728x90 AdSpace

  • Latest News

    20 March 2011

    Catatan Reading Group Minggu ke-29 Novel Max Havelaar

    Oleh Ubaidilah Muchtar
    Tak jauh di Barat kota tanah Multatuli di ujung penglihatan, membentang Taman Nasional Gunung Halimun Salak—rangkaian pegunungan nan luas yang tampil menonjol melintas di tiga kabupetan, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak bagai bayangan bahtera kelam mengapung di tengah samudera luas nan biru. Puncak dan dataran tinggi Halimun Salak tertutup kabut yang terbentuk oleh perjalanan waktu, terbentang hutan-hutan, puncak-puncak, pohon-pohon besar dan kecil, beragam jenis hewan, sungai-sungai yang berkelok bagai ular, jalan-jalan yang meliuk dan terkadang tiba-tiba hilang dari pandangan, puncak gunung yang banyak nan kelam dan curam. Kawanan kerbau yang digembalakan anak-anak bertemu di sepanjang jalan di tengah-tengah rangkaian pegunungan ini. Mengisyaratkan tempat ini menjadi lahan subur bagi kerbau yang bertanduk lengkung yang tangguh dan kuat. Di tepian jalan di tengah pegunungan, para petani menjemur padi dalam ikatan-ikatan pada batang-batang bambu. Beratap daun kelapa atau daun kiray yang dianyam rapi. Padi-padi petani dijemur hingga kering. Jika padi dalam ikatan-ikatan telah kering. Petani akan membawanya pulang, menyimpannya dalam gudang-gudang tempat penyimpanan yang dibangun di ujung kampung atau di pinggir rumah. Bangunan tinggi dari kayu dengan pintu kecil di bagian atas. Leuit, mereka sering menyebut tempat penyimpanan padi tersebut. Jika hendak mengambil atau memasukan padi, para petani harus mengambil tangga, lalu memasukan badan melalui pintu kecil. Mereka akan merapikan ikatan-ikatan padi di dalam leuit atau mengambil ikatan padi untuk ditumbuk. Para ibu menumbuk padi di lesung, dan suara nyaring lesung yang bertemu alu, juga nyanyian para gadis yang asyik membersihkan padi dengan tampah di tangan agar butir padi menjadi beras, memenuhi udara perkampungan di pedalaman Lebak yang berkabut.
    Di ujung rangkaian Taman Nasional Gunung Halimun Salak, di sebuah lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang tinggi ada sebuah kampung sunyi. Mengalirlah sebuah sungai kecil dari antara Gunung Menir dan Gunung Bubuta di sebelah Barat kampung itu. Air sungai kecil itu keluar dari celah-celah batu, dari celah-celah akar pohonan di atas dua gunung tersebut. Alir air sungai kecil itu melintasi kampung, melintasi rumah-rumah, melintasi sawah, dan kebun. Ibu-ibu mencuci di sungai sambil menggendong bakul berisi pakaian kotor atau tempat makan kotor. Anak-anak ikut dengan ibu mereka, anak-anak mandi suka ria tanpa penat di kepala. Sungai kecil yang mengalir dari antara dua gunung itu menjadi nama kampung sunyi itu: Ciseel. Seel sebenarnya nama pohon. Pohon seel hampir sama dengan pohon salak namun tidak berbuah. Pohon seel banyak terdapat di Gunung Menir dan Gunung Bubuta. Daun pohon seel yang menjuntai banyak digunakan petani untuk hiasan di bagian ekor baling-baling bamboo yang banyak terpasang di ujung-ujung pohon di kampung Ciseel. Di kampung Ciseel, seminggu sekali setiap Selasa atau Rabu sore anak-anak mendekap novel Max Havelaar. Max Havelaar ada di dada mereka, mengisi relung-relung jiwa mereka, meneteskan cahaya bagi mereka, bagi kehidupan mereka, bagi sejarah kampung halaman mereka, bagi sejarah tanah kelahiran mereka, tanah Multatuli, tanah Lebak.
    Ini hari ke-22 di bulan Desember tahun 2010, dan minggu ke-29 sejak pertemuan pertama membaca novel kepahlawanan pembela rakyat tertindas, Max Havelaar yang di dalamnya terdapat kisah percintaan romantis-tragis Saijah dan Adinda. Kegiatan ini diberi nama Reading Group Max Havelaar, sejak 23 Maret 2010 di Taman Baca Multatuli. Sore ini, sore Rabu. Kami duduk melingkar di depan rak buku, di bawah figura besar dan kecil yang tergantung di tembok, yang berisi wajah yang sama: Multatuli.
    Sore ini kami membaca bab 17 Max Havelaar. Bab ini berisi kisah tragis-romantis Saijah dan Adinda. Sehari sebelumnya, Selasa, 21 Desember 2010 aku susuri jejak Multatuli di Lebak hingga sampai di desa Saijah, Desa Badur. Oleh karena itu, Reading Group minggu ke-29 ini berlangsung di hari Rabu. Kami berdua puluh duduk bersama memegang novel Max Havelaar.
    Kubaca paragraf pertama bab 17 ini. Peserta Reading Group menyimak dan membaca dengan saksama.
    “Ayah Saijah memiliki seekor kerbau yang dia pakai untuk bekerja di sawah. Ketika kerbau ini dirampok oleh Pemimpin Distrik Parangkujang dia sangat sedih, dan sama sekali tidak bicara selama berhari-hari. Karena masa tanam mulai dekat dan ditakutkan jika, sawah tidak diolah sesegera mungkin, masa pemupukan juga akan terlewatkan, dan akhirnya tidak akan ada padi untuk dipanen dan disimpan di lumbung.” [MH, hlm. 308]
    Kusampaikan bahwa di Banten sebenarnya sudah mengenal hak milik tanah sehingga mengharuskan ayah Saijah membayar pajak tanah. Karena ayah Saijah ketakutan jika istrinya akan kekurangan beras untuk makan Saijah dan adik lelaki serta perempuan Saijah yang masih kecil, terlebih lagi pemimpin distrik akan melaporkan dan menghukumnya jika terlambat membayar pajak, membuat ayah Saijah menjual keris pusaka warisan dan menjualnya kepada seorang Cina di ibukota divisional seharga dua puluh empat gulden, sekitar dua pound dalam mata uang Inggris. Lalu dengan uang itu dia membeli kerbau baru.
    “Saijah, yang saat itu berusia tujuh tahun, segera memulai persahabatan dengan kerbau baru itu. Rasanya tidak pas jika saya menggunakan kata “persahabatan”; sebab tentu saja menyentuh jika melihat betapa terikatnya kerbau Jawa pada bocah lelaki yang memerhatikan dan merawatnya. Segera akan saya berikan sebuah contoh mengenai keterikatan ini. Hewan besar yang kuat ini, dengan pelan menggerakkan kepala beratnya ke kanan atau ke kiri dan ke bawah, sebagai jawaban dari tekanan jari seorang anak yang dia kenal, yang dia pahami, anak yang tumbuh besar bersama dia.”
    “Dan persahabatan seperti ini, kemudian, membuat Saijah kecil dengan cepat menyemangati pendatang baru itu, dan suara kekanakan Saijah yang member semangat, menjadi sumber tenaga yang begitu besar pada bahu kuat hewan itu, ketika dia menorah tanah liat yang berat dan menekan bajaknya dalam-dalam, dan menandai jalan lintasannya dengan alur yang dalam, tajam. Kerbau itu berputar dengan patuh ketika sudah mencapai ujung sawah, dan sama sekali tidak melewatkan satu inci tanah ketika membajak jalur yang baru, yang selalu terletak tepat di sebelah kanan alur lama, seolah-olah sawah itu merupakan sebuah taman yang telah digaruk oleh raksasa.” [MH, hlm. 309]
    Di samping sawah Saijah terhampar sawah milik ayah Adinda, ayah dari anak yang akan menikahi Saijah. Saat membajak seperti itu, Saijah dan adik lelaki Adinda saling menyapa dengan riang, dan dalam persaingan yang bersahabat mereka saling menyombongkan kekuatan dan kepatuhan kerbau mereka. Namun tentu saja kerbau Saijahlah yang paling bagus. Mungkin kerena Saijah lebih tahu bagaimana cara berbicara pada hewan itu daripada adik lelakinya Adinda. Namun untuk kedua kalinya kerbau ini pun dirampas oleh Demang Wiranata Kusumah, Pemimpin Distrik Parangkujang yang jahat. Waktu itu Saijah berusia Sembilan tahun dan Adinda baru berusia enam tahun.
    Ayah Saijah yang miskin lantas menjual pusaka dari orangtua istrinya. Harta terakhir yang dimilikinya tersebut berupa dua kaitan kelambu perak dijualnya kepada seorang Cina. Harta warisan istrinya tersebut dijual dan mendapatkan uang sebesar delapan belas gulden. Dan dengan uang sebesar delapan belas gulden ini ayah Saijah yang miskin membeli kerbau baru. Namun Saijah telah terlanjur sakit hati karena dia tahu dari adik laki-laki Adinda bahwa kerbaunya itu dicuri dan dipaksa ke pusat divisional. Saat ayah Saijah pulang dari menjual kait kelambu, Saijah bertanya apakah ayahnya melihat kerbau itu. Ayah Saijah memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sebab itu Saijah sangat sedih dan takut jika kerbaunya telah disembelih, seperti kerbau lainnya yang dirampok oleh pemimpin distrik dari warga.
    “Dan Saijah menangis ketika dia memikirkan kerbau malang yang telah hidup sangat dekat bersamanya selama dua tahun. Dan dia menolak makan untuk waktu yang lama, karena tenggorokannya tercekat jika dia mencoba menelan.” [MH, hlm. 310]
    “Saijah hanyalah seorang anak kecil,” demikian Havelaar memulai. “Anda harus ingat.” Kalimat ini membuka bagian ketika Saijah memulai berkenalan dengan kerbau barunya. Meskipun kerbau baru itu tidak sekuat yang lama, meskipun bajak lama yang dipakai terlalu besar untuk punggungnya, namun hewan malang itu sama penurutnya dengan pendahulunya yang telah disembelih. Meskipun Saijah kini tidak dapat menyombongkan kekuatan kerbaunya ketika dia bertemu dengan saudara lelaki Adinda ketika bertemu di sawah, namun Saijah masih yakin bahwa tidak ada kerbau lain yang dapat melampaui miliknya dalam hal kesetiaan. Ketika ketika alur yang dibuatnya tidak setajam sebelumnya, dan ketika hewan itu melewati segumpal tanah liat, dan membiarkannya tidak terpecah, Saijah dengan senang hati mengatasi semua ini dengan pacul-nya, semampu Saijah. Dan yang lebih penting adalah tidak kerbau lain yang memiliki user-useran seperti kerbau Saijah. User-useran seperti itu kata sesepuh desa akan memberikan keberuntungan, kebahagiaan, dan nasib baik.
    Aku jelaskan tentang user-useran dan bagaimana Saijah memperbaiki gumpalan tanah yang tidak mampu dipecah oleh kerbau barunya tersebut kepada peserta reading minggu ini. Saijah tentu saja sangat melekat di hati anak-anak peserta reading ini. Aku telah membacakan kisah ini beberapa kali dalam dua bahasa, Indonesia dan Sunda.
    Cerita lalu bergerak ke suatu masa, waktu Saijah diselamatkan kerbaunya dari terkaman macan. Waktu Saijah membajak sawah, saudara laki-laki Adinda tiba-tiba saja berteriak agar Saijah lari sebab ada macan. Semua yang sedang dengan kerbaunya cepat membuka bajak kerbaunya, meloncat ke atas punggung kerbau, dan lari terbirit-birit di sawah, melewati galangan, melalui lumpur, melalui belukar, melalui semak-semak, dan alang-alang, melewati ladang-ladang, dan jalanan. Tetapi ketika mereka sampai di Badur, Saijah tidak tampak bersama mereka. Sebabnya ketika Saijah melepaskan baja kerbaunya dan naik ke punggung kerbaunya, kerbau Saijah tiba-tiba melompat ke depan, membuat Saijah kehilangan keseimbangan. Saijah terjatuh ke tanah. Sementara macan semakin dekat.
    “Kerbau Saijah, karena kecepatannya, terdorong beberapa lompatan ke depan tuan kecilnya yang menanti maut. Tetapi itu karena kecepatannya, bukan karena keinginannya, sehingga dia berada jauh di depan Saijah. Karena tidak mungkin hewan itu bisa memperdaya daya gerak yang menggerakkan semua benda, bahkan setelah jeda penyebab yang malah membuatnya maju bukannya mundur, memasang tubuh kikuknya di kaki kikuknya di atas anak itu seperti atap, dan mengarahkan kepala bertanduknya ke arah macan itu. Macan itu menerjang… tapi untuk yang terakhir kali. Kerbau itu menangkapnya dengan tanduknya, dan hanya kehilangan sedikit daging yang terobek dari lehernya. Si penyerang terbaring di tanah dengan perut robek menganga, Saijah selamat. Memang terdapat keuntungan di user-useran kerbau itu!”
    “Ketika kerbau ini dirampas dari ayah Saijah dan disembelih…”
    “Sudah saya bilang, pembaca, cerita saya monoton.” [MH, hlm. 312]
    Ketika kerbau ini kembali dirampok dan disembelih, Saijah berusia 12 tahun. Dan Adinda sudah menenun sarung serta membatik. Adinda membatik dengan duka, karena dia baru melihat Saijah begitu berduka. Dan yang lebih berduka adalah ayah dan Ibu Saijah. Namun ibunyalah yang sangat berduka karena dialah yang telah mengobati luka di leher kerbau setia itu. Kerbau yang telah membawa pulang anaknya dengan selamat tanpa luka. Ibu Saijah selalu memikirkan luka yang dalam di leher kerbau itu bagaimana jika sampai merobek tubuh kurus anaknya. Dan tiap kali dia menempelkan dedaunan obat segar ke luka itu dia selalu mengusap kerbau itu, dan mengucapkan kata-kata manis padanya, agar hewan yang baik dan setia itu bisa memahami betapa seorang ibu begitu berterima kasih.
    Ayah Saijah lalu melarikan diri dari desa. Ayah Saijah takut jika ia dihukum karena tidak dapat membayar pajak tanah dan dia tidak memiliki pusaka lagi untuk dijual untuk membeli kerbau. Namun di jalan menuju ke Bogor, ayah Saijah ditangkap dan dicambuk oleh polisi karena tidak dapat menunjukkan surat izin meninggalkan Lebak. Lalu dijebloskan ke penjara. Ibu Saijah meninggal karena patah hati. Saat ditahanan itu ayah Saijah meninggal.
    Saijah berusia lima belas tahun ketika ayahnya pergi ke Bogor namun tidak sampai hingga akhir hayatnya di tahanan karena terlalu lama disiksa dengan cara dicambuk oleh polisi. Saijah lalu berencana pergi ke Batavia. Dia akan bekerja sebagai bocah tukang bendi di Batavia dengan sangat baik. Bahkan dengan cara ini dia bahkan bisa menabung cukup uang untuk membeli dua ekor kerbau. Saijah lalu pergi ke rumah Adinda untuk memberitahukan rencana tersebut.
    “Coba pikir,” katanya, “ketika aku kembali, kita pasti sudah cukup umur untuk menikah, dan kita bisa membeli dua ekor kerbau!”
    “Itu sangat bagus Saijah! Aku akan dengan senang hati menikah denganmu ketika kau kembali. Aku akan memintal dan menenun sarung serta selendang, dan baju batik, dan sangat sibuk sepanjang waktu.”
    “Oh, aku yakin itu, Adinda! Tapi… seandainya aku mendapati kau sudah menikah?”
    “Saijah, kau tahu pasti bahwa aku tidak akan menikahi orang lain. Ayahku sudah menjanjikan aku pada ayahmu.”
    “Namun bagaimana menurutmu?”
    “Aku akan menikahimu, itu sudah pasti!”
    “Ketika aku kembali, aku akan memanggilmu dari jauh….”
    “Siapa yang bisa mendengarnya, jika kita sedang menumbuk padi di desa?”
    “Itu benar. Tapi Adinda…oh iya, aku memiliki ide yang lebih bagus: Tunggulah aku di dekat hutan jati, di bawah pohon ketapang, tempat kau memberiku bunga meleti.”
    “Tapi Saijah, bagaimana aku bisa tahu kapan aku harus pergi dan menunggumu di ketapang?”
    Saijah berpikir sejenak, lalu berkata:
    “Hitunglah bulan. Aku akan pergi selama tiga kali dua belas bulan… tidak termasuk yang sekarang. Lihat, Adinda—torehlah sebuah tanda di lesungmu setiap kali bulan baru datang. Jika kau sudah menorah tiga kali dua belas tanda, aku akan hadir di bawah ketepang keesokan harinya. Maukah kau berjanji akan berada di sana?”
    “Ya Saijah! Aku akan berada di bawah ketapang dekat hutan jati ketika kau kembali!”
    Lalu Saijah merobek secarik kain dari sorban birunya, yang sangat lusuh. Lalu dia memberikan sobekan kain linen itu pada Adinda, untuk disimpan sebagai ikrar. Kemudian dia meninggalkan gadis itu serta Badur. [MH, hlm. 315-316]
    Saijah berjalan berhari-hari meninggalkan Badur menuju Batavia. Dia melewati Rangkasbitung, Pandeglang, dan Serang. Lalu berjalan menuju Tangerang dan menginap sebentar di rumah kerabat ayahnya. Saijah belajar dari kerabat ayahnya tersebut bagaimana cara menganyam topi seperti topi-topi yang berasal dari Manila. Saijah juga mandi sebentar di Sungai Cisadane. Di tepi sungai itu Saijah kembali membuka bekalnya, yang tak lain adalah bunga melati dari kekasihnya, Adinda. Di tengah perjalanan Saijah selalu teringat Adinda. Bahkan sampai ia membuat nyanyian untuk kekasihnya tersebut. Begini nyanyainnya.
    Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
    Aku pernah melihat laut lepas di Pantai Selatan, ketika aku di
    sana membuat garam bersama ayahku;
    Jika aku mati di lautan, dan mereka membuang jasadku ke air dalam, hiu-hiu akan datang.
    Mereka akan berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya:
    “Yang mana dari kami sebaiknya menelan tubuh ini, yang tenggelam ke dalam air?”—

    Aku tidak akan dengar.

    Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
    Aku pernah melihat rumah Pak Ansu yang terbakar, yang telah dia bakar sendiri karena dia sudah gila.
    Jika aku mati dalam rumah yang terbakar itu, kayu yang membara aku terjatuh ke mayatku,
    Dan di luar rumah aka nada orang-orang yang berteriak dengan nyaring, sambil melemparkan air untuk memadamkan api.

    Aku tidak akan dengar.

    Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
    Aku pernah melihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, ketika dia sedang memetik sebuah kelapa untuk ibunya.
    Jika aku mati dari pohon kelapa, aku akan terbaring mati di kaki pohon, di semak-semak, seperti Si Unah.
    Ibu tidak akan menangisiku, karena dia sudah meninggal. Tetapi yang lainnya akan menangis dengan suara nyaring: “Lihat, di sana terbaring Saijah!”

    Aku tidak akan dengar.

    Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
    Aku pernah melihat jasad Pak Lisu, yang meninggal karena umur tua, karena rambutnya berwarna putih.
    Jika aku mati karena umur tua, dengan rambut putih, para wanita yang berduka akan berdiri mengitari jasadku.
    Dan mereka akan meretap dengan nyaring, seperti para wanita yang berduka mengelilingi jasad Pak Lisu. Dan para cucu juga akan menangis, sangat nyaring—

    Aku tidak akan dengar.

    Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
    Aku sudah melihat banyak orang di Badur mati. Mereka dibungkus dengan kain putih, dan dikubur dalam tanah.
    Jika aku mati di Badur, dan mereka menguburku di luar desa, di sebelah Timur di balik bukit, di mana rerumputan begitu tinggi,
    Ketika Adinda melewati jalan itu, dan keliman sarungnya dengan lembut akan menyapu rumput yang dilewati…

    Maka aku akan dengar.

    Dalam tiga hari perjalanan Saijah tiba di Batavia. Aku membaca puisi Saijah kepada Adinda ini dalam dua bahasa. Di tangan kiriku novelette Saijah berbahasa Sunda dan di tangan kanan novel Max Havelaar. Kubaca bergantian tiap paragraf selang-selang bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Beberapa peserta reading minggu ini tampak khidmat mendengar bagian demi bagian kisah Saijah dan Adinda. beberapa di antaranya kulihat mata mereka berkaca-kaca. Siti Nurajijah, Pipih Suyati, Suryati, Siti Nurhalimah menangis kecil. Sementara peserta yang lain duduk tegang menahan keharuan. Ada Dedi Kala, Elah, Aenun, Aeni, Unang, Dede, Sanadi, Aliyudin, Irman, Nurdiyanta, Sumarna, Radi, Suana, Heri, Mamay, Yeni, Iis, Ida, Cecep, Ucu, Suherti, dan Elah duduk menekuri kisah hidup Saijah dan Adinda sore in, Rabu sore, 22 Desember 2010.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan Reading Group Minggu ke-29 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top