Sumber:
Sumber: http://hore-punya-blog.blogspot.com/2015/04/multatuli-abadi-di-lebak.html?m=1
Seorang anak bermain di depan Taman Baca Multatuli. Saat kami berkunjung ke sana, lagi musim durian. Harga per buah cuma sepuluh ribuan. Duriannya enak. |
“Kang Ubai kami sedang dalam perjalanan ke sana. Acara klub bacanya dimulai jam berapa?”
Pesan singkat itu pun terkirim, namun tak berbalas. Rupanya kiriman pesan itu tak tiba ke ponsel orang yang saya maksud. Maklum, saat itu dia sudah ada di Kampung Ciseel, sebuah dusun di Kabupaten Lebak, Banten. Kita harus maklum dengan sulitnya koneksi tadi, karena memang daerah Ciseel tak mudah dijangkau. Selain sinyal ponsel, akses jalan ke sana juga belum tentu mampu dan mau dilalui semua orang. Gara-gara kesulitan akses itulah, saya deg-degan, takut telat dan melepas satu momen langka yang cuma ada sekali dalam dua minggu.
Kunjungan ke Ciseel, saya lakukan dalam rangka meliput aktivitas di Taman Baca Multatuli. Itu adalah lanjutan liputan dari Jerman yang membahas topik kesadaran literasi atau minat baca. Judul hasil liputannya: Ayo baca! Kampung Ciseel relevan dengan tema tersebut karena di sana, ada sebuah rangkaian ikhtiar unik yang digagas Ubaidilah Muchtar, seorang guru di SMPN Satu Atap 3 Ciseel. Di pedalaman Kabupaten Lebak itu, Ubai mengajar ngaji. Pengajian yang diampu Ubai bukan pengajian biasa. Lazimnya, yang dibaca dalam pengajian adalah kitab suci. Tapi yang ini, bacaannya novel Max Havelaar karangan Multatuli.
Anak-anak Ciseel sedang mengikuti permainan yang dipandu Ubai |
Taman Baca
Multatuli lahir pada 2009. Kala itu Ubai mendapat tugas mengajar sebagai
PNS di Kampung Ciseel, Lebak, Banten. Kepindahannya ke dusun berisi 75
kepala keluarga ini, diiringi dengan hijrah pulanya koleksi bacaan sang
guru. Anak-anak Ciseel saat itu dibebaskan untuk mengacak-acak rak
bukunya yang menumpang bertengger di rumah ketua RT setempat. Pada
tanggal 23 Maret 2010, Ubai pun memulai aktivitas lain di taman baca
itu: membentuk reading group atau kelompok baca.
Kelompok baca
yang digelar Ubai, berisi ia dan anak-anak kampung Ciseel dan
sekitarnya. Secara rutin, mereka mengaji novel Max Havelaar. Ketika saya
datang ke Ciseel, kelompok baca itu tepat berusia lima tahun. Tak ada
perayaan khusus selain aktivitas yang memang sudah biasanya demikian.
Pembacaan novel dimulai sekitar jam 4 sore hingga maghrib tiba. Pada
satu jam jelang kelas berakhir itulah saya akhirnya tiba, setelah resah
kehilangan momen langka itu.
Jalan beraspal terakhir di kampung Cangkeuteuk, sebelum melalui jalan berbatu menuju Dusun Ciseel |
Dari Jakarta,
perjalanan ke Kampung Ciseel bisa ditempuh selama sekitar enam jam. Jam
11 siang itu tim liputan saya baru benar-benar menempuh jalan menuju
Ciseel. Di persimpangan menuju Pasar Ciminyak, kami beristirahat sekitar
selama satu jam. Setelah bertanya ke sana-sini, dan secara tak sengaja
bertemu Hendra Adi, mantan kru mobil satelit Metro TV. Ia baru saja
berhenti dari pekerjaan itu, dan memulai usaha lain di kampung
halamannya, Ciminyak. Dipandu Adi, kami pun tiba di Kampung Coo. Tangis
dan teriakan histeris menyambut kedatangan kami. Rupanya di saat yang
sama, warga digegerkan dengan kematian seorang petani di saung sawahnya.
Ia ditemukan tewas tergantung. Di dusun Coo itulah mobil kami berhenti.
Mobil sebenarnya bisa masuk hingga dusun Cangkeuteuk. Tapi menitipkan
mobil di rumah lurah di Coo sudah tepat, sesuai rekomendasi Kang Adi.
Perjalanan kami pun berlanjut menggunakan ojek selama sekitar 45 menit.
Jalan menuju Ciseel memang rusak. Batu semua dan sempit. Kasihan sekali
motor matic yang dipakai tukang ojek itu. Bahkan, ban motor yang
ditunggangi Wildan sempat kempes. Jalur yang dilewati menuju Ciseel
adalah tepian lereng yang berbatasan langsung dengan jurang dalam
menganga dan tepian sungai. Tapi pemandangan dari sana, luar biasa
indah. Kalau senggang, saya pasti menyempatkan meraup bening air di
sungai. Tapi itu tadi, saya harus segera tiba di Ciseel, sebelum
aktivitas kelompok baca berakhir.
Sungai di Kampung Cangkeuteuk digunakan warga untuk berbagai keperluan. |
Kelompok baca
Multatuli yang awalnya digelar saban sore, kini jadi tiap senin atau
selasa sore. Itu pun sekali dalam dua minggu. Maklum, Ubai menjalaninya
sambil menempuh pendidikan magister di Universitas Pendidikan Indonesia.
Meski demikian, taman baca yang kini tak lagi menumpang di rumah Pak
RT, tetap bisa dimasuki anak-anak Ciseel untuk mereka membaca. Minat
baca anak-anak Ciseel memang terlihat mencengangkan. Bahkan anak-anak
yang belum bisa baca saja ikut hadir di pengajian Max Havelaar. Mereka
ikut mengucap ulang kalimat-kalimat yang dibacakan Ubai.
“Itu apa tidak terlalu berat anak-anak baca buku seperti itu?” saya bertanya kepada Ubai.
“Saya kira berat atau tidak, itu tergantung konteks kita orang dewasa. Ini membaca pelan-pelan, super lelet, maka tidak terlalu berat karena dijelaskan. Satu pertemuan dua jam paling hanya tiga halaman.”
“Satu kali tamat buku berapa lama?”
“Tahun pertama
tamat 37 pertemuan (selama) 11 bulan, kemudian tahun kedua dua tahun
lima bulan. Jadi pembacaan pertama 11 bulan kemudian baca lagi dari
awal, dua tahun lima bulan kemudian baru tamat. Jadi pembacaan pertama
maret 2010 sampai februari 2011, pembacaan kedua mei 2011 sampai agustus
2013.”
Wildan dan Yansa harus turun dari motor karena tanjakan yang terlalu curam dan jalur berbatu sulit dilalui motor yang ditumpangi berboncengan |
Saat itu,
pembacaan Max Havelaar di Taman Baca Multatuli sudah mencapai repetisi
ketiga, sekitar halaman seratus sekian. Sekilas saya turut serta dalam
proses pembacaannya. Saya juga mengamati aktivitas tambahan lain selain
membaca Max Havelaar. Anak-anak Ciseel diajarkan Ubai berbahasa Inggris.
Mereka sudah bisa memperkenalkan diri dalam bahasa internasional itu.
Mereka pun diperkenalkan ke berbagai kosakata baru. Selain itu, mereka
juga diajarkan untuk menulis. Anak-anak dibekali buku tulis yang
nantinya mereka isi dengan kegiatan harian dan pemikiran mereka
masing-masing.
“Bahkan ada
yang lucu. Ketika orang tua mereka berselisih paham, mereka
menuliskannya. Jadi mereka tidak perlu marah juga ketika ada
pertengkaran, tapi bisa melalui tulisan. “ Maghrib tiba, kelas bubar,
anak-anak lanjut mengaji Al Quran di masjid.
Malam tiba di
Kampung Ciseel. Tapi gelap, bukan lagi deskripsi tunggal untuk malam di
dusun itu. Sejak dua tahun terakhir, Ciseel mengenal listrik. Sejak itu
pula, warga Ciseel akrab dengan televisi dan berbagai tontonannya. Bagi
perkembangan minat baca anak, tontonan tak cocok di televisi, bisa jadi
boomerang tersendiri. Ditemui ketika hadir di gelaran Leipzig Book Fair,
sastrawan Goenawan Mohamad menganalisa musuh utama minat baca.
Jurang, sungai, sawah, gunung, mengiringi perjalanan menuju Ciseel |
“Ya waktunya
tidak ada untuk membaca. Boleh nonton televisi kalau berita. Tapi kalau 6
jam di depan televisi nonton sinetron, menurut saya itu tidak
mencerdaskan bangsa.” Ujar pendiri Majalah Tempo itu.
Kami tiba di Kampung Ciseel. Jika kita terus menempuh jalan ini, dilanjutkan berjalan kaki. kita akan tiba di perkampungan Baduy Dalam. |
Beruntung,
anak-anak Ciseel tak sekencanduan itu dengan televisi. May, seorang anak
Ciseel yang saya tanya, mengaku paling menghabiskan cuma setengah jam
sehari di depan TV. Begitu juga dengan Cecep, yang cuma menonton sebelum
tidur. Cecep juga rajin menyimak tayangan berita. “Dana APBD Ahok,”
jawabnya ketika saya tanya berita terbaru apa yang dia ingat. Pengakuan
anak-anak Ciseel diamini salah satu ketua RT di Ciseel, Uding Somantri.
“Kalau sudah ada listrik banyak tontonan, tapi tidak mengganggu
aktivitas baca di multatuli,” ujarnya meyakinkan. Uding juga mengaku
bersyukur dengan adanya Taman Baca Multatuli, meskipun asupan bantuan
tenaga untuknya bertani di hutan dan ladang, berkurang. Ubai sendiri
punya analisa tentang televisi yang menandingi buku di hati anak-anak
Ciseel. “Yang dirasakan tidak terlalu berat karena fondasi anak-anak
sudah ada sejak 2009. Jadi mereka basic-nya kuat. Enam bulan ada TV
mereka senang sekali, tapi taman baca tetap ramai.” Ubai dan tokoh dusun
Ciseel juga punya sebuah cara untuk mengarahkan anak-anak ke tontonan
yang baik. Mereka menggelar layar tancap.
Kain putih
polos dibentangkan melintangi jalan. Pengendara motor yang melintasi
jalan dusun pun harus merunduk agar jalannya tetap lancer. Tapi mereka
seakan maklum dan paham. Senyuman yang dibarengi anggukan jadi pertanda
bahwa ini biasa. Sebelum penayangan film dimulai, saya ikut berhimpun di
kerumunan anak-anak yang bertengger di batu-batu pinggir jalan. Seorang
anak bernama Jujun bangga memperlihatkan bekas luka di pelipisnya.
Katanya ia jatuh di masjid ketika kecil. Padahal saat bicara, ia juga
masih begitu kecil. Umurnya mungkin lima atau enam tahun. Atau malah
mungkin empat. Jujun sendiri tak yakin dengan usianya. Haha. Jika ketika
mengunjungi baduy dalam, Asda jadi anak favorit saya,
kali ini Jujun-lah idola saya. Dia berani. Anak lain yang lebih tua
masih membentengi diri dengan gelagat malu saat ditanya orang asing,
atau berekspresi di depan umum. Si kecil Jujun ini, melontarkan celetuk
kocak ketika anak-anak terkesima dengan heli cam yang dioperasikan
Wildan. “Itu meuli?” katanya jujur, bertanya apakah benda terbang itu
hasil membeli di suatu tempat. Jujun pun tak takut ditertawakan
teman-temannya. Ketika belajar bahasa Inggris, ia merelakan diri berdiri
di hadapan anak-anak lain. Dengan penuturan yang samar, ia tetap berani
berucap “My name is Jujun”. Perhatian saya juga tertuju ke jawaban
anak-anak yang siap menonton itu. Saya bertanya tentang cita-cita
mereka. Ada yang ingin jadi guru, presiden, pilot kapal terbang, bahkan
ada yang mau jadi jaro (pemimpin adat).
Malam itu film
Lima Elang tayang. Tak hanya anak-anak, orang tua mereka pun ikut
menonton dari teras depan rumah. Gelak tawa pecah ketika adegan kocak
tampil. Komentar-komentar singkat juga terlontar setelah liukan kisah
dimunculkan. Perlahan-lahan, jumlah penonton berkurang. Giliran Ciseel
beristirahat.
Wildan saat mengoperasikan heli cam miliknya. Suara baling-baling sempat membuat anak-anak di Taman Baca kehilangan konsentrasi membaca Max Havelaar |
Tim liputan
kami ikut menginap di ruang perpustakaan Taman Baca Multatuli. Di
situlah Ubai menginap saat ia mengunjungi Ciseel. Rumahnya sebenarnya di
Depok. Di sana ia tinggal bersama teman kuliah ketika menempuh
pendidikan sarjana yang kini jadi istrinya. Sebelum tidur, kami
berbincang banyak hal. Saya ceritakan bahwa terakhir kali saya baca Max
Havelaar, adalah tahun 2011. Itu pun tak tamat. Hehe. Entahlah kala itu
mood saya belum kondusif untuk Max Havelaar, sampai sekarang. Haha. Ubai
pun secara singkat menjelaskan tentang isi novel legendaris itu. Dia
sampai hafal di bab berapa kisah ini ditulis, di halaman mana penjelasan
tentang itu dipaparkan.
Max Havelaar
berkisah tentang seorang pria bernama Batavus Droogstoppel, atau Batavus
si gersang hati. Ia adalah seorang saudagar kopi di era kolonial. Ia
ingin dibuatkan buku tentang pelelangan kopi oleh perusahaan dagang
Belanda. Maka ia meminta Ludwig Stern untuk menuliskannya. Dalam proses
pembuatan buku itu, Stern malah menulis tentang hal lain. Mulai Bab 5
novel tersebut, Stern mengisahkan tentang seorang asisten residen atau
bupati Lebak bernama Max Havelaar. Max Havelaar ini sebenarnya adalah
Multatuli alias Eduard Douwes Dekker sendiri. Kala itu, masyarakat Lebak
ditindas dua kekuatan sekaligus. Selain diwajibkan aturan tanam paksa
atau cultuur stelsel oleh pemerintah kolonial Belanda, warga Lebak juga
menderita karena sistem sosial yang membelit mereka sendiri. Adalah
Adipati Karta Nata Nagara, regen atau bupati Lebak yang juga menguasai
wilayah itu. Di akhir abad ke-19 itu, sistem pemerintahan Lebak memang
dikuasai (dan ditekan) dua penguasa secara bersamaan. Stern mengisahkan
sebuah contoh, bahwa jika sang adipati tertarik dengan sebuah kerbau
milik rakyat yang dilihatnya, maka mau tak mau kerbau itu harus direbut
dari pemilik aslinya. Max Havelaar, meski berasal dari pihak kolonial,
menentang penindasan semacam itu. Stern (yang diminta menulis oleh
Batavus) juga menyisipkan kisah romantik-tragis Saijah – Adinda dalam
buku karangannya. Cerita Saijah-Adinda disebut-sebut sebagai
Laila-Majnun-nya Lebak tempo dulu, Romeo-Juliet-nya era kolonial. Di
akhir bab novel Max Havelaar itu, Multatuli yang dalam bahasa latin
berarti “saya telah banyak menderita”, membuka identitas aslinya. Dengan
demikian, dalam novel Max Havelaar, seakan-akan ada tiga narator:
Batavus, Stern, dan Douwes Dekker sendiri si penulis asli. Indah bukan?
Selain
berbicara tentang Max Havelaar, saya pun baru tahu tentang jaringan
kelompok baca yang diikutinya. Kelompok Baca Multatuli, ternyata bukan
satu-satunya. Setidaknya, ada sembilan kelompok baca yang saya catat
berdasarkan paparan Ubai:
- Di Kendal Jawa Tengah, komunitas Pondok Maos Guyub membaca Old Man And The Sea (Ernest Hemmingway) dan Ronggeng Dukuh Raruk (Ahmad Tohari).
- Di Jember Jawa Timur, komunitas Tikungan membaca Gadis Jeruk (Jostein Garner)
- Di Kediri Jawa Timur, komunitas Jambu membaca Jalan Raya Pos Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)
- Di Serang - Banten, komunitas Rumah Katak membaca Laskar Pelangi (Andrea Hirata)
- Di Jogja, komunitas Indonesia Buku membaca Kitab Primbon Jogja (Beta Lejemur Adamakna)
- Di Victoria Park - Hong Kong, komunitas Teater Angin membaca Animal Farm (George Orwell)
- Di Bandung, komunitas Ultimus membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
- Di Cikarang – Bekasi, solidaritas.net membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
- Di Facebook komunitas reading group yang dimoderatori Tanzil Hernadi, membaca Ibunda (Maxim Gorky)
Anak-anak Ciseel bebas memilih bacaan yang mereka suka |
Pembentukan
kelompok baca di Ciseel, Ubai yakini bukan hanya sebuah upaya
meningkatkan minat baca. Lebih dari itu, ada sesuatu yang ingin ia
tanamkan di dalam benak anak-anak Ciseel. “Minimal mereka mencontoh tiga
sifat khas Multatuli: pertama peka dengan ketidakadilan. Kedua mereka
tahu jika ketidakadilan terjadi mereka harus berbuat apa, dan yang
ketika dia pandai menulis. Nah anak-anak di sini tentu tidak harus
seperti Multatuli. Tapi minimal nilai-nilai itu bisa menjiwai kehidupan
mereka. Tidak mengambil hak orang lain, berkuasa tidak disalahgunaakn,
amanat harus disampaikan, dan tidak boleh korpusi. Di (novel) Multatuli
ada kata ‘korupsi’.”
Sementara
persoalan minat baca di Kampung Ciseel menemui solusinya, hadangan lain
siap menghampiri. Mimik muka Uding Somantri berubah ketika ia mengingat
anaknya. Ia khawatir membuncahnya minat baca dan belajar anak Ciseel,
tak diiringi kemampuannya membiayai sang anak untuk sekolah setinggi
mungkin. []
Saya berfoto bersama Ubai dan anak-anak Ciseel sebelum kami berpisah. Suatu hari nanti, saya ingin ke sana lagi |
0 komentar:
Post a Comment