Kurniawan, Ariev Yudi, Dian Hardiana, dan Niduparas Erlang.
Pada malam apresiasi Sastra Multatuli tersebut, panggung hiburan menampilhan sulap anak-anak yang dibawakan Sigit Susanto dari Swiss, ia sebagai moderator di Milis APSAS (Apresiasi Sastra), dilanjutkan pembacaan puisi Saijah (Bab XVII) dalam enam bahasa; Jerman, Inggris, Indonesia, Belanda dan Sunda, serta Italia.
“Sebagaimana buku Max Haveelar yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, maka tahun ini baru 6 bahasa yang dibacakan oleh anak-anak Taman Bacaan Multatuli Ciseel, kami akan terus mencari jejaknya kalau bisa sampai 49 bahasa,” timpal Ubay.
Maka, semakin malam panggung Sastra Multatuli 2012 semakin meriah, sebab antusias warga semakin membuncah kala menyaksikan anak-anak mereka membacakan buku catatan perjalanan Sastra Multatuli tahun 2011 lalu yang diterbitkan oleh TB Multatuli. Catatan tersebut memuat tulisan karya anak-anak Ciseel, peserta tamu, dan makalah pengisi acara. Petikan pengamalan saat mengikuti Sastra Multatuli tahun lalu dibacakan anak-anak saat melakukan perjalanan ke gedung dan rumah peninggalaln Eduard Douwes Dekker di Kota Rangkasbitung. Mereka juga menelusuri jalan, sekolah, aula, bahkan apotik bernama Multatuli. Bahkan hal yang berkaitan dengannya, seperti ke perpustakaan Saijah Adinda dan Alun-alun Rangkasbitung serta ke dalam pendopo kabupaten Lebak.
Masih di malam yang sama, salah satu tamu Sastra Multatuli--Rama Prabu membacakan puisi berjudul Rumah Multatuli karangannya sendiri yang didedikasikan untuk pendiri TB Multatuli yakni Ubaidilah Muchtar. Tepuk tangan pun membahana dari tangan penonton warga Ciseel dan sekitarnya hingga pada pertunjukan pencak silat yang rupanya menghentak warga, sebab pencak silat ini diiringi musik gendang yang dikolaborasikan dengan gerakan tarian tradisional diringi nyanyian sinden Sarhati yang memukau warga.
Pencak silat adalah hiburan favorit warga Ciseel. Apalagi pencak silat ini ditampilkan oleh Padepokan Mekar Saputra dari kampung sebelah, Cangkeuteuk. Semakin malam semakin kelam, pertunjukan Debus ternyata juga lebih memukau penonton dan peserta tamu. Bagaimana tidak pertunjukan yang mengendepankan kekuatan tubuh tersebut mengakibatkan salah satu penampil mengalami gagal teknis, bagian perutnya bermasalah sehingga hantaman godam palu nyata membuat perutnya nyeri tak tertahankan. Namun seseorang segera memberikan jampi-jampi sehingga penampil kembali sedia kala. Hebat.
Hari berikutnya peserta diajak jalan-jalan ke perkampungan Baduy Dalam, ke kampung Cibeo dan Cikertawana. Di sini praktik menulis anak-anak TB Multatuli berlangusng, yakni menuliskan catatan perjalanan yang akan menjadi kenangan saat bersama-sama melewati bukit berbatu, jalan setapak, bahkan pinggiran jurang atau berjalan kaki berkilo-kilo meter ke pedalaman suku Baduy.
Akhirnya hingga Sabtu (12/5) malam, nuansa Sastra Multatuli kembali terdengar dari seorang anak yang membacakan puisi yang tercipta di tahun 1834 oleh Multatuli untuk Ibunya, disusul pementasan kesenian qasidah dan pemutaran film Taman Baca Multatuli yang pernah tayang di Metro TV, serta menonton film Garuda di Dadaku hingga larut malam. Keesokan harinya, Minggu (13/5), peserta tamu kembali ke kota dan daerahnya masing-masing. (ali/xpresi)
0 komentar:
Post a Comment