728x90 AdSpace

  • Latest News

      17 August 2012

      Ibu

      (karya Multatuli)

      Ibu, jauh, oh jauh dariku
      Adalah bumi dari tahun pertamaku,
      Adalah bumi dari tangisan pertamaku,
      Di mana cinta dan kasihmu,
      Di mana hati ibumu yang setia
      Perhatian yang dicurahkan kepada putramu,
      Berbagi segala bersamanya, tangis dan kebahagiaan,
      Membisikkan kesembuhan dalam setiap sakit…
      Menusia mungkin berpikir bahwaTakdir dengan kejam
      Merobek

      Ikatan yang menyatukan kita menjadi dua …
      Sungguh, aku berdiri di pantai yang asing
      Hanya diriku dan Tuhan, sendiri …
      Namun sekalipun demikian, segala dukacita,
      Kesenangan atau sakit yang telah aku rasa,
      Ibu bertahanlah pada keyakinanmu
      Akan cinta dari putramu!

      Sesekali dua kali dua tahun lalu
      Aku berada di tanah air tercinta,
      Menatap, diam di pantai,
      Ke dalam keberuntungan dan kemalangan di masa depan…
      Kemudian aku berseru kepada diriku
      Segala keindahan di masa mendatang,
      Menyajikan waktu-waktu suram yang dilingkari sumpah
      Palsu
      Tentang surge yang akan tiba…
      Maka hati yang berada di kebanggaan jiwa muda
      Dengan berani menapaki gurun kehidupan
      Menyingkirkan rintangan
      Dan, bermimpi, menganggap dirinya dalam kebahagiaan…

      Namun empat tahun yang telah hilang
      Sejak cinta terakhir kita, pertemuan perpisahan,
      Secepat kilat, berlalu menjadi satu
      Seperti hantu di dini hari fana,
      Pergi dengan kelompok mereka yang misterius
      Menandai waktu yang tak dapat dihapus!
      Lewat campuran kegembiraan dan kehinaan
      Aku telah berdoa dan aku telah berpikir
      Aku telah bersuka ria, dan aku telah bertarung,
      Melalui hari-hari yang serasa berabad-abad!
      Aku telah menemukan dan aku telah kehilangan
      Karena hidup adalah permata yang aku perjuangkan,
      Masih seorang anak, dengan menderita torehan,
      Bagi jam-jam senilai dengan keseluruhan tahun!

      Namun masih, Ibu, oh yakinlah padaku,
      Demi Tuhan Yang Maha Melihat—
      Ibu, Ibu , sekalipun begitu percayalah padaku,
      Kau tinggal di dalam kenanganku!
      Aku mencintai seorang gadis. Hidup seluruhnya adalah
      Beban

      Di antara itu cinta, tampak seringan udara.
      Di mataku dia adalah sebuah penghargaan,
      Sebuah mahkota daun salam menunggu di sana,
      Ditawarkan kepadaku oleh Tuhan yang pengasih.
      Kebahagiaan dari harta karun yang tak tercela
      Diberikan seperti ditujukan hidup padaku
      Sebagai tanda dari kesenangannya,
      Aku berterima kasih pada-Nya dengan berlutut.
      Cinta dan agama—mereka adalah satu …
      Dan jiwa dari keagungan
      Membangkitkan rasa syukur atas terciptanya dia,
      Dan dalam doa untuk dia sendiri!

      Cinta itu membawa kekhawatiran padaku,
      Siksaan memecah jiwaku menjadi dua—
      Manusia tidak dapat menahan rasa sakitnya
      Rasa luka itu mencabik jiwa yang lembut.
      Resah dan berdukacita sendiri, dalam keterpaksaan,
      Mengambil alih kesenangan tertinggi,
      Dan sebagai ganti dari harta karun yang telah lama dicari
      Bagianku tidak lain adalah kemalangan dan racun.

      Penderitaan yang bisu adalah menyenangkan!
      Dengan kuat aku berdiri, berharap dengan sangat
      Melawan harapan, melawan perjuangan ---
      Untuk kehormatannya aku menderita dengan gembira!
      Kesengsaraan oleh ukuran keberuntungan
      Membuat hadiah namun cahayanya lebih berkilau,
      Setiap kesukaran yang aku sambut,
      Memiliki takdir yang hanya menjauhi dia untuk kumiliki!

      Namun gambaran itu, yang aku bawa—
      Termanis di dunia bagiku—
      Dalam inti terdalam dari hatiku yang lemah,
      Sebagai berkat di luar pembayaran…
      Cinta untuknya adalah asing bagiku!
      Dan, meskipun cinta itu akan tetap berdiri
      Hingga terbukanya pintu Kematian
      Kepadanya lenganku akan terpugar kembali
      Di negara asal yang lebih baik…
      Cinta baru saja dimulai!

      Apa itu cinta sehingga harus dilahirkan
      Cinta yang ditekankan oleh Tuhan
      Di diri anak pada saat kelahirannya,
      Terkelu diam, di antara belaian?
      Ketika pertama kali di payudara ibunya,
      Lahir dengan susah payah dari rahim ibu,
      Menemukan embun untuk memuaskan rasa hausnya,
      Di matanya, cahaya pertama yang menembus kemuraman?

      Tidak, tidak ada ikatan yang membelenggu lebih erat,
      Laut kehidupan tidak pernah begitu liar,
      Dibandingkan dengan ikatan yang ditetapkan Tuhan
      Tidak juga ikatan ibu dan anaknya!

      Dan sebuah hati yang terbakar api
      Di mana kecantikan adalah kilasan fana
      Terjalin tidak lebih dari sebuh mahkota mawar liar,
      Yang bukan satu karangan bunga untuk impianku—
      Haruskah hati itu melupakan cinta
      Dari hati ibu yang setia?
      Dan emosi wanita yang dalam,
      Langsung mengambil alih perannya yang memesona,
      Menenangkanku dalam duka cita kekanak-kanakan,
      Mendengarkan tengisan kekanak-kanakanku yang pertama,
      Mencium air mata dari mataku,
      Memelihara dengan hidupnya?

      Ibu! Kau mungkin tidak percaya opadaku,
      Demi Tuhan Yang Maha Melihat,
      Ibu! Tetap kau harus percaya padaku,
      Kau tinggal di dalam kenanganku!

      Di sini apakah aku jauh, oh sungguh jauh
      Dari rumah yang dilimpahi ketulusan dan kegembiraan,
      Dan kegembiraan dari awal musim semi pertama,
      Seringkali kesombongan, kekayaan dan kemuliaan,
      Tidak akan turun padaku di tempat lain,
      Hati yang sepi takkan dapat bernyanyi.
      Curam dan berduri adalah jalanku,
      Kesulitan membungkukkan aku ke bumi,
      Dan kematian membebani bebanku
      Membunuh semua kedamaian, kegembiraan, keriangan, di diriku …
      Jadikan air mataku sebagai satu-satunya saksi
      Bahwa berjam-jam rasa sakit
      Membuat putramu, dengan sangat bersedih,
      Secara alami mencari payudara lagi…

      Sering ketika keberanianku hilang,
      Ini semua dipaksa dari aku:
      “Bapa! Memberiku di antara kematian
      Apa yang ada di dalam hidup yang tidak semestinya!
      Bapa! Hentikan aku dari jauh sana—
      Ketika aku merasakan ciuman kematian—
      Bapa! Hentikan aku dari jauh sana
      Istirahat… yang tidak dikenal saat aku menarik napas!”

      Namun doa itu tidak dapat menemukan pelepasan,
      Tidak bangkit menuju Tuhan di atas sana…
      Aku telah berlutut dengan merendahkan diri,
      Namun beban dari hembusan napasku,
      Adalah: “Jangan dulu, Oh Tuhan, kebahagiaan milikmu-
      Wariskan dahulu ciuman ibuku!”

      • Blogger Comments
      • Facebook Comments

      1 komentar:

      Item Reviewed: Ibu Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah